Kamis, 29 November 2012

BLOGGER VS JOURNALIST

Bulan lalu, saya diundang oleh sebuah perusahaan konsultan public relations untuk sharing tentang media. Dalam sharing itu, saya merasa perlu mengangkat isu tentang fenomena blog dan blog mini seperti twitter, dan sebagainya. Saya mengangkat isu tersebut karena setelah satu jam berdiskusi, saya belum mendengar pernyataan tentang blog yang menurut saya bisa menjadi saluran media dalam komunikasi antara perusahaan dan public, perusahaan dengan media (maksudnya konvensional), blog dan media konvensional.  
Sebab seperti dimaklumi, para pemasar dan public relations profesional kini dihadapkan pada sprektrum saluran komunikasi baru yang menakjubkan. Jutaan konsumen yang menyuarakan opininya kini tersambung pada saluran komunikasi berupa sosial media berbasis internet seperti blog, podcast, video online dan jaringan sosial. Sementara media mainstream terus memainkan peran penting dalam penyebaran informasi, bahkan saluran tradisional ini semakin dipengaruhi oleh percakapan online.
Dalam dunia baru interaksi melalui online, semua orang bisa menjadi influencer. Dalam konteks ini kekuasaan untuk mempengaruhi tidak lagi terletak secara eksklusif para para ahli atau "orang yang tahu". Gagasan bahwa kita hidup di dunia yang sederhana di mana ada sekelompok kecil influencer yang menentukan agenda untuk massa tidak lagi berlaku sebagai akibat berkembangnya sosial media dan jaringan digital. Dalam dunia baru ini, siapa saja dapat mempengaruhi siapa saja. Jadi tidaklah mengherankan bila sekarang ini seseorang mempercayai orang asing atau yang baru dikenalnya setinggi teman-teman terdekatnya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa blog yang paling populer di internet memiliki pembaca yang bisa menyaingi sebuah media kecil. Survey yang dilakukan Johnson dan Kaye terhadap pembaca menemukan bahwa mereka menemukan bahwa blog kini menjadi menjadi sumber informasi yang kredibel (Johnson dan Kaye, 2004).
Beberapa teman menempatkan blogger sejajar dengan wartawan. Szetidaknya ini mendasarkan pada interpretasi Pasal 1 ayat (4) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik, sebuah pekerjaanyang juga dilakukan blogger. Kegitan jurnalistik ini berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya.
Mengingat kuat dan pentingnya pengaruh media ini untuk berkomunikasi dengan publik, tampaknya logis bahwa praktisi PR memanfaatkan blog sebagai alat komunikasi. Para praktisi juga dapat menggunakan blog untuk penelitian lebih pasif seperti untuk mengenali masalah  atau scanning lingkungan. Para praktisi PR juga dapat berperan lebih aktif dengan melibatkan blogger.
Penggunaan blog secara pasif memungkinkan para profesional menamukan jalan baru untuk tugas-tugas yang sudah mereka lakukan. Artinya, blog merupakan peluang bagi para profesional komunikasi untuk memantau secara tidak formal pembicaraan dari mulut ke mulut (word-of-mouth) tentang organisasi atau klien.  Dalam konteks peran yang aktif, praktisi PR bisa mendekati blogger dari perspektif hubungan media di mana mereka dapat menempatkan informasinya pada blog-blog tertentu.
Sampai dengan dengan lima tahun lalu, ada sebuah pemikiran yang berlaku di kalangan praktisi PR bahwa blogger bukanlah wartawan, dan tidak diperlakukan sebagai wartawan oleh para profesional media relations. Namun, paradigm itu berubah ketika para blogger ternyata juga bisa menjadi influencer dan menjadi sumber berita dan informasi penting dalam lingkup bidang keahlian mereka.
Namun demikian, dari sisi tanggug jawab, blogger berbeda dengan wartawan dan editor di media tradisional. Dengan mengetahui perbedaan ini, para praktisi PR  dapat memahami bagaimana sebuah cerita berubah menjadi sebuah virus.  Berikut adalah empat perbedaan antara blogger dan wartawan "tradisional" 
• Blogger tidak memiliki editor: Kecuali mereka yang bekerja untuk beberapa media seperti Huffington Post, blogger bekerja untuk mereka sendiri. Karena itu, mereka membuat keputusan sendiri tentang informasi apa dan kapan akan mereka terbitkan. Karena itu pula penting bagi para praktisi PR untuk mengetahui karakteristika secara detail dari blog mereka termasuk isi beserta komentar-komentar yang muncul sebelum menawarkan informasi buat mereka.
• Blogger lebih mencerminkan ideologi pribadi ketimbang kelompok. Karena itu tidak memiliki identitas kelompok. Berbeda dengan wartawan yang bekerja pada sebuah penerbitan, mereka memiliki buku pedoman mengenai gaya penulisan, perlakuan terhadap rilis yang dikrimkan perusahaan atau pihak lain dan sebagainya. Mereka harus selalu mematuhi dan tidak pernah menyimpang dari pedoman tersebut. Konsekuensinya, praltisi PR harus mengenali atau mengetahui pedoman tersebut sehingga dapat menyesuaikan dengan pola kerja mereka.

• Blogger adalah untuk berbagi: Para praktisi PR berhubungan dengan blogger pada dasarnya adalah untuk berbagi informasi. Pada kenyataannya, kebanyakan blogger mendasarkan kesuksesan mereka sendiri pada berapa banyak orang yang menilai cerita mereka menarik. Karena itu, adalah sangat membantu bila para praktisi PR secara teratur mengungkapkan ketertarikannya baik pada blog milik blogger bersangkutan atau melalui tweet, Facebook, dan sebagainya.
• Secara sosial, blogger itu sangat sensitive terhadap tawaran informasi. Ini kebalikan dari wartawan konvensional yang lebih sering mengabaikan tawaran informasi. Bahkan wartawan akan membuang informasi yang diterima bila tidak berkaitan dengan bidang liputan mereka. Sementara itu blogger bisa lebih luwes. Karenanya, sangat penting bagi praktisi PR untuk mengetahui apa dan bagaimana blogger menulis cerita.

Secara moral wartawan terikat pada kode etik keprofesiannya dan tempat dimana dia bekerja. Karena itu, ada beberapa prosedur kerja yang membedakannya dengan blogger. Misalnya, wartawan selalu menguji akurasi informasi yang datang dari narasumber dan selalu melakukan latihan untuk menghindari kesalahan yang tidak disengaja. Sementara itu, distorsi yang disengaja tidak pernah diperbolehkan. Mereka juga aktif dan rajin mencari subyek berita untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk menanggapi tuduhan kesalahan misalnya. Identifikasi sumber kapanpun dimungkinkan. Karena itu, masyarakat berhak mendapatkan informasi sebanyak mungkin dengan tetap memperhatikan keandalan narasumber sumber. '

Dari ilustrasi tersebut, dapat dikatakan bahwa adalah sangat penting untuk membangun relationship dengan blooger dalam konteks jangka panjang. Jangan hanya untuk kepentingan kampanye jangka pendek. Tempel blogger yang Anda target dengan akrab sebelum Anda mengirimkan informasi yang spesifik. Kirimi mereka dengan infromasi dan data yang menarik buat mereka  dan tanggapi postingan mereka. Ini semua adalah untuk kepentingan bersama. Sebab seperti yang banyak terjadi, membangun hubungan kerja jangka panjang dengan blogger bisa menuai hasil yang mungkin lebih bagus dari placement di media konvensional. 

Jumat, 23 November 2012


Praktek-Praktek dalam Public Relations

Judul Buku       : Social Media and Public Relations: Eight New Practices for the PR Professional
Penulis             : Deirdre K. Breakenridge
Penrbit             : Pearson Education, Inc., New Jersey
Tahun Terbit    : 2012
Tebal`               : 177 halaman termasuk cover



Diakui atau tidak, dari semua industri yang terpengaruh oleh perubahan besar yang dibawa oleh media sosial, public relations adalah yang sejak awal berada di garis depan. Alasannya sederhana, sebagian besar fenomena media sosial terjadi di depan public, dilakukan public, dan dinamikanya telah membentuk public relations di masa lalu (media relations, interaksi dengan para opinion leader dan influencer, serta tentu saja krisis/manajemen reputasi) tidak hanya hadir di media sosial, tetapi sering ditekankan dan diperkuat oleh media sosial.
Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini, sejarah baru diisi dengan sejumlah contoh bagaimana kata "sosial" telah secara dramatis mempengaruhi merek bahkan melampui fungsi bisnis itu dalam mempertahankan atau memperkuat reputasi merek. Dengan kata lain, sosial media telah terbukti tidak hanya memperbaiki proses komunikasi modern, tetapi juga memiliki potensi dampak pada bottom line perusahaan atau, minimal, reputasinya. Tak sedikit kejadian yang mempertotonkan bagaimana reputasi bisa dibangun dalam jangka pendek. Demikian pula banyak contoh yang menunjukkan bagaiana reputasi bisa runtuh dalam sekejap. Semuanya itu tak bisa dilepaskan dari peran media sosial.
Keberadaan media sosial makin memberi peluang bagi public untuk melakukan percakapan. Perusahaan pun makin menyadari  -- sebagian mungkin lebih cepat daripada yang lain -- bahwa jika perusahaan tidak ambil bagian dalam percakapan, perusahaan akan tertinggal. Perusahaan kini lebih sering mendengarkan dengan lebih baik dibandingfkan masa lalu dan memperhatikan apa yang kini dipikirkan orang. Juga makin perusahaan atau merek yang membuka diri untuk publik.
Para pengelola media juga mulai menyadari fenomena tersebut tersebut. Karena itu, beberapa diantara mereka menyediakan platform yang berbeda dari sebelumnya dalam menyampaikan informasi. Beberapa surat kabar mengubah format mereka menjadi edisi online, atau dalam kasus tertentu  CNN misalnya membuka platform baru, iReport. Melalui platform ini setiap orang dapat menjadi pelapor peristiwa atau berita eksklusif. Ini adalah tentang mencapai dan melakukan publik.
Sekelompok masyarakat yang menikmati berbagai jenis media, seperti TV, pada saat yang sama dapat menggunakan akun Twitter atau Facebook untuk memberi opini atas apa yang mereka saksikan dan rasakan serta pikirkan. Komunikasi yang interaktif pun terjadi. Dalam kondisi seperti ini, publik memiliki kebebasan untuk memilih cara-cara yang memungkinkan mereka untuk memberitahu.
Peran dan tanggung jawab praktisi PR saat ini semakin luas. Berbeda dengan sebelumnya, saat ini para profesional di bidang PR harus memahami perubahan di lanskap media dan mampu mengintegrasikan komunikasi sosial media dengan komunikasi bisnis secara keseluruhan, mempelajari  cara-cara yang berbeda dalam keterlibatan dengan pelanggan dan stakeholder lainnya dan menavigasi perubahan lanskap media dengan teknologi yang mendorong preferensi konsumen dan proses konsumsinya. Selama bertahun-tahun, para profesional PR bekerja dengan media tradisional untuk menyampaikan pesan kepada publik.
Pesan organisasi tidak lagi disebarkan secara acak dan luas. Sebaliknya, cerita harus disesuaikan agar dapat dibagi diantara rekan-rekan terpercaya dalam komunitas web. Sosial media telah mengubah cara organisasi dan merencanakan, mengembangkan dan memberikan cerita bisnis kepada para pemangku kepentingan, dan bagaimana mereka mendengarkan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan khalayak mereka secara langsung. Hal ini penting bagi komunikator untuk bertindak fleksibel dan beradaptasi dengan dinamika baru dalam komunikasi dengan lebih melibatkan masyarakat.
Dalam buku Social Media and Public Relations: Eight New Practices for the PR Professional, Deirdre Breakenridge – salah satu pelopor pemasaran sosial pelopor -- menunjukkan delapan keterampilan dan pola pikir baru di dunia PR atau marketing. Salah satunya adalah tentang perlunya praktisi PR dan marketing membangun merek dan membangun keterlibatan pelanggan dalam dunia sosial.
Menyimak isinya, buku berorientasi pada tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh praktisi PR dan marketing agar secara sistematis dapat sistematis memperluas peran, meningkatkan proses, dan mempertajam strategi mereka dalam keterlibatannya dengan pelanggan secara lebih canggih dan.
Dalam buku ini, Breakenridge memberikan banyak ilustrasi bagaimana meningkatkan keterlibatan interaksi antara konsumen dan mereknya berdasarkan pengalamannya menangani beberapa kliennya. dan Karena itu, Breakenridge – melalui buku ini --  membantu Anda menanggapi control konsumen yang semakin menuntut hubungan mereka dengan merek.
Breakenridge juga memberikan tips dalam mengintegrasikan komunikasi dengan teknologi secara lebih efektif, membangun kolaborasi internal yang lebih besar, menghilangkan silo dan memberi ruang kepada public, mendengarkan percakapan konsumen, dan menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari, dan  wawasan baru yang mendalam mengenai bagaimana konsumen membangun dan melihat merek mereka hubungan.