Senin, 02 Januari 2012

BAGAIMANA MEDIA SOSIAL MENGUBAH INTERAKSI PR DAN MEDIA


Media sosial telah mengubah segalanya yang penting bagi bisnis Anda. Dari keterlibatan dan penggunaan social media untuk kepentingan pemasaran, penjualan hingga karyawan dan manajemen keuangan, membuat revolusi sosial media seakan memaksa para pelaku komunikasi termasuk praktisi public relations memikirkan kembali bagaimana pendekatan public relations yang perlu dilakukan.
Saat ini, banyak wartawan konvensional (untuk menyebut wartawan yang bekerja untuk perusahaan media) juga menjadi blogger dan menggunakan saluran media social mereka sebagai outlet komunikasi utama untuk berbagi cerita dan pendapat. Sosial media kini telah menjadi alat standar bagi wartawan. Mereka menggunakan media sosial secara teratur untuk pekerjaan mereka.
Meski media social masih dianggap sebagai sumber informasi yang kurang penting karena dari sisi kredibilitasnya masih diragukan, namun tetap saja wartawan mengandalkan isu yang berkembang melalui media social tersebut sebagai isyarat awal dari sebuah “peristiwa.” Dengan kata lain, situs media social seperti Twitter, LinkedIn, dan atau Facebook telah menciptakan forum penting untuk membangun hubungan yang lebih besar dan kualitas praktisi PR dan wartawan, termasuk antar wartawan. Kadang-kadang wartawan mengajukan pertanyaan melalui Twitter, mencari sumber ahli untuk suatu artikel tertentu yang sedang mereka tulis.

Tak jarang seorang wartawan akan berbagi informasi dengan wartawan lainnya untuk mengkonfirmasi atau berbagi suatu peristiwa untuk keamanan. Dalam konteks ini, wartawan memang sering dituntut membuat berita eksklusif. Namun pada situasi lain, eksklusivitas tidak menjadi penting manakala berita yang akan diturunkan dirasa mengandung risiko, mengancam reputasi seseorang atau keamanan negara misalnya. Karenanya wartawan berbagi informasi sehingga kalau situasi meledak dan membuat seseorang marah, wartawan tersebut tidak menanggung sendiri.
Sosial media juga dipergunakan sebagai forum interaksi antara praktisi PR atau narasumber lainnya – seperti para pakar -- untuk memperluas, memperdalam dan memperkaya wawasan tentang apa yang jurnalis tulis. Interaksinya dengan para praktisi PR atau pakar tersebut setidaknya memangkas waktu pencarian informasi untukmemperkaya tulisannya dibandigkan bila mencari di situs pencarian Google.com misalnya. Selain tentu saja, dari narasumber tangan pertama, membuat berita yang ditulisnya menjadi lebih berbobot.
Wartawam sering berbicara tentang seberapa sering mereka tawaran berita. Pada hari biasa, wartawan akan menerima ratusan berita, e-mail dan panggilan telepon dari para profesional PR dan perusahaan yang ingin informasi atau cerita yang mereka miliki dibuat dan dimuat di media. Wartawan dan media saat ini benar-benar kebanjiran informasi. Di sisi lain, perusahaan atau PR profesional seringkali mengyunakan pendekatan tebar jala atau menembakkan senapan otomatis dengan mengirim dan menyebarkan rilis ke media dan wartawan sebanyak mungkin, tanpa memperhatikan apakah wartawan atau media yang bersangkutan tertarik atau tidak dengan informasi itu.

Persolannya, kadang-kadang tak wartawan atau media tersebut tidak memiliki cara untuk menyaring semua informasi dan merespon setiap permintaan. Karena itu, tak mengherankan bila banyak ide cerita – seperti yang tertuang dalam press release yang tidak pernah sampai menjadi berita.
Selain media sosial, wartawan juga menggunakan beberapa jenis perangkat mobile untuk bekerja. Alat yang populer adalah smartphone hingga perangkat tablet yang memungkinkan mereka menulis dan mengedit bahkan memanfaatkan media social dan situs pencarian serta email dari lokasi kejadian. Bahkan mereka juga mengontak Anda dan langsung mengedit tulisannya.  
Mereka akan men-tweet opini mereka tentang apa saja yang dikatakan dan bagaimana CEO Anda  sebelum, saat, dan setelah melakukan konferensi pers secara real time. Update berita – tentunya dari sudut pandang mereka -- akan dikirim ke tempat medianya bekerja dan diupload juga ke blog mereka. Mereka seringkali mengupload beritanya ke blog karena kemungkinan besar mereka merasa bahwa tulisannya nanti pasti diedit oleh penanggung jawab halaman. Bila itu terjadi tak tertutup kemungkinan apa yang mereka tulis menjadi berbeda dengan yang termuat.

Meski menggunakan gadjet modern, kontak berupa komunikasi tradisional wartawan dengan profesional PR masih dilakukan. Namun, itu hanya pada batas-batas tertentu misalnya saat konferensi pers atau tatap muka lainnya. Atau bahkan kalau ada informasi tentang latar belakang suatu masalah ingin disampaikan narasumber kepada wartawan atau sang wartawan atau PR professional ingin memverifikasi atau mengklarifikasi informasi tertentu.
Implikasi dari dinamika ini adalah ketika ingin membangun relationship jangka panjang,  perusahaan atau PR professional perlu mengikuti, memantau dan merespon wartawan dengan cara yang lebih bermakna dan tepat sasaran. Untuk itu perlu kerjasama antara wartawan dan PR professional. Wartawan mendapatkan informasi yang lebih baik yang menurut persepsi wartawan sesuai dengan kebutuhan pembaca atau pemirsanya.  Di sisi lain, PR profesional mendapatkan wawasan yang lebih baik tentang fokus perhatian wartawan.
Disini pentingnya, misalnya, mem-follow akun Twitter atau meng-add Facebook wartawan sehingga sebelum megirim email atau mengirim suatu rilis, PR professional mengetahui tentang fokus masalah yang ingin ditulis wartawan. Dengan demikian rilis atau email yang kita kirimkan tidak sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar