Sabtu, 26 April 2014

Pelajaran dari NYPD - Hati-hati dengan Tweet Anda

Dari #McDStories hingga  #ILoveWalgreens dan # ObamacareIsWorking, merek dan lembaga pemerintah tampaknya tidak mau mengambil pelajaran dari masa lalu saat hastags Twitter mereka dibajak. Itu pula yang terjadi dalam pnggunaan media sosial oleh Departemen Kepolisian New York (NYPD).
Ketika Departemen Kepolisian New York meminta pengguna Twitter untuk berbagi foto-foto mereka dengan polisi (15/4), mereka mungkin mengharapkan beberapa adegan dalam situasi yang baik, misalnya  atau wisatawan dengan kuda polisi di Times Square. Atau beberapa posting foto diri dengan petugas sambil tersenyum.

Realitasnya, tidak semua seperti yang diharapkan.
Segera setelah posting permintaan itu keluar dari akun Twitter resmi departemen, badai pengguna yang mengambil kesempatan berdatangan. Yang menyedihkan mereka bukannya melampirkan beberapa gambar yang paling baik. Justru yang mereka posting kebanyakan adalah foto-foto yang mencitrakan buruknya perlakukan petugas polisi New York City yang sebagian besar bisa ditemukan di Internet.


Misalnya, ada foto yang memperlihatkan petugas polisi menahan seorang fotografer di trotoar dan supervisor berbaju putih yang memutar lengan. Foto-foto itu diambil saat berlangsung aksi protes Pendudukan Wall Street, 2011 silam. Seorang petugas menggetok seorang pengendara sepeda hingga jatuh ke tanah selama protes, seekor anjing ditembak. Petugas di pengadilan, atau tertidur dalam keadaan berseragam di kereta bawah tanah.




Meski harus diakui bahwa ada juga yang positif. Misalnya, seorang polisi Lawrence Deprimo yang membelikan sepatu baru untuk seorang pria tunawisma yang ditemuinya di Times Square.
Gambar-gambar tersebut sudah tentu seakan batu sandungan yang memalukan atas apa yang telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Ini membuat kepolisian New York sibuk meladeninya menjawab pertanyaan, terutama yang datang melalui layanan pesan singkat .
Selama ini, lima komandan kepolisian kota mewakili departemen yang dipimpinnya selalu menulis pesan melalui akun Twitter mereka. Sejauh ini, informasi yang mereka sampaikan pada umumnya adalah tentang hal-hal yang bersifat lokal, plus foto pose seorang polisi tersenyum, dan pada saat paska lalu ada foto foto polisi berburu telur Paskah. Sejauh itu tak ada masalah.
Komisaris William J. Bratton aktif di akun Twitter-nya sendiri sejak berbulan-bulan lalu. Dengan dengandalkan seorang petugas dari tim komunikasi departemen untuk menulis sebagian besar pesan,  Pak Bratton juga memasukkan pesan setengah resmi - seperti yang dapat dilihat dari serangkaian posting mulai dari pertemuan tertutup para kepala polisi pada bulan Januari - dan gambar yang memperlihatkan kegiatan mereka  sehari-hari, mulai dari penangkapan geng di Bronx hingga kunjungannya ke Boston beberapa waktu lalu.
Persoalan baru muncul saat postingan berisi tawaran itu. Namun demikian, seperti yang dikemukakan juru bicara departemen, Wakil Kepala Polisi Kim Y. Royster, meski ada gangguan tesebut, namun departemen nya telah menciptakan cara-cara baru untuk berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa Twitter yang tersedia adalah sebuah forum terbuka untuk pertukaran yang tak tersensor yang bisa jadi “akan menjadikan kota kami menjadi lebih baik."

Karena itu pula, pengalaman tersebut tidak akan membuat NYPD berhenti memanfaatkan media sosial. Bahkan mereka akan semakin mendorong maju melalui upaya media sosial. Juru bicara puncak NYPD, Stephen Davis, mengatakan,  "Anda tentu bisa mengambil yang baik dari yang buruk.”

Begini Cara Lawan Membuat Kampanye Negatif


Kampanye negatif memang masih tanda tanya. Beberapa penelitian tentang kampanye negatif untuk kandidat tertentu menemukan adanya perubahan besar dalam preferensi kandidat setelah terpapar iklan negatif misalnya. Namun demikian, banyak juga penelitian lain yang menunjukkan tidak adanya efek dari paparan tersebut. Salah satu alasan kenapa hasilnya bertentangan adalah bahwa beberapa faktor kontingen nampaknya mempengaruhi dampak iklan politik tersebut.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya sejumlah faktor dari kampanye kandidat yang bisa mempengaruhi mempengaruhi pemilih. Secara garis besar, faktor-faktor tersebut dibagi menjadi, yakni  karateristik pesan dan karakteristik pemilih. Selain itu, dua variabel tambahan lainnya, yakni sumber-sumber informasi politik alternative dan keterlibatan politik – juga berperan dalam mempengaruhi besarnya dampak iklan politik negatif memiliki pemilih.

Keterlibatan dan sumber informasi alternatif mempengaruhi motivasi pemilih, kemampuan pemilih untuk memproses dan mengevaluasi informasi politik ( Atkin 1980; Berkowitz dan Pritchard 1989; Choi dan Becker 1987; McClure dan Patterson 1974; Rothschild 1978). Oleh karena itu, kedua variabel juga mempengaruhi besarnya dampak dari pesan negatif terhadap pemilih.

Beberapa survei secara konsisten menunjukkan bahwa para pemilih mengingat iklan negatif. Sebuah survei di enam negara bagian selatan di Amerika Serikat misalnya, menemukan dua pertiga responden mengingat bahwa mereka melihat iklan negatif selama pemilihan umum pada 1986 (Johnson dan Copeland, 1987). Lebih dari 75 % responden dalam survei pemilihan kongres Michigan menyatakan mereka masih ingat melihat iklan negatif, dan 57,7 % mampu mengingat nama baik sponsor atau siapa target dari iklan tersebut (Garramone 1984a).

Lebih khusus lagi, antara 47 % dan 68 % responden mampu mengingat iklan negatif yang spesifik dari pemilihan senator Minnesota (Faber, Tims dan Schmitt 1990), dan hampir 20 % dari semua informasi ingat dari iklan dalam pemilihan gubernur Texas adalah komentar negatif tentang lawan (Faber dan Storey 1984) .

Salah satu alasan mengapa informasi negatif dalam sebuah iklan masih diingat dikemukakan oleh Lau (1982). Dengan menggunakan prinsip-prinsip Gestalt, Lau mengatakan bahwa informasi negatif mungkin bertentangan dengan apa yang orang biasa terima dan harapkan dari pesan sebuah iklan, sehingga secara proposional iklan tersebut menghasilkan sesuatu yang menonjol secara proporsional.
Yang menarik, informasi negatif lebih diingat daripada informasi positif (Garramone et al 1990; Reeves , Thorson dan Schleuder 1986, Shapiro dan Rieger 1989).

Bahkan yang lebih penting lagi, informasi negatif tertimbang lebih berat daripada informasi positif dalam mengembangkan tayangan dan membentuk evaluasi (Kellerman 1984; Wyer 1970). Dengan demikian, berdasarkan temuan tersebut, informasi negatif dari sebuah iklan politik memainkan peran kunci dalam keputusan preferensi kandidat. Studi yang meneliti efek relatif dari informasi negatif dan positif dalam keputusan politik mendukung pernyataan itu (Klein 1991; Lau 1982, 1985).

Studi-studi lain menemukan bahwa pemilih akan mengekspresikan pendapat negatifnya tentang penggunaan iklan politik negatif (Garramone 1984a ; Johnson dan Copeland 1987; Stewart 1975) bila calon (kandidat) memang dari semula tidak mendukung calon yang berkampanye negatif tersebut. Efek serupa juga terjadi pada pemilih yang memang tidak setuju dengan kampanye negatif.
  
Jadi, sementara informasi negatif mungkin tidak proporsional berpengaruh dalam keputusan pemilih, hal itu dapat mempengaruhi preferensi suara di kedua arah. Dalam kedua kasus, iklan negatif mungkin lebih diingat dari pada iklan positif. Informasi negatif juga memainkan peran lebih besar dalam preferensi suara, namun hasil keputusan voting akan tergantung pada bagaimana pemilih mengevaluasi iklan negatif tersebut.

Mengingat pentingnya iklan negatif dan potensi efek dua arahnya, diperlukan penelitian pada dua isu terkait. Yang pertama adalah untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi arah respon terhadap iklan negatif. Masalah kedua adalah untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi derajat iklan negatif tersebut akan mempengaruhi pemilih (besarnya dampak iklan negatif terhadap preferensi pemilih).

Dalam konteks diatas, sejumlah variabel potensial penting yang dapat mempengaruhi salah satu atau kedua masalah secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok - atribut iklan dan atribut dari pemilih.

Atibut dalam Iklan
Penelitian yang ada mendukung keyakinan bahwa atribut dari iklan itu sendiri mempengaruhi efektivitas mereka. Boydston dan Kaid (1983), misalnya membandingkan skor antara skor pra - post-exposure lima iklan negatif pada skala 13-item penilaian citra pada target iklan tersebut. Secara umum, hasilnya menunjukkan bahwa paparan iklan negative memiliki efek negatif terhadap target. Akan tetapi, tidak semua iklan menghasilkan efek yang sama, yakni mengubah impresi terhadap calon sasaran yang ada dalam kamapnye negatif tersebut.

Dari lima iklan negatif yang diteliti, tiga iklan menghasilkan perubahan yang signifikan, sementara dua tidak. Selain itu, ketika image individu diteliti, beberapa benar-benar meningkat sebagai akibat dari paparan iklan negatif tersebut. Demikian pula, Faber, Tims dan Schmitt (1990) menemukan variasi dimaksudkan dan efek balik di empat iklan negatif yang mereka teliti. Karena studi ini melibatkan para pemilih yang sama dan ras politik yang sama, terlihat bahwa perbedaan antar iklan dapat menambah   perbedaan iklan tersebut.

Beberapa penulis menyarankan bahwa ada berbagai jenis iklan negatif dan tipologi iklan negatif yang dapat membantu menjelaskan perbedaan efek seperti yang dila;orkan tersebut (Johnson - Cartee dan Copeland 1991; Thoron , Kristus dan Caywood 1991). Sebagai contoh, Johnson - Cartee dan Copeland (1991) menyarankan bahwa mungkin ada tiga jenis iklan politik negatif - serangan langsung , perbandingan langsung dan perbandingan tersirat.

Iklan serangan langsung adalah iklan yang dianggap oleh sebagian besar orang bahwa iklan tersebut adalah iklan negatif. Tipe ini adalah yang paling sering diteliti. Iklan-iklan seperti ini cenderung menghasilkan efek balik menyerang. Sementara itu, iklan perbandingan tersirat adalah kampanye yang dilakukan calon namun tidak secara khusus menyebutkan lawannya. Iklan jenis ini paling efektif dalam menciptakan efek yang diinginkan pengiklan karena bisa membuat pemirsa membangun argumen mereka sendiri.

Studi lainnya juga menunjukkan potensi lain dalam iklan berupa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menilai sebuah iklan negative. Garramone ( 1985) membandingkan efek dari iklan negatif yang disponsori oleh kandidat lawan versus iklan yang disponsori oleh sebuah komite aksi politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek memiliki citra lebih negative pada calon target dan sedikit kurang minat memilih calon ini jika iklan itu disponsori oleh lembaga independen daripada jika disponsori lawan dari calon tersebut. Selain itu, citra lawan dan kemungkinan memberikan suaranya  calon lebih tinggi jika iklan negatif disponsori oleh sumber independen. Dengan demikian terlihat bahwa efek yang dihasilkan lebih umum jika iklan tersebut disponsori oleh orang lain selain calon lawan.

Faktor konten iklan negatif lainnya yang bisa mempengaruhi adalah fokus serangan. Johnson dan Copeland (1987) menemukan bahwa responden menganggap serangan terhadap lawan dengan mengandalkan isu-isu, lebih diterima daripada iklan negatif yang berfokus pada aspek personal calon sasaran. Dalam sebuah studi eksperimental, Roddy dan Garramone (1988) menemukan bahwa pemirsa  iklan negatif yang menonjolkan isu-isu memiliki evaluasi secara signifikan lebih positif dari karakter sponsor dan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk memilih calon sasaran daripada  pemirsa yang diterpa iklan citra negatif seseorang. Dengan demikian, tampak bahwa iklan isu negatif dapat menghasilkan efek lebih, sementara iklan image negatif dapat menghasilkan efek reaksi balik yang lebih besar.

Faktor-faktor lain seperti kepercayaan, kredibilitas pesan, arti-penting dari sebuah isu, atau atribut kepribadian yang diserang juga dapat mempengaruhi evaluasi pemilih dari iklan negatif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan iklan lainnya juga dapat mempengaruhi dampak dari iklan negatif dengan mempengaruhi aksesibilitas memori. Dua faktor yang tampaknya sangat mungkin untuk mencapai hal ini adalah emosi dan citra visual.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa iklan politik dengan daya tarik emosional hasilnya lebih baik dibandingkan dengan yang non-emosional (Lang , 1991; Shapiro dan Rieger 1989). Iklan politik dengan daya tarik negatif emosional lebih diingat daripada iklan politik emosional yang positif (Lang dan Lanfear 1990). Bahkan bila disertai dengan gambar visual yang kuat, iklan tersebut akan lebih mudah masuk ke dalam memori target audiens (Kisielius dan Sternthal 1986).

Akhirnya, beberapa penelitian menunjukkan informasi negatif dengan daya tarik emosional dalam iklan bisa meningkatkan memori melalui elemen-elemen visual dalam iklan tersebut (Lang dan Friestad 1987). Secara keseluruhan, temuan ini membantu menjelaskan mengapa Prabowo sangat khawatir bila isu penculikan dan tragedi 1998 terus diangkat menjadi wacana menjelang Pilpres. Karena itu, dia merasa perlu mengemukakan bahwa dia bersedia buka-bukaan tentang dua kasus tersebut.


Rabu, 23 April 2014

Membangkitkan Merek Loyo (Brand Revitalization)

Ibarat mahluk hidup, brand atau merek juga memiliki karakteristik yang sama. Pertama dia dilahirkan, tumbuh, dewasa, loyo dan mati. Bagaimana membuat merek tetap kokoh? Lalu bagaimana membangkitkan kembali brand yang loyo?

Januari lalu, kelompok Kino meluncurkan Absolute Free, sabun pembersih khusus daerah kewanitaan. Merek ini 'menggantikan' Absolute yang gagal di pasar. “Dalam setahun, kami cuma bisa menghasilkan omzet Rp 300-400 juta. Angka itu masih jauh dari target awal kami,” aku Harry Sanusi, Chief  Executive Officer Group Kino. Pada posisi seperti itu, pemasar memang dihadapkan pada pilihan mematikan atau merevitalisasi merek tersebut.

Menurut David A. Aaker – pakar merek dari University of California – dalam bukunya, Managing Brand Equity: Capitalizing on the Value of a Brand Name, revitalisasi merek (brand revitalization)  berarti membangkitkan kembali merek yang loyo tetapi diperkirakan masih punya harapan hidup bahkan berkembang. Sasarannya bukan hanya meningkatkan penjualan melainkan menciptakan penjualan yang berlandaskan pada ekuitas yang dikuatkan.

Banyak cara untuk membangkitkan merek. Antara lain dengan meningkatkan penggunaan oleh konsumen yang sudah, misalnya melalui iklan pengingat atau membuat penggunaan menjadi lebih mudah, memasuki pasar-pasar baru, atau reposisi. Dalam kasus Absolute, semula produk itu dikomunikasikan dengan pendekatan medikal. Akibatnya, Absolute dipersepsikan sebagai produk insidental. Alias, saat dihinggapi penyakit kewanitaan, barulah mereka tergerak untuk mengkonsumsinya. Belakangan, dengan menambah kata Free di belakang Absolute, produk ini dikomunikasikan sebagai produk kosmetik. Sehingga kapan pun bisa dipakai.

Yang dilakukan Kino memang berisiko. Itu karena Kino mempertaruhkan investasi miliaran rupiah pada merek Absolute yang belum kokoh. Namun, Kino mungkin beranggapan lain. Brand Absolute masih memberi harapan mendongkrak penjualan. Selain itu, investasi yang dibutuhkan bisa jadi lebih murah ketimbang menggunakan merek yang baru sama sekali. Juga, risiko kegagalan merek baru lebih besar.

Persoalannya, kapan revitalisasi harus dilakukan sehingga merek tetap memberi keuntungan yang optimum? Terlalu awal direvitalisasi bisa jadi pemborosan, sebaliknya bila terlambat bisa kebablasan. Itu sebabnya, pemasar harus jeli mencermati siklus hidup merek.  Seperti dimaklumi, pada dasarnya suatu merek atau produk memiliki karakteristik seperti halnya manusia. Ia lahir, tumbuh, dewasa dan mati. Merek atau produk pun memiliki siklus, yakni lahir, introduksi, pertumbuhan, maturity (dewasa), dan penurunan. Masing-masing tahap memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan treatment atau srategi yang berbeda.

Tahap pengenalan  misalnya, antara lain ditandai dengan penjualan yang rendah, biaya per kustomer tinggi,  dan keuntungan yang negatif. Sedangkan tahap maturity memiliki karakteristik penjualan mencapai puncaknya. Tahap ini meliputi tiga fase. Pertama, growth maturity dimana pertumbuhan penjualan mulai turun. Kedua, stable maturity – penjualan per kapita tidak tumbuh karena pasar jenuh. Disini sebagian besar konsumen sudah mencobanya dan pertumbuhan pasar selanjutnya hanya mengandalkan perrtumbuhan penduduk dan replacement demand. Ketiga, decaying maturity. Pada fase ini -- secara absolut -- angka penjualan turun dan konsumen mulai berpindah ke merek atau produk lain.  Turunnya angka penjualan bisa karena bermacam-macam. Misalnya; ketinggalan teknologi, pergeseran selera konsumen, dan meningkatnya persaingan.

Repotnya, kebanyakan merek berada pada tahap maturity. Itu sebabnya, tugas manajemen pemasaran adalah memelototi tahap siklus hidup ini. Meski bila kematian bagi manusia adalah suatu kepastian, namun --untuk merek -- tahap penurunan bukanlah sesuatu yang tak bisa diulur. Paling tidak, dengan mengenali tanda-tanda awal terjadinya penurunan atau ancaman yang dapat menyebabkan terjadi penurunan, bisa dicari jalan untuk menstimulasi penjualan. (Jakarta, 21 April 2002)


MEMBERI NYAWA PADA MEREK

Personifikasi merek (Brand Personification) dapat membuat merek jadi lebih menarik, mudah diingat  bahkan bisa jadi alat untuk mengekspresikan dientitas dari konsumennya. Di pasaran, banyak sudah merek yang sukses dalam membangun personifikasi. Apa rahasianya?

Jika Anda akan membangun merek, Al Ries dan Laura Ries memberi nasihat begini. ‘’Anda harus memusatkan usaha untuk memiliki sebuah kata di benak konsumen Anda,’’ begitu pesan  pakar branding yang sudah menulis puluhan judul buku ini.
Al dan Laura tidak asal bicara. Jika satu merek sudah dalam tahap ‘’memiliki satu kata’’ yang tidak dimiliki oleh merek manapun, biasanya para pesaingnya pasti akan kesulitan untuk mengambil kata tersebut.
Satu kata yang acap terkait dengan personifikasi merek ini, memang luar biasa dampaknya. Volvo, misalnya. Menurut Anda personifikasi seperti apa yang termuat pada merk Volvo? Ya, kalau Mercedes  adalah prestise, maka Volvo memiliki satu kata ‘’keamanan’’ (safety) di benak para pembeli mobil.
Dapatkan produsen mobil lain memproduksi mobil yang lebih aman dari Volvo? Mungkin bisa. Banyak merek diantaranya seperti Saab dan Merceses Benz mengklaim telah melakukannya. Tapi, dapatkan merek di luar Volvo ini merebut kata ‘’keamanan’’  terlanjur nempel di benak konsumennya? Besar kemungkinan, tidak. Itulah dahsyatnya efek sebuah personifikasi merek (PM).
Dengan kata sakti ‘’keamanan’’ yang sudah kadung melekat selama 35 tahun tersebut, Volvo telah menjadi mobil mewah Eropa dengan penjualan fantastis di berbagai belahan dunia. Bahkan di Amerika, negeri embahnya otomotif dimana pasarnya sudah dibanjiri merek buatan lokal yang bagus-bagus dan berkualitas, mobil buatan Jerman ini malah berhasil mencatat penjualan tertinggi. Secara gemilang dalam dekade lalu, mencetak penjualan sekitar 850 ribu unit mobil di pasar  Amerika. Mengungguli penjualan BMW yang sebesar 804 ribu unit atau Mercedez Benz yang berhasil terjual  sekitar 770 ribu unit mobil.
Seperti Volvo, Harley Davidson, Kleenex, Band Aid, Coca Cola atau Rollerblade adalah merek-merek yang bermain di pasaran Amerika yang juga terangkat lewat satu kata khusus yang tak dimiliki merek lain yang bukan lain adalah hasil usaha personifikasi merek yang dibangun di produsen secara konsisten selama sekian tahun sehingga menancap erat di benak masyarakat konsumen.
Harley, merek produk moge (moter gede) tak dapat disangkal bisa mengekspresikan kata ‘’kejantanan’’. Kleenex, misalnya, memiliki kata yang mewakili katagori produk, yakni ‘’tisu’’. Saking top of mind-nya  personifikasi merek ini di otak konsumen, sampai-sampai di Amerika tisu merek apapun dipanggil dengan sebutan Kleenex.  Hal yang sama terjadi pada Coca Cola dengan cola-nya, Band Aid dengan plester lukanya, juga Rollerblade dengan sepatu luncurnya.  Jadi jangan aneh, jika mendengar kalimat ABG di negeri Paman Sam mengatakan,’’ beli rollerblade merek anu yukkk.’’  

Revival of Dead or Dying Brand


Merivitalisasi merek tidak hanya layak, tapi juga merupakan strategi yang lebih menarik daripada meluncurkan merek baru. Revitalisasi merek biasanya lebih murah dan berisiko lebih kecil daripada memperkenalkan merek baru

Taurus adalah salah satu mobil produk Ford yang paling sukses. Merek yang diluncurkan pada 1985 ini dengan cepat menjadi salah satu model penjualan paling top (Krisher, 2006). Selama tiga tahun berturut-turut, Taurus memiliki catatan yang patut ditiru sebagai mobil terlaris (Jaroff, 1995). Namun, persaingan yang ketat dari dua merek, Honda Accord Jepang dan Toyota Camry, membuat Taurus lemah.
Ketika Ford menarik ambisi mempertahankan merek tersebut pada 2006, banyak laporan berita yang menggambarkan kedukaan penggemarnya. Segera setelah itu, Ford melakukan pembalikan haluan (turnabout), dan memperkenalkan kembali merek Taurus. Manajemen Ford melihat bahwa Taurus masih memiliki banyak hal yang bisa ditawarkan, dan menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan merek yang sama sekali baru.
Gambaran itu seakan membuktikan bahwa sejatinya, merek itu tidak mati alami. Yang banyak terjadi adalah merek dibunuh melalui salah urus. Kematian sebuah merek merupakan masalah yang kompleks dan kadang-kadang kontroversial. Akan tetapi, terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa baik umur merek, atau akhir dari semua merek taka da yang bisa menentukan. Bahkan ada kalanya penurunan merek bisa menjadi sebuah proses yang  reversible (bisa balik). Harley Davidson misalnya, merek ini sempat mengalami penurunan yang signifikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir berhasil dihidupkan kembali.
Pada awal masa pasca Perang Dunia II, popularitas Harley sangat tinggi. Sepeda motor besar ini terkenal karena desain yang unik (Wells , 2001). Setelah puluhan tahun mendominasi, pada awal 1970an, Harley mulai mengalami pendarahan. Munculnya sepeda motor Jepang yang lebih kecil mulai menggerogoti  penjualan merek. Untuk mengatasi pesaingnya itu, Harley memperkenalkan sepeda motor yang lebih kecil. Sayangnya, mereka dianggap pelanggan setia Harley memiliki kualitas yang buruk, dan penjualan terus menurun.
Akibatnya, Harley menghadapi kerugian finansial yang besar. Bahkan sempat diramal bakal menemui kematian (Hoovers, 2007) . Namun, Harley memutuskan untuk membuat investasi yang signifikan dalam kualitas dan gaya yang khas. Sekarang - sekali lagi - merek Amerika yang terkenal dan dihormati.
Dua puluh tahun lalu, Samsung dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan diri dalam semikonduktor, terutama chip memori. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Samsung dengan  penuh semangat memperluas bisnis elektronik konsumen untuk memasukkan produk-produk seperti peralatan hiburan rumah, ponsel dan perangkat otomatisasi kantor.
Samsung telah membangun citra baru berdasarkan investasi yang luas dalam iklan dan sponsorship acara seperti Olimpiade. Lebih penting lagi, Samsung telah mendukung strategi merek yang sukses dengan jangkauan yang luas dan berkembang. Kualitas produknya telah memenuhi kebutuhan pelanggan. Dalam prosesnya, Samsung berhasil menghapus citranya sebagai produsen merek low-end dan produsen semikonduktor.
Samsung bisa jadi salah satu contoh terbaik dari revitalisasi perusahaan yang sukses. Pada pertengahan 1990-an, Chairman Samsung Electronics dan manajemen senior membuat keputusan penting. Mereka memutuskan bahwa Samsung tidak akan lagi menyediakan komoditas produk elektronik ke pengecer,  termasuk WalMart, tapi akan lebih fokus pada pengembangan desain produk yang inovatif dan menjadi merek global. Perusahaan ini berfokus pada inovasi produk dan strategi desain merek, penjualan dan nilai mereknya meroket dalam beberapa tahun saja.
Merivitalisasi merek tidak hanya layak, tapi juga merupakan strategi yang lebih menarik daripada meluncurkan merek baru. Seperti yang dikatakan Aaker (1991), revitalisasi merek biasanya lebih murah dan berisiko lebih kecil daripada memperkenalkan merek baru, yang dapat menelan biaya puluhan juta dan kemungkinan gagal lebih besar daripada berhasil (hal. 242). Kadang-kadang merek yang sekarat atau merek mati mungkin masih memiliki ekuitas merek yang signifikan. Merek yang sekarat atau mati bisa jadi masih memiliki brand awareness yang tinggi dan brand image yang kuat.
Itulah yang memotivasi manajemen Ford untuk menghidupkan kembali merek Taurus. Dalam kaitan ini,  ekuitas merek adalah kekuatan pendorong dalam keputusan ini. Ford menyadari bahwa alih-alih mencoba untuk menggunakan nama merek lain yang berarti bagi pasar, akan lebih baik menggunakan nama merek Taurus yang memiliki pengakuan nama 90% dan citra positif (Kiley, 2007). Dengan demikian, tak lama setelah kematiannya, Taurus terlahir kembali.
Salah satu tantangan dalam mengelola merek adalah adaptasi merek terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungan pemasaran. Apalagi dalam situasi seperti sekarang dimana perubahan dan perkembangan lingkungan pemasaran sering kali dalam cara yang sangat signifikan.
Pergeseran perilaku konsumen, strategi kompetitif, peraturan pemerintah, dan aspek lain dari lingkungan pemasaran dapat mempengaruhi nasib merek. Selain kekuatan-kekuatan eksternal, perusahaan itu sendiri mungkin terlibat dalam berbagai kegiatan dan perubahan dalam fokus strategis atau arah yang mungkin memerlukan penyesuaian dalam cara yang merek sedang dipasarkan.
Kerangka ekuitas merek berbasis pelanggan, yang dikembangkan Kevin Lane Keller, mendefinisikan ekuitas merek berbasis pelanggan sebagai efek diferensial pengetahuan konsumen tentang merek sebagai respon atas kegiatan pemasaran. Ekuitas merek berbasis pelanggan yang positif berhasil bila konsumen merespon terhadap produk, harga, atau komunikasi. Menurut kerangka ini, pengetahuan merek konsumen dapat dicirikan dalam hal dimensi brand awareness dan brand image. Sumber ekuitas merek sendiri terjadi ketika konsumen menyadari bahwa merek memiliki asosiasi merek yang kuat, menguntungkan, dan unik. Ada sejumlah cara untuk menciptakan struktur-struktur pengetahuan dalam benak konsumen. Secara umum, mereka melibatkan memilih elemen merek, pengembangan yang mendukung program pemasaran, dan menciptakan asosiasi sekunder.
Konsepsi ini mengimplikasikan bahwa manajemen merek yang efektif memerlukan strategi proaktif yang dirancang untuk setidaknya mempertahankan - jika tidak benar-benar meningkatkan -- ekuitas merek dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang berbeda.
Dalam konteks revitalisasi, pemasaran konvensional tidak akan membawa suatu keberhasilan. Gagasan dan tindakan ini membutuhkan dukungan dari semua tingkatan di perusahaan. Intinya, peremajaan merek harus diterima di semua tingkat dan departemen, mulai dari bagian atau departemen pemasaran, keuangan, sumber daya manusia hingga operasional.
Disnilah pentingnya internal branding. Dalam konteks perusahaan, internal branding didefinisikan sebagai penyelarasan sikap yang berbeda dan keyakinan karyawan terhadap nilai merek untuk mendapatkan komitmen karyawan terhadap organisasi. Tujuan utama dari internal branding adalah untuk memastikan bahwa semua karyawan dalam sebuah perusahaan memiliki sikap yang kongruen terhadap nilai-nilai merek dan berkomitmen untuk memberikan nilai-nilai tersebut kepada pelanggan.
Dalam konteks merek, komitmen tersebut berada pada level lebih kecil dan bertujuan membangun komitmen karyawan terhadap merek yang direvitalisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika karyawan memiliki sikap positif terhadap merek, baik karyawan maupun kinerja merek tersebut ikut meningkat.

Yani dan Farkas (2005) menegaskan bahwa ketika karyawan merasa nilai-nilai merek cocok dengan nilai-nilai mereka, mereka memiliki tingkatan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan keterikatan pada organisasi. Oleh karena itu, internal branding memotivasi karyawan untuk mengidentifikasi, loyal (Papasolomou dan Vrontis, 2006), bergairah (Alcorn et al ., 2008), dan merasa bangga terhadap merek dan organisasi mereka (Gray , 2007). Dampak positifnya pada karyawan, internal branding membuat merek yang direvitalisasi menjadi kuat (Punjaisri dan Wilson , 2007) dan memaksimalkan kinerja merek (Alcorn et al , 2008; Thomson et al, 1999).

Senin, 21 April 2014

Ketika Kampanye Negatif Dilakukan...

Dalam beberapa waktu terakhir ini, kampanye politik negatif telah menjadi topik diskusi di antara kandidat, masyarakat, dan pakar politik. Taktik kampanye negatif yang paling popular dewasa ini nal - seperti yang dialami oleh orang-orang yang disebut-sebut sebagai Capres seperti Prabowo dan Jokowi.
Fenomena serangan negatif tersebut memunculkan persepsi yang berkembang luas bahwa sejarah peradaban politik saat ini telah digantikan oleh era kampanye menyerang. Ada kekhawatiran besar bahwa peningkatan kampanye menyerang tersebut memunculkan sejumlah efek merugikan pada sistem politik di Indonesia, seperti penurunan minat dalam politik dan kecenderungan berkurangnya minat memilih.
Pada tahun 1980-an dan tahun 1970-an, ketika strategi iklan negatif masih dianggap "maverick," iklan dengan isi dan gaya negatif dalam kampanye menjadi andalan dalam mendapatkan suara pemilihan di Amerika Serikat (Advertising Age 1998; Will 1986). Sementara iklan tersebut secara konsisten tidak disukai (Ansolabehere dan Iyengar 1995; Hill, 1989) dan diperkirakan dapat mengasingkan sejumlah besar pemilih potensial (Freedland 1994; Rothenberg 1990; Teepen 1995), efektivitasnya didukung oleh peningkatan penggunaan yang berkelanjutan pada setiap tingkat kampanye (Jamieson 1992; Newsweek 1996; Tinkham dan Weaver Lariscy, 1997).
Penelitian akademik, bagaimanapun, menunjukkan bahwa efek dari iklan politik negatif mungkin tidak begitu jelas. Beberapa studi menunjukkan bahwa iklan negatif dapat membangun opini negatif pada  calon yang menjadi sasaran kampanye tersebut (Boydston dan Kaid 1983; Garramone 1985; Merritt 1984). Penelitian lain, menemukan efek reaksi terhadap calon yang mensponsori yang  sama besar atau lebih besar dari efek yang diinginkan (Bukit 1989; Faber , Tims dan Schmitt 1990).
"Orang-orang lebih cenderung menghargai dan memberikan suara untuk calon yang mensponsori iklan negatif, jika iklan yang disajikan dengan cara tidak biasa dari waktu ke waktu,” kata Fernandes, professor dari UM School of Communication. "Untuk calon yang tidak memiliki anggaran yang besar untuk iklan politik dapat menggunakan iklan yang sama, yakni mengulang-ulang; tapi dengan cara yang lebih strategis."
Dalam sebuah studi, mahasiswa berpartisipasi dalam dua tes terpisah. Pertama , 150 peserta menyaksikan iklan politik negatif berdurasi 30 detik berulang-ulang dari calon yang tidak diperkenalkan kepada peserta (satu, tiga, atau lima eksposur). Iklan tersebut disajikan secara berurutan dan massive.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi dan kemungkinan memberikan suara kepada calon yang mensponsori kampanye negatif tertinggi terjadi ketika peserta terkena iklan tiga kali dan terendah ketika mereka teterpa iklan lima kali .
Pada tes kedua, 306 mahasiswa menyaksikan iklan kandidat yang tidak diketahui dalam sebuah program televisi berdurasi 30 menit, dengan berbagai interval waktu antara pengulangan iklan. Setelah itu peserta mengisi kuesioner untuk mengevaluasi calon sponsor dan calon yang diserang, serta kemungkinan mereka memberikan suaranya.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dengan judul, Effects of Negative Political Advertising and Message Repetition on Candidate Evaluation, pada March of 2013 di Journal Mass Communication and Society, menunjukkan bahwa interval waktu yang lebih besar diantara pengulangan iklan mendukung evaluasi calon sponsor dan merugikan evaluasi calon yang menjadi sasaran dari kampanye negatif tersebut. Hal ini berlaku sejalan dengan peningkatan frekuensi pengulangan. Ini menunjukkan bahwa calon yang mensponsori dapat menghindari efek balik dengan memungkinkan eksposur iklan dengan interval waktu yang lebih besar.

"Dalam studi, saya menunjukkan bahwa iklan politik negatif bekerja di bawah kondisi tertentu," kata Fernandes. "Saya kira iklan negatif bisa membantu proses politik, karena orang dapat melihat beberapa fakta, memproses informasi lebih hati-hati dan kemudian - ketika memberikan suara - mereka dapat membuat suatu keputusan berdasarkan informasi tersebut."

Kenapa Konsumen AS Lebih Memilih UKM?

Konsumen AS memilih usaha kecil karena pengalaman yang lebih pribadi yang mereka sediakan  dibandingkan dengan bisnis yang lebih besar. Menurut data yang dikeluarkan AYTM Market Research, pada April 2014, layanan yang pribadi menjadi alasan ke dua bagi pengguna internet AS untuk lebih menyukai usaha kecil dibandingkan perusahaan besar (52,7%). Peringkat ini membuntuti alasan untuk mendukung ekonomi lokal (56,2%), tetapi memimpin semua pilihan lain yang poinnya sekitar 23 persen. Yang menarik, harga yang lebih rendah tidak memainkan peran besar dalam memilih usaha kecil. Bahkan, 61,2% responden mengatakan mereka bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk mendukung usaha kecil.


Temuan AYTM Market Research tersebut mendukung hasil penelitian yang dilakukan Web.com dan Toluna pada Agustus 2013 lalu. Berdasarkan temuan pada Agustus 2013 itu, faktor yang dianggap konsumen AS paling penting ketika memilih usaha kecil dari pada jenis usaha lainnya adalah layanan pelanggan (86% responden). Layanan yang lebih pribadi dan pengalaman intim serta pelanggan mengatakan bahwa usaha kecil lebih memahami kebutuhan juga populer, masing-masing disebutkan oleh 84%.


Rabu, 16 April 2014

The Boss as Brand Ambassador

Ketika kita berpikir tentang Chairul Tanjung, Ignasius Jonan, Emirsyah Satar, Dahlan Iskan yang muncul dalam pikiran tentu perusahaannya. Ini makin mengukuhkan pendapat bahwa seorang chief executive officer (CEO) pada dasarnya adalah perusahaan. Dengan kata lain, personal brand seorang CEO terkait erat dengan corporate brand (merek perusahaan).

Keunikan seorang manajer puncak (CEO) merupakan sebuah legendaris. Lihat saja, penampilan Steve Jobs di depan public yang selalu mengenakan jeans. Penampilan itu seakan menyampaikan pesan Jobs sebagai individualitas yang teguh. Penampilan Richard Branson, CEO Virgin yang selalu glamor juga mencerminkan sesuatu yang elegan.
Lalu apa arti dari keragaman fenomen itu? Meskipun mereka memiliki keragaman yang tinggi, namun tampilan itu memberikan ciri umum: masing-masing membangkitkan image atau citra yang jelas. Sebuah konsep atau asosiasi yang jelas dan muncul seketik, yakni ikon perusahaan.
Sebuah studi yang dilakukan perusahaan komunikasi global Burson Marsteller menunjukkan bahwa reputasi CEO bertanggung jawab atas sekitar 50 persen reputasi perusahaan yang diterjemahkan ke dalam pencapaian dari suatu tujuan bisnis utama dan peningkatan penjualan. Artinya, CEO dan reputasi perusahaan terkait erat, reputasi CEO dan perusahaan tidak bisa dipisahkan dari pandangan publik terhadap kepemimpinan puncak perusahaan.
Banyak perusahaan mempekerjakan ahli public relations untuk mengelola citra organisasi serta reputasi CEO-nya. Beberapa konsultan personal brand percaya reputasi CEO memiliki pengaruh langsung pada citra dan kinerja perusahaan. Ada asumsi bahwa pelanggan lebih tertarik pada merek-merek yang memiliki image yang mereka kagumi atau bahkan bercita-cita untuk menjadi seperti CEO perusahaan tersebut.
Dalam konteks ini, nama seorang CEO dan ketenaran adalah penting untuk mengidentifikasi dan membedakan perusahaan. Bahkan dapat memicu reaksi pelanggan lebih memilih perusahaan atau merek perusahaan tersebut karena nama-nama merek yang berhubungan dengan pendapat, tindakan masa lalu dan tindakan masa depan yang diharapkan.
Positioning CEO  yang kuat sangat penting guna membangun ekuitas merek. Penelitian Burson -Marsteller ( 2006) memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat yang media-driven, agar bisa membedakan dirinya dengan pesaing, CEO membutuhkan positioning yang jelas dan profil yang unik.  Dari perspektif stakeholder, positioning merek CEO sangat penting dalam mengurangi risiko ketika mereka membeli produk atau saham , atau membuat perjanjian kontrak.
Beberapa positioning CEO seperti James Kilt (mantan CEO Gillette Co.) dijuluki sebagai Mr Fix -It " oleh Wallstreet Journal Eropa karena kemampuannya dalam meremajakan merek-merek tua (Armstrong dan McKay , 2004). Carlos Ghosn dijuluki sebagai The Icebreaker karena sering mengabaikan praktik bisnis yang biasa dan berdiri serta menjalankan roda bisnisnya menuju kesuksesan (Businessweek online, 2000-2004). Branson juga dikenal sebagai kapitalis adventure (Boeker , 2006) atau miliarder pemberontak ( Deutschmann, 2004).
Positioning tersebut seakan  mengirimkan pesan kepada para pemangku kepentingan tentang manfaat utama dan janji-janji dari seorang CEO.  Untuk tujuan ini media memainkan peran penting dalam mengkomunikasikan pesan itu dan membuat penilaian apakah janji dipenuhi atai tidak. Dengan kata lain liputan media dapat meningkatkan atau menghancurkan kredibilitas merek dan kepercayaan CEO yang bisa berdampak langsung terhadap brand equity. Media adalah salah satu dari beberapa kelompok pemangku kepentingan yang dapat mempengaruhi ekuitas merek CEO.
Ini berarti bahwa secara bersama-sama, reputasi perusahaan dan CEO memberikan kontribusi yang besar terhadap nilai pasar perusahaan. Karena itu perusahaan seharusnya tidak hanya berinvestasi dalam reputasi perusahaan untuk jangka panjang, tetapi juga dalam reputasi eksekutif puncak untuk memaksimalkan peluang pelapukan iklim saat muncul sentimen anti-bisnis dan memberikan keunggulan kompetitif secara maksimum.
Idealnya, pengaruh merek CEO positif. Seperti dalam kasus persepsi pemegang saham perusahaan, media dapat memainkan peran penting dalam membangun persepsi nilai merek. Jika seorang CEO mampu membuat banyak melakukan peliputan terhadap kegiatan mereka dan sebagainya, perusahaan tersebut cenderung mengungguli perusahaan dengan liputan media yang rendah.
Suka atau tidak, CEO adalah bagian dari ekuitas merek perusahaan. Dengan kata lain, para pemimpin pasti merefleksikan perusahaan. Reoutasi  CEO dan perusahaan yang terkait erat memiliki dampak pada bottom line. Konsumen sekarang lebih peduli keaslian merek perusahaan, dan reputasi CEO adalah bagian penting yang membangun image tersebut.
Visi dan misi, gaya kepemimpinan dan komitmen Richard Branson dan Bill Gates telah mendorong Virgin Atlantic dan Microsoft menjadi entitas global dan secara langsung terkait dengan ekuitas merek. Jadi, secara individual, mereka telah menjadi kepribadian merek. Richard Branson adalah fun-loving dan pengusaha yang cerdik. Karena itulah Virgin seringkali dipersepsikan sebagai perusahaan yang tidak takut untuk memasuki pasar baru, meski pasar tersebut hampir jenuh. Virgin hadir dengan memberikan pelayanan yang baik dengan senyum.
Di China, keberhasilan KFC karena perusahaan menyadari bahwa merek KFC bukanlah sekedar makan malam ayam, melainkan pengalaman kualitas makanan di lingkungan yang berkualitas. Karena itu, mereka dapat menawarkan nasi pada menu tanpa mengubah merek. Disini para pengelola KFC berhasil  memanfaatkan inti dari sebuah merek, yakni nilai-nilai Kolonel Sanders dan menerapkannya pada makanan lokal.
Hampir semua CEO memahami nilai dari sebuah brand dan pentingnya brand yang kuat. Beberapa diantara mereka mengembangkan kampanye personal branding yang dimulai dengan strategi yang komprehensif untuk berkomunikasi dengan semua pihak terkait seperti media, analis industri, asosiasi perdagangan, investor, karyawan dan regulator.
Tapi di sisi lain, saat ini konsumen mengharapkan konsistensi antara pesan merek perusahaan dan perilaku dan citra eksekutif kuncinya. Validitas merek hanya dapat sepenuhnya tercapai jika CEO mewujudkan merek dan nilai-nilainya untuk memenuhi tantangan baru dari pasar yang semakin kritis dan menuntut.
CEO ini sering dikatakan sebagai pemimpin merek atau wali dari merek perusahaan. Karena itu, CEO harus memahami nilai dan pentingnya merek perusahaan dan pribadi yang kuat perusahaan dan pribadi dengan jelas . Mereka perlu memastikan bahwa harus ada strategi merek yang jelas dan bahwa semua pemangku kepentingan dalam organisasi memahami dan menerimanya untuk memberikan janji merek.
Namun, dalam analisis akhir, kuncinya adalah untuk mencapai keseimbangan. Perusahaan bisa mengambil manfaat dari kepribadian menarik pehatian public CEO seperti Michael Dell, Phil Knight atau Steve Jobs. Tapi di sisi lain, juga harus disadari bahwa membangun identitas yang kuat yang tidak sepenuhnya bergantung pada personal brand pribadi CEO secara individu.
Terdapat dua kerangka kerja yang dapat digunakan dalam mengkonseptualisasi sebuah merek CEO. Yang pertama adalah dari Hankinson dan Cowking ( 1995) yang menyediakan kerangka kerja yang paling komprehensif dari dimensi merek: visual, image, kepribadian, positioning, persepsi dan nilai tambah. Namun, kerangka ini tidak memasukkan identitas merek yang secara fundamental berbeda dari dimensi lain dan meliputi elemen yang mungkin sangat penting dalam kasus personal dan merek CEO. Kerangka kedua adalah dimensi identitas merek Aaker (2003). Menurut kerangka ini, identitas merek terdiri dari empat kategori dimensi : brand sebagai produk, brand sebagai organisasi, brand sebagai orang, dan brand sebagai simbol.
Dalam kasus merek CEO, itu sangat penting untuk mempertimbangkan tidak hanya identitas pribadi, tetapi juga identitas peran (manajerial) karena keduanya merupakan bagian integral dari identitas seorang CEO (Bendisch et al ., 2007). Peran, atau identitas manajerial didasarkan pada seperangkat nilai-nilai inti, tetapi mereka fleksibel dan dapat disesuaikan dengan situasi kerja yang berbeda. Manajer terus-menerus membentuk dan membentuk kembali identitas mereka sepanjang kehidupan kerja mereka dalam menanggapi situasi, interaksi sosial, budaya (Watson , 1996), dan/atau identitas organisasi di mana mereka bekerja (Ashforth dan Mael, 1989; Elsbach, 1999; Humphreys dan Brown, 2002).
Seorang CEO sering memanfaatkan penampilan sebagai perangkat diferensiasi visual. Steve Jobs dari Apple misalnya, mengenakan pakaian informal seperti kemeja, celana jeans dan sepatu kets. Sementara  Richard Branson lebih memilih pakaian kasual. Penampilan simbolis kedua eksekutif tersebut bisa berpengaruh simbolis langsung terhadap persepsi pemangku kepentingan perusahaan mereka, dan penampilan mereka membantu untuk membedakan Apple dan Virgin dari pesaing.
Tapi apakah merek perusahaan mengalir dari kepribadian pemimpinnya, atau apakah seorang CEO harus dibentuk dan dibentukkembali agar sesuai merek perusahaan? Apakah mereka benar-benar datang dari sendiri mereka sendiri, atau hanya di bawah perintah tegas dari tim penasihat dan manajer merek sang CEO sendiri? Lalu apa itu personal brand? Bila personal itu adalah Anda, maka merek Anda pada dasarnya, reputasi Anda. Dalam bisnis, reputasi adalah aset Anda yang paling penting. Reputasi itu sendiri adalah persepsi publik tentang siapa Anda sebagai seorang dan seorang pemimpin. Reputasi Anda bukanlah siapa Anda, melainkan tentang apa yang orang lain percaya tentang Anda.
Orang mungkin tidak mengenal Robert Stephens. Tetapi, sebagian besar orag Amerika tentu familiar dengan Geek Squad, subsidari perusahaan elektronik konsumen multinasional, Best Buy, yang berkantor pusat di Richfield, Minnesota. Anak perusahaan itu awalnya sebuah perusahaan independen yang didirikan oleh seorang pelatih computer Robert Stephens, 16 Juni 1994, dan menawarkan berbagai layanan yang berkaitan dengan komputer dan aksesoris untuk klien perumahan dan komersial.
Teknisi Squad datang ke rumah klien yang ingin memperbaiki komputernya. Mereka datang dengan atribut yang khas, VW kodok hitam dan putih sehingga tampak seperti mobil keystone polisi atau gerobak padi. Setiap karyawan memiliki celana hitam, kemeja putih, pelindung saku dan logo Geek Squad. Stephens juga memperhatikan lebih mendetail dengan merancang sepatu berlogo Geek Squad pada solnya dengan teknologi tertentu yang membuat logo tersebut tidak akan copot meski sepatu itu digunakan melalui genangan air.
Setelah bergabung dengan Best Buy, Stephens dipertahankan sebagai bos di anak perusahaan itu. Geek Squad lalu menyediakan layanan di dalam toko, on-site, dan melalui Internet melalui akses jarak jauh, dan juga menyediakan 24-jam telepon dan darurat di tempat. 
Ide-ide kreatifnya membantu Geek Squad mendapatkan pangsa pasar. Akan tetapi, orang tidak mengenal pribadi Stephens. Orang hanya mengenal Geek Squad memberikan layanan pelanggan yang luar biasa. Itu yang membuat orang tertarik menggunakan jasa Squad. Ketika perusahaan ini diakuisisi oleh Best Buy, Stephens mengatur kontak pribadi e-mail dan saluran telepon untuk mengatasi masalah konsumen. Ini yang menjadikan Stephens sebagai salah satu CEO pertama yang memantau semua media sosial dan segera menanggapi siapa saja yang blog atau tweeted tentang Geek Squad, positif atau negatif dan mengenal orang-orang yang bersuara itu.

Fenomena itu memperkuat pendapat bahwa kepribadian merupakan salah satu aspek dari merek CEO. Jadi keperibadian merek perusahaan perannya lebih besar. Anda bisa memanfaatkan kekuatan kepribadian Anda untuk mencapai faktor keberhasilan bisnis penting. Akan tetapi, sebuah merek CEO tetap merupakan irisan dari orang atau individu dan bisnisnya. 

Rabu, 02 April 2014

REPOSITIONING

Dalam beberapa hari ini terakhir, banyak sekali terutama di politik, kampanye saling menyerang oleh para kontestan. Seorang capres misalnya menyebut Capres lainnya sebagai tukang bohong hingga boneka seseorang, sementara Capres tersebut membalasnya. Sampai hari inipun kampanye saling menjatuhkan masih terdengar.
Dalam konsep komunikasi pemasaran, kadang-kadang untuk bisa menarik perhatian, perlu sesuatu yang bersifat menyerang, terutama untuk menarik perhatian dari pihak yang bukan pendukung. Ada asumsi bahwa konsumen yang memiliki sikap tidak mendukung mungkin mengalokasikan sedikit perhatian terhadap suatu merek. Karena itu, perlu diciptakan suatu pesan yang bisa menarik perhatian, dalam hal ini adalah menyerang.
Atau bisa juga kampanye menyerang tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk kefrk berdaya menghadapi kinerjanya yang melorot atau melihat merek lain yang makin mencorong. Bulan lalu, CEO BlackBerry, John Chen, menyampaikan komentarnya tentang popularitas iPhone. "Saya menyebut kalian (pengguna iPhone) sebagai pemeluk dinding," kata Chen saat berbicara di depan forum  Oasis Montgomery Summit.
Menurut laman CNET, inti dari humor ini terkait dengan baterai iPhone yang cepat habis, bahkan tidak cukup untuk satu hari, kata Chen. Itu sebabnya, pengguna iPhone mencari dinding yang memiliki outlet listrik. Namun, sebenarnya ini bukan hanya akibat baterai iPhone yang tidak bisa bekerja dengan baik, tetapi ada begitu banyak aplikasi iOS yang menggoda penggunanya untuk mengunduh dan menggunakannya, yang semakin menguras "hidup" iPhone.
Jika mengacu pada pendapat Jack Trout dan Steve Rivkin dalam buku Repositioning: Marketing in An Era of Competition, Change, Crisis, yang dilakukan Capres dan Chen tersebut pada dasarnya mereka mereposisi pesaingnya. Dalam kaitan itu, merek pesaing dibuat lebih banyak memiliki kelemahan dibandingkan dengan merek dia sendiri.
Jadi dalam konsep ini, repositioning tidak hanya dilihat pada bagaimana suatu perusahaan memperbaiki diri untuk mengungguli pesaingnya, tapi juga bisa dilakukan dengan cara membangun persepsi public bahwa pesaingnya tiak lebih baik dari dirinya. Fenomena itu banyak kita jumpai akhir-akhirnya dimana beberapa partai yang kadernya terlibat korupsi berusaha membangun persepsi bahwa korupsi yang dilakukan kader partainya masih kecil, sementara kader partai lainnya yang korupsi jumlah kader dan yang dikorupsinya lebih banyak.  
Lima tahun lalu, Kodak ,perusahaan film, mencoba melawan produsen tinta dengan menyebut mereka sebagai perusahaan printer besar yang mengajari konsumen menjadi boros. Tidak seperti Kodak yang menagajari hemat. Untuk mendukung kampanye tersebut, Kodak mengirim orang ke situs Web produsen tinta dan menuliskan perhitungan biaya yang harus dikeluarkan pengguna tinta printer.
Ketika McDonald mempromosikan kopi latte dan capuccinonya, mereka membangun dan berkampanye melawan snobby coffee-nya Starbucks dengan menyebut sebagai suatu kesombongan. Kampanye itu dilakukan melalui website yang diberi nama Unsnobbycoffee.com, McDonald ingin menunjukkan kepada pelanggannya bahwa  mereka tidak perlu belajar " bahasa kedua" untuk memesan minumannya.
Mengutip pendapat John Zhang - seorang profesor pemasaran Wharton - Jack Trout dan Steve Rivkin mengatakan bahwa iklan menyerang pesaing dari produsen bir seperti Anheuser-Busch dan Miller, pada akhirnya berdampak negatif pada masing-masing merek. Alih-alih menarik konsumen untuk pengiklan, iklan tersebut hanya membuat orang acuh tak acuh. Pada gilirannya, merugikan semua pihak yang bermain di bisnis itu.


Ketika Campbell misalnya, tahun 2009 meluncurkan iklan untuk lini produk baru sup readymade-nya, Campbell juga menyerang pesaingnya, Progresso, dengan mengatakan bahwa pesaingnya itu menggunakan monosodium glutamat (MSG). Hasilnya? Dua-duanya menderita karena Progresso menanggapi dengan iklan yang mengatakan bahwa Campbell juga digunakan MSG. Akibatnya, dua-duanya dijauhi konsumen.
Hampir 29 tahun lalu, Jack Trout menulis buku tentang Positioning: The Battle for Your Mind (McGraw-Hill, 1981) bersama Al Ries. Yang ditulis dalam buku itu, menurut mereka, merupakan pedekatan dari sisi komunikasi. Ini merupakan salah satu bentuk kerisauan Al Ries dan  Trout terhadap membanjirnya informasi sehingga mempengaruhi efektivitas dari komunikasi – khususnya iklan – yang biasa dilakukan pemasar.
Dalam buku itu, Al Ries dan Trout  mendefinisikan positioning sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk menempatkan suatu produk, sebuah barang dagangan, jasa, perusahaan, institusi, atau orang termasuk diri kita sendiri, pada pikiran calon konsumen.
Setelah 29 tahun beredar dan masuk dalam jajaran 100 buku terbaik sepanjang waktu, Trout melihat ada sesuatu yang kurang dari buku Positioning: The Battle for Your Mind, yakni kurang memberi perhatian pada repositioning. Dalam buku itu, positioning dibahas di bab 8 sebagai suatu cara untuk melekatkan sesuatu yang negatif merek pesaing.
Untuk menyempurnakan itu, Trout menulis buku Repositioning: Marketing in An Era of Competition, Change, and Crisis bersama Steve Rivkin. Sebelumnya, Rivkin pernah bekolaborasi bersama Trout menulis buku Differentaite or Die: Survival in Our Era of Killer Competition (John Wiley & Sons, Inc).
Menurut mereka, sejatinya konsep positioning itu bersaudara kembar dengan repositioning. Artinya, bila kita berbicara tentang positioning, seyogyanya kita juga tidak melupakan repositioning, minimal untuk waktu ke depan. Trout mengakui, saat itu repositioning kurang mendapat perhatian. Sekarang, konsep repositioning menjadi perhatian karena tiga alasan yang disebut Trout dengan tiga c, yakni competition, change, dan crisis.
Dalam prolognya --  Trout dan Rivkin menunjukkan contoh beberapa perusahaan yang sempyongan karena keenggannya untuk berubah sebagai bukti pentingnya melakukan reposisitioning untuk menghadapi perubahan. Digital Equipment – produsen terbesar kedua komputer mini -- misalnya hancur karena pemiliknya lebih memilih wait and see terhadap apa yang dilakukan pesaingnya, IBM. Demikian pula Xerox. Disini Trout melihat, CEO Xerox tidak melakukan perubahan strateginya secara nyata ketika pasar pengkopian dokumen diserbu pencetak laser.
Trout dan Rivkin membahas tiga c secara rinci di Bab 1, 2 dan 3. Di Bab 1 buku ini, Trout dan Rivkin mengawali dengan definisi positioning dan repositioning. Menurut mereka, positioning adalah bagaimana Anda mendiferensiasikan Anda sendiri di dalam pikiran calon konsumen Anda. Sedangkan repositioning adalah bagaimana Anda menyetel persepsi-persepsi (perbedaan) itu, apakah persepsi tentang Anda ataukah tentang pesaing Anda.
Contoh repositioning seperti yang ditunjukkan dalam buku Positioning adalah bagaimana cara Tylenol mereposisi Aspirin hingga Tylenol bisa menyalip penjualan Aspirin. Ketika Aspirin menguasai pasar, Tylenol menampilkan iklan, ”Aspirin dapat menyebabkan iritasi pada perut,” dan melanjutkan, ”penyebab asma atau reaksi-reaksi alergi karena peradangan usus.” Kemudian dikunci dengan, ”Untung ada Tylenol.”(Ries and Trout, 2000:79). Disini Aspirin diposisikan Tylenol sebagai obat yang mempunyai efek samping ”berbahaya” sementara Tylenol aman.
Dari gambaran Tylenol terlihat bahwa dalam melakukan repositioning kadang-kadang kita terpaksa menyerang pesaing. Ini tentu berbahaya. Untuk itu Trout dan Rivin menyarankan untuk berhati-hati sebab bisa jadi menimbulkan serangan balik, termasuk dari merek lain.
Trout dan Rivkin mengambil contoh saat Campbell melunurkan produk soup siap masak tahun lalu. Dalam iklannya diselpikan “tuduhan” bahwa pesaingnya, Progresso, menggunakan monosodium glutamate (MSG). Pada akhirnya, dua-duanya menderita. Ini karena Progresso menanggapi iklan itu dengan mengatakan bahwa Campbell juga menggunakan MSG.
Salah satu prinsip dalam repositioning tersebut adalah menciptakan celah sendiri dengan melihat kelemahan posisi pesaing. Kenapa? Dalam melihat persaingan (competition), konsisten dengan gagasannya seperti dituangkan dalam buku Positioning, menurut mereka, persaingan sebenarnya bukanlah di pasar melainkan di pikiran publik. Dewasa ini, terjadi overcommunications berkaitan dengan terjadinya ledakan bentuk mediayang secara dramatis mempengaruhi cara publik menyerap atau mengabaikan informasi. Overcommunication itu terjadi sejak1970-an. Namun kalau dulu diistilahkan Trout dan Rivkin sebatas overload, sekarang berubah menjadi megaload.
Serangan informasi itu terasa terutama melalui meda elektronik. Setiap hari jutaan informasi online. Dimanapun Anda berada selalu didera informasi internet, televisi yang kini tumbuh luar biasa baik melalui jaringan tradisional maupun internet. Terpaan itu membuat publik menjadi bingung. Susahnya, pada sisi yang lain, publik sangat membenci kebingungan itu.
Pada kondisi itu, agar pesan kita masuk ke benak konsumen, seperti yang dikemukakan dalam buku Positioning (hal. 14), Trout dan Rivkin menekankan pentingnya kesederhanaan (simplicity) pesan. Beberapa program iklan yang paling berhasil adalah memfokuskan pada satu kata. Volvo misalnya, keamanan; Listerine dengan pembunuh kuman. Sejatinya, ini merpakan pengulangan dari buku-bukumereka terdahulu. Topik yang sama juga dibahas di buku Differentiate or Die (Trout and Rivkin, 2008: 83-88), dan New Positioning (1996:1-38).
Setelah menaiknya suhu persaingan dalam beberapa dekade terakhir, kata Trout dan Rivkin, masal ;ah lain yang dihadapi pemasar saat ini adalah perubahan (change) terutama karena perkembangan teknologi. Pada 1901, Arthur H. Pitney mematenkan mesin perangko yang kemudian berjaya selama puluhan tahun. Namun kini, mesin perangko itu bisa dikatakan nyaris menganggur karena budaya surat menyurat yang dulu berperangko kini digantikan oleh email atau sms atau messanger. Email juga demikian. ‘’Kenapa harus menunggu sampai di depan komputer, kalau kita sudah BlackBerry yang bisa mengirim pesan kemanapun, kapanpun dan dari manapun ?’’
Untuk menghadapi perubahan ini yang diperlukan tentu saja kemampuan untuk juga berubah. Selama bertahun-tahun, Crisco dari Procter & Gamble merupakan market leader untuk produk shortening – lemak padat yang memiliki tekstur yang lembut dan banyak digunakan sebagai bahan perenyah product bakery. Kemudian, konsumen menginginkan minyak nabati dan P&G pun mengembangkan Crisco Oil. Sekarang di minyak jagung, yang terbesar adalah Mazola. Kemudian Mazola memproduksi markgarine bebas kolesterol dari jagung Mazola Corn Oil Margarine karena konsumen mengingkan itu..
Intinya, dalam kondisiyang terus berubah kita hars tetap fokus dan mejadi spesialis. Bila Duracell fokus pada batteri alkaline yang awet, Eveready harus bicara tentang lampu senter, alat berat, dicharge ulang, dan batteri alkaline. Castrol boleh fokus pada oli mesin kecil berkinerja tinggi, sementara Pennzoil da Quaker State bisa fokus pada semua jenis mesin (hal. 103).
Lalu bagaimana dengan krisis ? Pada saat krisis makro semisal resesi membuat semuanya berubah. Implikasinya semua rencana jangka panjang berakhir. Pemilik merek harus menangkap peluang dan melupakan masa lalu. Ambil contoh saat General Motors mengalami krisis. Menurut Trout dan Rivkin, banyak merek-merek produk GM yang bisa dikembangkan. Chevrolet misalnya, sampai saat ini orang Amerika masih bangga dengan Chevrolet. Lalu kenapa GM tidak menggunakan tagline, “America’s favorite American car.”
Ahirnya, Trout dan Rivkin menuliskan pesan bahwa dalam repositioning dibutuhkan kesabaran karena membutuhkan waktu,  repositioning dilakukan bukan untuk sekadar karena yang lain melakukannya, repositioning juga harus dimulai dari da diakhiri oleh CEO, dan terakhir repositioning harus jelas. 

Buku ini seperti sebuah retrospeksi atas buku-buku Trout dan Rivkin sebelumnya,  Differentaite or Die atau New Positioning . Banyak bab-bab dalam kedua buku tersebut  dimuat lagi dalam Repostioning. Beberapa ilustrasi kasus yang diulas di buku  Differentaite or Die juga sengaja dimunculkan kembali. Meski demikian, situasi dan kondisinya memang masih relevan dengan kondisi sekarang. Intinya, barangkali Trout dan Rivkin ingin mengubah menjadikan bahwa cara lama tidak akan efektif bila digunakan untuk mengatasi masalah sekarang menjadi mitos. Trout dan Rivkin seakan ingin mengatakan bahwa cara lamapun bisa masih bisa digunakan mengatasi masalah baru, minimal sekarang.

Selasa, 01 April 2014

Kesederhanaan itu Sukses


Kekurangan bisa jadi suatu kelebihan. Tahun 2000 silam, Seven Cristol dan Peter Sealy menulis buku Simplicity Marketing – End Brand Complexity, Clutter, and Confusion. Dia menulis buku itu karena pada saat itu, pemasar membombardir konsumen dengan banyak dan semakin banyak produk dan jasa. Akibatnya, publik seakan dihinggapi kecemasan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada dekade pertama 2000an, publik mendapati sangat banyak merek yang kemudian menyederhanakan diri. Bila semula sampo dan conditioner terpisah, digabung menjadi satu sehingga kita mulai kenal sampo 2 in 1. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena tak lama kemudian kita mulai diperkenalkan dengan produk obat batuk terpisah antara obat batuk berdahak dengan kering. 


Sekarang kita makin hidup di dunia yang semakin rumit dan mempengaruhi hampir semua orang. Kompleksitasnya seakan tak terbatas. Lihat saja, kalau Anda pengguna iPad atau iPhone, akan akan menjumpai lebih dari 900.000 aplikasi di Apple App Store. Di jalanan, kita bisa menjumpai lebih dari 241 menu pilihan cheesecake factory. Itu belum termasuk menu makan siang. Bahkan di sebuah toko kosmetik. Sementara iTunes memiliki perjanjian lisensi setebal 56 halaman.

Dalam Simple—Conquering the Crisis of Complexity, Alan Siegel dan Irene Etzkorn menulis bahwa kompleksitas mengancam kesehatan dan keselamatan. Kenapa? "konsumen sekarang mulai melawan secara spontan melalui Twitter, Facebook, dan blog ketika mereka merasakan bahwa ada perusahaan yang main mata,” tulis Alan Siegel dalam Simple: Conquering the Crisis of Complexity. Untuk alasan ini, katanya, tahun 2013 harusnya menjadi "momen penting" untuk melakukan penyederhanaan.

Siegel menulis bahwa perusahaan dapat memangkas kekacauan ini dan menawarkan pengalaman konsumen yang lebih baik dengan mengikuti tiga langkah proses berempati. Pertama, harus benar-benar memahami kebutuhan pelanggan. Kedua, menyaring hal-hal paling penting tentang produk atau jasa mereka dan menahan godaan untuk menambahkan fitur tambahan. Ketiga, mengklarifikasi atau memberikan informasi penting dan membuat ringkasan serta mengorganisirnya dalam satu tema.

Pada bab Distill, Siegel dan Etzkorn mengatakan bahwa menyederhanakan adalah mengarahkan, mengedit dan mengurangi opsi dan pilihan yang membanjiri kita. Ketika Google memperkenalkan mesin pencari, Google bukanlah yang pertama yang menawarkan kemampuan pencarian kepada konsumen. Tapi versi Google dengan cepat meninggalkan pesaing di belakang. Seperti yang banyak dikatakan pengamat, kesederhanaan home page Google merupakan daya pikat dan kunci keberhasilannya.

Tapi kenapa hanya Google yang bisa membuat halaman pencarian begitu sederhana dan rapi? Bukankah perusahaan pencari lainnya sejatinya juga bisa melakukan hal yang sama? Dalam kasus ini, jelas bahwa kekurangan itulah yang lebih banyak memberikan penjelasan. Kesederhaannya seakan menampilkan bukan hanya cerdas tetapi juga menjadi pilihan termudah bagi perusahaan yang memproduksi halaman pencarian.

Namun pada kenyataannya menyederhanakan itu menjadi jauh lebih sulit. Jadi bagaimana Google menahan godaan untuk tidak menambahkan dan merepotkan penggunanya? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, mereka mewawancarai sejumlah eksekutif di perusahaan yang berbasis di Mountain View, California, itu dan mendapatkan beberapa yang hal mengejutkan.

Untuk menjadi yang sederhana itu, Google benar-benar mengembangkan sistem ketat dengan pembatasan yang ketat pula atas apa saja yang bisa dan tidak bisa ditambahkan ke dalam home page. Pimpinan Google tegas terhadap tim kreatifnya. Dalam beberapa kasus mereka bahkan harus menentang keinginan pelanggan. Tugas menjaga agar tetap di jalur yang melawan kompleksitas - yang sering melibatkan keberanian untuk "mengatakan tidak" kepada pihak-pihak atau usulan yang menginginkan fitur tambahan, polesan  desain, dan potensi lain yang berpotensi memunculkan komplikasi - sering dibebankan kepada Marissa Mayer.

Mayer menjelaskan bahwa di setiap fitur baru yang diharapkan menjadi bagian dari home page Google, bakal fitur tersebut harus melalui tahapan semacam "audisi." Pertama fitur tersebut diujicoba pada halaman pencarian lanjutan Google untuk melihat bagaimana kinerjanya. Bahkan jika sebuah ide baru menunjukkan kelayakan di pencarian lanjutan, fitur itu masih harus melalui uji sistem penilaian yang sulit yang dikembangkan oleh Google. Sistem penilaian unjuk kerja tersebut adalah, pertama, mereka menetapkan titik untuk setiap perubahan dalam jenis gaya, jenis ukuran, atau warna. Kedua, mereka menambahkan poin atas perubahan tersebut. Maksimum yang diizinkan untuk promosi adalah tiga poin. Artinya, bila fitur tersebut memiliki kerumitan senilai lebih dari tiga poin, fitur tersebut tidak akan digunakan.

Jadi, hanya bakal fitur yang memiliki jumlah poin paling sedikit yang dipasang di home page. Seperti yang dikatakan Mayer, "fitur yang memiliki poin lebih, itu berarti kurang kesederhanaannya." Google memang konsisten fokus pada kesederhanaan dan menolak untuk disesatkan, termasuk oleh pelanggannya sendiri. Sebagai contoh, ketika Google melakukan survei terhadap penggunanya untuk melihat apakah mereka menginginkan hasil pencarian yang lebih banyak pada setiap halaman, mereka mengatakan ya. Bayangkan siapa yang tidak ingin hasil yang lebih banyak saat memilih? Tapi Google, menurut Mayer, tidak memberikannya.

Google tahu bahwa menawarkan hasil pencarian yang lebih banyak, berarti waktu yang dibutuhkan untuk memuatnya menjadi lebih lama. Akibatnya, hal itu akan memperlambat kinerja dan pada akhirnya mengurangi pengguna pengalaman. Menurut Mater, kebanyakan orang tidak menyadari hal ini. "Pelanggan sering tidak memahami konsekuensi dari pilihan mereka. Tetapi itu adalah tugas kami untuk melakukannya," kata Mayer. "Kami tahu bahwa sepuluh hasil pada setiap halaman adalah jumlah yang tepat. Kami tidak mengubah itu."

Dengan kata lain, Google memiliki keberanian untuk memberikan pelanggan kurang, bahkan ketika mereka meminta lebih. Penyederhanaan berarti upaya mempersempit ruang lingkup yang Anda tawarkan saat  Anda mencoba untuk melayani kebutuhan tersebut. Buku ini membahas beberapa informasi yang bagus, dan isinya diilustrasikan dalam bentuk yang sederhana. Karenanya layak dibaca, khususnya oleh mereka yang menginginkan kesuksesan.