Jumat, 28 September 2012

Indikator Keberhasilan CSR adalah Perubahan Positif



Pada dasarnya, tujuan akhir dari Corporate Social Responsibility adalah menciptakan perubahan.  Karena itu, efektif tidaknya suatu inisiatif CSR harus dilihat dari apakah inisiatif memberikan dampak perubahan positif pada masyarakat dan korporasi atau tidak.

Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyebutkan tujuan komunikasi Corporate Social Responsibility (CSR) adalah -- pertama --  untuk menginformasikan inisiatif dan pelaksanaan CSR. Kedua adalah membangun citra positif baik sebagai perusahaan yang peduli terhadap masalah sosial atau yang lainnya. 

Akan tetapi, tujuan akhir dari inisiatif CSR adalah menciptakan perubahan. Karena itu, efektif tidaknya suatu inisiatif CSR harus dilihat dari apakah inisiatif memberikan dampak perubahan positif pada masyarakat dan korporasi atau tidak (http://edhy-aruman.blogspot.com/2012/09/integrated-csr-communications.html)

Dalam konteks ini, CSR dirancang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, dan keuntungan perusahaan membantu untuk membenarkan bagi pengeluaran anggaran CSR tersebut. Ini merupakan kompromi atas perdebatan tentang definisi CSR yang sampai kini masih berlangsung. 

Menurut Bowen (1953, hal. 6), kewajiban perusahaan adalah menjalankan usahanya sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Definisi Bowen – yang juga disebut-sebut sebagai sebagai Bapak CSR -- bertujuan meyakinkan perusahaan tentang perlunya memiliki visi yang tidak hanya berkaitan dengan urusan kinerja finansial perusahaan belaka. 

Selain mengejar keuntungan, perusahaan harus melaksanakan tanggungjawab sosial dengan cara  menjalankan usahanya sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitarnya.

Akan tetapi, selama beberapa dekade tanggung jawab perusahaan telah ditafsirkan mengikuti pemikiran Friedman dan pendukung dari pandangan neoklasik. Menurut penerima hadiah Nobel tersebut, orientasi perusahaan adalah bagaimana caranya perusahaan bisa langgeng dengan cara meningkatkan labanya (Friedman, 1962). 
Menurutnya, tanggung jawab sosial hanya ada pada  individu dan tidak melekat pada perusahaan. Tujuan perusahaan hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemegang sahamnya. 

Karena itu, jika perusahaan memberikan sebagian keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan, maka perusahaan telah menyalahi kodratnya dimana perusahaan hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pemegang saham.

Kini, setelah beberapa perusahaan besar terlibat skandal dan dihadapkan pada tuntutan pada perusahaan untuk berperilaku tidak hanya sekadar mempertimbangkan masalah keuangan, tetapi juga harapan agar perusahaan juga menjadi bagian lain dari masyarakat (Falkenberg 2004; Zadek 2004). 

Ide dasar dari tanggung jawab sosial perusahaan adalah bahwa jalinan antara bisnis dan masyarakat bukan pada entitas yang berbeda, sehingga masyarakat memiliki harapan tertentu pada perusahaan agar bisnis berjalan tepat dan berhasil (Wood, 1991)

Namun demikian, apapun definisi, bukti-bukti empiris dan teoritis menunjukkan bahwa melaksanakan tanggung jawab secara sosial adalah suatu kewajiban bagi perusahaan. Bila tidak ingin “diganggu” perusahaan wajib memenuhi dan mentaati norma-norma serta aturan yang berlaku di masyarakat. Di sisi lain, bukti empiris juga menunjukkan bahwa melaksanakan CSR juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi perusahaan.

Pada akhirnya, CSR merupakan sebuah aktivitas yang efeknya dapat dievaluasi berdasarkan tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Disini pentingnya, selama proses penyusunan tujuan dan evaluasi, perusahaan dan stakeholder duduk bersama memutuskan bagaimana menilai tujuan dan mengevaluasi  serta melaporkan hasilnya. Kegagalan untuk melibatkan para stakeholder dalam proses penilaian dan pelaporan dapat mencemari legitimasi upaya CSR.

Evaluasi harus diorientasikan untuk tujuan komunikasi. Karenanya data harus dikumpulkan, diinterpretasikan, dan dilaporkan. Stakeholder dapat membantu pengumpulan dan evaluasi data serta membantu memverifikasi data yang dikumpulkan oleh perusahaan. 

Ini karena stakeholder hanya percaya pada data evaluatif yang kredibel, dan keterlibatan stakeholder dalam pengumpulan data berkontribusi terhadap kredibilitasnya. Selain itu, pihak ketiga juga perlu dilibatkan memverifikasi hasil atau melakukan penelitian evaluatif.

Selain itu, melibatkan stakeholder dalam proses evaluasi juga bisa meningkatkan transparansi evaluasi tujuan. Sebab tidak tertututp kemungkinan antara stakeholder dan perusahaan terdapat perbedaan dalam penafsiran tentang makna tujuan. 

Sebagai contoh, mungkin stakeholder puas karena proses mencapai tujuan itu berjalan sesuai dengan yang direncanakan meski perusahaan mungkin kecewa dengan kegagalan inisiatif untuk mencapai tujuan hasil tertentu. 

Bagi stakeholder, fakta bahwa perusahaan  terlibat dalam beberapa tindakan seperti memberikan karyawan cuti dari pekerjaan untuk menjadi sukarelawan mungkin lebih penting daripada fakta bahwa target jumlah karyawan yang berpartisipasi dalam kurun waktu tertentu tidak tercapai.

Perdebatan juga bisa muncul ketika membahas soal ukuran keberhasilan lainnya. Sebagian stakeholder mungkin tidak begitu tertarik dengan indicator imbalan atas investasi (ROI). Tapi manajer perusahaan mungkin melihat ROI sebagai sesuatu yang penting. 

Karena kemungkinan-kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi tentang "keberhasilan" dan "kegagalan", maka perusahaan perlu dibangun komunikasi antara stakeholder dan perusahaan. Selain itu, perlu pendokumentasian tujuan dan kemajuan yang dicapai untuk mengurangi perdebatan yang mungkin ditimbulkan karena ‘kelupaan.”

Pada dasarnya, evaluasi adalah proses formal untuk menilai keberhasilan inisiatif CSR dengan cara membandingkan antara hasil dan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, pada saat menyusun inisiatif, tujuan harus terukur baik dengan mempertimbangkan waktu atau pencapaiannya. 

Selain setelah program,  evaluasi antar waktu juga perlu dilakukan untuk memberikan peringatan dini kepada penyelenggara program atau manajemen terhadap masalah atau potensi masalah sebelum situasi menjadi lebih parah. Evaluasi ini meliputi tiga aktivitas. 

Pertama, memeriksa dasar dari kegiatan, yakni rencana dan objective dari kegiatan. Kedua, membandingkan hasil yang diharapkan dengan hasil actual, dan ketiga, mengambil tindakan koreksi untuk memastikan kinerja sejalan dengan rencana.

Satu hal lain yang perlu dilakukan perusahaan adalah melakukan audit komunikasi CSR untuk mendapatkan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan dalam rencana komunikasi CSR. Audit komunikasi CSR dilakukan melalui sebuah survey terhadap stakeholder untuk mengetahui (1) pengetahuan mereka tentang inisiatif CSR, (2) bagaimana mereka mengetahui inisiatif CSR (saluran komunikasi), dan (3) saluran yang mereka sukai untuk mendapatkan informasi CSR. 

Audit komunikasi dapat dijalankan bersama dengan survei yang menilai tentang reaksi terhadap inisiatif CSR. Data Audit akan membantu meningkatkan komunikasi CSR di masa mendatang.

Pada tahap ini, manajer dapat membangun kekuatan dan melihat ke depan dengan memperbaiki kelemahan masa lalu guna diaplikasikan pada inisiatif CSR berikutnya. Sebagai contoh, media sosial mungkin sangat efektif menjangkau para stakeholder, tetapi gagal memberikan informasi yang mereka inginkan. 

Dari informasi ini, manajer dapat memperbaiki kelemahan dari penggunaan media sosial. Atau stakeholder mungkin lebih suka mendapatkan informasi CSR dari media yang tidak terkontrol dibandingkan dengan media dikontrol.

Selama proses evaluasi ini, umpan balik dari stakeholder sangat berguna karena dapat memberikan wawasan untuk menyempurnakan inisiatif dan proses CSR secara keseluruhan. Pada tahap ini, perusahaan mengumpulkan informasi tentang reaksi stakeholder atas inisiatif CSR, proses CSR, dan efektivitas komunikasi CSR. 

Umpan balik stakeholder diperoleh melalui proses pemindaian dan pemantauan. Langkah ini akan berguna untuk mengetahui apakah para pemangku kepentingan merasa inisiatif CSR memadai dan efektif, selain untuk mengetahui gambaran lebih dalam tentang apa yang harus dilakukan perusahaan berikutnya.

Sebab seperti diketahui, CSR pada dasarnya merupakan program berkesinambungan. Karena itu langkah-langkah inisiatif CSR berikutnya mungkin memerlukan perubahan proses untuk meningkatkan persepsi keadilan di kalangan stakeholder. Selama proses pengumpulan imbal balik tersebut, informasi tentang dampak negatif potensial dari inisiatif CSR harus dipertimbangkan. 

Masalah serius bisa muncul bila perusahaan mengabaikan suara-suara negatif tentang inisiatif CSR dan perusahaan. Dalam konteks ini diperlukan penanganan yang lebih hatihati karena bisa menimbulkan kemarahan stakeholder. Di sisi lain, kemarahan bisa mengakibatkan kegagalan program. 

Itulah sebabnya, akan sangat membantu bila perusahaan menyedakan ruang bagi stakeholder untuk bersuara dan perusahaan segera meresponnya. Ini karena stakeholder ingin memastikan pandangan mereka tentang inisiatif CSR didengar dan diperhitungkan manajemen.

Faktor penting untuk dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi adalah transparansi perusahaan, tata kelola perusahaan, kode etik, pengungkapan sosial perusahaan, dampak sosial, hubungan masyarakat, kualitas produk, dan pelayanan (Szablowski 2006, 49). Thomas Haynes (1999) lebih lanjut menyarankan semua perusahaan mengukur empat bidang penting tanggung jawab sosial perusahaan: 1) fungsi ekonomi, 2) kualitas hidup, 3) investasi sosial, dan 4) pemecahan masalah.

Namun, Harold D. Lasswell menyebut empat hal tersebut tidak lengkap karena tidak memperhitungkan evaluasi perusahaan atas investasi tanggung jawab sosial dan apakah kebijakan tersevut sesuai dengan hasil penilaian. 

Seperti diketahui, tujuan tanggung jawab sosial perusahaan harus spesifik dan jelas agar evaluasi diterapkan bisa efektif untuk meningkatkan program-program CSR dan investasi atau untuk mengusulkan program alternatif. Ini berarti bahwa tak ada indicator baku tentang apa yang harus dievaluasi. Disini yang penting adalah perusahaan dan stakeholder duduk bersama untuk menentukan apa yang ingin dicapai dari program CSR dan bagaimana mengukur pencapaianya.

Senin, 10 September 2012

Integrated CSR Communications


Sebagian besar perusahaan berhasil menginformasikan inisiatif CSR-nya melalui media konvensional. Namun, ketika perusahaan menginginkan citra positif dari inisiatif CSR, perusahaan harus mengubah paradigm komunikasinya. Apa yang harus dilakukan?

Omah Kendeng adalah situs yang memuat aneka ragam berita, informasi dan peraturan terkait penambangan karst, terutama batu kapur. Menurut pengelola situs, Mokh. Sobirin,  Omah Kendeng bersama Desantara Foundation memberikan informasi kepada publik tentang upaya masyarakat melestarikan Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Grobogan.
Ini merupakan salah satu langkah masyarakat Pegunungan Kendeng Utama untuk mendapatkan dukungan public. Ini karena kawasan itu kini menjadi incaran tiga investor besar di bidang tambang. Padahal kawasan itu merupakan daerah resapan air dan mata air yang dimanfaatkan masyarakat utuk air minum dan pengairan sawah. Dngan kata lain, melalui media sosial, masyarakat itu menggalang dukungan penolakan rencana pembangunan pabrik semen di daerah itu.   
Maret 2010, Greenpeace melancarkan kampanye yang menuduh Nestle terlibat dalam penghancuran habitat orang utan di Indonesia. Ini karena Nestle menggunakan minyak sawit dari beberapa perusahaan Indonesia yang areal tanam sawitnya merupakan konversi dari hutan, habitat orang utan.
Untuk melancarkan kampanyenya itu, Geenpeace membuat sebuah iklan parodi Nestle Kit Kat.  Iklan itu menggambarkan seorang lelaki pekerja kantor mengkonsumsi Kit Kat. Video iklan itu diposting Greenpeace di YouTube. Kemudian diunduh dan diupload ulang pengguna YouTube lainnya dan menghasilkan komentar luas di seluruh platform media sosial. Komentarnya, posisitif untuk Greenpeace dan negatif untuk Nestle. Nestle pun akhirnya “mengalah’ dan tidak memperpanjang kontrak pembelian minyak sawit dari perusahaan tersebut. 
Nike merupakan market leader untuk kategori sepatu atletik dan pasar garmen global. Pada 1990-an, Nike dituduh sweatshop dan eksploitasi pekerja. Banyak organisasi non pemerintah (LSM), seperti Global Exchange dan Watch Sweatshop, mengeluhkan perlakuan Nike fasilitas pekerja yang disediakan Nike, mulai dari hukuman fisik, upah rendah, lembur paksa, kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan pekerja anak.
Dengan menggabungkan atara Internet dan media konvensional, LSM-LSM menekan Nike untuk segera mereformasi praktek perlakuan tenaga kerja para pemasoknya. Kampanye itu menciptakan publisitas negatif dan tekanan pada Nike. Kampanye itu juga mentarget LSM lainnya dan kalangan perguruan tinggi, termasuk mahasiswa. Mahasiswa kemudian menekan pengelola perguruan tinggi untuk membatalkan kontraknya bila Nike tidak mematuhi seruan memperbaiki perlakuan para pemasok terhadap pekerjanya. Nike pun mengalah.
Fenomena diatas mengilustrasikan, pertama, bagaimana public relations menterjemahkan tekanan politik melalui ancaman keuangan. Sorotan negatif pada rantai pemasok menciptakan perubahan kebijakan (Bullert, 2000). Kedua, penggunaan sosial media oleh para penggiat sosial berpengaruh besar pada daya dorong kampanye itu. Menurut O'Rourke (2005), LSM menggunakan public relations dan kampanye pemasaran untuk mengubah paradigm produksi dan konsumsi global.
Dalam konteks fenomena diatas, public relations menggeser “permintaan” dari “problematika sosial” ke perbaikan system produksi (O'Rourke, 2005, hal. 116). Disini, public relations berperan sangat besar dalam memberdayakan tanggung jawab sosial konsumen untuk mendorong perusahaan berperilaku lebih bertanggungjawab. Dengan kata lain, praktek public relation para penggiat sosial itu mendorong konsumen untuk menekan perusshaan untuk membangun dan melaksanakan inisiatif corporate social responsisbility (CSR).
Ketiga, fenomena itu makin mempertegas pentingnya membangun hubungan dengan para pemangku kepentingan perusahaan, termasuk diantaranya adalah para penggiat sosial. Dengan kata lain, posisi stakeholder menjadi semakin penting begitu teknologi komunikasi baru makin mempermudah mereka untuk menyuarakan keprihatinan dan tuntutan mereka. Realitas bahwa penggiat sosial memanfaatkan sosial media untuk melancarkan kampanye mereka sekaligus memberikan informasi bahwa sejatinya mereka juga aktif memantau  aktivitas sosial – dalam hal ini adalah tanggung jawab sosialnya. Mereka memantau  tidak hanya melalui media konvensional tapi juga media sosial.
Karena itu mengkomunikasikan inisiatif CSR makin penting guna mempengaruhi opinion leader, menjawab skeptisisme yang tumbuh tumbuh belakangan ini tentang CSR,  khususnya perusahaan yang melebih-lebihkan perilaku sosial mereka (Holme dan Watts, 2000). Selain itu, kecenderungan ini dipicu oleh kondisi global yang mendorong organisasi menjadi lebih terbuka untuk memenuhi harapan pihak luar.
Masyarakat kini menjadi makin galak pada perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat (Beltratti, 2005). Karena itu, CSR dapat memaberikan keuntungan kompetitif karena mampu mendeskripsikan sebagai perusahaan atau merek yang berperilaku berbeda dengan praktek-praktek umum dari bisnis yang cenderung untuk menguras sumber daya alam dan mengeksploitasi masyarakat. Dengan melaksanakan CSR sekaligus menenujukkan kepada masyarakat bahwa perusahaan tidak lagi melepaskan diri dari lingkungan eksternal mereka dan pandangan konservatif bahwa, "yang penting bagi perusahaan hanyalah saing, kelangsungan hidup dan keuntungan" melemah. Namun, argumen berlanjut sampai semua usaha telah terintegrasi ke dalam ekonomi CSR mereka, operasi lingkungan, dan sosial.
Perusahaan dapat mengkomunikasikan inisiatif CSR-nya melalui berbagai saluran, termasuk social report, laporan yang ersifat tematik, kode etik, situs web, konsultasi stakeholder, saluran internal, cause marketing, kemasan produk, media massa dan di TV, dan tempat penjualan. Namun, tiga saluran khususnya social report, situs web, dan iklan - memainkan peran yang sangat penting. Dalam lingkungan stakeholder yang berubah tersebut, membangun dan memelihara modal relasi sosial tidak hanya bergantung media komunikasi klasik, melainkan juga pada berbagai saluran komunikasi atau "media sosial."
Persoalannya adalah komunikasi CSR yang efektif seringkali terkendala oleh asumsi bahwa komunikasi hanyalah transmisi informasi CSR dari perusahaan kepada para pemangku kepentingan. Stakeholder memang menginginkan informasi tentang CSR. Apalagi secara resmi, pemerintah Indonesia – melalui undang-undang – memerintahkan perusahaan tambang misalnya untuk melaksanakan inisiatif CSR. Ini mengimplikasikan bahwa setiap perusahaan – selain melaksanakan inisiatif CSR-nya – perusahaan harus melaporkan atau mengkomunikasikan inisiatif tersebut. Ihlen (2010) mendefinisikan komunikasi CSR sebagai cara perusahaan mengkomunikasikan proses yang berdampak pada lingkungan, sosial dan ekonomi dengan menggunakan media, symbol dan retorika atau pesan. 
Komunikasi SCR adalah proses yang membutuhkan pemahaman tentang para pemangku kepentingan, termasuk informasi yang mereka butuhkan, dan saluran komunikasi yang bisa engage dengan mereka. Ini karena setiap elemen stakeholder memiliki karakteristik, kepentingan dan agenda yang berbeda-beda. Suatu pesan perusahaan dapat menciptakan reaksi negatif ketika stakeholder melihat pesan tersebut terlalu berpromosi.
Lain itu, tidak semua stakeholder menginginkan informasi yang sama tentang suatu kegiatan CSR. Karena itu, komunikasi CSR, termasuk pesannya, harus disesuaikan dengan masing-masing stakeholder. (Pomering & Dolnicar, 2008). Misalnya, investor bisa jadi lebih tertarik pada informasi yang pesannya bisa memberikan efek keuangan  pada perusahaan (misalnya, ROI), sedangkan masyarakat setempat ingin mengetahui tentang bagaimana kegiatan SCR yang dilakukan perusahaan berpengaruh langsung pada kehidupan mereka (misalnya, dampak pada kesehatan dan lingkungan).
Komunikasi CSR juga bisa menjadi masalah jika perusahaan dianggap menyampaikan suatu pesan untuk stakeholder tertentu, hanya untuk menyenangkan para penerima dan menyampaikan apa yang ingin mereka dengar. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan, meskipun tujuannya baik dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan penerima khusus , mungkin menjadi bumerang dan dianggap sebagai ketidakjujuran. Ketidakkonsistenan dapat membangkitkan keraguan publik terhadap ketulusan atau komitmen perusahaan dalam melaksanakan inisiatif CSR.
Disinilah biasanya para manajer, misalnya manajer CSR menghadapi persoalan yang disebut Coombs dan  Holladay (2012) sebagai dilema komunikasi CSR. Disini para manajer ditantang untuk mengembangkan rencana komunikasi CSR untuk masing-masing stakeholder, saluran (media) yang akan digunakan untuk menjangkau mereka, dan pesan utama yang akan dikirimkan ke masing-masing kelompok stakeholder. Selama proses ini, manajer dituntut untuk mengedepankan empaty kepada para pemangku kepentingan, dan pesan harus disesuaikan dan diseimbangkan antara kepentingan stakeholder dan inisiatif CSR.
Ingenhoff dan Kölling (2010) menyebutkan dua aspek komunikasi SCR. Yang pertama adalah  komunikasi tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Kedua, tentang target audience dari pesan komunikasi tersebut. Dalam konteks target audience, mereka menyebut stakeholder internal dan eksternal yang mesti digarap.
Target audience stakeholder internal menjadi penting karena mereka bisa berperan sebagai saluran komunikasi lanjutan. Karyawan misalnya, dapat menjadi saluran komunikasi yang penting. Sebab di era sosial media, banyak orang – termasuk karyawan – yang memiliki akun media sosial. Melalui komunikasi yang tepat, perusahaan dapat mendorong para karyawannya untuk meng-echo inisiatif CSR mereka melalui media sosial yag dimiliki karyawan.
Sementara itu stakeholder eksternal terdiri atas mereka yang terkena dampak CSR. Secara khusus, stakeholder eksternal bisa masyarakat lokal, LSM, media tradisional dan online, pemasok, pelanggan, investor, dan pengecer. Berhadapan dengan audience ini, pesan komunikasi SCR yang dilakukan perusahaan tidak lagi ditafsirkan sebagai sesuatu yang independen. Pesan yang disampaikan bisa berimplikasi pada peluang dan ancaman.
Beberapa ahli mencatat bahwa, begitu stakeholder menjadi semakin aktif mengawasi tanggungjawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkannya, perusahaan harus mempertimbangkan interaksi dua arah dan engagement dengan para pemangku kepentingan (Schneider, Stieglitz, & Lattemann, 2007; Fieseler, Fleck, & Meckel, 2010). Realitasnya, muncul semacam paradox. Sementara semakin banyak lembaga-lembaga, misalnya LSM (Schneider, Stieglitz, & Lattemann, 2007) seperti Greenpeace, memanfaatkan teknologi dan saluran informasi baru --  terutama Web 2.0, beberapa penelitian menunjukkan masih sedikitnya perusahaan yang memanfaatkan teknologi Web 2.0 untuk mengkomunikasikan inisiatif CSR-nya (Schneider, Stieglitz, & Lattemann, 2007; Fieseler, Fleck, & Meckel, 2010).
Tahun ini, untuk kali ke lima, Majalah MIX menyelenggarakan kontes program public relations, yang alah dianyaranya adalah proigramyang terkait dengan CSR. Dari sekian entry program CSR, tidak sampai 50% yang menginfromasikan bahwa komunikasi SCR yang mereka jalankan memanfaatkan media sosial. Ini mengindikasikan masih sedikitnya perusahaan yang memanfaatkan media interaktif tersebut.
Padahal, keberadaan Web menawarkan peluang kepada perusahaan atau organisasi untuk merancang pesan yang tidak harus mengikuti keinginan gatekeepers seperti yang terjadi pada media cetak dan elektronik. Oleh karena itu, Web dianggap sebagai pilihan yang pas bagi perusahaan untuk menentukan  dan menyajikan agenda CSR. Dengan kata lain, manfaat strategis dari Internet untuk komunikasi CSR adalah bahwa web memungkinkan proses yang berkelanjutan dan interaktif daripada produk tahunan statis.
Perkembangan ini mengakibatkan perubahan di kalangan konsumen sehingga memunculkan evolusi yang memunculkan konsumen generasi baru mulai dari crossumer, prossumer, fansumer dan persumer. Ini sekaligus membangun paradigm baru tentang pasar dengan menyatakan bahwa pasar adalah percakapan.
Seperti diketahui, secara umum, tujuan dari komunikasi CSR adalah menyebarluaskan informasi terkait inisiatif CSR perusahaan kepada para stakeholder yang berbeda. Sebagian besar perusahaan bisa mencapai tujuan melalui komunikasi tradisional searah, berbasis kertas atau Web 1.0. Dalam beberapa waktu terakhir, makin banyak perusahaan di Indonesia yang mengkomunikasikan inisiatif CSR-nya melalui iklan. Ini memunculkan pertanyaan tentang peran public relations dalam membangun kredibilitas perusahaan atau merek. Kedua, ada pertanyaan menyangkut performance. Maksudnya, sejauh mana iklan bisa membangun citra positif dari pegiklan CSR tersebut. 
Sebab seperti diketahui, untuk mencapai tujuan selain menginformasikan, diperlukan praktek komunikasi lain yang berbeda dari sekadar beriklan. Misalnya, komunikasi CSR yang bertujuan untuk mendapatkan efek citra positif dari bisnis atau merek dari pelanggan dan stakeholder lainnya (Morsing & Schultz, 2006), dalam era media sosial, penggunaan media tradisional tak lagi seefektif pada era Web 1.0. Ini karena citra positif baru bisa terbentuk manakala pelanggan melakukan interaksi dengan merek atau perusahaan tersebut. 
Pada era web 2.0, penerima pesan atau audience adalah konsumen profesional (prosumer), yang sekaligus menjabat sebagai co-produser dan distributor (crossumer), penggemar merek (fansumer) dan konsumen sebagai person (persumer). Namun demikian, apapun istilahnya, semua mengindikasikan dimensi interaktif dari pengguna yang memetaforfosis konsep audience ke dalam lingkungan teknologi yang kolaboratif dan partisipatif. 

Learning for All
Sejak 2009 lalu, PT Sari Husada melaksanakan Program Ayo Melek Gizi, suatu program edukasi untuk menigkatkan pengetahuan tentang gizi kepada kader-kader Posyandu dan ibu-ibu. Hingga tahun 2010, Program Ayo Melek Gizi berhasil melakukan edukasi kepada kader Posyandu sebanyak 1.670 orang dan 35.866 Ibu di Posyandu di area Jawa Barat.
Untukmeningkatkan efektivitasnya, Sari Husada juga menyelenggarakan program yang disebut sebagai Learning for All yang ditujukan untuk karyawan. Jadi ini semacam turunan program edukasi serupa yang ditujukan kepada kader Posyandu dan ibu-ibu tadi. Jadi program ini menyertakan  karyawan sendiri dan keluarganya.
Sebagai perusahaan nutrisi ibu dan anak, PT Sari Husada berharap setiap karyawannya juga memiliki pengetahuan memadai mengenai gizi. Sehingga, setiap karyawan faham tentang gizi dan menjadikan mereka sebagai juru bicara/ambassador mengenai hidup sehat. Tidak  hanya mendukung proses bekerja sehari-hari, pengetahuan itu juga akan bermanfaat dalam hidup keseharian mereka. Secara khusus mereka diharapkan mengerti pentingnya zat gizi, pengelompokannya, gizi seimbang bagi ibu hamil dan menyusui, serta gizi seimbang berdasarkan usia seseorang.
Target primer dari program ini adalah seluruh karyawan Sari Husada di Indonesia yang berjumlah 1.048 orang. Sementara target skundernya adalah 1.000 keluarga mereka, 1.200 frontliners, dan 4.000 konsumen Sari Husada.
Untuk mencapai tujuan  program secara maksimal, perusahaan menciptakan beberapa tahap strategi. Pertama sosialisasi dengan top manajemen (jajaran direksi) yang dilanjutkan menjadi komunikasi top down  berupa perintah sederhana kepada karyawan. Kedua pengemasan program secara menarik ketika dikemas dalam bentuk training. Ketiga mengembangkan materi presentasi yang memiliki key message kuat dan menghindari penggunaan istilah sulit untuk meminimalisir salah tafsir peserta. Keempat pemilihan media komunikasi yang efektif. Kelima, ada penghargaan dan pengakuan melalui sertifikat. Karyawan yang lulus akan diangkat sebagai AMG ambassadors, dan AMG Expert bagi yang memenuhi syarat. Keenam, diadakan kelas penyegaran untuk mengingatkan kembali materi-materi yang telah diserap karyawan.
Program in class training Ayo Melek Gizi for All membutuhkan bujet lebih kurang Rp500 juta untuk pelaksanaan sejak Desember 2011 hingga akir 2012. Lokasi pelaksanaan program di seluruh kantor Sari Husada Jakarta, Yogyakarta dan area seluruh Indonesia. Selama program berlangsung, internal komunikasi Sari Husada terus menyokong melalui berbagai aspek. Terutama dalam memfasilitasi komunikasi antara pimpinan dengan bawahan dan sebaliknya, dan juga antara rekan sesame jabatan. Proses komunikasi berwujud antar pribadi, komunikasi kelompok, dan juga menggunakan media komunikasi.
Prorgam AMG for All dicatat memberikan hasil yang sangat memuaskan. Sebagian besar karyawan Sari Husada dinilai telah memahami pentingnya gizi.  Kesuksesan program ini juga dilihat dari berbagai indikator. Misalnya, jumlah 
peserta yang mencapai 312 karyawan dengan nilai rata-rata 86 pada training tahun 2011.  Melampaui target sejumlah 250 peserta dengan rata-rata nilai kelulusan sebesar 70. Ini membuktikan bahwa karyawan Sari Husada sangat bersemangat dan antusias mengikuti program tersebut. Nilai tersebut sekaligus menjadi indictor pemahaman mereka terhadap materi yang diajarkan. 
Ke depan,   program ini akan ditindaklanjuti dengan training AMG Expert kepada seluruh karyawan. Selanjutnya, Sari Husada juga akan menambah saluran media komunikasi agar informasinya bisa diterima oleh seluruh karyawan tanpa kecuali. Selain itu SH juga berencana membangun konsep training AMB mobile agar  edukasi bisa berjalan lebih flexibel. Serta konsep on line training untuk AMG Advocate dan AMG Expert.