Minggu, 17 Juni 2012

PROMOSI DI ERA RESESI


Hari ini, saya membaca harian Kompas (18 Juni 2012 halaman 17), dan menangkap sinyal kekhawatiran pejabat Bank Indonesia dan para analis terhadap kondisi perekonomian negara-negara Eropa. Diakui atau tidak, beberapa waktu terahir,  ekonomi Indonesia dibayangi oleh krisis ekonomi yang melanda belahan Eropa. Akankah Indonesia terperangkap kelbali ke kondisi ekonomi 1998, banyak pihak memang meragukannya.
Ini memang bukan krisis ekonomi pertama yang kita alami dan bisa selamat. Dengan kata lain, kata orang, Indonesia memiliki pengalaman menghadapi situasi menurunnya kinerja ekonomi. Pada 1998 silam, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang memporakporandakan sendi-sendi ekonomi yang dibangun sebelumnya. Bahkan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Apakah hal itu berpengaruh pada sektor riil?  Beberapa hari lalu, harian Kompas juga mengisyaratkan terjadi pelambatan laju ekspor Indonesia. Ini menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Eropa secara langsung mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Apapun situasinya, pemasar perlu mengantisipasi perubahan eksternal tersebut.Sebab seperti diketahui, fungsi pemasaran adalah memahami perubahan lingkungan eksternal yang terus berubah dan mengetahui serta menentukan cara untuk bertindak menghadapi situasi yang berubah tersebut.  
Hooley dan kawan-kawan (2008) mengatakan bahwa tujuan pemasar menyusun strategi pemasaran adalah untuk mengembangkan respon efektif terhadap perubahan lingkungan pasar. Bagian terpenting dari strategi pemasaran tersebut adalah mendefinisikan segmen pasar dan mengembangkan serta memposisikan penawaran produk kepada target pasar.
Selanjutnya, untuk menjadi sukses di pasar yang berubah, perusahaan harus proaktif  (Nilson, 1995). Mereka seyogyanya tidak hanya bereaksi, tapi berperan sebagai pihak yang yang menciptakan.  Ini karena seperti yang dikatakan Srinivasan et al. (2008), pemasaran proaktif  dapat menjadi cara bagi perusahaan untuk mengubah kesulitan selama resesi menjadi keuntungan.
Perusahaan yang melihat resesi sebagai peluang merasa bahwa mereka memiliki kontrol yang lebih baik atas situasi dan kemudian hasilnya. Karena itu, mereka terus berinvestasi. Sementara itu, perusahaan yang melihat resesi sebagai ancaman, pada dasarnya kurang memiliki kontrol atas situasi dan hasil, Biasanya hal ini berakhir pada konservasi sumber daya mereka.
Selain itu, Nilson (1995) berbeda antara pemimpin merek dan penantang, merek ternama seperti Nescafé dan Heinz misalnya bertahan hidup dan berkembang karena mereka berubah, tetapi mereka tidak melakukan hal itu dengan sangat cepat. Sementara itu, dalam situasi yang berubah, penantang memiliki banyak peluang untuk mendapatkan sesuatu jika mereka bertindak cepat. Jika fleksibel dan bertindak cepat, penantang memiliki kesempatan untuk memperkuat posisi mereka di pasar dan bahkan menjadi salah satu pemimpin. (Srinivasan et al., 2005).
Krisis ekonomi berpengaruh terhadap psikologi konsumen. Pada saat krisis, konsumen merasa pekerjaannya terancam dan selalu mendiskusikan persoalan keuangan, merasa bekerja hanya untuk mempertahankan gaya hidup, dan mereka tidak lagi menemukan kenikmatan sebagai konsumen  (Shama, 1978 ). Konsumen juga menyesuaikan perilaku dan kebiasaan belanja mereka dengan kondisi ekonomi yang berubah.
Saat resesi, biasanya yang terjadi adalah perubahan gaya hidup. Orang tidak menonton film di gedung bioskop, tapi menonton di rumah. Orang tidak makan di luar, tapi makan di rumah. Mereka juga mengganti produk yang memenuhi kebutuhan mereka ke produk yang harganya lebih murah.



Di kalangan kelas bawah misalnya, sejumlah konsumen mulai mengganti atau bahkan secara drastis menghentikan penggunaan produk tertentu. Misalnya, mereka berhenti menggunakan susu pembersih wajah (milk cleanser) dan astringent, dan menggantikannya dengan facial foam; menggunakan produk 2-in-1, khususnya untuk kopi—guna mengurangi pembelian gula; menggunakan diapers hanya ketika bepergian; mengurangi konsumsi listrik untuk menghemat uang antara lain dengan mengurangi menyetrika baju, mengisi bak air untuk mengurangi frekuensi penggunakan pompa air listrik, dan mengurangi frekuensi menonton televisi.  
Karena itu, seringkali, hal pertama yang dilakukan perusahaan menghadapi penurunan kinerja ekonomi nasional adalah dengan menurunkan harga. Logikanya, diskon atau sales promotion berfungsi sebagai pull strategy untuk menarik konsumen membeli sebuah produk (atau produk-produk). Dengan demikian, terjadi  pergerakan volume dan meningkatkan total value penjualan product(s).
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, ada indikasi bahwa di tengah-tengah sulitnya kondisi ekonomi, hard selling dan sales promotion dengan fokus turun harga (diskon) merupakan sales promotion yang paling disukai konsumen. Teori ini berlaku juga bagi produk-produk tersier, luxury products, dan branded items. Kecuali produk-produk yang very up market yang dikonsumsi oleh crème de la crème of the society, di mana tujuan mengkonsumsi produk demi gengsi dan martabat konsumen.
Jadi apakah ini strategi sehat? Apakah konsumen selalu menginginkan harga termurah? Meski dalam beberapa kasus penurunan harga diperlukan, namun memberi diskon tetap berisiko. Risiko terbesar adalah dapat menciptakan persepsi negatif jangka panjang pada merek, dan akhirnya menyebabkan penurunan pangsa pasar.
Ini karena diskon bisa mengubah orang yang selama ini mengidamkan membeli jam tangan merek Rolex misalnya, beralih ke Timex, semula ingin ke Barneys beralih menjadi Macys, semula mengingnkan Mercedes menjadi Chrysler. Diskon juga berbahaya karena perusahaan tidak lagi berfokus pada merek, melainkan ke upaya untuk menekan biaya. Ketika perusahaan tak lagi fkus pada merek, dan berfokus pada upaya menawarkan harga rendah, maka konsumen mempersepsikan merk yang memberi diskon tersebut sebagai murah. Persepsi yang menancap pada konsumen tersebut akan bertahan sehingga ketika ekonomi pulih, perusahaan sulit mencoba menaikkan harga atau menghapus promosi seperti diskon tersebut.
Dalam beberapa kasus, pada saat perekonomian turun, beberapa perusahaan atau merek malah menaikkan harga. Abercrombie dan Fitch misalnya, ketika krisis ekonomi, mereka menaikkan harga, sebagian untuk membantu memulihkan kembali busana mereka ke kualitas tinggi. Hasilnya, penjualannya malah naik  5%. Itu juga dilakukan Vodafone, Web.com, dan sebagainya. 
Diskon dan sales promotion (promosi penjualan) memang teknik penjualan penting bila dilakukan dengan benar. Namun, ketika ditawarkan pada waktu yang salah - tanpa alasan lain selain untuk meningkatkan penjualan – langkah ini dapat memotong ke arah lain dan mengakibatkan rusaknya merek.
Tentu saja ada cara untuk melakukannya. Seperti diketahui otomotif biasanya menjadi industri pertama yang mempromosikan diskon sebagai jalan keluar dari deraan krisis ekonomi. Pada 2008 lalu, ketika krisis melanda Amerika Serikat, Chrysler melakukan sesuatu yang bisa disebut out of the box. Chrysler mempertahankan harga, tapi sekaligus menawarkan diskon untuk sesuatu yang tidak mempengaruhi merek mereka, misalnya bahan bakar. Dengan cerdik, Chrysler mengalihkan diskon ke produk komplemer berikutnya dengan menawarkan diskon untuk pembelian bahan bakar selama tiga tahun untuk semua pembelian mobil baru.

Kamis, 14 Juni 2012

The Changing Role of Media Planners


Hari-hari ini dunia periklanan menghadapi tantangan dan peluang baru, Mereka menghadapi persoalan apakah mentargetkan pasar lokal atau global, harus meningkatkan kreativitas karena kopleksitas media dan audiens, meningkatkan cakrawala media baru, dan pencapaian iklan.


Dalam suatu pertemuan tahunan sebuah biro iklan besar di Midwestern, tim kreatif  mempresentasikan rancangan kampanye digital animatics pada monitor layar datar di dinding. Direktur media melirik BlackBerry di pangkuannya di bawah meja, menunggu respons dari ESPN tentang paket dasar untuk klien-nya ini. Lampu hijau di sudut BlackBerry-nya masih berkedip hijau ketika presentasi selesai. Dia masih bisa melihat senyum di wajah klien sebagai pertanda presentasinya memuaskan. Direktur kreatif berhasil menjual rancangan kampanyenya. Benarkah?

Seseorang yang mewakili klien-nya berpaling kepada direktur media. Dia pun berkata, "Kreatif yang luar biasa. Sekarang saya ingin tahu bagaimana Anda akan menghabiskan anggaran kami yang besarnya US$100 juta? Anggaran itu kami alokasikan untuk kampanyenya dengan harapan pelanggan saya akan melihatnya. Saya ingin tahu apa yang dilakukan kompetitor saya,  siapa sebenarnya target dari kampanye ini, media apa yang akan Anda gunakan dan mengapa, di mana kampanye ini akan berlangsung dan kapan.”

Wakil kliennya tadi melanjutkan, “Saya ingin tahu berapa banyak dari target audiens yang akan melihat kampanye ini dan seberapa sering mereka melihatnya. Dan yang paling penting, bagaimana Anda akan mengintegrasikan kreatif kampanye ini di semua platform berbeda yang kita miliki saat ini. Ada TV, PC, pencarian online, dan peluang mobile, sosial media, dan media baru lainnya yang pada beberapa tahun yang lalu tidak ada. Jika Anda bisa menggambarkannya dengan jelas, anggaran $ 100 juta jalan. Jadi, mari kita lihat rencana media Anda."

Sedikit berlebihan mungkin. Tapi tugas perencana media memang menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan mengembangkan rencana media sehingga pesan kreatif sampai kepada target seefektif dan seefisien mungkin. Sudah tentu, ini adalah pekerjaan yang menarik karena menggabungkan keahlian di bidang pemasaran, psikologi, bisnis entertainment, hukum, penelitian, teknologi, dan sensitivitas, dan wawasan kreatif perencana media.

Diakui atau tidak, dalam kegiatannya, perencana media memainkan peran ganda, yakni sebagai penjual dan klien. Sebagai penjual, perencana harus meyakinkan pengiklan dan timnya sendiri bahwa mereka telah mengembangkan rencana media yang paling efektif. Di sisi lain, mereka juga sebagai klien dari agency penjualan media yang ingin website, jaringan TV kabel, majalah, atau media lainnya yang ada dalam pengelolaan mereka disertakan sehingga mereka menerima pesanan untuk sebagian dari anggaran US$ 100 juta tadi. Ini adalah manifestasi lahiriah dari pekerjaan inti  perencana media, yakni mengefektif dan efisienkan penggunaan anggaran media pengiklan.

Dalam beberapa tahun terakhir, perencana media di Indonesia menghadapi tantangan baru, pertama, karena makin banyaknya pemain global. Ini karena hampir seluruh agensi multinasional sudah masuk dan menggarap pasar Indonesia. “Apalagi, sebagai agensi multinasional, mereka punya global alignment -- yang menunjuk mereka untuk menangani brand multinasional di negara manapun -- sehingga agensi lokal tidak memiliki kesempatan untuk membesut brand multinasional,” kata Andi Sadha, CEO of Activate Media Nusantara. “Tapi tentu saja ini menjadi tantangan bagi kami, yang juga agensi local.”

Kedua, perusahaan menghadapi persoalan apakah mentargetkan pasar lokal atau global, harus meningkatkan kreativitas karena kopleksitas media dan audiens, meningkatkan cakrawala media baru, dan pencapaian iklan. Ini karena pasar berubah dengan cepat dan terus berubah sehingga konsekuensi pada perubahan dalam iklan. Yang menarik adalah kecepatan dan sifat perubahan tersebut mengalami percepatan yang dramatis.

Sepanjang sejarah, kata Jack Z. Sissors dan Roger B. Baron dalam buku Advertising Media Planning, bentuk media massa ditentukan dan dibatasi oleh perkembangan teknologi . Teknologi membatasi  setiap bentuk informasi ke dalam satu jenis konten -- kata-kata tercetak, suara, gambar, dan gambar bergerak -- yang pada awalnya berbentuk alami, hitam dan putih. Masing-masing terbatas pada komunikasi satu arah dari beberapa konten yang disampaikan secara massal kepada penerimanya.

Kini, teks, gambar, gambar bergerak, dan interaktifitas berkumpul di tiga layar video: pesawat televisi, komputer pribadi, dan ponsel yang bisa dibawa kemana-mana. Sifat konten juga berubah. Selain materi yang diproduksi secara profesional, konten yang dihasilkan pengguna  YouTube, jaringan sosial, blog, Wikipedia, Twitter, dan sebagainya, bisa kita baca, dengar dan lihat setiap saat melalui berbagai bentuk media baru yang muncul. Internet memberikan pengguna kemampuan untuk mencari dan mengambil informasi dalam hitungan detik tentang hampir semua subjek, menciptakan kesempatan untuk menyampaikan iklan kepada orang-orang yang memiliki  minat terhadap produk atau jasa.

Beberapa pemasar percaya bahwa bentuk-bentuk media tradisional seperti televisi, surat kabar, majalah, dan radio kuno.  Studi yang dilakukan Direct Marketing Association (DMA) baru-baru ini menunjukkan bahwa belanja iklan pemasaran langsung dan digital selama kuartal pertama 2012 di Amerika Serikat cenderung mendatar. Studi ini juga menemukan bahwa pengeluaran perusahaan untuk pemasaran langsung secara offline, sepeperti direct mail dan respon langsung melalui TV dan radio cederung flat. Pengeluaran untuk game juga datar. Pada 2012 ini, peningkatan belanja iklan paling besar adalah untuk sosial media, email, system pencarian, serta mobile.



Namun , menurut  Baron, merupakan suatu kesalahan bila perusahaan terlalu besar mengandalkan media baru tersebut. Sebab, meskipun Internet saat ini diakses oleh lebih 86 persen dari penduduk AS misalnya, fragmentasi yang terjadi pada media internet seperti yang tercemin pada adanya ribuan situs membuat media ini mahal. Ini karena untuk menyampaikan iklan ke sejumlah besar orang dengan frekuensi yang cukup, setidaknya dibutuhkan channel yang lebih besar, meski tidak tertutup kemungkinan menjadi jauh lebih efeisien namun dengan syarat pilihan medianya benar-benar tepat.

Dunia digital memang terus berubah. Media baru yang muncul pada 2003, seperti MySpace, kini mulai memperlihatkan usia mereka. Ia ditantang oleh pilihan yang lebih baru seperti Facebook, LinkedIn, dan Twitter. Mesin pencari seperti Google dan Bing, yang sekarang menjadi pendorong utama pemasaran online, masih terus-menerus mengalami perbaikan. Daftar ini bisa bertambah terus. Selain itu, alat-alat penelitian yang tersedia untuk mengevaluasi media online yang berkembang, dengan perangkat tambahan tampaknya bermunculan setiap bulan. Ini mengindikasikan bahwa media baru tersebut terus-menerus bakal dievaluasi dan akan terus menyesuaikan diri.

Apapun kondisinya, agency harus menyesuaikan diri. Kehadiran dunia digital, termasuk social media, membuat perilaku konsumen dalam mengkonsumsi media berubah. Konsumen tidak melulu bersentuhan dengan kanal media konvensional—seperti TV, cetak, maupun radio. Melainkan, mereka justru tengah menggandrungi media anyar tersebut sebagai pilihan berinteraksi maupun berkomunikasi. Perubahan tersebut ditangkap oleh CS Media – seperti dikatakan President Director CS Media Hana Novitriani – dengan melakukan perubahan terutama di struktur manajemen mulai tahun 2012 ini.

Itu juga yang dilakukan Dwi Sapta Group. Tren media consumption yang terus bergeser, mengakibatkan industri media makin berkompetisi. Karena itu, tujuh tahun lalu Dwi Sapta Group memutuskan melepas Divisi Media-nya menjadi anak perusahaan baru. Di bawah kepemimpinan Maya Watono selaku Director, DSP Media—media specialist agency—kian melengkapi porto folio Dwi Sapta Group. Dalam perjalanannya, DSP terus melakukan perubahan. Jika dulu tim hanya focus pada media buying, saat ini tim DSP Media dituntut untuk berpikir strategis dalam merumuskan perencanaan media. Itu sebabnya, DSP Media memiliki tim Strategic Planner yang berpikir kreatif yang bertugas merumuskan perencanaan media secara strategis, dengan memanfaatkan berbagai touch point—termasuk alternative media.

Perkembangan teknologi telah mendorong perluasan dan pendalaman akses informasi. Iklan memiiki peranan yang lebih penting di pasar yang memiliki produk yang sama, produk berada di tahap pengenalan atau pendewasaan dalam siklus hidup produk, saat dijual melalui pesanan lewat mail, atau di pasar swalayan. Iklan yang lebih penting dalam pasar di mana produk yang sama; produk berada pada tahap perkenalan atau kedewasaan dari siklus hidup produk, saat dijual pada bisnis mail order atau secara swalayan. Karena itu, iklan dianggap sebagai alat promosi yang paling penting dalam pemasaran konsumen.

Dunia priklanan hari ini menghadapi tantangan baru dan kesempatan yang mencakup baik lokal dan global penargetan, meningkatkan kreativitas, media baru cakrawala dan hasil didorong iklan. Telah terjadi perubahan yang cepat dan berkesinambungan di pasar dan akibatnya dalam praktik periklanan. Telah ada akselerasi dramatis dalam kecepatan dan sifat perubahan. Ini telah didorong teknologi dan merupakan proses yang berorientasi pengetahuan.Ini memiliki potensi untuk memperluas dan memperdalam akses ke informasi di seluruh pemotongan sosial ekonomi baris. Teknologi adalah membawa pembeli dan penjual bersama-sama dengan perkembangan sistem delivery.

Pengiklan dan biro iklan adalah mitra kunci dalam proses periklanan. Beberapa pengiklan memiliki sedikit staf spesialis sehingga menyewa sebuah biro iklan independen adalah cara yang efektif dari sisi sisi biaya untuk mendapatkan akses profesional yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman pengiklan. Di sisi lain, agency independen bekerja dengan banyak pengiklan di banyak industri, sehingga mereka mengetahui apakah sebuah iklan akan berhasil dan mencapai tujuan pengiklan.

Peran agency menjadi semakin penting ketika pengiklan memperkenalkan produk baru atau   menembus pasar baru. Ketika perusahaan memasuki pasar luar negeri misalnya, pengiklan bisa jadi sangat bergantung pada agen periklanan karena agency dianggap mampu memberikan pengetahuan yang mendalam tentang budaya dan norma-norma transaksi bisnis yang berlaku di negara tujuan. Mereka juga memanfaatkan jasa biro iklan untuk merancang situs web untuk memiliki akses ke pasar internasional melalui internet, serta berpartisipasi dalam proses penelaahan secara berkala.

Sampai saat ini, karakteristik media tradisional masih memenuhi kebutuhan dasar pengiklan. Media massa tradisional masih memiliki tenaga untuk menyampaikan pesan ke sebagian besar penduduk dalam satu hari, menyampaikan pesan dalam bentuk secarik kertas atau sampel produk kepada penduduk dalam suatu komunitas, masih bisa menciptakan kesadaran produk baru secara nasional atau di satu pasar dalam waktu yang cepat, mencapai calon konsumen  di mobil mereka saat dalam perjalanan ke toko, menyampaikan pesan rinci untuk orang yang paling mungkin menggunakan produk,  atau mencapai persentase besar target pemasaran niche dalam waktu yang relative singkat.

Di sisi lain, media digital tidak dapat menggantikan kemampuan media tradisional untuk memenuhi semua kebutuhan ini.  Karena itu, dalam pandangan Baron, media digital dan tradisional saling. Kalau pun dalam beberapa kasus dapat menggantikan media tradisional, itu  hanya untuk produk-produk dan layanan di mana media digital digunakan sebagai tool pemasaran untukproduk yang sudah dikenal. Tapi, restoran layan cepat, mobil, dan hotel kini membutuhkan teknik pemasaran yang berbeda. Dalam konteks ini perencana harus mencocokannya dengan media yang berbeda-beda, terlepas dari apakah mereka tradisional atau digital.

Sebagai perencana yang mempunyai tanggung jawab untuk mengevaluasi alternatif, mereka masih membutuhkan indikator-indikator pencapaian seperti yang ditulis Jack Sissors pada 30 tahun yang lalu. Indikator tersebut meliputi : coverage (cakupan – persentase target pengiklan terhadap audiens media), komposisi (persentase penonton media terhadap target pengiklan), selektivitas (komposisi media dibandingkan dengan populasi keseluruhan), jangkauan kampanye/frekuensi, efektivitas,  dan efisiensi biaya. Perencana dituntut untuk memahami sifat-sifat dasar semua media, termasuk online, untuk memastikan penggunaan yang paling efektif dari anggaran iklan.

Agency yang berpengalaman dalam perencanaan media akan mengembangkan jadwal berdasarkan prinsip frekuensi dan memastikan bahwa target pasar menerima beragam tayangan melalui melalui berbagai tools pemasaran, media dan publikasi. Pengembangan sebuah tema kreatif kampanye yang dapat diintegrasikan ke dalam seluruh elemen bauran pemasaran – mulai dari public relations, web, pameran dagang, pemasaran langsung, program saluran dan komunikasi internal terbaik -- sering dikembangkan oleh sebuah agency periklanan. 

Bagi pengiklan memilih sebuah agency ideal merupakan masalah pengambilan keputusan dengan berbagai macam kriteria. Sebagian besar pengiklan melakukannya dengan melihat kualifikasi beberapa agency, sederetan daftar singkat agency dan mengundangnya untuk mempresentasikan proposal dan menjelaskan kemampuan yang mereka miliki. Isu penting lainnya dari iklan adalah agen hubungan klien. Benturan sering muncul dari klausal perjanjian bahwa agency tidak akan bekerja untuk lebih dari satu pengiklan dalam kategori produk tertentu, dan informasi klien harus dijaga kerahasiannya. Karena itulah, kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci utama keberhasilan dan kelanggengan kemitraan tersebut.

Rabu, 13 Juni 2012

Hantu itu Bernama Krisis


Persepsi masyarakat terhadap kondisi terkini terbelah. Ada yang menganggap atau merasakan bahwa situasi kini masuk krisis. Pihak lain – terutama marketer yang harus selalu optimistis – mengatakan yang terjadi hanyalah perubahan.

Ketika global 2008 lalu, tepatnya pada awal Juni 2008, ada perbincangan menarik tentang krisis ekonomi global di acara MIX-Marketing Club gathering. Dua kelompok yang diwakili Yongky S. Susilo (Retailer Service Director Nielsen Indonesia, sebagai peneliti dan pengamat) di satu sisi, dan Adeline Ausy Setiawan (Marketing Manager Snack & Beverages PT Unilever Indonesia Tbk) serta Pudjianto (Managing Director PT Sumber Alfaria Trijaya) di sisi lain, memiliki opini yang berbeda dalam melihat situasi ekonomi belakangan ini.
Menurut Yongky, saat ini terjadi perubahan perilaku berbelanja di kalangan konsumen Indonesia. Kelas atas, katanya, mulai mengurangi konsumsi listrik dengan menggunakan lampu hemat energi dan menurunkan waktu mengakses televisi, playstation, dan komputer. Kelas ini juga mulai mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, antara lain dengan menjalankan bisnis sendiri seperti ibu-ibu rumah tangga kelas atas yang menjual pakaian ke temannya atau membuka konter voucher dan bekerja paruh waktu.
Sementara di kalangan menengah, selain mengurangi konsumsi listrik—dengan mengurangi penggunaan televisi, playstation, komputer, dan pompa air listrik serta menggunakan lampu hemat energi, mereka mulai mengarahkan tempat berbelanja (adjust place of purchasing) ke toko-toko (supermarket, hypermarket atau minimarket) yang menawarkan promosi atau diskon.
Di kalangan kelas bawah, sejumlah konsumen mulai mengganti atau bahkan secara drastis menghentikan penggunaan produk tertentu. Misalnya, berhenti menggunakan susu pembersih wajah (milk cleanser) dan astringent, dan menggantikannya dengan facial foam; menggunakan produk 2-in-1, khususnya untuk kopi—guna mengurangi pembelian gula; menggunakan diapers hanya ketika bepergian; mengurangi konsumsi listrik untuk menghemat uang antara lain dengan mengurangi menyetrika baju, mengisi bak air untuk mengurangi frekuensi penggunakan pompa air listrik, dan mengurangi frekuensi menonton televisi.  
Menurut Yongky, hal itu disebabkan “kejutan” kenaikan harga beberapa komoditi yang terjadi belakangan, terutama beras, susu, terigu dan minyak goreng serta produk-produk yang menggunakan bahan baku turunan dari produk minyak bumi seperti sabun detergen. Minyak goreng dan terigu misalnya, dibandingkan tahun lalu terjadi lonjakan harga hampir dua kali lipat.  Dengan kata lain, menurutnya, akibat kenaikan harga semua kelas sosial konsumen saat ini sedang melakukan penyesuaian terhadap krisis.
Namun di sisi lain, Adeline tidak setuju kalau dikatakan saat ini marketing sedang berada dalam masa krisis, yang benar consumer-lah yang 'in crisis'. Sebab realitas menunjukkan bahwa happiness index masyarakat Indonesia  masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Bahkan kondisi saat ini – bila dilihat dari tingkat inflasi – masih lebih baik dibandingkan dua tahun lalu (lihat grafik). Apalagi lagi dibandingkan sepuluh tahun saat Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dimana tingkat inflasi mencapai lebih dari 40%. Tahun ini – meski terjadi kenaikan harga BBM -- tingkat inflasi diperkirakan paling tinggi 12 %, sedangkan dua tahun lalu mencapai 18%.
Pudjianto mengamini pendapat Adelin dengan mengatakan bahwa saat ini tidak ada krisis, yang ada adalah perubahan. Realitas menunjukkan penjualan ritel masih tumbuh. “So far penjualan produk Oriflame tetap bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Shita Laksmita, Marketing Manager Oriflame Indonesia. Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) juga merasakan hal yang sama. Selama kuartal pertama 2008, MAP mencatat kenaikan penjualan 22% hingga mencapai Rp1,03 triliun. Kenaikan penjualan tersebut juga diikuti kenaikan laba kotor sebesar 22% menjadi Rp372 miliar. Namun, laba bersih mengalami penurunan menjadi Rp2,5 miliar karena rugi kurs yang berasal dari pinjaman mata uang asing. MAP yang mengelola berbagai department store dan ritel mewah seperti Seibu, SOGO, dan Starbucks, optimistis sehingga  tahun ini masih akan membuka beberapa gerai baru.
Diskusi itu sendiri dilatarbelakangi oleh situasi global dan nasional dewasa ini. Beberapa pengamat menyatakan bahwa saat ini terjadi krisis inflasi global akibat lonjakan harga yang terjadi. Berbeda dengan kondisi 10 tahun lalu, saat ini terjadi lonjakan harga yang dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia yang diikuti dengan kenaikan harga bahan pangan akibat terjadinya konversi besar-besaran dari pangan menjadi bahan bakar (biofuel). Sementara 10 tahun lalu, yang terjadi adalah krisis dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang regional sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikan di hampir semua komoditi, terutama berbahan baku impor.
Dampak dari krisis global tersebut sejatinya terasa sejak dua tahun lalu ketika pemerintah menaikkan harga BBM hampir 90%. Ketika itu harga minyak masih US$ 70an per barel. Sekarang harga minyak mencapai US$139 per barel dan beberapa pengamat memperkirakan masih akan terus naik. Hasilnya, beberapa produsen mulai menaikkan harga produknya. Unilever misalnya, quartal pertama 2008 – berarti sebelum kenaikan harga BBM, menaikkan harga produk-produknya sekitar 9%-10%. “Selanjutnya, kami masih akan melihat dan mempertimbangkan kembali apakah harga akan kami naikkan setelah kenaikan BBM,” kata Lalisang, President Director PT Unilever Indonesia Tbk.
Masyarakatpun makin pesimistis. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei terhadap indeks keyakinan konsumen (IKK) pada awal triwulan II/2008 yang dilakukan oleh Bank Indonesia. "Selama 4 bulan terakhir keyakinan masyarakat cenderung menurun. Penurunan ini disebabkan semakin pesimisnya konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun menurunnya optimisme terhadap ekspektasi perekonomian yang membaik," kata Deputi Pemimpin Bank Indonesia (BI) Semarang.
Survei konsumen pada bulan April 2008 menunjukkan seluruh indeks utama survei mengalami penurunan, yaitu IKK turun 6,06 poin dari 90,8 menjadi 84,7, indeks kondisi ekonomi (IEK) turun 2,33 poin dari 83,9 menjadi 81,6, dan indeks ekspektasi konsumen (IEK) turun 9,78 poin dari 97,7 menjadi 87,9. Ia mengatakan, penurunan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terutama didorong berkurangnya optimisme konsumen terhadap kondisi penghasilan saat ini yang turun 9,67 poin.

Selain itu, katanya, ketersediaan lapangan kerja juga semakin berkurang. Memasuki triwulan II/2008, responden masih berpendapat bahwa saat ini belum merupakan waktu yang tepat untuk melakukan konsumsi barang tahan lama. Ekspektasi konsumen untuk perekonomian Indonesia pada 6 bulan mendatang masih berada pada level pesimistis, yakni di bawah 100 poin, bahkan menurun 9,78 poin dibanding hasil survei bulan Maret 2008, katanya.
Ia mengatakan, pesimisme terhadap perekonomian pada 6 bulan mendatang ini terutama dipengaruhi ketersediaan lapangan kerja yang makin berkurang dan kondisi ekonomi yang cenderung menurun. Beberapa sektor mulai merasakan dampaknya. ”Kami sudah merasakan krisis sejak tiga bulan lalu,” kata Gatot Sutoto, pemilik Restoran Red Crispy.
Selanjutnya? Beberapa perkiraan bahwa harga pangan yang mahal diprediksi akan berlangsung sampai dua-lima tahun mendatang. "Bahkan, menurut DR. Dominique Van Der Mensbrugghe, ekonom dari World Bank, mahalnya harga pangan ini bisa berlangsung sampai sekitar delapan sampai sepuluh tahun mendatang," kata Dr. Bayu Krisnamurthi, Deputi Menteri Koordinator Ekonomi.
Bagi Indonesia situasi itu masih mengundang kerawanan. Apalagi bila Indonesia masih bergantung pada pangan impor. Sebab, korelasi food-non food semakin tinggi. Bayu mencontohkan hubungan antara perang Irak dan Iran dengan distribusi beras ke negara-negara berkembang. "Perang Irak dengan Iran mempengaruhi suplai beras ke Indonesia dari negara-negara lain atau sebaliknya. Padahal Irak dan Iran secara tidak langsung tidak terlibat dalam rantai distribusi," kata Bayu. Jadi?