Minggu, 27 Januari 2013

Penggambaran Peran Gender dalam Periklanan


Sebagai bagian dari media massa, iklan merupakan cerminan realitas yang ada dalam masyarakat. Realitas yang tercermin dalam iklan bisa jadi adalah realitas masyarakat yang seksis ataupun realitas masyarakat yang sedang mengupayakan kesetaraan gender. Dengan fungsi pencerminannya ini iklanpun akan sekaligus mensosialisasikan kembali apa yang dicerminkannya itu, baik ketidakadilan (seksisme) maupun keadilan gender (kesetaraan gender), ke dalam pola pikir khalayaknya. Hal ini akan berimplikasi pada pengukuhan kembali nilai gender stereotip, bila iklan yang bersangkutan memuat ideology gender yang seksis, atau upaya dekonstruksi nilai gender stereotip, bila iklan yang bersangkutan bermuatan ideologi gender yang setara.

Dalam penelitian yang berjudul Relating Hofstede’s masculinity dimension to gender role portrayals in advertising: A cross-cultural comparison of web advertisements dan dimuat di International Marketing Review Vol. 24 No. 2, 2007 halaman 181-207, Daechun An dan Sanghoon Kim menguji perbedaan  lintas-budaya dalam penggambaran peran gender. Dalam penelituannya itu, Daechun An dan Sanghoon Kim memilih iklan web di Korea dan Amerika Serikat atas dasar maskulinitas dimensi Hofstede.
Peran gender didefisinikan sebagai seperangkat norma perilaku budaya terkait dengan laki-laki dan perempuan dalam kelompok sosial atau system tertentu. Sementara itu, gender sendiri merupakan salah satu komponen dari sistem jender/jenis kelamin, yang mengacu pada seperangkat pengaturan dimana masyarakat mengubah seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia, dan di mana kebutuhan transformasi ini dipenuhi.

Daechun An dan Sanghoon Kim mengakui bahwa perbincangan mengenai seksisme dalam iklan sebenarnyalah telah banyak dilakukan. Peneliti pemasaran juga menunjukkan minatnya dalam masalah ini karena gender merupakan salah satu variabel segmentasi utama dalam kegiatan pemasaran. Buku Betty Friedan, yaitu The Feminine Mystique (Craig, 1998) misalnya memaparkan bagaimana industri telah memperalat perempuan melalui iklan-iklannya, yaitu dengan terus-terusan menggambarkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya melulu hanya berbelanja. Penelitian-penetian juga secara konsisten menunjukkan bahwa di dalam iklan, perempuan terwakili secara tidak menguntungkan dan perannya didefinisikan terbatas hanya sebagai memainkan peran bawahan, tidak penting, dan pendukung. Di sisi lain, laki-laki yang ditampilkan dalam cara yang jelas berbeda bermain penting, peran profesional, dan otonom.

Pentingnya penggambaran peran gender dalam iklan-iklan internasional menarik perhatian banyak  peneliti untuk mengkaji peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki pada iklan dalam konteks lintas-budaya. Meskipun terbatas pada majalah dan iklan televisi, lebih dari selusin penelitian analisis isi lintas-budaya menunjukkan konsensus yang cukup bahwa penggambaran peran perempuan dan peran laki-laki dalam iklan berbeda menurut budaya.

Para peneliti juga mengakui bahwa iklan merupakan lembaga sosial yang penting yang mencermin dan mengirimkan dominasi nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Secara khusus, temuan mereka menunjukkan bahwa dalam masyarakat di mana nilai-nilai feminin mendominasi pengaruh pada budaya, ada kecenderungan kurangnya perbedaan antara jenis peran perempuan dan laki-laki yang digambarkan dalam iklan. Sedangkan dalam masyarakat di mana nilai-nilai maskulin dominan, ada kecenderungan adanya perbedaan besar dalam peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki dalam iklan.

Hal lain yang disampaikan Daechun An dan Sanghoon Kim adalah bahwa perkembangan lingkungan sosial belakangan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan media. Dalam hal ini Daechun An dan Sanghoon Kim melihat peran internet sebagai media yang bis menembus batasan ruang dan waktu. Disini  norma-norma sosial yang disampaikan lewat penggambaran peran perempuan dan laki-laki dengan cepat dikomunikasikan melalui pesan komersial diantara orang-orang dari beragam budaya. Karena itu, memperbandingkan secara lintas negara tentang penggambaran peran perempyuan dan laki-laki menjadi lebih penting. Ini karena dengan mengetahui penggambaran peran secara lintas budaya tersebut, mereka bisa mendapatkan keuntungan pengiklan internasional dengan segala implikasi praktis dan teoritisnya.

Untuk memperoleh gambaran lengkap tentang penggambaran peran perempuan dan laki-laki tersebut,  Daechun An dan Sanghoon Kim menggunakan analisis isi dengan pendekatan kuantitatif. Analisis isi telah digunakan sebagai metode penelitian utama selama beberapa dekade tentang peran gender digambarkan dalam iklan. Dalam studi analisis isi pertama mengenai hal ini, Courtney dan Lockeretz (1971) melaporkan bahwa peran perempuan dalam iklan-iklan di majalah AS majalah digambarkan hanya sebagai hanya memiliki tempat di rumah mereka, tidak mampu membuat keputusan penting, dan sepenuhnya bergantung pada laki-laki.

Dalam kaitan ini, tujuan khusus penelitian Daechun An dan Sanghoon Kim adalah untuk mendapatkan ringkasan numerik berbasis tema yang berbeda dan peran digambarkan oleh perempuan dan laki-laki dalam 400 iklan yang ada pada situs web. Menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, selama ini belum ada studi sistematis yag pernah menyentuh isu peran gender  dengan iklan web. Karena itu, studi ini dimaksudkan sebagai kontribusi baru untuk dunia internasional dengan membandingkan penggambaran peran gender dalam iklan web dari Korea dan Amerika Serikat.

Dimensi Maskulinitas Hofstede
Untuk melihat pengambaran peran gender lintas budaya tersebut, Daechun An dan Sanghoon Kim menbgunakan kerangka dimensi maskulinitas oleh Hofstede. Menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, pada akhir 1980-an, perhatian para peneliti diperpanjang ke studi banding tentang penggambaran peran gender di berbagai negara. Sebuah pemahaman budaya umum mengenai peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan pada dasarnya lebih rendah dari pria. Namun, karena beberapa praktik budaya nilai egaliter menekankan kesetaraan gender, sikap terhadap peran yang tepat bagi perempuan berbeda menurut lintas budaya.

Di antara kerangka beberapa dimensi yang komprehensif yang mencoba untuk menemukan dan memverifikasi secara empiris variasi budaya lintas budaya, Hofstede penawaran Model 5D dengan norma-norma yang mengatur peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki. 

Penelitian Hofstede (1980) tentang representasi perbedaan budaya signifikan dan inovatif, terutama dalam konteks perbandingan lintas budaya dalam bidang manajemen, sosial psikologi, antropologi, sosiologi, pemasaran dan komunikasi (Albers, 1994; Kale, 1991). Modelnya lima dimensi nilai ini dikembangkan berdasarkan data yang luas yang dikumpulkan dari survei terhadap karyawan IBM di seluruh dunia untuk menemukan penjelasan terhadap fakta bahwa beberapa konsep motivasi kerja tidak bekerja di semua negara dengan cara yang sama.

Sebagai karya psikolog pada nilai-nilai budaya, studi Hofstede menghasilkan struktur yang terdiri dari empat dimensi utama di dalam masyarakat: pertama, jarak kekuasaan - hierarki atau egalitarianisme keinginan masyarakat; kedua, individualisme - preferensi sosial untuk kelompok atau orientasi individu; ketiga, maskulinitas - diferensiasi peran gender; dan keempat, menghindari ketidakpastian - resistensi masyarakat terhadap ketidakpastian. Kemudian, dimensi tersebut disempurnakan dengan menambahkan nilai China yang berkembang di 23 negara oleh Hofstede dan Bond (1984) yang mengidentifikasi dimensi, kelima orientasi jangka panjang. Model ini telah divalidasi di ratusan penelitian lintas-budaya  dari berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi, riset pasar, dan obat-obatan, dan bila dibandingkan dengan model lain, model Hofstede mungkin adalah salah satu yang telah paling sering diuji dan divalidasi (Dorfman dan Howell, 1988; Bhagat dan McQuaid, 1982).

Seperti halnya teori, ia tidak lengkap dan memiliki lubang dan inkonsistensi. Sebuah teori juga banyak mendapat kritik. Pertama, generalisasi tentang budaya tingkat nasional dari analisis populasi subnasional yang ukurannya kecil tidak bisa digunakan untuk membuktikan bahwa di dalam setiap negara ada budaya nasional yang seragam dan pada pernyataan belaka bahwa data mikro-lokal dari sebagian karyawan IBM merupakan wakil dari keseragaman secara nasional. (Warneryd, 1988).

Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa penelitian budaya Hofstede bias karena tim hanya terdiri Eropa dan Amerika, sedangkan sebuah studi seyogyanya memasukkan banyak negara dari bagian lain dunia (Roberts dan Boyacigiller, 1984). Selain itu, penelitian budaya Hofstede dinilai usang karena globalisasi dunia membuat orang muda khususnya, mengumpul di sekitar seperangkat nilai (Gooderham dan Nordhaug, 2002). Kritik lain menyangkut keterwakilan sampel (yaitu sampel berasal dari hanya satu perusahaan) dan metode pengumpulan data (yaitu kuesioner sikap-survei digunakan sebagai satu-satunya metode) (Gooderham dan Nordhaug, 2002).

Meskipun banyak kritikan, namun teori perbedaan budaya Hofstede dinilai paling empiris-based dan lengkap. Itu sebabnya, teori ini diberi bobot begitu banyak dalam penelitian di bidang pemasaran dan iklan. Menurut Kale (1991), sebagian besar klasifikasi pendekatan untuk perbandingan lintas-budaya yang baik tidak didukung secara empiris atau gagal dalam membedakan derajat perbedaan antar budaya. Teori-teori itu juga kurang lengkap, kerangka, universal bila digunakan untuk memvisualisasikan budaya nasional. Karena itu, dalam pandangan Daechun An dan Sanghoon Kim, sebagai kerangka berpikir teori Hofstede memiliki potensi maksimal untuk aplikasi di bidang iklan lintas-budaya.

Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan Daechun An dan Sanghoon Kim mendapati sebuah persentase yang lebih besar dari iklan Korea yang menampilkan karakter bertema hubungan yang menampilkan perempuan sebagai karakter utama, dan menggambarkan mereka dalam peran keluarga dan rekreasi. Penelitian ini juga mendapati bahwa sebagian besar penggunaan taksonomi Hofstede dalajh valid dan mendukung penerapan kerangka kerja "maskulinitas" dalam penentuan iklan yang tepat terkait dengan perbadingan peran gender.
Implikasi praktis - pengiklan Internasional yang sedang merencanakan kampanye global untuk gender terkait mereka produk konsumen bisa mendapatkan keuntungan dengan menempatkan posisi negara target indeks maskulinitas Hofstede dan menggunakannya sebagai pedoman untuk membuat gambar visual dari karakter utama dalam iklan. Studi ini memberikan kontribusi baru di bidang periklanan internasional terkait web dalam mempertahankan pemahaman yang komprehensif tentang penggambaran peran gender kontemporer. Ini bisa menguntungkan pengiklan internasional dengan implikasi praktis dan teoritis, karena tidak ada studi sistematis pernah menyentuh isu gender peran dengan iklan web.

Secara keseluruhan, studi ini mengesahkan penggunaan maskulinitas Hofstede untuk menjelaskan perbedaan dalam penggambaran perempuan dan laki-laki pada iklan web,  khususnya yang berkaitan dengan penggambaran karakter dalam tema hubungan, jenis kelamin karakter utama, dan jenis peran tidak bekerja yang digambarkan oleh wanita. Meskipun hubungan antara jenis kelamin dari sebuah bangsa dan penggambaran peran kerja masih dipertanyakan, hasil penelitian ini mengkonfirmasi kerangka kerja Hofstede dalam penelitian gender di bidang pemasaran dan periklanan terkait iklan perbandingan yang cocok dalam budaya tertentu. Dengan kata lain, menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, para perencana strategi periklanan dapat memanfaatkan kerangka kerja Hofstede sebagai panduan kasar untuk memberikan arahan dalam memilih negara tertentu dalam konteks iklan perbandingan.

Strategi iklan, khususnya untuk produk konsumen, dapat menerapkan temuan studi ini pada tingkat praktis. Misalnya, pengiklan yang sedang merencanakan kampanye iklan internasional terkait gender terkait untuk produk konsumen, mereka bisa mendapatkan keuntungan dengan menempatkan posisi negara target berdasarkan indeks maskulinitas Hofstede dan menggunakannya sebagai pedoman dalam pembuatan visual karakter utama dalam iklan. Dalam hal ini, penelitian ini mendukung rekomendasi sebelumnya untuk iklan internasional bahwa kerangka kerja Hofstede dapat digunakan sebagai panduan yang berguna dalam memilih iklan perbandingan yang melintasi budaya.

Namun, eksplorasi lebih lanjut diperlukan karena demografi dan sikap antara perempuan telah berubah secara dramatis selama dekade terakhir (Whipple dan Courtney, 1985) dan perempuan telah muncul sebagai kelas konsumen yang kuat,  bahkan di banyak negara-negara yang budaya maskulinnya dominan (Frith, 1997; Mueller, 1987). Sebab seperti diketahui, sejak 1970-an telah terjadi penurunan dukungan dari peran wanita tradisional dalam masyarakat Amerika, dan dalam tiga decade terakhir tingkat partisipasi kerja wanita Amerika semakin tinggi. 

Pada bagian lain, Daechun An dan Sanghoon Kim  mengakui bahwa peran yang dijalankan perempuan telah berubah dan perubahan itu menyebar ke iklan media di negara-negara Asia seperti Jepang, Malaysia, dan Taiwan (Buck et al, 1984;. Ford et al, 1994;. Katsurada dan Sugihara, 1999; Noor, 1999; Bresnahan et al, 2001). Perempuan  Korea juga telah mengalami perubahan dramatis, terutama dalam faktor lingkungan sekitar peran perempuan dalam masyarakat sejak pemerintah Korea meloloskan “Equal Employment Act" pada 1987 untuk mencegah praktik-praktik diskriminatif terhadap pekerja perempuan dalam hal peluang perekrutan dan promosi.

Saat ini, jumlah perempuan Korea yang memasuki pekerjaan profesional di bidang pendidikan, kedokteran, teknik, beasiswa, seni, hukum, sastra, dan olahraga juga meningkat. Selama pemerintahan Kim Dae-jung, kemajuan nyata dalam peraturan perundang-undangan tentang hak-hak perempuan untuk meletakkan dasar kesetaraan gender telah dibuat. Sementara wanita Korea secara aktif terlibat dalam berbagai bidang dan membuat kontribusi yang signifikan kepada masyarakat, di sisi lain tampak bahwa sikap mereka terhadap orientasi peran tradisional feminin telah berubah beriringan dengan laki-laki. Implikasinya, dimungkinkan bahwa pengiklan dan aturan tentang tampilan tubuh dalam iklan diharapkan untuk dapat mengembangkan strategi baru guna menangani kelompok-kelompok konsumen yang berbeda dengan cara yang berbeda dengan memperhatikan stereotip gambar seksual.

Masalah lainnya adalah peran media-khusus. Seperti telah dibahas sebelumnya, web paling dicirikan sebagai informatif, teknologi, dan global. Variasi lintas-budaya perbandingan iklan antara Korea dan Amerika Serikat, yang telah ditemukan dalam studi dibidang majalah dan televisi, mungkin dikuatkan atau dilemahkan oleh strategi umum yang dikejar oleh pengiklan global. Tujuannya , meminimalkan variasi dalam pesan iklan. Pengiklan internasional juga mungkin telah memperhatikan kesamaan dalam karakteristik pengguna web dari kedua negara, seperti tingkat pendidikan, dan status ekonomi populasi. (Nua, 2002; eMarketers, 2003). Karena itu, iklan mungkin telah dibuat dengan mentarget kelompok-kelompok penduduk yang selektif. Hal ini yang mungkin mengakibatkan kegagalan untuk mencerminkan prioritas sistem nilai rata-rata dari kedua negara, yang terkait dengan maskulinitas dalam iklan web. Keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang bisa dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut. Pertama, penelitian masa depan mungkin perlu membuat perbandingan lintas-media untuk melihat apakah perbedaan tersebut digeneralisasikan di seluruh jenis media yang berbeda. Kedua, negara tambahan harus dianalisis untuk menentukan klasemen masing-masing dalam hubungannya dengan negara yang dievaluasi, untuk menguji apakah pengelompokan negara dapat diidentifikasi dalam pengaturan yang luas, dan untuk lebih menganalisis konsep tentang jenis kelamin bangsa (Milner dan Collins, 2000).
Ketiga, sebagaimana dengan studi analisis isi lainnya, hasil penelitian ini tetap deskriptif dan tidak mampu menjawab pertanyaan tentang respon konsumen terhadap penggambaran peran gender yang berbeda.

Manipulasi eksperimental dari iklan yang berbeda menarik untuk posisi gender yang berbeda akan berguna untuk menguji efektivitas dalam beberapa negara yang berbeda. Akhirnya, dalam rangka untuk menguji pengaruh dari format yang berbeda dari iklan web seperti situs web, spanduk, email, iklan mengambang, interstisi, dan pop-up tentang isu-isu peran gender, maka perlu untuk membuat perbandingan lintas-format untuk menarik kesimpulan yang lebih digeneralisasikan (Burns dan Lutz, 2006).

Seiring dengan gerakan perempuan, dewasa ini gencar didengung-dengungkan adanya kesetaraan gender. Beberapa iklanpun mencoba untuk merespon realita ini dengan cara menggambarkan representasi gender yang setara, seperti yang diketengahkan oleh iklan-iklan Beneton, The Body Shop, Teh Sari wangi, maupun Harian Kompas (Kusumastutie, 2003). Demikianlah, iklan ikut berubah seiring dengan perubahan dalam masyarakat.

Pada dasarnya perjuangan gender ingin melakukan dekonstruksi terhadap ideologi gender (Fakih, 1996), sehingga dapat dikembangkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam masyarakat. Individu yang berkesadaran akan kesetaraan gender berkeyakinan bahwa perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar yang tidak terkotak-kotak ke dalam peran gender feminin-maskulin (Suratiyah dalam Lailatushifah, 1998). Dengan demikian seharusnyalah perempuan dan laki-laki dinilai sama, diperlakukan secara objektif dan setara, serta memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan keyakinannya ini, maka individu tersebut akan memerangi ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, termasuk juga yang dilakukan oleh iklan televisi. Kesadaran akan kesetaraan gender sebagai sebuah belief akan menjadi landasan bagi kerangka pikir individu (Fishbein & Ajzen, 1975), yang akan dipakainya sebagai kacamata saat melihat sebuah iklan televisi. Dengan kacamatanya ini individu akan bisa melihat ideologi gender (baik seksis maupun setara) dalam iklan tersebut. Individu ini akan berupaya untuk menilik lebih jauh sebuah iklan yang dilihatnya guna mendapatkan ideology gender yang termuat di dalamnya.
Dengan demikian individu tersebut akan menolak nilai yang tidak sesuai dengan keyakinannya, yang akan berimplikasi pada terpotongnya proses sosialisasi ketidakadilan gender yang dilakukan oleh televisi melalui iklan-iklannya yang seksis. Sebaliknya bila yang termuat dalam sebuah iklan adalah ideologi gender yang setara, nilai ini akan terinternalisasi ke dalam pola pikir individu, sehingga semakin menguatkan keyakinan akan kesetaraan gender yang dimilikinya. Dengan upaya ini diharapkan bahaya laten yang disebarkan oleh iklan seksis dapat ditanggulangi.

Untuk inilah penelitian Daechun An dan Sanghoon Kim disempurnakan dengan semiotika. Semiotika merupakan studi tentang tanda yang berusaha untuk mencari makna ideologis dari suatu teks (Berger, 1982). Dengan semiotika individu berkesadaran akan kesetaraan gender akan memaknai iklan yang mengandung representasi gender melalui perspektif kesetaraan gender yang dimilikinya, sehingga individupun akan mendapatkan pemahaman akan iklan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Albers, N.D. 1994. Relating Hofstede’s Dimensions of Culture to International Variations in Print            Advertisements: A Comparison of Appeals. Unpublished doctoral dissertation, University of            Houston, Houston, TX
Bhagat, R.S., and S. J. McQuaid. 1982. Role of Subjective Culture in Organizations: A Review and            Directions for Future Research. Journal of Applied Psychology, Vol. 67 No. 5, pp. 653-85.
Berger, A. A. 1982. Media Analysis Techniques. Beverly Hills: Sage Publication
Bresnahan, M., Inoue, Y., Liu, W.Y. and Nishida, T. 2001. Changing Gender Roles in Prime-time            Commercials in Malaysia, Japan, Taiwan, and the United States. Sex Roles, Vol. 45 Nos 1/2, pp. 117-31.
Burns, K.S. and Lutz, R.J. 2006. The Function of Format: Consumer Responses to Six Online Advertising       Formats. Journal of Advertising, Vol. 35 No. 1, pp. 53-61.
Buck, E.B., Newton, B.J. and Y. Muramatsu. 1984. Independence and Obedience in the United States and         Japan. International Journal of Intercultural Relations, Vol. 8, pp. 279-300.
Dorfman, P.W. and Howell, J.P. (1988), “Dimensions of national culture and effective leadership            patterns: Hofstede revisited”, in Farmer, R.N. and McGoon, E.G. (Eds), Advances in            International Comparative Management, JAI press, Greenwich, CT, pp. 127-50.
eMarketers.  2003. North America online: demographics and usage”, available at:            www.emarketer.com/products/report.php?2000143
Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fishbein, M. & I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and       Research. Urbana-Illinois: Addison-Wesley Publishing Company
Ford, J.B., LaTour, M.S., Honeycutt, E.D. and M. Joseph. 1994. Female Sex Role Portrayals in            International Advertising: Should Advertisers Standardize in the Pacific Rim? American            Business Review, Vol. 12 No. 2, pp. 1-10.
Frith, K.T. 1997. Undressing the Ad: Reading Culture in Advertising in Undressing the Ad: Reading Culture in Advertising, Frith, K.T. (Ed.). New York, NY: Peter Lang.
Gooderham, P.N. and O. Nordhaug. 2002. The Decline of Cultural Differences in Europe. EBF, Vol. 8,  p. 48-53.
Hofstede, G.H. 1980. Culture’s Consequences: International Differences in Work-related Values.            Beverly Hills, CA: Sage.
Hofstede, G.H. and M. H. Bond. 1984. Hofstede’s Cultural Dimensions: An Independent Validation            Using Rokeach’s Value Survey. Journal of Cross-cultural Psychology, Vol. 15, pp. 417-33.
Kale, S.H. 1991. Culture-Specific Marketing Communications: An Analytical Approach. International     Marketing Review, Vol. 8 No. 1, pp. 18-30.
Katsurada, E., and Y. Sugihara. 1999. A Preliminary Validation of the Bem Sex Role Inventory in            Japanese Culture. Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 30, pp. 641-5.
Kusumastutie, N. S. 2003. Pemahaman Iklan Ditinjau dari Kesadaran akan Kesetaraan Gender. Skripsi  (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Lailatushifah, S. N. F. 1998. Kesadaran akan Kesetaraan Gender dan Kepuasan Perkawinan pada Suami  Istri dalam Rumah Tangga Pekerja Ganda. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas            Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Milner, L.M., and J. M. Collins. 2000. Sex-role portrayals and the gender of nations. Journal of            Advertising, Vol. 24 No. 1, pp. 67-79.
Mueller, B. 1987. Reflections of Culture: An Analysis of American and Japanese Advertising Appeals”,          Journal of Advertising, Vol. 27 No. 3, pp. 51-9.
Noor, M.N. 1999. Roles and Women’s Well-being: Some Preliminary Findings from Malaysia. Sex            Roles, Vol. 41, pp. 123-45.
NUA. 2002. How many online? Available at: www.nua.com/surveys/how_many_online/index.html
Warneryd, K.E. 1988. Social Influence on Economic Behavior in Van Raaij, W.F. and Warneryd,            K.E.     (Eds). Handbook of Economic Psychology, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.
Whipple, T.W., and A. E. Courtney. 1985. Female Role Portrayals in Advertising and Communication            Effectiveness: A Review.  Journal of Advertising, Vol. 14 No. 3, pp. 4-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar