Rabu, 31 Desember 2014

Peran CEO dalam Komunikasi Krisis

Tampilnya chief executive officer (CEO) Tony Fernandes saat krisis seakan mengukuhkan pendapat bahwa ketika perusahaan mengalami suatu krisis seorang CEO harus tampil di depan. Namun, situasi ini bukan tanpa risiko.

Selasa (25/03/2014) CEO Malaysia Airlines Ahmad Jauhari Yahya dan Chairman Muhammad Nur Yusuf menggelar jumpa pers soal tragedi pesawat MH370. Saat sesi tanya jawab, mereka diberondong pertanyaan soal bukti tentang jatuhnya pesawat berisi 239 orang tersebut di Samudera Hindia.
Saat sesi tanya jawab, kedua pejabat itu jadi sasaran empuk para wartawan. Banyak yang bertanya soal bukti serpihan dan penyebab kecelakaan, hingga kesediaan dua pejabat itu untuk mundur dari jabatannya.
"Bagaimana Anda bisa menyimpulkan pesawat berakhir di Samudera Hindia, sementara belum ada temuan serpihan apa pun. Apakah cukup hanya berdasarkan analisis data saja?" tanya salah seorang jurnalis.
Baik CEO maupun Chairman MAS tak bisa menjawab secara gamblang. Menurut mereka, proses investigasi masih berjalan. Data dari Inggris harus diterima sebagai sebuah kenyataan, meski pahit untuk keluarga korban. "Kami tidak tahu kenapa, dan kami tidak tahu bagaimana tragedi ini terjadi, tapi keluarga besar Malaysia Airlines kini terus berdoa untuk para penumpang dan kru MH370," kata Nur Yusuf.
Dalam beberapa literatur, tersirat bahwa peran utama CEO dalam mengatasi krisis organisasi adalah mengatasi problem tersebut. Peran tersebut, selain menetapkan arah bagi organisasi, CEO harus bisa meneguhkan atau mengembalikan kepercayaan stakeholder.
Ketika krisis terjadi, penting bagi setiap CEO untuk hadir. Kehadiran disini bukan hanya dengan pernyataan melainkan juga untuk hadir di tengah kerabat korban untuk menghibur, sering memberikan update yang transparan, dan menawarkan permintaan maaf serta berjanji untuk memberikan kompensasi.
Namun ketika CEO begitu terkait dengan citra perusahaan sebagaimana Fernandes, sangat penting bagi seorang pemimpin untuk tampil di depan dan hadir di-tengah keluarga korban. Jika seorang eksekutif memupuk dirinya sebagai bagian dari citra merek ketika dalam situasi yang tidak krisis, ada sebuah kekosongan yang lebih besar jika dia tidak hadir di saat yang buruk. Sejauh ini, Fernandes tampaknya memahami tanggung jawab yang kini makin tinggi itu.
Boin et al. (2005) menyebutkan lima tugas penting kepemimpinan yang harus dilakukan CEO saat krisis; yakni membangun sense of crisis, mengambil keputusan untuk menangani krisis, mem-framing dan membangun serta menyampaikan arti penting krisis kepada pemangku kepentingan, mengakhiri krisis untuk mengembalikan organisasi ke situasi normal, serta mengarahkan organisasi untuk belajar dari krisis yang telah terjadi.
Selain itu, salah satu peran eksplisit yang harus dijalankan CEO adalah penegasan kepemimpinan dengan mengasumsikan perannya sebagai juru bicara organisasi (Englehardt et al, 2004;. Littlefield dan Quenette, 2007; Mintzberg, 1998; Nadler, 2006; Petersen dan Martin, 1996).
Seorang CEO harus terlihat. Ini untuk mengukuhkan arti penting krisis bagi organisasi dan menghilangkan setiap gagasan bahwa organisasi mungkin mengingkari tanggung jawabnya kepada para pemangku kepentingan (Ulmer et al., 2007).
Ketika krisis, perusahaan atau rganisasi harus segera mengidentifikasi dan menunjuk satu juru bicara kunci untuk memastikan bahwa organisasi berbicara dengan satu suara. Menetapkan beberapa juru bicara akan membuat perbaikan citra lebih tersebar dan ambigu (Barrett: 2005). Sementara kredibilitas CEO sebagai juru bicara organisasi tidak diragukan lagi, yang belum jelas adalah pada kapan seorang  CEO harus tampil.
Seperti dimaklumi, perkembangan internet dan media sosial telah mengubah tantangan yang dihadapi para manajer.  Bila internet adalah sebuah langkah evolusi penting dalam komunikasi krisis, bukan revolusi, media sosial berhasil mengubahnya menjadi revolusi. Bila saat awal perkembangan internet manajer krisis masih menghadapi kebutuhan yang sama untuk mengidentifikasi tanda-tanda peringatan, menghadapi tuntutan komunikasi dasar yang sama, menggunakan konsep yang sama, dan harus memberlakukan respon strategis yang efektif, kini berubah total.
Manajer krisis perlu mengidentifikasi tanda-tanda peringatan secepat perkembangan isu sendiri. Di era media sosial, isu berkembang secepat hitungan jarum detik jam. Karena itu untuk mencegah krisis dan/atau membatasi kerusakan dari krisis yang muncul, dalam kondisi tertentu,  langkah cepat harus diambil.
Era media sosial telah mengubah cara bagaimana informasi dikumpulkan dan, dalam beberapa kasus bagaimana informasi diproses. Manajer krisis dihadapkan dengan permintaan untuk membuat respon yang cepat dan akurat.
Dalam situasi tersebut, para pakar manajemen krisis menyarankan bahwa perusahaan atau organisasi harus membangun jejaring online yang kuat dan mengidentifikasi serta memilih juru bicara online sebelum krisis berlangsung (Whaling, 2011).
Juru bicara tersebut, disiapkan untuk menghadapi krisis dan dia bertindak mewakili perusahaan atau organisasi selama krisis masih dianggap berlangsung dan bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan secara cepat dan akurat baik kepada public atau internal perusahaan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa juru bicara yang kredibel sangat menentukan keberhasilan manajemen krisis (Barret, 2005; Coombs, 2007). Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang harus menjadi jurubiacara tersebut? Berikut adalah tiga argumen umum dan apa yang harus Anda pertimbangkan.
Argumen pertama adalah bahwa yang menjadi juru bicara haruslah CEO. Kenapa? CEO adalah salah seorang atau satu-satunya suara yang tidak ingin perusahaannya gagal. Dalam suatu krisis, CEO harus mengelola krisis dan mengelola operasi bisnis.
Peran yang diharapkan dari CEO tersebut krusial terutama pada jam-jam pertama dari krisis, ketika hampir semua orang ingin mendapatkan informasi. Dalam krisis yang parah yang melibatkan jatuhnya korban cidera atau kematian, CEO menjadi bisa menjadi cerminan kasih sayang organisasi. Bahkan kemudian, CEO sebagai juru bicara mungkin dalam beberapa jam ke krisis.
Persoalannya adalah pada satu jam pertama krisis, ketika sebuah pernyataan harus dibuat, CEO sering sibuk dengan isu lain. Misalnya urusan internal, administrasi dengan pemerintah dan sebagainya. Kedua,  jika seorang CEO salah berbicara di awal krisis, dia kehilangan kredibilitas dan merusak reputasi organisasi. Bila itu terjadi, perusahaan sulit mencari pengganti sebagai jurubicara karena bila sang CEO tetap menjadi jurubicara, public sudah tidak mempercayainya lagi.
Akan menjadi persoalan bila penggantinya adalah orang yang memiliki posisi lebih rendah. Disini publik akan makin tidak percaya, karena dalam bayangan mereka, bila CEOnya saja salah memberikan informasi apalagi pejabat di level di bawahnya.
Ini beda dengan bila yang berbicara di awal adalah orang lain. Bila salah ngomong di awal krisis misalnya, orang tersebut bisa digantikan CEO yang masuk untuk mengklarifikasi fakta, sehingga bisa membangun kesan bahwa dialah sosok pahlawannya.
Baiknya adalah Argumen keda adalah bahwa yang menjadi jurubicara sebaiknya adalah public relations.  PR merupakan pilihan yang sangat baik sebagai wakil pada jam pertama dari krisis ketika wartawan datang pada awal-awal krisis. Namun, disini PR tidak harus menjadi suara tunggal seluruh krisis. Disini  PR harus menjadi anggota dari tim manajemen krisis dan harus memimpin tim komunikasi krisis.
Karena perannya sebagai penyampai pernyataan pertama tentang krisis, dia harus tetap berada di koridor rencana komunikasi krisis. Namun demikian, karena beberapa fakta yang dia diketahui, memungkinkan PR untuk memberikan fakta-fakta dasar, mengatakan sesuatu yg boleh disebut, sementara menjanjikan informasi lebih lanjut pada briefing di selanjutnya.
Argumen ketiga adalah yang menjadi jurubicara haruslah beberapa orang. Pertibangannya adalah pada jam-jam pertama krisis, orang atau public membutuhkan informasi dasar, misalnya peristiwanya kapan terjadi dan sebagainya. Namun, di jam-jam berikutnya yangmenyangkut perkembangan dari penyelidikan krisis misalnya, biasanya menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis. Disini tentu membutuhkan jurubicara yang faham mengenai hal teknis tersebut.

Bila itu dilakukan maka perusahaan – dalam konteks perencanaan komunukasi krisis – harus melatih banyak orang untuk siap menjadi jurubicara. Kedua, selama pelatihan -- perusahaan harus melakukan seleksi sebab ibarat tim olahraga, perusahaan memiliki banyak bintang serta orang-orang yang kuat di bangku cadangan yang siap untuk bermain bila diperlukan. Pelatihan, terutama media handling --  membantu mengidentifikasi pemain bintang dan pemain sekunder. 

Selasa, 30 Desember 2014

Pelajaran Dari Tony Fernandes tentang Social Media in Crisis


Sejak penerbangan AirAsia 8501 dinyatakan hilang pada Minggu lalu, secara konstan CEO AirAsia Tony Fernandes hadir - baik secara fisik dan maupu digital – di tengah krisis. Dia melakukan perjalanan ke Surabaya -- tempat keluarga korban berkumpul dan pesawat itu berangkat -- beberapa jam setelah berita bahwa pesawat hilang.

Di sana, dia melepas atribut topi bisbol merahnya dan menemui kerabat dan keluarga penumpang. Pada hari Selasa lalu, ketika ada konfirmasi puing-puing pesawat ditemukan di Laut Jawa, lewat Twitter-nya, Tony mentweet, "Bergegas ke Surabaya."

Setiap hari, Tony memposting rata-rata 20 tweet sejak pertama kali mengumumkan berita tentang hilangnya pesawat itu. Tony terus mengupdate keberadaannya, memberikan informasi baru perkembangan pencarian, dan menegaskan kembali fokus pada keluarga penumpang.

Logo maskapai di media sosial juga berubah menjadi abu-abu yang lebih muram dan hanya putih. Sebelumnya logo itu berwarna merah cerah. Selasa kemarin, Fernandes juga mengeluarkan permintaan maaf dan beban tanggung jawab di kakinya.

"Saya minta maaf sebesar-besarnya atas apa yang mereka alami," katanya pada konferensi pers, menurut laporan di Wall Street Journal. "Saya pemimpin perusahaan ini,... Saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya di sini. Saya tidak lari dari kewajiban saya meskipun kita tidak tahu apa yang salah [dalam menyebabkan kecelakaan]. Para penumpang berada di pesawat saya , dan saya harus bertanggung jawab untuk itu. "

Harus diakui bahwa Tony memang berbeda. Betapa tidak, menurut laporan tahunan CEO.com tentang social media engagement di kalangan para pemimpin bisnis, lebih dari dua pertiga (68 persen) dari Fortune 500 CEO sama sekali tidak hadir di media sosial jejaring  utama, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Google+ dan bahkan LinkedIn.

Survei juga menemukan bahwa sementara dari tahun ke tahun platform social media menunjukkan manfaatnya, namun sebagian besar CEO masih belum memanfaatkan media sosial. Dengan menggunakan kriteria kehadiran mereka di platform sosial media atau tidak dilihat dari apakah mereka mengirimkan psan dalam 100 hari terakhir, diperoleh gambaran bahwa dari mereka yang aktif hanya pada satu jaringan, 73 persen memilih LinkedIn. Kemudian, 69 persen yang menggunakan Twitter. Sementara itu hanya 8,3 persen CEO yang memiliki akun Facebook, atau naik sedikit dari tahun 2013.

Laporan ini juga mencatat bahwa lebih CEO berada di Instagram dari Google+.

Kondisi tersebut memang masih lebih baik dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan survey tahun lalu diperoleh gambaran sekitar 70 persen CEO tidak hadir di jaringan sosial. Dari 38 CEO -- perusahaan yang masuk Fortune 500 – yang hadir di Facebook, Michael Rapino dari Live Nation Entertainment memiliki teman paling banyak, 1723.

Sdmentara itu, di antara 20 CEO perusahaan Fortune 500 yang memiliki akun Twitter, 5 tidak pernah tweeted. Rata-rata jumlah pengikut untuk CEO Fortune 500 yang memiliki akun Twitter adalah 33.250.
Rupert Murdoch News Corp memiliki pengikut terbanyak dengan 249,000 pengikut, menyalip CEO HP Meg Whitman yang sebelumnya berada di nomor satu.

Temuan lain menunjukkan, 10 dari CEO Fortune 500 memiliki lebih dari 500 koneksi LinkedIn, sementara 36 CEO memiliki 1 koneksi LinkedIn atau tidak. Enam CEO Fortune 500 berkontribusi ke blog, dan hanya satu dari enam CEO, John Mackey dari Whole Foods, yang memantaun blognya sendiri. Tahun kemarin, tidak ada CEO Fortune 500 yang muncul di Pinterest.


Minggu, 28 Desember 2014

Dalam Komunikasi Krisis, Apakah Meminta Maaf itu Keharusan?

Dalam jumpa persnya di Surabaya, Bos AirAsia Tony Fernandes memberikan pembelaan terhadap Capt Irianto, pilot QZ8501. Bahkan Tony yang menyempatkan diri datang ke Surabaya terkait kejadian hilangnya pesawat itu mengatakan bahwa Irianto adalah pilot yang berpengalaman. Jadi dia sama sekali tidak menyalahkan sang pilot dalam peristiwa ini.

Tak hanya berkunjung ke Surabaya, Tony juga mengirimkan sejumlah cuitan untuk menyemangati keluarga penumpang Air Asia QZ 8501. Cuitan pertama dikirimkan oleh Tony pada Ahad, 28 Desember 2014 pukul 12.00 WIB. Dalam cuit tersebut, Tony berkata, "Kami akan memberikan kabar baru sesegera mungkin. Terima kasih atas segala perhatian dan doa yang kalian berikan. Kita harus tetap tabah."

Cuitan kedua dilayangkan Tony sekitar pukul 15.00 WIB. "Dalam perjalanan ke Surabaya bersama manajemen Air Asia Indonesia yang merupakan tempat asal sebagian besar penumpang. Akan mengirim informasi baru begitu mendapatkannya."

Tak lama dari cuitan kunjungan ke Surabaya itu, Tony melanjutkan cuitannya dengan mengatakan, "Perhatianku kutujukan penuh terhadap para penumpang dan kru saya. Kami berikan harapan kami terhadap operasi SAR."

Satu jam kemudian, Tony kembali mengirimkan cuitan. Kali ini, ia berkata,"Aku tersentuh dengan besarnya dukungan dari para maskapai penerbangan lainnya. Ini mimpi terburukku, tapi tak ada kata untuk berhenti."

Ia melanjutkan tweet tersebut dengan mengatakan,"Sebagai CEO, aku akan berada di sana (Surabaya) untuk melewati masa-masa susah ini. Kita akan melewati hal buruk ini bersama." Terakhir, Tony mengatakan bahwa dirinya akan memperhatikan segala kerabat dari para penumpang dan kru yang berada di dalam pesawat Air Asia QZ8501.

Perhatikan, apakah Tony pernah mengucapkan kata maaf? Dalam rilis pertama beberapa jam setelah pesawat hilang kontak, hanya disebutkan bahwa “dengan menyesal menginformasikan.” Tiada kata maaf secara eksplisit.

Bisa jadi Tony maupun manajemen AirAsia tak perlu mengatakan itu karena yakin musibah bukan disebabkan oleh pihaknya. Jadi, dalam konteks crisis communication, saat Anda atau perusahaan Anda melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain susah, apa yang Anda lakukan? Anda meminta maaf kepada semua orang? Atau melakukan seperti yang Tony lakukan.

Pertanyaannya berikut, apakah hal itu benar-benar merupakan langkah terbaik? Ketika datang krisis menimpa, sekadar mengatakan penyesalan hanya akan memunculkan kritik. Ini menyedihkan, tapi mungkin saja akurat.

Yang perlu diingat adalah bahwa pada dasarnya setiap keadaan itu unik. Dalam tulisannya 2 Desember lalu, Brett Arends menceritakan bahwa akhir November lalu, Elizabeth Lauten, direktur komunikasi untuk anggota Kongres dari Partai Republik mewakili Tennessee, melakukan sesuatu yang persis dengan yang seharusnya dia lakukan setelah membuat kesalahan.

Lauten mengkritik putri Presiden Obama di Facebook dan mengeluh bahwa mereka telah berpakaian tidak pas saat tampil di Gedung Putih dalam acara “turkey pardoning"

Ketika komentar itu  memicu kemarahan, Lauten memposting permintaan maaf yang isinya sebagai berikut: "Setelah berjam-jam berdoa, berbicara dengan orang tua saya dan membaca-ulang kata-kata saya yang tulis online, saya bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana menyakitkan kata-kataku itu. Perlu diketahui bahwa perasaan menghakimi seperti itu benar-benar tidak punya tempat di hatiku. Selain itu, saya ingin meminta maaf kepada semua orang yang merasa terluka dan tersinggung dengan kata-kata saya, dan berjanji untuk belajar dan tumbuh (dan saya meyakinkan Anda saya punya) dari pengalaman ini. "

Hasilnya? Dia kehilangan pekerjaannya, dan sama sekali tidak punya poin dari siapa pun untuk meminta maaf padanya.

Michael Jackson membantah tuduhan yang dikenakan terhadap dirinya. Bill Cosby juga menyangkal apa yang dikatakan orang-orang terhadap dirinya. Jika Anda berpikir dua penghibur itu menderita serius karena tidak menyatakan maaf, coba bayangkan sekarang bagaimana nasibnya jika mereka mengakui bahwa dugaan tuduhan itu akurat.

Internet telah mengubah permainan. Ada ada lagi penjaga gerbang. Tidak ada lagi aturan kesopanan atau alasan. Bahkan jika Anda berhasil membujuk produser beberapa TV, editor dan penulis dengan permintaan maaf Anda, apa yangterjadi? Mereka tenggelam oleh hiruk-pikuk kekacauan dan online.

Dalam kasus Lauten misalnya, meski telah minta maaf, namun orang-orang dalam media sosial masih menjuluki dia sebagai manusia dengki. Perintaan maaf akan tenggelam oleh suara yang paling keras, suara pemarah. Sebuah studi yang dilakukan peneliti University of Iowa pada situs terbesar, Yahoo Finance menemukan bahwa 50% dari semua komentar itu datang dari hanya 3% dari komentator. Kedua, 75% komentar itu berasal dari hanya 11% diantara mereka.

Jelas, jika Anda berada dalam situasi yang sama sekali tidak dapat dipertahankan Anda akan punya pilihan selain untuk meminta maaf. Tapi hal itu jarang terjadi daripada yang sering kita perkiraan.

Lauten mungkin akan menjadi lebih baik jika dia menolak untuk mundur. Sebaliknya, misalnya, dia mungkin menunjukkan bahwa putri Presiden Carter, Amy, juga pernah dikritik secara luas oleh media beberapa tahun lalu karena dia membaca buku di ruang makan Gedung Putih. Padahal, saat itu Amy baru berusia sembilan tahun.

Melalui media, Lauten bisa saja menyerang orang lain yang memberikan lampu hijau kepada remaja untuk muncul di acara-acara formal orang tua mereka dengan bercelana kargo, t-shirt, dan celana pendek.


Jadi, apakah meminta maaf itu perlu? Menurut saya perlu, bahkan harus. Meminta maaf bukan berarti kita melakukan kesalahan besar, tapi setidaknya dengan meminta maaf kita mengakui bahwa kita membuat mereka menjadi tinyak nyaman. 

Senin, 22 Desember 2014

Berpikir Out of The Box tentang Marketing Event

Salah satu yang paling penting untuk dipertimbangan oleh spesialis PR adalah bagaimana mengubah sikap dari target pasarnya. Terkait dengan masalah ini, banyak perusahaan yang berhasil atau menemui kegagalan sebagai akibat dari pemahaman (atau kesalahpahaman) mereka tentang bagaimana  berkomunikasi dengan kelompok-kelompok tersebut.
Tahun 2014 terbukti menjadi tahun yang besar bagi perusahaan yang bisa memahami bagaimana karakter segmen dan sasaran demografis dan psikografis tertentu. Mereka dengan cerdik menemukan cara berkomunikasi dengan target marketnya secara di lar kebiasaan yang dilakukan oleh merek-merek pesaing.


Ketika ingin berinteraksi langsung dengan khalayak sasarannya, yaitu existing nasabah dan calon nasabah baru dari kalangan masyarakat luas.  Bank BCA  mengadakan event besar yang melibatkan puluhan ribu audience seperti lomba lari marathon. Pada event ini, BCA juga mendorong penggunaan produk kartu kreditnya untuk pembelian tiket keikutsertaan lomba—melalui program potongan harga tiket sebesar 10% bagi peserta yang membayar dengan kartu kredit BCA.
Lalu apa yang membedakan event yang didakan Bank BCA dengan even-even lainnya? Seperti diketahui, lomba lari adalah salah satu olahraga yang digemari oleh masyarakat Indonesia belakangan ini. Namun untuk membedakannya dari event sejenis yang diselenggarakan brand lain, BCA mengeksekusi event ini pada malam hari dengan iringan musik dan lighting yang gemerlap.
 “Kami ingin memberikan sesuatu yang berbeda kepada masyarakat, khususnya kepada nasabah BCA. Di BCA Electro Run ini masyarakat dapat menikmati sensasi berlari bukan pada pagi hari seperti biasa yang dilakukan, melainkan pada malam hari dengan iringan musik dan lighting yang gemerlap. Hal inilah yang mendasari dukungan BCA terhadap penyelenggaraan BCA Electro Run,” ungkap General Manager Consumers Card  BCA Mira Wibowo dalam situs www.bca.co.id. Maka jadilah event yang dieksekusi oleh Ismaya Live bekerja sama dengan Mesarace ini sebagai lomba lari 5K perdana di Indonesia yang digelar malam hari.
Keunikan night run yang dihelat di Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 21 Juni lalu juga terletak pada suasana sinar-sinar gemerlap lantaran semua peserta diberikan gelang tangan LED, glow stick, serta kacamata yang bersinar dalam gelap.
Selain itu, di sepanjang track lari tersedia empat zona seru yang mengiringi lari: zona Disco Road, area musik dan nuansa era tahun 70-an; zona Orbs Road, area lari di antara bola-bola bersinar; zona Jungle Road, area nuansa hutan penuh peri bersinar dan iringan suara-suara musik; serta zona Techno Road, area terakhir yang penuh dengan musik bertempo cepat. Puncak acara berada di Electroland Festival yang menyajikan beragam performance dari DJ serta grup musik seperti Alexa, Midnight Quickie, Dipha Barus, DJ Yasmin, dan DJ Cheryl.

Hasilnya, event ini dihadiri oleh puluhan ribu peserta. Banyak peserta yang mengamplifikasi event ini lewat pengunggahan foto selfie dan grupie mereka di media sosial masing-masing dengan hashtag #BCAElectroRun.  

Jumat, 12 Desember 2014

Konsep Baru Marketing Public Relations


Kredibilitas sangat menentukan keefektifan MPR sekaligus menunjukkan nilai lebih dari MPR. Karena itulah seyogyanya MPR merupakan fungsi dari public relations.

Hari ini, perusahaan tak bisa lagi menghindari media sosial sebagai bagian integral dari bisnisnya. Dengan sangat cepat, media sosial berkonvergensi dengan media-media lainnya mulai dari yang berbasis internet hingga media cetak, sehingga sebagai platform, media sosial kini sangat diperlukan untuk menyampaikan pesan-pesan pemasaran kepada khalayak sasaran.
Bagi pemasar, media sosial menawarkan kekuatan untuk mencapai hasil yang besar dengan biaya yang sangat minim, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun demikian, media sosial juga menciptakan risiko tak terhitung karena banyak bisnis yang belum siap untuk mengambil. Salah satu risiko tersebut berkaitan dengan masalah bagaimana membangun keterlibatan (engagement) dengan konsumen melalui media sosial sehingga bisa mempengaruhi perilaku konsumen berikutnya '.
Anda, pesaing Anda mungkin sudah mempunyai akun twitter, facebook atau jejaring sosial media sosial lainnya. Tapi apa yang sudah Anda lakukan? Seberapa banyak Anda posting pesan setiap hari? Seberapa sering Anda merespon pertanyaan-pertanyaan yang muncul di akun media sosial Anda. Apakah Anda selalu menjawab atau berusaha menyelesaikan keluhan pelanggan Anda? Seberapa banyak pesan Anda yang diteruskan oleh “pengikut” akun media sosial Anda ?
Pesatnya pertumbuhan Web telah menyebabkan munculnya disiplin komunikasi pemasaran baru yang disebut "NetRelations" atau irisan dari disiplin pemasaran langsung tradisional, public relations dan Internet.
Dengan kata lain, net-relations adalah satu perangkat keterampilan baru dalam komunikasi produk dan jasa yang memanfaatkan jangkauan global, komunikasi seketika dan fungsionalitas Web untuk mencapai sasaran pemsaran. Konsekuensinya, perusahaan kini dituntut untuk memahami wilayah  komunikasi baru sehingga dapat mengeksploitasi kekuatan yang luar biasa otot dunia online ini sebagai media pemasaran.
Harus diakui, net-relations telah mengaburkan batas antara disiplin pemasaran dan public relations  dengan menawarkan kepada perusahaan suatu ruang layanan baru yang interaktif guna menjangkau konsumen yang ditargetkan. Melalui Web baru ini pemasar bisa mengadakan acara promosi on-line, live chat, sosisalisasi produk, beriklan, membuat media, dan sejumlah pemasaran dan public relations lainnya untuk membantu mengembangkan bisnis mereka.
Tren ini mengaburkan batasan yang sudah kabur sejak kemunculan praktek-praktek marketing public relations - sebuah istilah yang muncul sebagai irisan diantara dua kata pemasaran dan PR pada 1980-an. Trend ini memunculkan perdebatan soal marketing-public relations. Ini bisa dirujuk dari surat Norman Hart (1991) dari Chartered Institute of Marketing (Inggris) yang menyatakan bahwa “Ini saatnya untuk menempatkan public relations dalam perspektif yang benar dalam kaitannya dengan pemasaran. Kini harus disadari bahwa PR tidak bisa lagi diperlakukan sebagai bagian dari fungsi pemasaran. Dalam hal tertentu, pemasaran dapat pula menjadi bagian dari PR.”
Kotler (1991a) menggambarkan MPR sebagai anak dari – ibarat dua orang tua -- pemasaran dan PR. Menurut Harris (1993), MPR muncul sebagai suatu disiplin promosi baru yang khas pada 1980an yang menawarkan teknik aplikasi khusus yang mendukung kegiatan pemasaran. Secara konsep dan praktek, menurt Harris, MPR terpisah dari PR perusahaan, dan bahkan lebih mendekati peasaran ketimbang PR.
MPR adalah proses perencanaan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program yang mendorong pembelian dan kepuasan konsumen melalui komunikasi informasi yang kredibel dan kesan bahwa perusahaan dan produk mampu mengenali kebutuhan, keinginan, perhatian, dan kepentingan konsumen. Khalayak yang dituju dari MPR adalah masyarakat dan konsumen.
Dua tahun lalu, ketika Majalah MIX-MarketingCommunication mengadakan focus group discussion tentang public relation award dengan membuat kategori baru, teman-teman praktisi social media PR merasa bahwa wilayah itu sebenarnya lebih banyak menjadi domainnya marketing. Ini membuktikan bahwa perdebatan itu masih ada bahkan mungkin bertambah karena media sosial makin mengaburkan batasan-batasan tersebut. PR dan marketing seakan tidak bersekat yang celakanya makin memperlemah peran PR sendiri. 
Ini makin kentara ketika membicarakan soal word-of-mouth atau content marketing misalnya.  Seperti dimaklumi, dalam beberapa waktu terakhir ini content marketing menjadi semacam jargon yang banyak kita dengar. Ini terkait dengan thesis selama ini yang makin memprkokoh bahwa pada dasarnya pembicaraan tentang suatu merek bisa mengarahkan seseorang untuk membeli atau tidak membeli merek tersebut. Kemudian kita sering mendengar adegium bahwa “content is the king, conversation is kingdom.” Artinya apa? Bahwa content marketing itulah yang menjadi kunci dari publik membicarakannya.
Pertanyaannya adalah siapa yang harus merancang konten itu? Jadi Content Marketing itu fungsi public relation atau marketing? Pertanyaan ini makin memperpanjang durasi diskusi tentang batasan marketing dan public relations yang bisa jadi – dengan berkembangnya media sosial -- saat ini makin kabur. Sebab seperti diketahui, praktek PR adalah tentang mempengaruhi opini publik dan menjaga reputasi. PR menyampaikan pesannya melalui pihak ketiga, seperti pers atau analis industri. Sementara itu, pemasaran dan periklanan, perusahaan itu sendiri memberikan pesan-pesan.
Pekerjaan ini tidak jauh bedanya dengan seorang jurnalis yang merancang, mengobyekkan atau menjadikan fenomena sebagai objek dalam bentuk kata atau bahasa dan mempublikasikannya sendiri atau melalui pihak lain. Sementara itu, content marketing difokuskan pada hasil akhirnya, seperti penjualan. Dalam konteks tahapan proses keputusan pembelian oleh konsumen, sejatinya PR berada di pangkalnya, yakni membangun kesadaran dan reputasi, sementara content marketing diposisikan pada area pertimbangan dan pilihan.
Apakah Anda pernah mengambil brosur atau flyer yang dikeluarkan oleh perusahaan atau merek? Juga membuka-buka newsletter perusahaan, baca komik secita singkat yang terdapat di sebungkus permen karet? Semua ini adalah beberapa cara yang dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menggunakan konten untuk memasarkan produk atau layanan mereka kepada pelanggan dan calon pembeli. Siapa perencana dan eksekutornya? Dengan kata lain siapa penanggung jawabnya? PR atau marketing?
Content marketing bukanlah hal baru. Sejak bertahun-tahun lalu perusahaan telah menciptakan dan mendistribusikan konten untuk menarik bisnis baru dan mempertahankan pelanggan yang ada. Inilah yang membedakan antara content marketing dan bentuk-bentuk pemasaran dan iklan tradisional. Disini perusahaan atau merek tidak menggunakan konten untuk menjual. Isi pesan yang biasa dimunculkan dalam bungkus permen tadi misalnya, lebih banyak mengandung informasi yang saat itu relevan dengan kebutuhan konsumen bersifat menidik sehingga bermanfaat, menarik, dan kadang-kadang menghibur.
Pada awalnya, public relations dikembangkan sebagai agency pers yang berusaha memanfaatkan setiap  kesempatan untuk mendapatkan publisitas produk, perusahaan, dan perorangan (personal). Kemudian, para praktisi PR makin mempertajam perencanaan kegiatan publisitas dengan melakukan penelitian pendapat public sebelum mempublikasikan kampanyenya.
Begitu perusahaan menyesuaikan rencana kamapnyenya dengan perubahan lingkungan, mkaa dipandang penting untuk membangun, mengembangkan dan memelihara hubungan dengan berbagai domain publik untuk membangun keunggulan kompetitif-nya.
PR saat ini harus melakukan banyak hal. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan publisitas, manajemen reputasi, dan media. Karena itu, jantung PR adalah selalu menanamkan cerita di media seperti koran, majalah, televisi, dan radio. Disini PR tertantang untuk membuat cerita dalam bentuk dokumen pers rilis satu atau dua halaman singkat, mempersuasi dan meyakinkan wartawan bahwa topik yang dibuat itu bernilai dan menarik.
Jika diperhatikan, pasar dan audience hari ini, mereka semuanya memfokuskan perhatiannya pada communicator.  Siapa sebenarnya yang menyampaikan pesan. Seperti yang kita tahu, pasar saat ini selalu menginginkan komunikator selalu on, real-time, dan beroperasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu pada saat itu juga.
Konsumen membeli dan stakeholder bertindak sesuai dengan frame waktu mereka sendiri. Nah, disini pertanyaannya adalah siapa yang bertanggungjawab merespon kebutuhan public atau konsumen ini? PR atau marketing? Saya sendiri melihat bahwa itu seyogyanya dilakukan oleh seorang PR.
Salah satu peran MPR adalah memperkenalkan produk atau revisi produk pada suatu area. Dalam konteks ini, MPR diintegrasikan dengan sarana IMC lainnya untuk menghasilkan exposure tambahan tentang produk, kesan yang layak diberitakan dan kredibilitas.
Faktor yang terakhir ini, yakni kredibilitas, sangat menentukan keefektifan MPR sekaligus menunjukkan nilai lebih dari MPR. Kenapa? Bila MPR dilakukan oleh seorang atau organisasi PR, dia harus emnyerahkan pesannya kepada pihak ketiga, dalam hal ini bisa saja redaksi media massa, blogger, atau buzzer lainnya untuk diolah dan tidak bisa dikontrol oleh praktisi PR tadi.
Sebaliknya dengan marketing atau periklanan, mereka langsung menyerahkan pesan tersebut untuk – dengan membayar biaya tertentu -- langsung dipublikasikan dan isinya tetap bisa dikontrol oleh pemasang iklan misalnya.
Konsekuensinya, dalam konteks iklan atau promosi lainnya, public mempertanyakan motif pemasang iklan setelah mengetahui merek mereka memiliki kepentingan pribadi dalam membujuk konsumen. Dengan kata lain, publikasi oleh editor surat kabar atau penyiar televise lebih dapat dipercaya. Para konsumen jarang mempertanyakan motivasi yang mendasari editorial-type ensdorsement.

Karena itulah publisitas adalah sarana MPR proaktif yang utama. Seperti periklanan dan penjualan perorangan, tujuan fundamental dari publisitas yang berorientasi pemasaran adalah untuk meningkatkan ekuitas merek dalam dua cara: pertama, melalui kesadaran akan merek dan, kedua, menambah citra merek melalui asosiasi yang kuat dan menguntungkan dengan merek-merek dalam benak para konsumen. Disinilah peran PR.

Format Baru Persaingan Perguruan Tinggi di Indonesia

Survei ini mengukuhkan anggapan bahwa perguruan tinggi neheri masih lebih diminati dibandingkan swasta. Akan tetatpi, benarkan dari sisi kualitas perguruan tinggi negeri dinilai lebih tinggi dibandingkan perguruan tinggi swasta?

Pendidikan memiliki kontribusi yang makin penting dalam pembangunan sosial ekonomi. Penelitian yang dilakukan Walter McMahon, Profesor Pendidikan Emeritius di Universitas Illinois, menunjukkan bahwa jumlah lulusan sarjana di sebuah negara berkembang mempunyai dampak yang sangat cepat dan dapat diukur secara statistik pada area-area tertentu di dalam masyarakat, termasuk tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Karena itu muncul tekanan dari stakeholder terhadap kinerja pendidikan tinggi, terutama dalam adaptasi kurikulum sehingga bisa memenuhi tuntutan pasar tenaga tenaga yang saat ini juga berubah. Ada tuntutan agar pendidikan tinggi di Indonesia mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja global.
Paradigma bahwa pendidikan tinggi bukanlah biaya tetapi investasi yang sangat menguntungkan semakin diterima. Di negara-negara OECD, jumlah penduduk usia dewasa yang menyelesaikan pendidikan tinggi mencapai 28% populasi dunia berpendidikan tinggi, dan secara khusus di populasi masyarakat dengan pendidikan tinggi di Jepang dan Amerika Serikat mencapai hampir setengah (48%) dari populasi dunia yang memperoleh pendidikan tinggi (OECD, 2010, hal. 27).
Persoalannya, di Indonesia, tingkat akses pendidikan tinggi di Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tengara lainnya. Pada 2010, Gross Enrollment Ratio (GER) Indonesia tingkat pendidikan dasar dan menengah setara dengan negara berkembang di Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, GER tingkat pendidikan tinggi Indonesia lebih rendah. Indonesia berada di tingkat 14,6% sementara Malaysia (28,3%), Thailand (35,3%) dan Singapura (33,7%).
Tinggi rendahnya Gross Enrolment Ratio berhubungan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebuah negara. PBD per kapita di tahun 2010  Indonesia sebesar USD 4.310 jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia (USD 15.116), Thailand (USD 8.655), dan Singapura (USD 57.596).
Konsekuensinya, akses masyarakat pada pendidikan tinggi juga terbatas. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru 5,3 juta orang, 1 juta diantara berasal dari perguruan tinggi negeri, 3 juta di perguruan tinggi swasta, sisanya pedidikan tinggi kedinasan, keagamaan dan sebagainya. Angka tersebut di luar mereka yang menempuh pendidikan di luar negeri. Menurut perkiraan setiap tahun sekitar 36 ribu pelajar Indonesia yang masuk ke perguruan tinggi   di luar negeri.
Indonesia sianggap sebagai pasar yang besar untuk perguruan tinggi asing. Tak heran negara-negara asing gencar promosi pendidikan tinggi di Indonesia. Malaysia, Singapura, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Taiwan, China, maupun negara Eropa ramai-ramai menggelar promosi pendidikan asing di Indonesia. Mereka memperkenalkan berbagai kelebihan dan fasilitas yang didapat mahasiswa jika melanjutkan studi di negara tersebut. Mereka  juga berani menawarkan berbagai beasiswa dan kemudahan.
Dunia pendidikan tinggi menghadapi tantangan baru. Tantangan-tantangan ini termasuk reformasi pemerintah dalam pendidikan tinggi, yang di dalamnya antara pendirian perguruan tinggi negeri di setiap ibu kota provinsi yang saat ini belum memiliki perguruan tinggi negeri dan akademi komunitas di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya.
Bagai pengelola pendidikan tinggi, ini merupakan tantangan, terutama dalam upayanya untuk merekrut calon mahasiswa. Tapi di sisi lain, lembaga pendidikan tinggi dihadapkan pada persaingan perguruan tinggi dalam merekrut calon mahasiswa. Disinilah pentingnya bagi lembaga pendidikan tinggi untuk mengidentifikasi faktor-faktor kelembagaan yang pertimbangan seorang calon mahasiswa memilih perguruan tinggi sangat penting.
Harus diakui bahwa proses pemahaman terhadap faktor-faktor yang menjadi pertimbangan calon mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi tidaklah mudah. Diakui atau tidak, bagi calon mahasiswa, proses pemilihan perguruan tinggi merupakan keputusan besar.
Tidak hanya dalam hal keuangan, tetapi juga karena melibatkan suatu keputusan jangka panjang yang mempengaruhi kehidupan siswa.  Ini karena – dalam persepsi banyak orang -- pilihan ini dapat mempengaruhi karir masa depan siswa, persahabatan, kehidupan sosial di masa depan dan kepuasan pribadi siswa. 
Dalam perspektif calon dan orang tua calon mahasiswa, keputusan untuk mendaftar di lembaga pendidikan tinggi dianggap berpotensi mengubah kehidupan individu. Karena itu, keputusan tersebut merupakan isu yang penting. Namun, proses yang mempengaruhi keputusan ini panjang dan rumit.
Studi ini meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi siswa dalam keputusan mereka untuk memilih pendidikan tinggi dengan pendekatan model stimulus-respon perilaku konsumen, menunjukkan bahwa ketika akan mengambil keputusan, siswa dihadapkan dengan stimulus eksternal seperti kendaraan pemasaran institusional, atribut institusional dan faktor non-terkontrol seperti orang tua dan teman-teman.
Ibarat memilih produk yang ingin dibelinya, pemilihan perguruan tinggi melibatkan berbagai tahapan proses pengambilan keputusan. Secara umum model pengambilan keputusan terdiri dari sejumlah tahap atau fase di mana faktor-faktor individu dan berbagai organisasi berinteraksi untuk menghasilkan sesuatu  yang mempengaruhi tahap pengambilan keputusan berikutnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Majalah MIX, dalam manentukan pendidikan tinggi, keputusan pemilihan pendidikan dilakukan berdasarkan kombinasi dari beberapa faktor. Rata-rata, para peserta menyebutkan setidaknya tiga faktor penting yang mempengaruhi keputusan mereka untuk memilih pendidikan tinggi. Yang pertama adalah kualitas lulusan, kedua reputasi, dan kesesuaian antara biaya dan manfaat yang didapatkan.
Survei yang dilakukan Majalah MIX ini mengukuhkan bahwa kualitas lulusan memegang peranan penting dalam keputusan siswa dan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan tinggi. Teoritis, konsep ini berfokus pada pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan agar seseorang bisa mencapai kinerja yang fleksibel dalam domain pekerjaan tertentu.
Menjelang akhir tahun 1990-an, konsep ini menginspirasi munculnya konsep kompetensi, yang merupakan hasil dari sesuatu yang  dipelajari dan diajarkan yang menunjukkan bakat seseorang untuk melakukan berbagai aktivitasnya seperti pekerjaan, belajar, dan mengatasi perubahan.
Periode ini juga menyaksikan runtuhnya gagasan pendidikan tinggi sebagai rezim otonom. Pendidikan tinggi semakin datang untuk dilihat sebagai penyedia modal intelektual bagi ekonomi pengetahuan, dimana penekanan utama ditempatkan pada kompetensi yang berkaitan dengan kerja tim, pemecahan masalah, kreativitas masalah, dan kemampuan analitis. Kompetensi ini dipandang sebagai karakteristik lulusan yang kompeten dan diterima secara luas oleh masyarakat terutama dunia industri.
Tidak mengherankan, meningkatnya minat dalam kompetensi dan relevansi pendidikan bagi pasar tenaga kerja tidak begitu saja oleh mereka yang peduli dengan manajemen mutu dalam pendidikan tinggi. Di masa lalu, fokus terutama pada input pendidikan dan proses pendidikan itu sendiri, tapi hari ini ada peningkatan perhatian pada tujuan akhir, atau output yang diinginkan, dari program pendidikan tinggi.
Selain itu, kini terjadi pergeseran lebih lanjut dalam output, dari kinerja pendidikan seperti yang ditunjukkan, misalnya, dengan hasil ujian, ke kompetensi yang (diharapkan) dimiliki lulusan. Alasannya sederhana: beberapa bukti menunjukkan bahwa pendidikan tinggi terbaik dapat menunjukkan kualitas mereka melalui kemampuan lulusan mereka praktek di dunia kerja.
Dengan kata lain, konsep kompetensi ini menjadi salah satu hal penting karena alasan bahwa mengikuti pendidikan tinggi adalah untuk memperoleh kualifikasi tinggi dalam pekerjaan atau karir tertentu. Motif lain, seperti untuk meningkatkan pendapatan atau untuk mendapatkan pekerjaan yang prestisius juga  dianggap penting oleh beberapa responden. Dengan kata lain, tujuan utama belajar di pendidikan tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan.
Ada kepercayaan yang kuat di kalangan siswa bahwa mereka diharapkan untuk "memperbaiki diri" dengan masuk ke pendidikan tinggi. Mereka menyebutkan bahwa hal itu tidak hanya akan menyebabkan pekerjaan yang lebih baik, tapi pekerjaan yang dibayar lebih baik dan pilihan yang lebih baik dari pekerjaan. Karena itu, dalam survey ini, indikator untuk mengukur kualitas lulusan ini adalah kemudahan lulusan dalam memperoleh pekerjaan, dan sebagainya.
Reputasi lembaga juga dianggap sebagai faktor terpenting dalam keputusan siswa dalam memilih pendidikan tinggi. Teoritis, reputasi lembaga pendidikan tinggi ini mempengaruhi sikap siswa dalam memilih sebuah institusi dengan melihat faktor status lembaga (apakah publik atau swasta), peringkat dan prestasi lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Ketika memilih sebuah lembaga pendidikan tinggi, siswa tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi dan sikap mereka sendiri, tetapi juga oleh apa yang dipikirkan orang lain. Umumnya, reputasi lembaga pendidikan tinggi berkaitan dengan keunggulan umum dari sebuah institusi di mata publik. Sebagai contoh, siswa dan orang tua percaya bahwa lembaga pendidikan tinggi negeri setempat memberikan pendidikan sarjana yang lebih baik daripada lembaga-lembaga swasta.
Dalam pandangan publik, lembaga yang memiliki citra yang baik di masyarakat, menghasilkan lulusan terbaik. Lainnya dibedakan antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sebagian besar dari mereka menyebutkan bahwa lembaga pendidikan negeri telah terakreditasi daripada lembaga swasta, sehingga kualitas sangat unggul. Jadi secara umum, peringkat lembaga mempengaruhi perspsi siswa dan orang tua terhadap kualitas lembaga secara langsung.
Survey tetang lembaga pendidikan tinggi ini dibedakan antara lembaga pendidikan tinggi berakreditasi A dan B. Survei yang dilakukan Majalah MIX ini lembaga pendidikan tinggi negeri lebih banyak dipilih siswa ketimbang lembaga pendidikan tinggi swasta. Selain itu, dilihat dari semua indicator, lima lembaga pendidikan tinggi negeri teratas, nilai semua indikator lebih tinggi dari nilai semua indicator yang dicapai oleh lembaga pendidikan tinggi swasta.
Kedua, dari sisi pilihan, harus diakui bahwa lembaga dengan akreditasi A masih lebih dipilih ketimbang lembaga dengan akreditasi B, meski harus diakui bahwa dilihat dari masing-masing indikator tidak ada perbedaan signifikan antara kretiria pemilihan lembaga akriditasi A dan B. Ketiga, pemisahan ini mengakibatkan naiknya posisi Universitas Trisakti.
Tahun sebelumnya, untuk sekolah komunikasi posisi Universitas Trisakti berada di urutan ketiga setelah STIKOM LSPR dan Universitas Bina Nusantara. Tahun lalu, peringkat Universitas Trisakti naik ke posisi kedua di bawah STIKOM LSPR. Sementara itu Universitas Bina Nusantara yang tahun ini berakreditasi B, menduduki peringkat pertama di kelompok akreditasi B.
Banyak orangtua dan siswa sangat menekankan masuk ke lembaga pendidikan tinggi papan atas. Ini  karena lembaga pendidikan tinggi tersebut membantu siswa untuk mendapatkan pekerjaan terbaik. Mereka juga mengkaitkan peringkat lembaga dengan akreditasi. Menurut mereka, bila suatu lembaga  memiliki kredibilitas yang baik, kualitasnya juga baik. Akreditasi dan peringkat adalah panduan yang berguna untuk mendapatkan pekerjaan yang baik.

Persepsi lain tentang reputasi lembaga juga dipengaruhi oleh kemungkinan bahwa mereka akan diterima oleh lembaga pendidikan tinggi pilihan mereka. Siswa mengasumsikan bahwa reputasi berhubungan dengan tingkat kemampuan bersaing, karena mereka tahu bahwa semakin tinggi daya saing suatu lembaga, maka reputasi lembaga tersebut semakin tinggi.

Kamis, 04 Desember 2014

Beda Nation Branding dan Nation Brand

Reputasi negara mempengaruhi setiap interaksi dengan dunia luar. Dalam konteks perdagangan, investasi dan pariwisata, reputasi negara mempengaruhi bagaimana warga negara diperlakukan ketika mereka pergi ke luar negeri untuk belajar, bekerja atau melakukan bisnis.
Jika pemerintah dapat meningkatkan reputasi suatu negara, setidaknya itu berarti pemerintah melakukan layanan besar bagi warga negaranya. Karena itu, menjadi kewajiban setiap pemerintah untuk bekerja mengembangkan citra negaranya di luar negeri. Di pasar global, reputasi negara asal semakin penting terutama ketika orang-orang memiliki persepsi bahwa semua produk sama.
Bila dalam dunia bisnis, makin banyak perusahaan yang semakin menyadari pentingnya reputasi perusahaan untuk mencapai tujuan bisnis dan tetap kompetitif, dalam urusan pengelolaan negara seyogyanya juga demikian.
Hari-hari ini, dunia terlibat dalam persaingan sengit untuk berebut sumber daya, relokasi bisnis, investasi asing, pengunjung dan penduduk. Dalam dunia perdagangan yang semakin liberal, strategi harus berkonsentrasi menghasilkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Dalam konteks ini, Kotler (2002, p.253), menekankan pentingnya suatu negara untuk menciptakan sumber keunggulan bersaing.
Dalam menciptakan keunggulan bersaing tersebut, pola lama mungkin masih diperlukan meski harus direbitalisasi karena bisa jadi yang lama itu menjadi makin kurang efektif di lingkungan yang semakin demokratis seperti sekarang ini. Dengan kata lain, globalisasi telah mengubah permainan, dan maraknya media social membuat permainan itu berubah lagi.
Secara historis, negara-negara yang hanya memperhatikan pasar dalam negeri, terbelenggu oleh keterbatasan pasar, pariwisata, dan ekspor yang hanya mengandalkan produk tradisional untuk pasar tradisional. Di sisi lain, bila mereka ingin masuk ke pasar global, mereka harus memperhatikan keunggulan bersaingnya.
Terkait dengan konsep keunggulan kompetitif bangsa, pakar strategi bersaing, Michael Porter mengatakan bahwa kemakmuran nasional itu dibuat, tidak diwariskan. Lebih jauh dia mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu negara merupakan kapasitas suatu negara untuk menarik perusahaan (baik lokal maupun asing) menggunakan negara tersebut sebagai platform berbisnis.
Menurut Kotler (2002, p.253), banyak alasan yang membuat negara-negara harus mengelola nation brand mereka. Perkembangan global mengharuskan setiap negara, kaya atau miskin, bersaing dengan negara lain berebut pangsa konsumen dunia, wisatawan, investor, mahasiswa, pengusaha, olahraga internasional dan acara budaya, dan perhatian dan rasa hormat media internasional, pemerintah, dan rakyat negara lain (Anholt, 2007). Negara-negara di dunia juga berebut orang-orang berbakat serta mencari pasar untuk ekspor mereka.
Disinilah pentingnya konsep nation branding. Itu karena jika nation brand suatu negara tidak baik, mereka akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar global mereka. Dalam konteks ini, terdapat garis pembeda antara konsep nation branding dan nation brand.
Dimana perbedaannya? Seperti disebutkan, pada dasarnya, sebuah negara memiliki citra merek, baik dengan atau tanpa nation branding. Setiap negara memiliki nama dan image yang unik di dalam pikiran orang di dalam dan luar negeri, sehingga negara tersebut memiliki brand.
Sebuah nation brand adalah keseluruhan persepsi suatu bangsa dalam pikiran para pemangku kepentingan (stakeholder) internasional. Disini bisa saja terkandung beberapa elemen seperti orang, tempat, budaya / bahasa, sejarah, makanan, fashion, wajah-wajah terkenal (selebriti), merek global dan sebagainya. Dengan demikian, ada atau tanpa upaya sadar berupa nation branding, setiap negara memiliki image di benak pikiran audiens internasional secara atau lemah, jelas atau samar.
Nation branding pada dasarnya merupakan upaya untuk membuat suatu negara menjadi unik dan memastikan image-image unik tersebut menjangkau dan membenam di benak kelompok sasaran. Nation branding melibatkan promosi citra bangsa kepada audiens internasional untuk mendapatkan keuntungan bagi suatu negara baik politik, sosial dan ekonomi dan menciptakan keunggulan kompetitif.
Nation brand berfokus pada penerapan branding dan teknik komunikasi pemasaran untuk mempromosikan citra bangsa. Dengan menggunakan branding, nation brand mengkonfirmasi atau mengubah perilaku, sikap, identitas atau image dari suatu negara dengan cara yang positif. Namun demikian, nation branding berbeda dengan branding tradisional karena tidak ada produk atau jasa untuk dijual, tidak ada tujuan promosi yang sederhana. Tujuan nation branding adalah membuat orang melihat suatu negara sedikit berbeda dengan negara lainnya (Anholt, 2008).
Nation branding bisa dikatakan tidak hanya memusatkan pada upaya mempromosikan produk tertentu kepada pelanggan. Nation branding memperhatikan keseluruhan image dari suatu negara, termasuk sejarah, politik, ekonomi dan budaya. Suatu bangsa bukanlah suatu produk konvensional. Nation brand menawarkan produk atau jasa yang tangible, melainkan sesuatu yang mewakili dan mencakup berbagai faktor dan asosiasi, seperti tempat – geografi, tempat wisata; sumber daya alam, produk-produk lokal; orang – ras, kelompok etnis; sejarah; budaya; bahasa; dan sebagainya.

Rabu, 03 Desember 2014

Brand Shift: The Future of Brands and Marketing


Model pemasaran merek kini berubah cepat. Betapa tidak, ketika pemasar masih memikirkan satu peluang segala perhitungan risikonya, peluang baru sudah di depan mata dan itu harus segera diperebutkan lagi. Karena kalau tidak, pemain lain mengambilnya. Dengan kata lain, masa depan kini menjadi suatu subjek khusus yang harus dibaca dengan cepat.

Bila sebelumnya pemasar boleh lupa. Kini tak seakan tak boleh lupa, karena dunia sekarang penuh dengan tekanan mulai dari trend Big Data, the Internet of Things, Digital Natives, Globalization, Social Media, dan sebagainya yang menggambarkan perubahan teknologi dan sosial yang begitu kompleks. Semua orang bisa melihat terjadinya pergeseran di sekitar mereka.


Owen Shapiro, salah satu penulis buku Brand Shift: The Future of Brands and Marketing, mencatat setidaknya ada lima revolusi yang bisa mengubah model pengelolaan merek dan pemasaran. Revolusi pertama adalah berakhirnya Era Informasi. Banyak orang berpikir saat ini orang masih berada di di Era Informasi. Kenyataannya, orang sekarang telah meninggalkan Era Informasi ke belakang dan memasuki tahap baru pembangunan manusia yang didorong oleh keterkaitan global dan perkembangan teknologi yang cepat di semua bidang kehidupan.

Pertumbuhan secara eksponensial dan konvergensi beragam teknologi baru - dikombinasikan dengan meningkatnya populasi, media dan teknologi media -- mengantarkan konsumen ke era perubahan sosial yang revolusiner yang belum pernah mereka  lihat sebelumnya. Di masa depan, perusahaan dipaksa untuk menemukan cara untuk memanfaatkan peluang itu atau hancur. 

Revolusi kedua – dan ini salah satu pergeseran kekuatan terbesar dari abad ke-20 -- adalah pergeseran dari kekuatan institusional kekuasaan individu, dan pergeseran itu tidak akan berhenti. Internet telah memberdayakan individu untuk berkomunikasi dengan siapa pun di dunia, dan sekarang sekelompok orang bisa menjatuhkan pemerintah tanpa senjata. Mereka bisa menjatuhkan pemerintahan hanya dengan senjata ponsel.

Selanjutnya, kelembagaan di semua bidang kehidupan – mulai dari pendidikan, kesehatan, agama, media, bisnis -- dipaksa untuk berubah hanya karena orang sekarang memiliki kemampuan lebih dari sebelumnya untuk mengatur, memobilisasi, berinovasi, mengganggu, dan permintaan.

Merek – pada hampir semua jenis produk -- juga telah berubah dari penemuan yang sifatnya murni kelembagaan ke ekspresi pribadi. Di bisnis, pemberdayaan pelanggan perorangan berarti mengembangkan dinamika hubungan bisnis dengan pelanggan. Dalam konteks ini, pelanggan akan terus menuntut transparansi, integritas, dan responsif dari orang yang mereka pilih dalam melakukan bisnis. Di sisi lain, bisnis tidak memiliki pilihan selain mematuhinya. Disini, pelaku bisnis yang cerdas berusaha memulai  daripada menunggu untuk dipaksa memulainya.

Revolusi ke tiga adalah pergeseran dari kecerdasan artifisial menjadi kurang artifisial. Kreativitas dan imajinasi sering dianggap sebagai salah satu wilayah komputer yang tidak pernah bisa ditaklukkan. Tapi di sisi lain, memunculkan kesadaran bahwa manusia seyogyanya memiliki kemampuan mengontrolnya.  

Beberapa waktu lalu ada iklan komputer IBM Watson yang menggembar-gemborkan kemampuannya untuk menghasilkan ide-ide baru – semisal membantu koki mengembangkan resep baru yang asli, dengan menggunakan data untuk memicu inspirasi kreatif.

Iklan tersebut seakan menyampaikan pesan bahwa mesin sudah melakukan sebagian pekerjaan yang melibatkan pengulangan gerakan. Ketika mesin mulai menggantikan imajinasi orang – seperti penulis, desainer, arsitek, insinyur, guru, dan sebagainya -- mereka tidak hanya membuat pekerjaan menjadi lebih baik, tetapi mereka jjuga menantang orang dengan pertanyaan apa artinya menjadi manusia kalau semua pekerjaan otak digantikan mesin.

Pergeseran ini akan membuat banyak orang stress. Karena itu merek yang secara  psikologis bisa mengeluarkan orang dari persoalan itu atau setidaknya yang mampu menegaskan nilai-nilai dan identitas manusia, memiliki peluang untuk berhasil.

Revolusi keempat adalah naiknya kualitas penduduk digital. Banyak orang yang menulis tentang dampak membludaknya warga yang lahir antara tahun 1981 dan 1997). Akan tetapi yang lebih dahsyat dadalah muculnya generasi berikutnya, yakni mereka yang lahir setelah tahun 1997. Generasi sebelumnya lahir dalam lingkungan informasi yang hyper-connected. Namun, karena mereka sudah terhubung sejak lahir, mereka tidak mengalami banjir informasi yang mengguncangkan. Mereka menganggap banjir informasi itu sebagai lebih dari sekedar the way things are dan untuk mereka.

Pada saat ini, generasi milenium menganggap cara-cara pemasaran model viral, infotainment, media sosial, cross-platform content dan sebagainya sebagai sesuatu yang biasa. Tapi di masa mendatang, ketika penduduk digital mulai menambahkan ide-ide dan pengaruh mereka ke dalam bauran komunikasi pemasaran, laju perubahan semakin cepat. Percepatan ini akan membuat generasi sebelumnya merasakannya sebagai kekacauan dan gangguan. Sementara untuk generasi saat itu, hal itu adalah biasa.

Revolusi kelima adalah pergeseran dari penjualan ke sharing. Di masa mendatang, konsep penjualan akan menjadi kurang menggantungkan pada teknik persuasi dan menggantungkan pada partisipasi. Pada kondisi tersebut, merek yang memposisikan diri sebagai teman terpercaya memiliki kesempatan yang jauh lebih baik untuk berhasil.

Sebenarnya, itu bukan ide baru. Itu sudah diterapkan sejak dulu karena  kuncinya adalah benar-benar menjadi layak untuk dipercaya pelanggan. Sebagai contoh, Whole Foods faham bahwa pelanggan peduli tentang dampak ekologi, politik, dan sosial dari makanan yang mereka konsumsi. Untuk membantu membuat informasi yang lebih mudah tersedia untuk pelanggan, perusahaan tersebut berinvestasi di infrastruktur IT untuk mendukung visi dari transparansi-produk secara total. Harapannya, menginspirasi kepercayaan dan loyalitas pelanggan.

Perubahan dan pergeseran tersebut bisa dianggap peluang. Yang jadi persoalan adalah dalam 20 tahun ke depan ketika  begitu banyak perubahan yang akan terjadi sangat cepat, tak banyak masyarakat yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikannya. Mereka yang tidak mampu beradaptasi akan tertinggal.   

Itu karena perubahan itu tidak hanya pada individu, melainkan pada semua lapisan masyarakat dan kelembagaannya. Ke depan, ada beberapa revolusi yang terjadi di semua tingkat dan setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pemasaran harus menyadarinya. Karena itu, meremehkan kecepatan dan dampak dari perubahan ini akan membuat perusahaan baik besar maupun kecil jatuh karena guncangan dan ketidakpastian.Hanya  pemasar yang benar-benar memahami kekuatan kunci di balik perubahan tersebut yang berada dalam posisi yang lebih baik untuk beradaptasi dan bertahan hidup.

Saat ini, orang dihadapkan pada persoalan "kelebihan informasi" meskipun mereka yang lahir dalam beberapa tahun terakhir tidak merasakannya. Beberapa penulis mencatat bahwa setiap hari, manusia menciptakan informasi terbanyak dalam 150.000 tahun terakhir! Ini akan terus meningkat. Jadi bagaimana hal itu mempengaruhi perusahaan dan merek mereka? Mereka harus berjuang lebih keras mempertahankan posisi mereka sebelum penantang baru memiliki kesempatan besar untuk masuk dan membangun kehadiran global - sesuatu yang belum pernah mereka bisa dalam satu dekade yang lalu.

Bahkan merek modern yang popular saat ini, seperti Facebook, harus gesit atau menghadapi risiko kehilangan. Facebook tidak memiliki loyalitas merek yang besar di antara demografis yang lebih muda. Apakah ada risiko bahwa "merek tiba-tiba" menghilang bila tiba waktunya? Ini bisa terjadi. Beberapa fakta menunjukkan itu, mulai dari Netscape, America Online hingga CompuServe misalnya, kini tak terdengar lagi.

Pada kondisi tersebut tak ada kata normal. Yang ada adalah perubahan. Dengan kata lain, hanya merek-merek hebat yang bisa berkembang. Mereka yang melihat masyarakat besok dengan anggapan bahwa masyarakat tersebut berubah. Dengan demikian,  perubahan tidak membuat pemasar terkejut.
Yang menarik, sepanjang perjalanan melintasi  perubahan ini, penulis menggoda pembaca dengan menawarkan konsep yang menarik: keusangan yang direncanakan dan digantikan oleh keusangan instant. Agar brand bisa sukses beradaptasi dengan lingkungan yang baru tersebut, mereka harus terlebih dahulu mengenali mengubah realitas secara cepat.

Dalam buku ini, David Houle dan Owen Shapiro memberikan gambaran yang kuat dan persuasif tentang bagaimana perubahan budaya dan cepatnya perkembangan teknologi mempengaruhi merek dan pemasaran merek dalam tahun-tahun mendatang. Melalui sebuah studi menarik dari sejarah merek secara rinci dan analisis tren masa kini yang meyakinkan,  penulis banyak mengungkap prediksi-prediksi menarik tentang bagaimana pemasar merek harus memenuhi tuntutan baru dari merek pada abad ke-21.

Karena itu, pebisnis yang ingin agar mereknya sukses di masa mendatang, akan menemukan bahwa buku ini adalah sumber daya yang berharga. Internet of Things telah mengembangkan kesadaran kolektif baru, salah satunya adalah tuntutan bahwa dalam pengelolaan merek, memanfaatkan perubahan sosial adalah penting.

Big Data dan masa depan komunikasi manusia memiliki implikasi yang mendalam terhadap merek dan pemasaran. Merek yang berhasil berdaptasi dengan perubahan dan melakukan transformasi memiliki potensi untuk makin berperan lebih penting dalam masyarakat dan melahirkan gaya hidup baru konsumen melalui kepercayaan dan komitmen melayani untuk kebaikan yang lebih besar.

Wonderful Indonesia – Belajar dari Cara Thailand Mengubah Citra Wisata Sex-nya

Perjalanan dan pariwisata merupakan salah satu industri yang kini mengglobal dan secara luas dianggap sebagai salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia, jika tidak bisa dikatakan sebagai industri dengan pertumbuhan tercepat. Hampir semua negara kini berbenah untuk menarik sebanyak mungkin para traveller dan pariwisata.
Semalam (Selasa, 2/12), Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya menetapkan Pesona Indonesia dan Wonderful Indonesia sebagai country branding yang wajib digunakan dalam setiap promosi pariwisata. “Masih dibolehkan untuk membuat destination branding di masing-masing destinasi yang digunakan bersama-sama dengan branding Wonderful Indonesia atau Pesona Indonesia,” kata Menpar Arief Yahya di Jakarta. Pariwisata Indonesia tak jadi menggunakan tagline Indonesia Wow seperti saat pertama dilontarkan Arief Yahya lontarkan sehari setelah dilantik menjadi Menteri Pariwisata. Dengan kata lain, untuk promosi wisata, Indonesia menggunakan tagline tagline lama yang digunakan Indonesia sejak 2011 saat kementrian pariwisata dipimpin Jero Wacik.
Dalam konteks komunikasi, ada pertanyaan penting yang muncul. Pertama adalah dimana posisi Indonesia sekarang? Maksudnya bagaimana Indonesia dipersepsikan oleh para traveller dan wisatawan baik asing maupun lokal. Kedua, branding itu ditujukan untuk siapa? Siapa yang ingin ditarget dengan branding tersebut dan apa yang diharapkan dari mereka yang ditarget branding itu?
Selama 2013, Asia Tenggara menerima kunjungan wisatawan international sebesar 97 juta wisatawan. Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Pacific Asia Travel Association (PATA) — Asia Pacific Visitor Arrival Forecasts 2014-2018 — Thailand adalah negara yang paling banyak dikunjungi wisatawan asing. Pada 2013, Thailand menerima kunjungan wisatawan internasional sebesar 26,5 juta. Lalu disusul oleh Malaysia di angka 26,3 juta. Urutan ketiga adalah Singapura dengan angka kunjungan 15,6 juta.
Bagaimana dengan negara Indonesia? Indonesia di urutan keempat dengan angka 8,3 juta. Vietnam berada di urutan berikutnya dengan angka kunjungan sebesar 7,4 juta. Lalu, Filipina dengan angka kunjungan 4,4 juta dan Kamboja sebesar 4,3 juta. Di posisi akhir adalah Laos dengan angka kunjungan 3,9 juta dan Myanmar 800 ribu kunjungan.
Seperti diketahui, branding adalah alat manajemen tradisional yag digunakan oleh pemasar untuk menciptakan diferensiasi yang berarti untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar. Sementara itu, manajemen merek berarti proses perencanaan, pengelolaan dan koordinasi strategi dari suatu merek. Tugas yang harus dijalankan seorang manajer merek biasanya berkaitan dengan analisis pasar, targeting, strategi positioning, analisis kinerja dan penyesuaian strategi, identifikasi kebutuhan produk baru dan koordinasi kegiatan marketing (Cravens & Piercy, 2006).
Anholt (2007) membedakan merek destinasi kedalam empat aspek; identitas merek, citra merek, tujuan merek dan ekuitas merek. Identitas merek merujuk pada seperangkat asosiasi unik dari merek (Aaker 1996, hal. 68). Ini mewakili seperangkat janji yang kan merek. Roll (2006) menunjukkan hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan ketika seorang manajer merek merumuskan identitas merek: Brand visions (arah masa depan bagi sebuah merek.
Brand scope merujuk pada segmen pasar dan kategori produk merek dapat melayaninya; brand positioning (tempat di pikiran pelanggan yang diinginkan penglola merek); Brand personality (karakter merek karakter yang bisa membantu pelanggan terhubung secara emosional dengan merek) dan esensi merek (jiwa dan hati dari merek, keunikan dan sebagainya). Menentukan strategi identitas merek adalah inisiatif strategis yang sangat penting. Menurut Cravens dan Piercy (2006), identifikasi merek harus span horizon waktu yang lama, memberikan dasar untuk mengembangkan brand equity.
Anholt (2007) mengakui sifat multi-aspek dari sebuah nation brand dan mengkonseptualisasikan brand nation ke dalam teori brand nation hexagon. Konsep tersebut meliputi enam komponen yaitu: pemerintahan, investasi, ekspor, pariwisata, budaya dan orang-orang. Bagi Nworah (2007, hal. 45), nation branding adalah “proses dimana sebuah kota, daerah, negara (tempat) yang secara aktif berusaha untuk menciptakan identitas unik dan kompetitif untuk dirinya sendiri, dengan tujuan memposisikan secara internal dan internasional sebagai tujuan untuk perdagangan, pariwisata dan investasi yang baik. “Nation branding adalah proses membangun dan mengelola identitas dan citra suatu negara jelas untuk menarik dan memenuhi kebutuhan internal dan eksternal stakeholder, pengunjung dan investor.
Dalam konteks manajemen merek strategis Aaker (1996) mengembangkan kerangka proses manajemen merek strategis yang terdiri dari serangkaian inisiatif yang saling terkait. Kegiatan yang terlibat dalam proses ini adalah: mengembangkan identitas merek; identity implementation yang merujuk pada penentuan bagian dari identitas yang akan dikomunikasikan kepada target audiens dan bagaimana hal itu harus dilakukan; mengelola merek dari waktu ke waktu-mengelola merek melalui siklus hidupnya yang mungkin melibatkan perubahan strategi merek meski tetap harus konsisten dalam strategi pemasaran adalah penting; mengelola portofolio merek portofolio berarti mengelola organisasi dan kategori produk sebagai suatu sistem ketimbang mengejar strategi merek secara independen.
Selain itu, proses manajemen merek strategis berfokus pada penentuan struktur, ruang lingkup, peran dan hubungan antar portofolio merek. Pengelolaan portofolio merek yang baik dapat menciptakan sinergi dan meleverage merek yang relevan, terbedakan dan memberi energy pada merek. Meleverage merek berarti melibatkan upaya memperluas identitas inti item produk dalam lini produk atau kategori baru. Metode ini meliputi ekstensi lini, peregangan merek secara vertikal, perluasan merek dan co-branding, lisensi; Brand equity merupakan aset dan kewajiban meliputi loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi kualitas, asosiasi merek dan aset hak milik merek (paten); Analisis merek strategis menyediakan informasi penting untuk pengambilan keputusan untuk setiap kegiatan manajemen merek. Analisis meliputi pasar / pelanggan, pesaing dan analisis merek.
Ketika seseorang membeli produk, mereka membeli seperangkat manfaat yang harapkan bisa memuaskan kebutuhannya. Orang membeli produk tidak tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terwujud, misalnya ekspresi diri. Ini berarti, agar berhasil, sebuah merek harusnya bisa menyediakan manfaat emosional. Dengan kata lain, sebuah merek yang berhasil pada dasarnya mampu menyediakan pengalaman konsumsi yang bagus.
Dalam konteks pariwisata, the World Tourism Organization mengakui adanya kecenderungan beberapa pihak melihat tujuan wisata sebagai aksesori fashion. Artinya, tujuan wisata hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan identitas seseorang.
Karena itu, pilihan tujuan wisata akan membantu dalam menentukan identitas wisatawan, dan dalam dunia yang semakin homogen, ini akan membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan kelompok lainnya.
Saat mengunjungi suatu destinasi, wisawatan biasanya membeli produk yang terkait dengan perjalanan mereka. Mereka mengambil gambar dan video tempat yang mereka kunjungi. Produk dan gambar terait lokasi wisata tersebut kemudian digunakan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka telah mengunjungi destinasi tersebut. Bukti anekdotal perilaku wisatawan yang khas tersebut menunjukkan bahwa — apapun motifnya — wisatawan menggunakan perjalanan mereka sebagai perangkat ekspresif untuk mengkomunikasikan pesan tentang diri mereka kepada teman-temannya.
Karena itu, tujuan wisata merupakan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan dasar dan aktualisasi diri wisatawan. Orang memilih untuk melakukan perjalanan ke tujuan wisata tertentu sesuai dengan keinginan mereka akan karakteristik tertentu, seperti iklim, pemandangan, fasilitas dan atribut lainnya. Namun demikian pilihan tujuan tertentu juga tergantung pada karakteristik tak berwujud seperti kepuasan sosial. Jadi sebuah destinasi dapat dicirikan sebagai sesuatu yang memiliki dua dimensi: representasional (atribut yang terkait dengan ekspresi diri individu) dan fungsional (aspek utilitarian dari sebuah tujuan wisata seperti matahari, terumbu, langit, budaya, dan sebagainya).
Salah satu aspek emosional yang dipertimbangkan traveller dan wisatawan adalah reputasi negara. Ini sangat menentukan cara orang dalam dan di luar negeri merasakan dan berhubungan dengan negara tersebut. Dalam pasar yang sangat kompetitif seperti saat ini, citra negara menjadi faktor penentu keberhasilan negara sebagai suatu destinasi. Persoalannya, tidak seperti membangun sebuah merek produk, membangun dan mempertahankan citra merek destinasi.
Menurut Kotler dan Gertner (2002), produk baru bisa eksis dengan jalan membangun seperangkat asosiasi. Tidak seperti negara dan masyarakat, dalam konteks membangun citra sebuah produk, perusahaan bebas mengubah produk dalam merespon permintaan konsumen. Produk juga dapat dihentikan, dimodifikasi, ditarik dari pasaran, diluncurkan kembali dan direposisi atau diganti dengan produk yang lebih baik. Sebagian besar tindakan itu tidak bisa dilakukan pada place. Untuk membangun kembali citra suatu negara atau place dibutuhkan waktu bertahun-tahun (Frost, 2004).
Dalam memutuskan apakah seseorang membeli, mengunjungi dan berinvestasi — begitu persaingan semakin ketat dan pasar lebih ramai — konsumen, wisatawan, imigran dan investor cenderung lebih bergantung pada reputasi negara dari pada atribut. Jadi? Apakah benefit fungsional dan emosional Indonesia mampu menarik menarik minat wisatawan asing?
Harus diakui bahwa Indonesia menghadapi banyak persoalan sosial yang mungkin bisa melemahkan reputasinya. Namun demikian terserbut bukannya tidak mungkin untuk diubah. Banyak negara yang berhasil mengubah citranya. Ambil contoh Thailan. Sebagai negara kecil yang sedang berkembang, Thailand menyadari kebutuhan untuk meningkatkan nation brand nya untuk bersaing di pasar global yang kompetitif. Untuk itu Thailand melakukan branding. Langkah pertama dari proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah Thailand ini adalah mengetahui dan mempelajari bagaimana orang-orang di seluruh dunia melihat kekuatan dan kelemahan bangsanya.
Salah satu isu yang paling penting menempatkan Thailand pada kerugian yang signifikan adalah citra pariwisata seks. Kaitan kuat antara Thailand dan wisata seks dimulai selama Perang Vietnam pada 1960-an dan 1970-an, ketika Thailand dan militer AS menandatangani perjanjian yang memungkinkan tentara AS untuk datang ke Thailand untuk ‘Istirahat dan Rekreasi’ (Truong, 1990; Miller, 1995) .
Untuk memperbaiki citra negatif ini, Thailand mengambil dua langkah perbaikan nyata, yakni kebijakan pemerintah dan peningkatan citra melalui strategi place branding. Beruntung Thailand memiliki banyak fitur dan image yang positif, seperti pemandangan alam yang indah, sejarah yang kaya dan budaya yang unik.
Untuk itu, Pemerintah Thailand menggandeng LSM dan organisasi lainnya, baik lokal maupun internasional, bekerja proaktif menengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah Thailand mengambil kebijakan menghentikan penghisapan para pekerja seks. Kebijakan lain adalah meningkatkan program pencegahan dan memberikan lebih banyak pilihan gaya hidup bagi mereka yang terlibat dalam prostitusi. Salah satu contoh dari hal ini di Thailand adalah program konseling di bidang pendidikan dan pekerjaan yang ditujukan secara khusus pada gadis-gadis muda beresiko direkrut ke dalam perdagangan seks.
Sementara itu, kualitas positif Thailand di berbagai tingkat, mulai dari lingkungan fisik pelayanan publik, hiburan dan rekreasi atraksi dan sifat rakyat Thailand dieksplotasi dan dikomunikasikan dengan agresif. Komponen kolektif ini memberikan kesempatan bagi Thailand untuk bersaing di pasar global. Thailand memiliki keuntungan dari berbagai wisata alam yang beragam, terdiri dari pegunungan, hutan, air terjun, sungai dan pantai, dikombinasikan dengan sejarahnya dan budaya yang kaya.
Thailand juga menawarkan segala bentuk tradional dariThailand. Perayaan tradisional dan kegiatan untuk menikmati memeriahan Thailand ditawarkan dan dikelola sedemikian rupa sehingga wisatawan mendapatkan pengalaman yang menarik. Ini termasuk tawaran Thailand sebagai salah satu tempat terbaik untuk berbelanja, di mana pengunjung dapat menemukan berbagai pilihan produk dan layanan dengan harga yang wajar.
Infrastruktur yang bisa merusak daya tarik Thailand juga diperbaiki, termasuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh atraksi dan kemeriahan serta persoalan sosial seperti kemacetan lalu lintas, polusi dan pengelolaan limbah yang buruk. Meskipun penelitian Branding Thailand menemukan bahwa konsumen (yaitu wisatawan) kurang mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dibandingkan dengan atraksi rekreasi dan hiburan, namun pemerintah Thailand terus menu meningkatkan infrastruktur dan pelayanan publik (misalnya perlindungan terhadap warga, termasuk wisatawan dan propertinya; jaminan sosial dan pendidikan bagi warganya ) terus dikembangkan untuk mengakomodasi perluasan industri pariwisata.

Sabtu, 29 November 2014

Mengapa “Off The Record” Tidak Disarankan?


Minggu lalu, saya sharing dengan mahasiswa saya tentang buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiels. Salah satu poin dalam elemen dalam buku itu adalah bahwa jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga terhadap persoalan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat.
Pembicaraan kemudian merembet ke diskusi tentang penggunaan off the record. Dalam konteks ini jurnalis memang harus mematuhinya. Persoalannya adalah kalau ada wartawan lain yang mendengar itu, apakah terikat pada kesepatan tersebut. Atau bagaimana bila wartawan mencari atau menemukan sumber lain untuk menceritakan informasi yang of the record tadi?
Kasus yang menimpa perusahaan Uber, perusahaan penyedia taksi dengan mobil pribadi atau rideshare yang bisa dipesan melalui ponsel yang berpusat di New York, salah satu contohnya.
Di beberapa media di Amerika Serika, Uber “dituduh” melakukan upaya meningkatkan kredibilitasnya dengan bersedia mengeluarkan anggaran jutaan dolar untuk penelitian tentang “kehidupan pribadi” dan “keluarga” wartawan yang kritis terhadap perusahaan.
Itu yang disarankan VP Senior urusan bisnis Uber, Emil Michael, saat acara makan malam di New York (14/11/2014). Michael, BuzzFeed News melaporkan, menyarankan perusahaannya untuk menyewa sebuah tim peneliti untuk mempelajari para kritikus Uber, termasuk wartawan. Menurut Michael, seperti dikutip Business Insider, pernyataan itu off the record. Uber mengatakan bahwa informasi selama makan malam pribadi itu seharusnya dianggap sebagai off-the-record.
Tetapi, pemimpin redaksi BuzzFeed yang membeberkan pernyataan itu, Ben Smith, menulis komentar dengan mengatakan bahwa BuzzFeed tidak diberitahu bahwa pernyataan tersebut off the record. Oleh beberapa pihak, cara ini dianggap mirip dengan yang dilakukan Presiden Nixon pada tahun 1970an (yang kemudian dikenal dengan skandal Watergate) untuk melemahkan pesaing-pesaingnya.
Uber adalah perusahaan teknologi yang bergerak di bidang transportasi. Produknya berupa aplikasi mobile yang memungkinkan pengguna “memesan” mobil sewaan untuk bepergian. Di Jakarta, Uber “resmi” memberikan layanan “sewa mobil” melalui sebuah acara peluncuran pada Agustus lalu (13/8/2014).
Mobil sewaan ini dikenakan tarif menurut waktu dan jarak tempuh sehingga mirip taksi.Bedanya, Uber tak memiliki armada sendiri. Mobil-mobil “sewaan” yang disediakan berasal dari pengusaha rental mobil.
Sementara itu, Uber sendiri tidak mengatakan bahwa pihaknya mengumpulkan informasi tersebut. Menurut laporan Ben, “General manager Uber NYC mengakses profil reporter BuzzFeed News yang meliput Uber, Johana Bhuiyan, untuk kepentingan diskusi tentang kebijakan Uber. Tak ada pertukaran email yang dia berikan tanpa persetujuannya.”
Ben menambahkan bahwa Uber mengakses profil wartawan untuk melihat kemana saja para wartawan melakukan perjalanan saat menggunakan Uber, tulis Business Insider. Seorang juru bicara Uber mengatakan kepada Ben, bahwa mencari informasi tentang wartawan seperti yang dimaksudkan Michael adalah melanggar kebijakan Uber.
“Kegiatan tersebut jelas melanggar privasi kami dan kebijakan akses data kami. Mengakses dan menggunakan data hanya diperbolehkan untuk tujuan bisnis yang sah. Kebijakan ini berlaku untuk semua karyawan. Kami secara teratur… memantau dan mengaudit akses itu. ”
Setelah laporan BuzzFeed, Michael berkomentar, “Pernyataan yang berkaitan dengan saya saat private dinner, muncul karena rasa frustrasi saya selama debat resmi atas apa yang saya rasakan. Liputan media tentang perusahaan tempat saya dengan bangga bekerja, begitu sensasional. Pernyataan itu bukan mencerminkan pandangan saya yang sebenarnya dan tidak ada hubungannya dengan pandangan atau pendekatan perusahaan, “kata Michael dalam sebuah pernyataan seperti dikutip The New York Times. “Mereka salah, tidak peduli keadaannya, dan saya menyesali sikap mereka.”
Di Uber, Michael, 42, telah memainkan peran penting dalam menjalin kemitraan dan ekspansi pembiayaan internasional sejak Juni hingga Uber memperoleh dana sekitar $ 17 miliar. Dia juga membantu menuntaskan kesepakatan dengan penyedia jasa musik streaming Spotify (17/11) yang memungkinkan penumpang Uber memilih musik di mobil yang menjemput mereka.
Michael membantu mencapai kesepakatan dengan American Express (AXP) untuk memberikan poin reward program tambahan bagi pemegang kartu yang menggunakan Uber. Eksekutif kelahiran Kairo itu juga menandatangani kerjasama dengan Toyota Motor (TM) dan General Motors (GM), bersama dengan beberapa bank dan pemberi pinjaman, untuk membuat program pinjaman bagi perusahaan.
Musim panas ini, Michael yang lulusan Harvard University itu membantu membujuk perusahaan, termasuk Starbucks (SBUX), TripAdvisor (TRIP), dan United Continental (UAL), untuk menambahkan tombol Uber untuk aplikasi mobile mereka.
Dalam tulisannya di huffingtonpost.com, Nicole Campbell — Entrepreneur and former White House Fellow – menceritakan bahwa saat makan malam itu, dia duduk satu kursi lebih dengan Emil Michael. Awalnya, Emil duduk di sampingnya dan pindah untuk menyambut Ben Smith sebagai tamu.
Selama makan malam, CEO Uber memberikan ceramah singkat dan mempersilakan yang hadir untuk mengajukan pertanyaan. Percakapan berkisar mulai dari soal perluasan kesempatan kerja driver Uber, pendekatan Uber untuk memahami kota tempat Uber beroperasi, dan sebagainya.
Pertanyaan Ben datang terakhir. Ben bertanya apakah CEO Uber mendukung Obamacare. “Saat itu, Saya tidak tahu bahwa dia adalah seorang reporter. Yang dia berusaha untuk mengubah tenor pembicaraan makan malam, mungkin menurut dia tidak menyenangkan,” tulis Campbell.
Setelah CEO selesai memberikan jawabannya, Emil bertanya kepada Ben mengapa dia mengajukan pertanyaan itu. Campbell mendengar Ben mengatakan bahwa dia berharap CEO Uber itu memberikan jawaban yang libertarian. “Pada saat itu, saya ingin meraih Emil,” kata Campbell.
Namun, tulis Campbell lagi, dia mendengar percakapan lanjut mereka. Emil meminta Ben menjelaskan kenapa wartawan mempublikasikan cerita palsu atau menyerang kehidupan pribadi seorang pengusaha. Ben diam. “Itu percakapan cukup normal tentang hypotheticals,” kata Campbell.
Itu obrolan diantara mereka yang dia dengar. Komentar terakhir yang dia dengar adalah ketika Emil secara hipotesis mengatakan keinginannya menciptakan koalisi untuk jurnalisme yang bertanggung jawab. Ben mengatakan bahwa kemungkinan besar akan gagal karena perusahaan tidak memiliki keahlian dalam jurnalisme.
Celakanya, Emil secara sembrono mengatakan dia bisa menyewa wartawan profesional dengan anggaran $ 1 juta untuk mendapatkan keahlian mereka guna memastikan bahwa mereka bisa merespon ketika artikel negatif keluar. Demikian tulis Campbell.
Persoalannya, Uber sekarang tidak hanya memicu ketidakpercayaan media tapi juga di antara pelanggan dan prospek. Meski Ashton Kutcher – selebriti yang menjadi salah satu investornya – lewat tweetnya melalui @aplusk, mengatakan “What is so wrong about digging up dirt on shady journalist? @pando @TechCrunch @Uber.”
Pelajaran dari praktisi PR, seperti dikutip www.prnewsonline.com, hampir semua eksekutif perusahaan berpendapat bahwa menantang media atau mengkritik media biasanya jarang menang. Episode ini juga mengingatkan bahwa, bagi manajer PR dan direksi, bila bertemu dan bicara dengan wartawan sebaiknya tidak ada yang “off the record.”