Sabtu, 28 Maret 2015

Mengapa Kampanye Sosial #RaceTogether Starbuck's Direspon Negatif?

Banyak organisasi dan perusahaan mencoba untuk memulai diskusi, terutama di media sosial. Bila  dikelola dengan baik kampanye dapat mengasilkan keterlibatan berbasis pelanggannya dan meningkatkan profil perusahaan. Namun, bila kampanye dijalankan dengan tidak hati-hati bisa jadi malah meningkatkan kemarahan massa di online.
Contoh kasus adalah kampanye #RaceTogether yang dilakukan Starbucks baru-baru ini. Kampanye yang dimulai dengan niat yang baik untuk memulai diskusi tentang ras, namun justru menjadi boomerang. Ini seakan mengukuhkan argumen bahwa masalah rasial tetap saja sensitive, dimanapun termasuk di Amerika Serikat sebagai negara yang menjadi kiblat demokrasi.
Howard Schultz, CEO Starbucks, ungkin saja bermaksud baik. Dia berpikir jaringan gourmet kopi yang dikelolanya harusnya memiliki tanggung jawab untuk menangani hubungan antar ras Amerika. Setelah serangkaian rapat internal di perusahaan, dia memutuskan untuk meluncurkan kampanye "RaceTogether", bekerjasama dengan koran USA Today. Tujuannya, menggugah percakapan, kasih sayang dan tindakan di sekitar ras di Amerika, sementara mereka menunggu kopi mereka.   
Masalah kesenjangan rasial sering tabu di perusahaan Amerika, tetapi selama beberapa bulan terakhir Starbucks mengadakan diskusi forum terbuka bagi karyawan untuk berbicara tentang hal itu. Minggu ini, itu didorong lebih jauh, mendorong barista untuk memulai percakapan dengan pelanggan.


Schultz berharap dapat mempromosikan satu tingkatan baru pemahaman dan sensitivitas tentang masalah ini. "Kami memiliki masalah di negeri ini dengan memandang ras dan ketidaksetaraan ras dan kami percaya kami lebih baik dan kami percaya negara ini lebih baik,” kata Schultz.
Ras bukanlah masalah ortodoks, bahkan topik yang tidak nyaman dibicarakan dalam pertemuan tahunan Starbuck. Mr Schultz mengakui pada pertemuan tahunan perusahaan bagi pemegang saham beberapa hari sebelumnya, dia sempat mengatakan bahwa "pada saat orang lain melihat biaya, risiko, alasan dan keputusasaan, kita melihat dan menciptakan jalur kesempatan lain. Itulah soal peran dan tanggung jawab perusahaan publik."
Meskipun tampaknya bermaksud baik, kampanye menimbulkan reaksi negatif. Kampanye disambut dengan cemoohan dari para wartawan dan dengan vitriol pengguna media sosial. Seorang barista Starbucks, yang diundang untuk menulis #Racetogether pada cangkir kopi, menanggapi dengan tweet mengejek. "Menjadi barista sudah cukup sulit. Membicarakan #RaceTogether dengan seorang wanita di Lululemon saat menuangkan bumbu labu, itu kejam, " tweeted Ijeoma Oluo.
Corey duBrowa, Senior Vice President Komunikasi Global, secara pribadi diserang badai tweet bernada marah. Dia sempat menghapus account Twitter-nya Senin malam, tapi bergabung kembali kurang dari 24 jam kemudian. "Tadi malam saya merasa diserang secara pribadi dalam nada negatif," kata duBrowa dalam sebuah posting di Medium. "Saya kewalahan karena volume dan jangka waktu diskusi yang mepet, dan aku bereaksi."
Sementara itu, Mr Schultz melalui CNN dan tempat-tempat lain untuk berusaha mempertahankan inisiatif. Meskipun dia mendapatkan berita yang baik untuk dilaporkan kepada para pemegang saham, sebagian besar diskusi hari itu dikhususkan untuk mengendalikan kerusakan akibat #RaceTogether.
Sejak itu, Starbucks menghapus frasa dan stiket #RaceTogether yang ada di cangkir kopi, dan merilis pernyataan kepada karyawan bahwa kampanye secara keseluruhan akan berlanjut hanya sampai 22 Maret.
Schultz menulis:
Meskipun telah ada kritik dari inisiatif - dan saya tahu ini tidak mudah buat salah satu dari Anda - izinkan saya meyakinkan Anda bahwa kami tidak mengharapkan pujian universal. Jantung RaceTogether selalu tentang kemanusiaan: janji American Dream harus tersedia untuk setiap orang di negeri ini, bukan hanya beberapa orang terpilih. Kami menghormati karena kami percaya bahwa dengan memulai dialog seperti ini adalah yang paling penting.
Jadi apa yang salah? Kampanye media sosial memang mudah dibajak oleh para pengkritiknya. Ketika suara pencela mulai menenggelamkan kampanye yang aslinya baik, secara tiba-tiba merek menghentikan pesannya, dan mulai defensif. Jika organisasi tidak memiliki rencana untuk melawan pesan negatif, seluruh kampanye bisa hilang.
Analis Networked Insights Christina Dorn yang mempelajari kampanye tersebut menemukan bagaimana pola respon negatif tersebut. Pada 17 Maret atau beberapa haru setelah kampanye dimulai, volume diskusi tentang Starbucks meningkat 266 persen. Namun, sepertiga dari mention yang muncul bisa  dikategorikan sebagai "hate" dan 60 persen tanggapan negatif. Hanya tujuh persen dari pesan dalam diskusi konsumen itu yang positif.
Pada 18 Maret, percakapan meningkat 408 persen di antara pemasaryang tergabung dalam grup Networked Insights dibandingkan dengan tren beberapa bulan sebelumnya. Namun demikian, 62 persen dari postingan mereka pada umumnya bernada negatif atau sangat kritis terhadap kampanye.
Persepsi penghinaan warga Amerika untuk #RaceTogether tampaknya berakar pada sintimen bahwa Starbucks telah mengambil alih masalah sosial yang serius untuk keuntungan ekonomi sendiri. Perhatian yang tiba-tiba Starbuck pada isu-isu rasial dianggap sebagai gimmick pemasaran. Memang, merek cenderung dihargai ketika mereka menyelaraskannya dengan hal-hal yang bersifat kebaikan.  Konsumen sering berterima kasih atas kesempatan untuk merasakan diri benar tanpa harus melakukan sesuatu yang lebih dari melakukan pembelian.
Tetapi untuk kampanye yng ini, Starbuck butuh sesuatu yang otentik dan bukan hanya kesan sinis atau melayani diri sendiri. Kampanye TOMS Shoes, yang menyumbangkan sepasang sepatu untuk anak miskin untuk setiap pasangan yang dibeli konsumen, berhasil meskipun mendapatkan kritik dari beberapa ekonom.
Kampanye Dove "Real Beauty" juga demikian. Tapi itu masuk akal untuk sebuah merek body-wash populer dengan basis pelanggan wanita yang secara signifikan mengatasi masalah citra tubuh. Inisiatif Starbucks dari "percakapan ras" ini sebaliknya terasa kurang organik dan otentik.
Sebagian dari sumbernya adalah masalah kepraktisan: bagaimana orang seharusnya berbicara tentang ras dalam interaksi 30 detik dengan orang asing sambil mengambil kopi untuk pergi? Masalah lainnya adalah branding. Mengingat kepemimpinan perusahaan didominasi kulit putih, sekitar 40% barista adalah ras minoritas, tetapi hanya tiga dari 19 eksekutif Starbucks adalah orang-orang kulit berwarna dan  kaya, percakapan itu terasa dipaksakan dan canggung.
Starbucks memiliki catatan memperlakukan karyawan lebih baik daripada kebanyakan jaringan ritel makanan cepat saji. Musim panas lalu perusahaan menjadi berita utama karena tawarannya untuk menutup biaya kuliah stafnya yang bekerja setidaknya 20 jam seminggu. Tapi pendapatan barista masih sesedikit sekitar $ 7,60 per jam. Banyak juga yang mengeluhkan terbatasnya akses terhadap asuransi, jam kerja tidak dapat diandalkan dan toko-toko yang kekurangan staf. Mungkin karena itu, bisa dimengerti jika beberapa orang tampak sangat bersemangat untuk membicarakan tentang rasisme.

Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik Starbucks? Memang sulit untuk menjaga pesan kampanye sosial,  terutama ketika berkaitan dengan tema-tema yang sensitive seperti ras. Saat menjalankan kampanye sosial, bersiaplah menerima hasilnya yang mungkin baik atau positif, tapi juga bisa juga negatif. 

Jumat, 27 Maret 2015

Beda Stakeholder, Publik, Pasar, dan Khalayak (Audiens)

Dalam beberapa kasus, orang sering mempertukarkan istilah stakeholder dan publik. Demikian pula antara target pasar dan khalayak. Padahal itu seharusnya tidak boleh terjadi. Dalam beberapa literature bisnis, stakeholder (pemangku kepentingan) telah diidentifikasi sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan antara mereka yang ada dalam kelompok dengan perusahaan. Di sisi lain, dalam literature public relations dan media massa, publik berhubungan dengan pesan.
Baik publik maupun stakeholder berkaitan dengan populasi (Grunig, 1979:741). Definisi stakeholder yang paling sering dikutip dalam literatur bisnis adalah yang diberikan oleh Freeman (1984). Yang dimaksud dengan stakeholder adalah kelompok atau individu yang dipengaruhi oleh atau dapat mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi.
Definisi itulah yang oleh Freeman sering disebut sebagai  stakeholder dalam arti luas. Namun demikian, dia juga berbicara tentang defisini stakeholder dalam arti sempit. Ini terutama saat dia menggambarkannya sebagai, "kelompok atau individu yang dapat diidentifikasi di mana organisasi menggantungkan kelangsungan hidupnya.”
Definisi ini telah diperluas untuk mencakup kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan di perusahaan, terlepas dari kepentingan korporasi di dalamnya. Namun demikian, selain mempersempit definisi bagi mereka yang berkontribusi dalam hal keuangan perusahaan misalnya, beberapa penggiat  mengkritik teori ini karena dianggap tidak membuat definisi yang jelas siapa yang diamksud dengan pemangku kepentingan dan siapa yang tidak.
Para penggiat mengklaim bahwa teori stakeholder sangat berfokus pada pentingnya memenuhi kebutuhan semua pemangku kepentingan, tetapi tidak memberitahu siapa saja yang termasuk dalam stakeholder atau bagaimana mengidentifikasi mereka itu sebenarnya. Karyawan, pelanggan, pemegang saham, komunitas dan pemasok adalah yang paling sering diklasifikasikan sebagai stakeholder sebuah organisasi. Namun demikian, bisa saja mereka yang berkepentingan tersebut bukan hanya itu. Kelompok yang berkepentingan bisa saja makin besar.
Karena ketidakpastian ini, sering timbul pendapat tentang definisi dan penerapan yang berbeda.  Karena itu ada gagasan bahwa pengelolaan stakeholder harus berorientasi pada "nama dan wajah." Artinya, pengelola harus mengenali dengan benar siapa merek dan bagaimana kepentingannya.
Pengidentifikasian itu kemudian diikuti dengan berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan sehingga kekhawatiran sejumlah orang yang mungkin saja jumlahnya tidak terbatas namun memiliki minat dalam terhadap isu-isu perusahaan, atau pihak-pihak yang dipengaruhi oleh strategi atau keputusan organisasi bisa dihindarkkan.
Bagaimana dengan publik? Publik seperti halnya keluarga. Anda tidak memilih mereka; mereka hanya seperti sepupu yang murah hati dan bibi yang pemarah.  Publik dapat membantu atau mengganggu, ramah atau tidak, tapi sebuah organisasi harus berurusan dengan mereka terlepas. Publik ada karena interaksi dan saling ketergantungan mereka dengan organisasi atau karena mereka dan organisasi menghadapi masalah.
Dalam literature public relations, istilah publik sering digunakan untuk para pemangku kepentingan. Publik ini sering disegmentasikan menurut demografi, geografis, atau psikografis. Namun, penelitian dalam public relations baru-baru ini mengubahnya menjadi nilai hubungan yang dimiliki publik dengan organisasi. Penekanan ini telah mendorong adaptasi istilah "pemangku kepentingan" baik dalam praktek maupun akademik.
James Grunig membedakan istilah "pemangku kepentingan" dan "publik" dengan cara, pertama, organisasi memilih stakeholdernya berdasarkan strategi pemasaran, rencana merekrut, dan investasi mereka. Tetapi, publik muncul dan memilih perusahaan yang dianggapakan memperhatikannya. Grunig lalu mengandalkan tulisan John Dewey untuk mengembangkan definisi tentang publik.
Menurut Grunig, publik adalah sekelompok orang yang menghadapi masalah yang sama, mengenali masalah, dan mengatur diri mereka untuk melakukan sesuatu hal.  Oleh karena itu, publik mengorganisasikan dirinya dalam stakeholders ketika mengenali bahwa mereka menghadapi masalah dan memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk menghadapi masalah tersebut. Dengan kata lain, publik adalah sekelompok orang yang anggota-anggota mempunyai alasan yang sama untuk tertarik dalam aktivitas dan perolaku organisasi atau perusahaan.
Sementara itu, Seitel (2001:12) mendefinisikan publik sebagai kelompok individu yangtertarik dan berbagi terhadap suatu isu, organisasi, atau ide. Dengan demikian, menurut definisi ini, bisa saja publik mempunyai cakupan yang lebih luas. Di sisi lain, karena profesi humas berevolusi dari disiplin jurnalisme, definisinya kemudian bergeser dan yang sering digunakan oleh mereka adalah istilah yang berhubungan dengan penerima pesan dari organisasi.
Publik, atau lebih tepatnya "audience," tersegmentasi menjadi subset yang lebih homogen yang membantu komunikator memilih menggunakan saluran yang tepat untuk mencapai mereka. Misalnya, publik dapat merujuk pada karyawan, pemegang saham, para pemimpin politik, konsumen, dan lain-lainnya.
Jadi, untuk memperjelas perbedaan tersebut, bayangkanlah perbedaan seperti itu antara keluarga dan teman-teman Anda. Sebuah pasar  A, mungkin telah Anda kenal dan Anda anggap lebih seperti teman-teman Anda. Anda memilih mereka; mereka menjemput Anda. Kebanyakan orang memilih teman atas dasar kepentingan dan nilai-nilai bersama.
Organisasi mengembangkan pasarnya di antara publik dengan yang perusahaan minati untuk melakukan bisnis atau menghasilkan dukungan dan partisipasi. Pada segmen populasi tertentu, pasar termasuk orang dengan karakteristik (usia, pendapatan, gaya hidup dan sebagainya) yang dapat membantu organisasi mencapai bottom line-nya. Untuk tujuan hubungan masyarakat, intinya adalah istilah yang mengidentifikasi misi organisasi atau tujuan mendasar (menjual mobil, mendidik siswa, melayani pasien dan sebagainya).
Lalau bagaimana membedakan publik dengan khalayak atau orang-orang yang hanya memperhatikan media komunikasi tertentu dan menerima pesan melalui media tertentu pula? Hubungan organisasi dengan khalayaknya biasanya singkat, seperti lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membaca artikel atau mendengarkan pidato-lebih sementara dari hubungannya dengan publik.
Ambil contoh calon presiden. Khalayak termasuk orang-orang yang benar-benar mendengar pidato atau menonton iklan televisi. Beberapa anggota khalayak ini mungkin menjadi bagian dari salah satu dari publik kandidat yang lebih luas, seperti orang-orang yang terdaftar sebagai anggota partai. Tapi anggota yang terdaftar lainnya mungkin tidak menjadi salah salah satu khalayak sang kandidat, meskipun mereka tetap bagian dari masyarakat yang penting. Selain itu, anggota lain dari khalayak kandidat dapat menjadi anggota dari masyarakat yang berbeda, seperti pemilih yang terdaftar dengan partai politik lawan.
Biasanya khalayak tidak homogen tetapi lebih sering-agregat hanya aneka individu dengan mungkin ada kesamaan selain mereka menggunakan media komunikasi tertentu. Namun, semakin khusus media komunikasi, semakin besar kemungkinan khalayak yang memiliki kesamaan baik demografi karakteristik (seperti usia dan pendapatan) dan karakteristik psikografis (seperti gaya hidup dan nilai-nilai). Jadi khalayak media yang sangat khusus mungkin bertepatan dengan publik.

Khalayak yang relatif tidak penting untuk perencanaan komunikasi strategis Anda. Kebanyakan organisasi ingin mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai publik mereka, seperti perusahaan yang berharap untuk menciptakan hubungan bisnis yang memuaskan dengan pelanggan. Namun demikian, komunikator strategis sering mencoba untuk menjangkau khalayak mereka dengan memasukkan mereka sebagai publik dan pasar mereka.

Minggu, 22 Maret 2015

Challenges after An Acquisition

Akuisisi menimbulkan ketidakpastian baik di tingkat konsumen, distributor/pengecer, dan karyawan internal. Bahkan bisa jadi membuka peluang bagi pesaing untuk mempebesar jagkauan distribusinya. Bagaimana mengatasinya?

Akuisisi merek dapat didefinisikan sebagai pengendalian merek yang ditawarkan di pasar oleh  perusahaan lain. Praktek akuisisi merek membantu perusahaan untuk melihat posisinya di dalam pasar yang mapan dan mengambil kontrol atas fungsi proses pembangunan merek
Terdapat beberapa alasan bagi perusahaan untuk mengakuisisi merek.  Ada yang karena alasan  keuangan, strategic, atau ekonomi. Namun yang paling umum dijumpai adalah untuk mencapai pertumbuhan pasar. Motivasi lainnya adalah menangkap peluang dari sinergi, keinginan untuk diversifikasi ke produk-produk dan pasar yang baru, konsolidasi, mendapatkan akses atas hak kekayaan intelektual dan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan tertentu.
Namun demikian, ada risiko dan tantangan yang muncul karena akuisisi. Ini adalah fakta bahwa perubahan merek membangkitkan permusuhan, yang dapat berefek pada pada pangsa pasar. Sumber oposisi dapat ditemukan di tingkat konsumen, distributor dan juga internal.
Akuisisi menciptakan ketidakpastian bagi konsumen. Konsumen juga ikut  berhati-hati terkait isu pemotongan personil seperti customer service, driver, dan tenaga pemasaran karenanya hubungan dengan mereka yang akrab. Bahkan di negara-negara berkembang, perubahan desain misalnya, bisa ditafsirkan sebagai tanda produk palsu.
Pesaing juga akan berusaha memanfaatkannya. Mereka bukan hanya sekadar mencoba untuk mencuri pelanggan Anda, mereka juga akan mencoba untuk mencuri agen penjualan terbaik Anda juga! Kecuali Anda memiliki rencana untuk mempertahankan tenaga penjualan Anda. Sampai pengumuman , Anda mungkin kehilangan tenaga penjualan kunci dan mungkin banyak pelanggan.
Setelah akuisisi, karyawan sering “ketakutan” oleh isu perampingan dan restrukturisasi, atau bos  baru. Dalam kaitan itu, pengelolaan proses dan komunikasi sebelum, saat, dan pasca akuisisi yang buruk bisa berakibat munculnya ketidakpastian dan kecemasan di kalangan karyawan. Rasa cemas dan budaya yang berbeda bersama-sama memiliki konsekuensi psikologis yang dapat menyebabkan tindakan merusak dalam perusahaan. Karena itu, pesan pemasaran saat inisiatif dan pasca akuisisi harus fokus pada penyediaan rasa aman.
Seringkali terjadi saat inisiatif akuisisi dimunculkan, komunikasi yang dilakukan berfokus pada bagaimana manfaat akuisisi untuk perusahaan, bukan konsumen. Ketika pesan yang berkaitan dengan konsumen sering mendapati janji-janji. Karena itu, tugas pemasar adalah menjernihkan kebingungan dengan cara yang dipercaya.
Demikian pula, komunikasi perlu dilakukan untuk membangkitkan semangat, untuk memastikan bahwa tim penjualan mengkomunikasikan pesan yang konsisten dan menghilangkan ketakutan. Komunikasi harus mencakup roadmap proses integrasi merek yang jelas  dan tepat. Ini karena publik ingin mengetahui apakah akuisisi tersebut masuk akal, bagaimana perusahaan akan berubah, dan bagaimana perubahan perilaku mereka setelah akuisisi.
Dari sudut pandang pemilik merek, perubahan brand bukanlah sesuatu yang sifatnya artifisial. Perubahan sangat  mempengaruhi identitas produk. Itu karena ada risiko yang dirasakan yang berimplikasi pada perubahan  kontrak dengan distributor misalnya.
Salah satu aspek yang paling spektakuler dari manajemen merek, tetapi juga salah satu yang paling berisiko, adalah perubahan nama-nama merek. Philips untuk kategori elektonik rumah tangga misalnya mengganti namanya menjadi Whirlpool, Raider-Twix, Andersen menjadi Accenture, Pal-Pedigree, Datsun menjadi Nissan.
Dalam benak pelanggan nama terkenal terkait dengan asosiasi mental, empati dan preferensi pribadi. Di sisi lain, merek terdiri dari banyak komponen, yang tidak dapat dikurangi menjadi hanya satu, yakni nama. Bila Anda mengamati beberapa contoh perubahan nama yang terjadi baik di Eropa dan Amerika Serikat, situasinya jauh dari sederhana.
Banyak diantara merek-merek tadi berubah nama pada dasarnya juga melakukan perubahan lain dalam bauran pemasaran. Beberapa perubahan merek juga mengalami perubahan produk. Apa yang membuat penggemar Treets terganggu adalah selain karena hilangnya produk yang mereka cintai, M & M, penggantinya, memiliki dua produk yang berbeda: kacang tertutup cokelat dan manis dengan Smarties. Karena itu transisi dari situasi yang sederhana dan akrab membingungkan karena referensi telah berubah.
Ketika Shell berubah nama menjadi  Helix, merek itu juga melakukan modifikasi produk. Namun, fakta bahwa karakteristik ini 'tersembunyi', sulit dipahami oleh pelanggan, berarti bahwa ini bukan langkah yang berisiko bagi Shell. Namun bagaimanapun, perubahan formula minyak pelumas bisa digunakan sebagai alibi untuk pengenalan nama baru.
Rebranding paska akuisisi bisa dilakukan melalui tiga cara.  Bisnis seperti biasa - Perusahaan tidak tidak mengubah branding yang telah berjalan seperti sebelum brand tersebut diakuisisi. Meskipun -- katakanlah  -- direstrukturisasi, namun itu hanya berlangsung di dalam merek itu sendiri sebagai satu kesatuan karena masing-masing bagian tetap beroperasi di bawah nama dan simbol merek aslinya.
Ketika pada 2011, AOL mengakuisisi Huffington Post, perusahaan induk mempertahankan nama Huffington Post karena popularitasnya. Demikian pula, di Indonesia, identitas snack Taro dan Buavita juga dipertahankan. Yang berubah hanya aktivasinya.
Yang kedua, merek tersebut digabung atau dengan kata lain diasimilasi ke dalam merek lain yang suah ada.  Ketika  Verizon dan Alltel bergabung, merek Alltel menghilang. Di Indonesia, pada 2002 Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB), yang kini dikenal sebagai CIMB Group Holdings Berhad (CIMB Group Holdings) membeli mayoritas saham Bank Niaga. Lima tahun kemudian,  kepemilikan saham berpindah ke CIMB Group sebagai bagian dari reorganisasi internal untuk mengkonsolidasi kegiatan seluruh anak perusahaan CIMB Group dengan platform universal banking.
Khazanah yang memiliki saham mayoritas CIMB Group Holdings melakukan transaksi terpisah dengan mengakuisisi kepemilikan mayoritas LippoBank pada tanggal 30 September 2005. LippoBank juga mengalami proses reorganisasi internal yang sama pada tanggal 28 Oktober 2008. LippoBank dan Bank Niaga kemudian di-merger melalui CIMB Group sehingga mulai Mei 2008, Bank Niaga berubah menjadi Bank CIMB Niaga yang diikuti dengan pengenalan logo baru. kepada masyarakat dan tetap mempertahankan nama Niaga.
Yang ketiga adalah Fusi dimana merek yang diakuisisi – atau merek yang dimiliki oleh perusahaan pengakuisisi -- memberikan kontribusi  elemen identitas mereka yang terpisah untuk membentuk merek baru. Misalnya, ketika United Airlines dan Continental Airlines bergabung, mereka menggunakan nama United tapi dipasangkan dengan potongan logo Continental yang sudah dikenali dunia. Demikian pula ketika JP Morgan dan Chase Manhattan bergabung, mereka menjadi  JPMorgan Chase & Co.
Ketika Black & Decker mengambil alih semua  kegiatan divisi peralatan listrik General Electric, muncul beberapa tantangan, terutama terait dengan distributor. Dalam dunia industri dengan saluran distribusi yang panjang, pengecer cenderung memilih beberapa merek komplementer agar merek mereka selalu muncul. Misalnya, ketika suatu merek berpromosi , mereka ingin reputasi retailer dilekatkan pada merek tersebut. Ketika kepemilikan merek berganti, otomatis mereka juga tetap ingin mendapatkan fasilitas serupa.

Ketika l'Oréal memutuskan untuk memberikan Ambre Solaire dimensi teknologi yang modern dengan menempatkannya di bawah merek payung Garnier, suatu divisi di Eropa melancarkan perlawanan. Kenapa? Di Inggris,  Ambre Solaire memiliki nama baik, sementara Garnier masih belum dikenal. Karena itu, para partisan menganggap bahwa perubahan mendorong kemunduran karena fakta bahwa tanda merek Garnier masih belum dikenal. Hal yang sebaliknya terjadi  di Prancis. Disini manajemen Garnier berpendapat Ambre Solaire memiliki reputasi buruk. Karenanya, perubahan mungkin mendevaluasi merek mereka. Namun toh pada akhirnya, penjualan Ambre Solaire meningkat dari $4 juta menjadi $20 juta.

Akuisisi Merek yang Marak Kembali

Dalam beberapa tahun terakhir, akuisisi merek marak kembali. Pertanyaannya adalah bagaimana nasib merek setelah diakuisisi

Tiga puluh tahun lalu, Profesor Theodore Levitt dari Harvard Business School mengejutkan dunia pemasaran. Dalam tulisannya berjudul The Globalization of Markets yang dimuat di  Harvard Business Review, Levitt mengatakan bahwa teknologi membuat pergeseran preferensi konsumen sehingga mengalami konvergensi. Karena itu, bisnis yang sukses adalah yang memasarkan produk yang terstandar secara global. 
Argumentasi utama Levitt adalah bahwa globalisasi telah menyebabkan punahnya perbedaan tradisional dalam selera nasional. Ini memang bertentangan dengan paradigm pemasaran konvensional saat itu yang berpandangan bahwa perusahaan harus fokus menawarkan produk yang diinginkan pelanggan. Karena itu, syarat utama sevelum suatu perusahaan meluncurkan produk baru, produk baru tersebut harus diuji apakah sesuai dengan keingina  pasar atau tidak.
Namun Levitt memiliki ide yang menentang arus utama tersebut dengan mengatakan bahwa perusahaan harus menawarkan produk yang mereka antisipasi bakal diterima pasar, bukan produk  yang merespon permintaan konsumen. Menurut Levitt, pada kondisi seperti itu perusahaan harus mengetahui keinginan tersembunyi konsumen,  dalam arti konsumen sendiri belum yakin tentang apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Namun pasar selalu menggoda. Bayangkan saat ini kelas menengah global diperkirakan tumbuh dari 1,8 miliar pada 2010 menjadi 4.9 miliar pada tahun 2030.  85% dari pertumbuhan ada di Asia. Pendapatan segmen ini akan terus meningkat, sehingga nafsu belanja juga makin meningkat. Pertumbuhan fenomenal memacu pemasar global untuk memperkenalkan merek yang melayani secara khusus pasar Asia yang umumnya sensitive terhadap harga namun ingin yang lebih bagus.
Pada tahun 2010, Levi Strauss meluncurkan denim bermerek Denizen di China untuk memenuhi konsumen sadar anggaran yang lagi booming. Dengan diferensiasi yang sama, Burberry menjual merek Blue Label untuk pakaian dan sepatu yang tanpa diposisikan sebagai merek dengan kualitas rendah  karena sedikit eksklusif di pasar Jepang. Tujuannya telah menawarkan pakaian yang lebih pas dan mungil untuk konsumen usia muda di Jepang
Sementara beberapa pemasar memperkenalkan merek yang Asia-sentris, hampir semua pemasar dihadapkan pada persoalan keputusan strategis, apakah akan meluncurkan merek baru, memperluas yang sudah ada untuk kategori produk baru atau mengakuisisi merek lokal. Keputusan yang diambil berpotensi menjadi perangkap  meskipun jika dilaksanakan dengan baik dan hasilnya bisa saja sangat besar.
Peluncuran merek, secara historis, memiliki potensi kegagalan yang cukup tinggi dan biaya yang sangat besar. Sementara itu, ekstensi merek, jika tidak berhasil, dapat merusak ekuitas merek induknya. Bahkan probabilitas keberhasilan  pendekatan ini hampir fifty-fifty. Pendekatan alternative ainnya adalah dengan meluncurkan merek baru di Asia menjadi 'merek kedua' yang lebih murah, kualitas yang lebih rendah namun tetap berbau premium sebagai merek yang sudah ada. Pendekatan ini biasanya diadopsi karena konsumen di pasar ini cenderung sensitif terhadap harga.
Selain seperti yang dilakukan Levi Strauss dengan merek denim Denizen di China, banyak industri juga menerapkan startegi merek kedua ini untuk memenuhi konsumen yang sadar anggaran. Di industri penerbangan misalnya, pada pertengahan 2012 lalu, Singapore Airlines meluncurkan operator murah Scoot. Maskapai penerbangan yang baru ini tarifnya 40% lebih murah daripada operator layanan full service. Awalnya hanya menjalani rute di Australia dan China. Maskapai Australia, Qantas, juga  menerapkan strategi yang sama delapan tahun sebelumnya dengan peluncuran Jetstar.
Pendekatan kedua untuk beradaptasi dengan perubahan di lansekap pasar Asia adalah dengan mengakuisisi merek lokal. Pada tahun 2009, PepsiCo mengakuisisi Amacoco, produsen air kelapa terbesar di Brasil. Dengan akuisisi ini, perusahaan itu mampu memperluas basis pasar mereka tidak hanya di Amerika Latin tetapi juga di India dan negara Asia Tenggara lainnya.
Demikian pula, dalam upayanya untuk mendorong pemasaran produk air, teh siap minum dan produk jus buahnya, Coca Cola di China mengakuisisi merek lokal. Portofolio mereka sekarang termasuk Heaven and Earth  (minuman rasa the siap minum),Smart (jus berkarbonasi) dan 'Qoo' (jus non-karbonasi), berhasil menanamkan pengakuan dan kesadaran untuk merek-merek itu melalui lokalisasi produk.
Groupe Danone SA, perusahaan makanan Perancis, juga mengikuti  pendekatan ini. Mereka tidak hanya mengakuisisi merek lokal, juga mengembangkan produk baru untuk di bawah di China dengan merek sendiri seperti Mizone, air minum dengan rasa dan diperkaya vitamin. Dengan pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk memperkuat identitas merek mereka di pasar negara-negara berkembang.
Dalam perjalanannya, sejalan dengan globalisasi, akuisisi merek tidak hanya terjadi oleh perusahaan dari negara-negara maju. Perusahaan sukses dari negara-negara berkembang (negara-negara dengan image asal – country of origin -- rendah) berusaha untuk mengakuisisi perusahaan dari negara-negara maju (yaitu merek asal negara yang tinggi). Contoh dari ini adalah perusahaan baja terbesar di India, Mittal, mengakuisisi Perancis Arcelor (Craze dan Deen, 2006). Kemudian Lenovo mengakuisisi komputer IBM.
Dalam beberapa tahun terakhir dunia seakan dibanjiri oleh petualangan perusahaan-perusahaan dari Asia. Suntory baru-baru ini menyebabkan aduk dengan pembelian Beam -- salah satu anak usaha  Genting Group Malaysia (salah satu operator kasino terbesar di Asia) yang menjadi tulang punggung tempat judi di Nevada; Weetabix -- merek sereal terlaris di Inggris -- dilahap Bright Foods dari China,  sementara Manganese Bronzewarna , pembuat taksi hitam di London, telah bergabung dengan Volvo ke dalam Geely asal Hangzhou. Dan pada bulan April, Sanpower dari China membeli House of Fraser, salah satu department store terkenal di Inggris.
Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, akuisisi merek marak kembali. Tahun lalu misalnya, Indofood yang sudah memiiki merek Indomilk mengakuisisi Milkuat, merek susu cair untuk segmen anak-anak berusia 5-12 tahun dari Danone Dairy Indonesia. Milkuat juga memiliki banyak varian dengan harga terjangkau serta menjadi salah satu pemain utama di segmen produk susu cair. Sebelumnya, PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPSF) mengakuisisi merek snack taro beserta pabriknya dari PT Unilever Indonesia
Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah merek-merek diakuisisi. Beberapa merek memang masih tetap Berjaya. Buavita yang diakuisisi Unilever dari PT Ultra Jaya, misalnya masih memimpin pasar. TPSF juga terus mengembangkan merek Taro. Dua tahun lalu misalnya, Taro melakukan brand activation “PetualanganTaro.” Melalui activation ini, Taro ingin menjadi snack favorit di kalangan anak-anak.
Peran akuisisi telah banyak dibahas dalam literatur manajemen. Strategi akuisisi ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan teknologi, akses pasar baru, atau membentengi posisi mereka di pasar saat ini. Selain itu, perusahaan memperoleh manfaat juga dengan memanfaatkan ekuitas merek yang diperoleh dari merek yang diakuisisi. Mengakuisisi merek yang sudah mapan, seperti jalan tol pertumbuhan bisnis. Ini karena bila membuat merek baru mereka harus mempelajari pasar lebih dulu dan itu pun tingkat keberhasilannya belum tentu tinggi.
Dari berbagai bahasan literatur tersebut, gambarannya adalah bahwa akuisisi merek adalah sebuah pertaruhan yang tak mudah. Terdapat beberapa bukti yang cukup bahwa sejatinya – paska akuisisi --  banyak akuisisi  yang gagal. Kasus Lenovo yang mengakuisisi divisi computer IBM menarik karena kedua merek mempunyai perbedaan persepsi yang berbeda. Sebagai merek asal China, persepsi Lenovo memang tidak sebagus IBM yang asal Amerika.  IBM memiliki citra yang baik, yakni asal Amerika Serikat dan memiliki reputasi untuk memproduksi produk yang baik. Di sisi lain, perusahaan pengakuisisi Lenovo meski kelompok produsen PC terbesar di Cina, namun menghadapi persoalan citra negara asal (yakni China) yang rendah. Hasil akhirnya, Lenovo memang masih merek terkemuka di Cina, namun Lenovo kehilangan pangsa pasar di Eropa dan Amerika Serikat.
Tahun 2011, Nestle Group, produsen makanan terbesar di dunia, menandatangani perjanjian kemitraan dengan produsen permen dan kue China, Hsu Fu Chi International Ltd.  Nestle berniat untuk mengakuisisi 60 persen saham di perusahaan Cina, kesepakatan senilai $ 1,7 miliar. Kesepkatan itu menjadikan transaksi yang ke-35 perusahaan asing mengambil alih merek China sejak trend itu terjadi. Itu  juga merupakan kali kedua  Nestle mengakuisisi perusahaan Cina. Sebelumnya, Nestle membeli 60 persen saham Yinlu Foods Group yang terkenal dengan makanan dan minuman kaleng nya.
Melalui pembelian itu, sebagian orang dalam percaya Nestle bermaksud untuk mendapatkan keunggulan kompetitif di industri permen dan kue pasar di China melalui pembelian. Akan tetapi, akuisisi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat China, yang percaya bahwa merek Hsu Fu Chi akan hilang setelah akuisisi tersebut.
Ketakutan ini beralasan. Sebab pengalaman memberikan gambara bvanyaknya merek-merek yang hilang dari pasar setelah akuisisi. Merek domestik seperti Dabao (kosmetik), Robust (air mineral), Supor (kompor), Nanfu (baterai) dan Mini Nurse (kosmetik) kuat di pasar masing-masing sampai dibeli oleh perusahaan multinasional. Namun setelah diakuisisi, banyak dari mereka telah lenyap dari pasar.
Pada tahun 2003, L'Oreal membeli merek Mini Nurse. Sekarang, merek tersebut telah hampir menghilang dari pasar. Pada tahun 1994 Unilever menguasai Shanghai Toothpaste Factory dan menyewa hak operasional merek Zhonghua. Sekarang pangsa pasar pasta gigi Zhonghua tinggal di bawah 6 persen.
Sebelum diakuisisi, Maxam menguasai pangsa pasar nasional sebesar 20 persen. Pada tahun 1990, pemilik merek Maxam, Shanghai Jahwa Serikat Co Ltd, melakukan aliansi dengan SC Johnson Wax, dan merek Maxam di”simpan” alias dikandangkan. Shanghai Jahwa membeli  Maxam kembali pada tahun 1994 senilai 500 juta yuan ($ 77.640.000), tetapi merek telah kehilangan tempatnya di pasar.
Menyadari fenomena tersebut, Lu Renbo, Wakil Sekretaris Jenderal China Electronics Chamber of Commerce, mengatakan sebagian besar perusahaan China memang masih belum menyadari pentingnya perlindungan merek. Itu sebabnya, setelah diakuisisi oleh perusahaan asing, merek mereka menghilang. Intinya, banyak perusahaan asing yang hanya menginginkan saluran penjualan dan sumber daya pemasaran yang dimiliki oleh merek domestik sebagai jalan keluar berbagai kesulitan yang mereka jumpai di pasar domestic. Mereka mengakuisisi  bukan karena nilai merek domestik.
Terlepas motif akuisisi tersebut, bila perusahaan yang mengakuisisi memang ingin meningkatkan portfolio merek mereka, tantangan yang muncul setelah akuisisi ini adalah bagaimana  mengintegrasikan sumber daya mereka. Ketika perusahaan atau divisi milik perusahaan berbeda digabungkan, merek sebagai identitas perusahaan sering menyebabkan masalah.
Dimulai dengan bagaimana nama perusahaan setelah daikuisi turun ke rincian tentang apa yang harus dilakukan bila terjadi tumpang tindih dan persaingan antara merek yang dimiliki oleh perusahaan sebelumnya. Juga  bagaimana mendamaikan konflik akibat perbedaan budaya di belakang merek. Selain itu, kompleksitas akuisisi dalam hal industri yang berbeda, skala, dan reputasi merek lain menciptakan kesulitan akuisisi merek.
Untuk sukses, mereka juga harus menerapkan strategi perpindahan merek dengan hati-hati dengan fokus pada upaya mengurangi kekhawatiran konsumen terhadap merek baru yang dikembangkan yang merupakan hasil dari akuisisi dari perusahaan lain.
Citra merek merupakan isyarat ekstrinsik penting bahwa konsumen menggunakan citra tersebut untuk menghargai suatu merek. Citra yang baik dan reputasi yang baik harus berjalan beriringan. Mereka menciptakan kepercayaan dan keyakinan konsumen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa citra negara-asal secara fundamental mempengaruhi strategi merek. Ini merupakan tantangan besar bagi perusahaan-perusahaan dari negara berkembang.
Pengaruh citra perusahaan yang memiliki citra rendah lebih berbahaya pada citra merek yang lemah dibanding brand image yang kuat, sehingga manajemen harus menyusun strategi untuk memisahkan merek dari negara-asal gambar jika mereka memperoleh merek lemah atau citra yang rendah akan menurunkan niat konsumen untuk membelinya.
Kualitas produk, strategi harga, dan strategi komunikasi pemasaran merupakan sumber daya sangat penting untuk membangun dan mempertahankan merek yang baik. Dari beberapa kasus akuisisi merek sterakhir, beberapa  perusahaan yang mengakuisisi memiliki sumber daya ini. Karena itu, seyogyanya memiliki lebih banyak peluang untuk lebih meningkatkan ekuitas merek paska akuisisi.
Pada 1990an, tekanan untuk membangun merek yang kuat membuat WalMart masuk ke pasar ritel kelontong. Itu salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap konsolidasi berlangsung di industri pada saat itu. WalMart ulang standar untuk efisiensi rantai pasokan, menyebabkan banyak perusahaan untuk mencari untuk mengembangkan skala ekonomi dan pasar secara geografis luas untuk bersaing dengan strategi branding dan distribusi nasional WalMart itu.
Pada saat yang sama, posisi WalMart sebagai pemimpin harga industri menekan pesaing untuk memegang garis pada harga, meskipun fakta bahwa gerakan umum menuju konsolidasi, yang akan meninggalkan industri dengan pesaing yang lebih sedikit, sehingga kedua harga dan margin keuntungan untuk meningkatkan.
Banyak pesaing menanggapi perubahan ini dengan mengejar pertumbuhan dengan akuisisi strategi. Safeway Perusahaan adalah contoh utama. Akuisisi mereka di akhir 1990-an termasuk Randall Food Markets yang berbasis di Texas, Carr (Alaska), dan Dominick (Illinois). Pada tahun 2001, Safeway menambahkan rantai Genuardi itu, melakukan bisnis di Pennsylvania, Delaware, dan New Jersey.

Safeway mengejar strategi merek akuisisi eksternal untuk membeli empat dan lainnya rantai toko tersebut. Nama merek dan pengakuan selalu menjadi bagian penting dari strategi Safeway.

Mengubah Krisis Menjadi Peluang

            Ketika tentara mempersiapkan diri untuk pertempuran, salah satu elemen penting dari pelatihan mereka, latihan lagi, latihan lagi. Hidup mereka bisa bergantung pada keberhasilan dalam latihan tersebut  sehingga latihan ini harus dilakukan dengan benar. Lalu apa hubungan antara latihan  tempur dan public relations? Dalam pertempuran, tentara harus aman dan efektif keluar zona bencana dengan jumlah korban minimal.
Begitu juga organisasi ketika dihadapkan dengan krisis. Ini karena kesalahan bisa berubah menjadi bencana. Dalam era digital ini, di mana setiap orang dan setiap orang dapat menjadi seorang penulis dan penerbit, kesalahan kecil oleh organisasi dapat berubah menjadi bencana yang secara fenomenal menyebar melalui media sosial dan saluran lainnya. Hal ini menjadikan rencana komunikasi krisis semakin penting dari sebelumnya. Semua organisasi dari berbagai ukuran atau jenis, harus memiliki semacam rencana komunikasi krisis. Adalah musibah besar ketika ada krisis, organisasi tidak tahu bagaimana berkomunikasi selama krisis.
Agustus 2009, tanggal 28, di San Diego, California, Mark Saylor, istrinya, anak perempuannya, dan saudara iparnya tewas ketika mereka berkendaraan Lexus. Mobil yang disewa dari sebuah rental itu berbelok di luar kendali pada kecepatan lebih dari 100 mph, bertabrakan dengan kendaraan lain, dan jatuh ke dalam jurang. Mobil pun mobil terbakar.
            Tragedi keluarga diketahui banyak orang karena mereka mendengar melalui panggilan 911. Seperti peristiwa dramatis lainnya, kecelakaan ini cepat menjadi perhatian banyak orang, apalagi Mark Saylor adalah pensiunan petugas patroli jalan raya California. Opini publik pun beragam, dengan tekanan pada nada  negatif yang ditujukan pada Toyota dan produknya. “Jika seorang polisi saja tidak bisa menyelamatkan keluarganya dari mobil yang lepas kendali, orang biasa mana bisa selamat. Jika itu bisa terjadi pada mereka, kejadian serupa bisa saja terjadi pada saya.”
            Tahun terjadinya tragedi itu bisa jadi punya makna tersendiri pada Toyota. Menyusul tragedi itu, Toyota me-recall (menarik kembali) sembilan juta unit produknya dari pasar akibat kesalahan pada pedal gas. Kepercayaan publik terhadao Toyota nyaris terkikis. “Cukup menyakitkan. Ini adalah tugas berat kami untuk memulihkan ekuitas merek dan membangun kembali kepercayaan konsumen,” kata  Akio Toyoda, CEO Toyota.
            Riset GfK MRI’s Starch Advertising Research Brand Disposition mengungkapkan bahwa sebelum recall, lebih dari tiga perempat (83%) orang dewasa AS yang disurvei mempunyai penilaian yang positif terhadap merek Toyota. Sementara sekitar satu dari lima orang (17%) menilai negatif. Setelah recall, sikap konsumen terhadap Toyota berubah. Disposisi merek positif anjlok lima poin menjadi 78%, sedangkan disposisi merek negatif naik lima poin menjadi 22%.
            Penarikan Toyota belum berakhir. Pada April 2010, setelah menerima keluhan pelanggan, Toyota menarik lagi jutaan unit kendaraan karena masalah dengan pedal akselerator. Termasuk pula me-recall Camry karena masalah rem potensial, truk Tacoma yang cacat poros baling-baling depan dan minivan Sienna untuk korosi cadang-ban operator. Selama itu, sentimen positif konsumen terhadap brand anjlok lagi menjadi 59%, sedangkan sentimen negatif terus meningkat menjadi 41%.
            Saat itu, Toyota masuk ke dalam situasi krisis. Selain biayanya mahal, recall menghambat penjualan Toyota dan hilangnya reputasi. Ini benar-benar tragedi mengingat Toyota merupakan sebuah merek yang identik dengan keandalan, fokus pada pelanggan, bertanggungjawab pada lingkungan, dan kualitasnya yang berkelas dunia. “Tiba-tiba saja, Toyota dicitrakan negatif oleh para analis dan pers,” tulis Ángel Cabrera, President dari Thunderbird School of Global Management, dalam pengantar buku Toyota Under Fire: Lessons for Turning Crisis into Opportunity karya Jeffrey K. Liker dan Timothy N. Ogden. Liker adalah penulis buku laris The Toyota Way.
            Banyak analis dan ahli, tulis Cabrera, menuduh para pemimpin Toyota lambat merespon krisis, cenderung menyangkal, atau bahkan mencoba menyembunyikan fakta-fakta, dan lebih mengutamakan keuntungan sebelum melakukan pengamanan. Tapi yang sesungguhnya terjadi, Toyota menanggapi krisis ini dalam minggu-minggu dan bulan-bulan panjang setelahnya.  Respon Toyota bukanlah dengan memberikan pernyataan—seperti yang pada umumnya dilakukan perusahaan yang terkena krisis, melainkan dengan meminta stafnya untuk menemukan cara memperbaiki, mengerahkan ratusan perwakilan layanan pelanggan Toyota untuk melayani puluhan ribu panggilan pelanggan setiap hari, meminta serta memonitor pekerjaan dealer yang bekerja tanpa henti untuk membangun kembali kepercayaan pelanggan Toyota.
            Toyota tidak melakukan outsourcing layanan pelanggan ke call center—yang notabene biasanya berupah rendah. Toyota menggunakan sumber daya sendiri untuk menghadapi krisis. Toyota memiliki budaya untuk mengambil alih situsai pada saat yang paling dibutuhkan.
            Penanganan model atau budaya inilah yang – menurut Cabrera, banyak mendapat kritik para analis, walau sebenarnya jutsru budaya itu yang akhirnya menyelamatkan Toyota dari krisis. Ini seakan menjungkirbalikkan thesis bahwa dalam kondisi krisis  manajemen krisis harus fokus pada pengendalian kerusakan langsung, strategi PR, dan rencana kontingensi yang cerdas.

            Falsafah Hansei Toyota—bahwa setiap orang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, belajar dari kesalahan itu, dan menghindari menimpakan kesalahan pada orang lain—dan  mengakarnya penghargaan atas nilai pelanggan terbukti lebih berharga daripada strategi komunikasi. Ulasan  menyeluruh Liker dan Ogden dalam buku ini tentang bagaimana Toyota menangani krisis saat recall memberikan pesan penting yang relevan pada dunia industri. 

The Best Crisis Defense is The Truth

Pada dasarnya mekanisme kerja tim komunikasi krisis itu sama.  Yang penting pesan yang muncul dalam komunikasi krisis harus dibangun di atas empat pilar: kejujuran, transparansi, konsistensi dan akuntabilitas.

Pada tahun 1984, sitkom perintis The Cosby Show mulai debutnya di NBC. Bill Cosby berperan sebagai Cliff Huxtable, seorang figure bapak panutan yang sehat dan moralistic. Tiga puluh tahun kemudian,  reputasi Bill Cosby ternoda dan harus diperbaiki.

Pada akhir 2014, lebih dari 26 orang tampil ke depan dan menyatakan bahwa Bill Cosby telah mencabuli atau memperkosa mereka. Bahkan lebih mengejutkan, banyak diantara wanita itu – saat itu – masih di bawah umur. Kebanyakan dari mereka mengaku telah dibius Cosby.

Skandal itu cukup mengejutkan. Tim PR Cosby pun bereaksi juga dengan cara yang mengejutkan. Mencoba meredakan situasi, profesional PR yang berada di sekeliling Cosby merilis sebuah "Cosby Meme Generator" di Twitter tak lama setelah para wanita itu mengungkapkan perlakuan Cosby terhadap mereka.

"Silakan. Meme aku!" Bill Cosby menge-tweet pada Senin (10/11/2014) dengan link ke generator meme di situsnya. Tweet itu mempersilakan pengguna memilih salah satu dari 12 foto yang berbeda dan menulis teks pada bagian atas dan bawah khas meme fashion. Inti dari meme itu itu adalah pengguna diminta mengkonfirmasi apakah benar Cosby melakukan tindakan itu.

Seakan membenarkan tuduhan para wanita, pengguna memanfaatkan itu dengan mengirim meme balik yang menegatifkan image Cosby. Sementara itu, penasehat hukum dan PR Cosby terus berusaha untuk mendiskreditkan para penuduh Cosby dan agresif menantang integritas wanita yang menuduhnya.

Apakah lalu persoalannya selesai sampai disitu? Tidak, sebab sampai saat ini Cosby masih bermasalah. Ketika mengadakan pertunjukan 'Cosby's Show' di Kanada pada Rabu (7/1) waktu setempat, publik seakan terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama para fans yang percaya idolanya tak bersalah, sedangkan kubu yang lain mereka para pembela kemanusiaan di Kanada yang menuntut pengakuan Cosby.

Biasanya untuk mengembalikan reputasi dan hubungan dengan stakeholder eksternal, seseorang atau organisasi melakukan pendekatan komunikasi yang secara garis besar dapat dicirikan sebagai akomodatif atau defensive. Respon akomodatif, termasuk diantaranya permintaan maaf  dan janji atau melakukan tindakan korektif, perusahaan mengambil tanggung jawab, dan kemauan tulus untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Para stakeholder cenderung merespon positif permintaan maaf yang dilakukan perusahaan atau seseorang yang melakukan kesalahan. Meski harusdiakui bahwa stakeholder berharap dan ingin permintaan maaf itu langsung dan tulus bahwa seseorang atau organisasi melakukan kesalahan. Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa meminta maaf dan berusaha untuk memperbaiki kerusakan dari kegagalan perusahaan dapat menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang lebih baik dan tingkat kepuasan pelanggan yang lebih besar dari sebelum mengalami musibah atau kegagalan (de Matos et al, 2007;. Lee et al. 2004).

Menjadi menarik sebab ternyata Cosby tidak mengambil langah meminta maaf.  Ketika krisis terjadi, sekadar mengatakan penyesalan hanya akan memunculkan kritik. Ini karena publik masih menunggu aksi nyata perusahaan yang mengalami krisis.

Dalam tulisannya 2 Desember lalu, Brett Arends menceritakan bahwa akhir November lalu, Elizabeth Lauten, direktur komunikasi untuk anggota Kongres dari Partai Republik mewakili Tennessee, melakukan sesuatu yang persis dengan yang seharusnya dia lakukan setelah membuat kesalahan. Lauten mengkritik putri Presiden Obama di Facebook dan mengeluh bahwa mereka telah berpakaian tidak pas saat tampil di Gedung Putih dalam acara “turkey pardoning"

Ketika komentar itu  memicu kemarahan, Lauten memposting permintaan maaf yang isinya sebagai berikut: "Setelah berjam-jam berdoa, berbicara dengan orang tua saya dan membaca-ulang kata-kata saya yang tulis online, saya bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana menyakitkan kata-kataku itu. Perlu diketahui bahwa perasaan menghakimi seperti itu benar-benar tidak punya tempat di hatiku. Selain itu, saya ingin meminta maaf kepada semua orang yang merasa terluka dan tersinggung dengan kata-kata saya, dan berjanji untuk belajar dan tumbuh (dan saya meyakinkan Anda saya punya) dari pengalaman ini. " Hasilnya? Dia kehilangan pekerjaannya, dan sama sekali tidak punya poin dari siapa pun untuk meminta maaf padanya.

Internet telah mengubah permainan. Tak ada lagi penjaga gerbang. Tidak ada lagi aturan kesopanan atau alasan. Bahkan jika Anda berhasil membujuk produser beberapa TV, editor dan penulis dengan permintaan maaf Anda, apa yangterjadi? Mereka tenggelam oleh hiruk-pikuk kekacauan dan online.

Dalam kasus Lauten misalnya, meski telah minta maaf, namun orang-orang dalam media sosial masih menjuluki dia sebagai manusia dengki. Permintaan maaf akan tenggelam oleh suara yang paling keras, suara pemarah. Sebuah studi yang dilakukan peneliti University of Iowa pada situs terbesar, Yahoo Finance menemukan bahwa 50% dari semua komentar itu datang dari hanya 3% dari komentator. Kedua, 75% komentar itu berasal dari hanya 11% responden. Jelas, jika Anda berada dalam situasi yang sama sekali tidak dapat dipertahankan, Anda mungkin mempunyai pilihan selain untuk meminta maaf. Tapi hal itu jarang terjadi daripada yang sering kita perkiraan.

Bisa jadi nasib Lauten akan lebih baik jika dia menolak untuk mundur. Sebaliknya, misalnya, dia mungkin menunjukkan bahwa putri Presiden Carter, Amy, juga pernah dikritik secara luas oleh media beberapa tahun lalu karena dia membaca buku di ruang makan Gedung Putih. Padahal, saat itu Amy baru berusia sembilan tahun.

Melalui media, Lauten bisa saja menyerang orang lain yang memberikan lampu hijau kepada remaja untuk muncul di acara-acara formal orang tua mereka dengan bercelana kargo, t-shirt, dan celana pendek.

Michael Jackson tidak meminta maaf tapi malah membantah tuduhan yang dikenakan terhadap dirinya. Bill Cosby juga menyangkal apa yang dikatakan orang-orang terhadap dirinya. Jika Anda berpikir dua penghibur itu mengalami masalah serius karena tidak menyatakan maaf, coba bayangkan sekarang bagaimana nasibnya jika mereka mengakui bahwa dugaan tuduhan itu akurat.

Ketika pesawat AirAsia QZ 8501 masih dinyatakan kehilangan kontak dan belum dinyatakan hilang oleh otoritas penerbangan Indonesia, CEO AirAsia Tony Fernandes juga tidak pernah mengucapkan kata maaf. Dalam rilis pertama beberapa jam setelah pesawat hilang kontak, hanya disebutkan bahwa “dengan menyesal menginformasikan.” Tiada kata maaf secara eksplisit.

Tony baru menyatakan maaf setelah pesawat dinyatakan hilang. "Saya minta maaf sebesar-besarnya atas apa yang mereka alami," katanya pada konferensi pers, menurut laporan di Wall Street Journal. "Saya pemimpin perusahaan ini,... Saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya di sini. Saya tidak lari dari kewajiban saya meskipun kita tidak tahu apa yang salah [dalam menyebabkan kecelakaan]. Para penumpang berada di pesawat saya, dan saya harus bertanggung jawab untuk itu. "

Bagi para praktisi manajemen krisis, isi pernyataan sangat penting. Selain mengungkapkan rasa empati, pesan dalam komunikasi krisis harus menunjukkan empati. Untuk menghindari persoalan yang lebih mendalam, dalam konteks musibah pesawat terbang, stakeholder yang paling penting adalah keluarga.

Simpati adalah ekspresi atau perasaan iba dan sedih ketika kita mengetahui dan melihat seseorang atau orang-orang kurang beruntung atau mengalami kesulitan dan dalam kondisi buruk. Sementara itu, empati adalah kemampuan seseorang untuk bereaksi terhadap emosi negatif atau positif orang lain seolah-olah emosi itu dialami sendiri.

Banyak pemimpin mencoba untuk berkomunikasi selama krisis. Untuk meminjam istilah Anna Karenina, "Pada dasarnya tim komunikasi krisis yang baik (seperti keluarga bahagia) adalah semuanya sama." Yang penting dalam pesan yang muncul dalam komunikasi krisis haruslah dibangun di atas empat pilar: kejujuran, transparansi, konsistensi dan akuntabilitas.

Kejujuran berarti tidak ada kebohongan atau setengah-kebenaran; transparansi berarti tidak ada hambatan bagi orang lain untuk mengaksesnya atau perusahaan mencoba untuk menyembunyikan fakta. Akuntabilitas berarti tidak ada jari yang menunjuk ke arahya karena dianggap tidak bertanggung jawab. Konsistensi berarti melakukan dan akan melakukan apa yang Anda katakan, dan mengatakan  apa yang akan Anda lakukan serta berkomunikasi secara teratur dan kembali dengan jawaban yang telah disiapkan.

Bekas Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill pernah mengatakan, sebuah kebohongan mendapat imbalan setengah di seluruh dunia sebelum kebenaran memiliki kesempatan untuk mendapatkan semuanya. Tidak masalah bila mengatakan "Saya tidak tahu" jika Anda memang tidak memiliki fakta.

Media dan publik justru lebih hormat bila Anda mengatakan demikian dan tahu bahwa Anda mengatakan yang sebenarnya. Jangan berspekulasi. Bekas menetri pertahanan AS, Colin Powell, mengatakan yang terbaik adalah untuk mendapatkan fakta-fakta secepat mungkin, apalagi ketika fakta-fakta baru bertentangan dengan lama. "Kebenaran kasar masih lebih baik daripada kebohongan halus,” tulis Powel dalam bukunya, My American Journey.

Menurut survei yang dilakukan oleh Porter/Novelli, sebuh biro humas, 95% dari orang akan lebih tersinggung bila perusahaan berbohong tentang krisis dibandingkan krisis itu sendiri. Lebih buruk lagi, 57 persen yang disurvei percaya bahwa perusahaan memiliki kecencedrung baik menahan informasi negatif maupun berbohong.

Sejak penerbangan AirAsia 8501 dinyatakan, dengan rutin Tony Fernandes hadir – baik secara fisik dan maupu digital – di tengah krisis. Dia melakukan perjalanan ke Surabaya — tempat keluarga korban berkumpul dan pesawat itu berangkat — beberapa jam setelah berita bahwa pesawat hilang.

Pelajaran yang bisa dipetik dari komunikasi krisis yang dijalankan Tony adalah bahwa dalam krisis, empati memang tidak hanya diucapkan tapi juga dikerjakan. Di Surabaya, Tony melepas atribut topi bisbol merah yang biasa dikenakan dan menemui kerabat dan keluarga penumpang. Selasa lalu, ketika ada konfirmasi puing-puing pesawat ditemukan di Laut Jawa, lewat Twitter-nya, Tony mentweet, “Bergegas ke Surabaya.”

Setiap hari, Tony memposting rata-rata 20 tweet sejak pertama kali mengumumkan berita tentang hilangnya pesawat itu. Tony terus mengupdate keberadaannya, memberikan informasi baru perkembangan pencarian, dan menegaskan kembali fokus pada keluarga penumpang.

Jena McGregor di http://www.washingtonpost.com/ yang mengamati tweet-an Tony mengatakan bahwa kesalahan ejaan dalam tweet-an Tony – salah satu contohnya “my heart bleeds for the relatives of my crew and our passangers (harusnya passengers, red)” – justru menunjukkan keaslian dan karena itu, kredibel dan otentik dari tweet-an tersebut.

Ketika logo maskapai di media sosial berubah menjadi abu-abu yang lebih muram dan hanya putih, banyak pihak mengapresiasinya. Sebelumnya logo itu berwarna merah cerah. Fernandes juga mengeluarkan permintaan maaf dan beban tanggung jawab di kakinya.

“Saya minta maaf sebesar-besarnya atas apa yang mereka alami,” katanya pada konferensi pers, menurut laporan di Wall Street Journal. “Saya pemimpin perusahaan ini,… Saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya di sini. Saya tidak lari dari kewajiban saya meskipun kita tidak tahu apa yang salah [dalam menyebabkan kecelakaan]. Para penumpang berada di pesawat saya , dan saya harus bertanggung jawab untuk itu. ”

Harus diakui bahwa Tony memang berbeda. Betapa tidak, menurut laporan tahunan CEO.com tentang social media engagement di kalangan para pemimpin bisnis, lebih dari dua pertiga (68 persen) dari Fortune 500 CEO sama sekali tidak hadir di media sosial jejaring utama, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Google+ dan bahkan LinkedIn.

Survei juga menemukan bahwa sementara dari tahun ke tahun platform social media menunjukkan manfaatnya, namun sebagian besar CEO masih belum memanfaatkan media sosial. Dengan menggunakan kriteria kehadiran mereka di platform sosial media atau tidak dilihat dari apakah mereka mengirimkan psan dalam 100 hari terakhir, diperoleh gambaran bahwa dari mereka yang aktif hanya pada satu jaringan, 73 persen memilih LinkedIn. Kemudian, 69 persen yang menggunakan Twitter. Sementara itu hanya 8,3 persen CEO yang memiliki akun Facebook, atau naik sedikit dari tahun 2013.

Laporan ini juga mencatat bahwa banyak CEO yang lebih menggunakan Instagram dari Google+. Kondisi tersebut memang masih lebih baik dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan survey tahun lalu diperoleh gambaran sekitar 70 persen CEO tidak hadir di jaringan sosial. Dari 38 CEO — perusahaan yang masuk Fortune 500 – yang hadir di Facebook, Michael Rapino dari Live Nation Entertainment memiliki teman paling banyak, 1723.

Sementara itu, di antara 20 CEO perusahaan Fortune 500 yang memiliki akun Twitter, 5 tidak pernah tweeted. Rata-rata jumlah pengikut untuk CEO Fortune 500 yang memiliki akun Twitter adalah 33.250.
Rupert Murdoch News Corp memiliki pengikut terbanyak dengan 249,000 pengikut, menyalip CEO HP Meg Whitman yang sebelumnya berada di nomor satu.

Temuan lain menunjukkan, 10 dari CEO Fortune 500 memiliki lebih dari 500 koneksi LinkedIn, sementara 36 CEO memiliki 1 koneksi LinkedIn atau tidak. Enam CEO Fortune 500 berkontribusi ke blog, dan hanya satu dari enam CEO, John Mackey dari Whole Foods, yang memantaun blognya sendiri. Tahun kemarin, tidak ada CEO Fortune 500 yang muncul di Pinterest.

Jadi, ada dua pelajaran yang bisa dipetik dari gambaran di atas. Pertama, meminta maaf bukan berarti kita melakukan kesalahan besar, tapi setidaknya dengan meminta maaf kita mengakui bahwa kita membuat mereka menjadi tinyak nyaman.

Dalam situasi krisis, pesan selama krisis - dan cara pesa itu disampaikan -- sangat menentukan penilaian publik terhadap apa yang Anda lakukan. Ketika sebuah perusahaan menanggapi krisis (dan seberapa cepat) sangatlah penting untuk mencapai hasil yang positif, dan menghindari bencana lainnya.


Kedua, untuk menjadi sukses di milenium baru seperti sekarang ini, pengelola bisnis dan institusi harus mengatakan yang sebenarnya, berhenti berusaha untuk memeras setiap kemungkinan keuntungan secepat mungkin, menjangkau media, menyadari bahwa persepsi lebih penting daripada fakta, dan mencoba untuk melakukan hal yang benar. Membohongi publik dan media dengan informasi yang salah akan membuat publik atau media marah.

Social Media in Times of Crisis

Perkembangan teknologi internet dan media sosial mengubah cara manajer krisis bekerja. Mereka harus cepat merespon karena dalam hitungan menit, komunitas konsumen online bisa mendorong citra perusahaan masuk dalam bencana krisis. Lalu bagaimana media sosial bekerja?

Pukul 01:20 (MYT) --  8 Maret 2014 – pesawat Boeing 777-200ER dengan nomor penerbangan MH370 milik Malaysia Airlines (MAS) tinggal landas dari Kuala Lumpur ke Beijing dan dinyatakan hilang kurang dari satu jam setelah lepas landas. Hilangnya pesawat dengan 12 awak dari Malaysia dan 227 penumpang lainnya dari 14 negara, dan kebanyakan dari mereka adalah Cina itu dirilis pada 07:24 (MYT), 8 Maret, atau sekitar 5 jam setelah komunikasi dengan MH370 putus.
Tertundanya respon MAS itu telah menciptakan kesenjangan kredibilitas yang membuat komunikasi krisis MAS menghadapi banyak persoalan di kemudian hari. Mereka diawasi secara ketat oleh keluarga  239 penumpang yang sedang menunggu informasi tentang perkembangan. Publik dari berbagai penjuru juga melakukan hal yang sama.
Managemen MAS memahami bahwa dalam era publik yang super terhubung saat ini, pemanfaatan aset digital, termasuk halaman website dan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, untuk mengkomunikasikan situasi tersebut sangatlah penting. Karena itu, langkah pertama yang diambil tim public relations MAS untuk mengelola krisis adalah dengan membagi informasi kepada mereka yang memiliki minat dan kepedulian terhadap pencarian dan penyelamatan pesawat melalui website.
Tidak berhenti di website, MAS juga memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk  memperkuat pesan-pesan yang diunggah di website. Di Facebook Page Malaysia Airlines informasi hilangnya pesawat itu diunggah pada 07:24 (MYT), 8 Maret 2014. Semua tampilan media digitalnya juga berubah menjadi lebih gelap. Mulai dari website, Facebook, sampai Twitter, semuanya diisi dengan warna abu-abu. Pihaknya sengaja tidak menggunakan warna hitam (simbol duka) karena kondisi awak pesawat MH370 masih belum jelas. Warna yang sedikit gelap di media sosial juga dinilai ampuh untuk memperkuat pesan-pesan pada konten yang disebarkan. Begitu informasi itu muncul di Facebook, ada 5976 suka, 2327 komentar dan 11.002 share. Dengan demikian, penggunaan Facebook membantu MAS memperkuat pesan website kepada masyarakat.
Dalam situasi krisis, kecepatan merespon sangat penting. Bila publik mengetahui perusahaan terlalu lama merespon, publik akan curiga, setidaknya dalam kasus MAS misalnya, publik mempertanyakan kerja dari manajemen. Banyak spekulasi spekulasi tentang keberadaan dan penyebab hilangnya pesawat.  Kantor berita Cina Xinhua sempat mempertanyakan kerja manajemen melalui Weibo, "Malaysia Airlines, mengapa Anda menunggu lima jam setelah kehilangan kontak dengan pesawat untuk menyampaikan berita pertama. Mengapa Anda mengadakan konferensi pers setelah hampir 13 jam?"
Perkembangan media baru internet dan media sosial seperti facebook, twitter, dan sebagainya, memunculkan tantangan dan konsekuensi baru perusahaan maupun individu. Ketika terjadi krisis misalnya, bila sebelumnya cukup mengandalkan media seperti koran, radio, dan sebagainya, kini perusahaan harus memanfaatkan media baru seperti internet dan medis sosial.
Meskipun berkomunikasi melaui media sosial merupakan cara efektif untuk memulai pembicaraan, namun media sosial juga memunculkan efek yang tidak diharapkan. Hal ini terlihat dalam kasus hillangnya pesawat MH370 tersebut. Ketika publik mengetahui hilangnya pesawat MH370, muncul diskusi real-time yang seru sebagai respon terhadap informasi tersebut di platform media sosial, seperti YouTube dan Facebook. Sebagian anggota diskusi mengatakan bahwa informasi yang disampaikan MAS tidak akurat dan rumor ini terus berkembang, mulai dari sebab-sebab hilangnya pesawat hingga nasib keluarga korban yang seakan ditelantarkan manajemen MAS. 
Saat krisis tantangan komunikasi biasanya diperburuk oleh singkatnya waktu karena keputusan harus segera diambil, di sisi lain informasi terbatas, dan kesempatan untuk berinteraksi dengan stakeholder terbatas. Di sisi lain, sebagian publik termasuk media berusaha mendapatkan informasi dan jawaban sesesegra mungkin. Dalam situasi seperti ini, tidak ada waktu lagi untuk dewan eksekutif untuk bertemu dan menentukan respon terbaik mereka selama beberapa saat krisis mulai berlangsung.
Pada kondisi seperti itu internet dan media sosial sebagai sumber informasi bisa menjadi alternative, meski disadari bahwa internet dan media sosial bisa menjadi triger bagi munculnya persoalan baru. Seperti diketahui, internet dan media sosial memiliki karakteristik, pertama, mudah dimanipulasi. Kedua, konten-kontennya dapat dengan mudah dibagi dan dipertukarkan antar penggunanya.
Ketiga, konten-kontennya dapat diperkecil ukurannya sehingga kapasitasnya dapat dikurangi. Keempat, membutuhkan space yang kecil untuk menyimpannya. Kelima, imparsial dalam arti konten-kontennya tidak berpihak pada siapapun dan tidak dikuasai oleh segelintir orang saja.
Selama masa krisis, orang melihat media sosial sebagai sarana untuk berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Mereka berusaha untuk menjadi paling cepat dalam mengirimkan foto kerusakan, memeriksa status teman-teman dan keluarga, atau mengikuti dan mengupdate berita termasuk tentang efek dari musibah misalnya.
Mereka juga melihat saluran media sosial sebagai sarana penting untuk mendapatkan informasi dari instansi pemerintah dan perusahaan. Ini karena harus diakui bahwa mobilitas orang saat ini kecil kemungkinan untuk mengakses informasi melalui televisi atau radio. Mereka lebih mudah mendapatkan informasi dengan menggunakan jaringan seluler yang secara fektif membuat akses ke internet dan jejaring media sosial  yang lebih cepat, lebih nyaman dan seringkali lebih handal dibandingkan media konvensional.
Mereka tidak mendapatkan informasi satu arah. Karena itu, seringkali begitu mendapat informasi mereka juga dengan cepat ikut menanggapi atau berkomentar. Bila pada masa sebelum munculnya media baru, skandal atau rasa malu tidak terpublikasikan, sekarang dalam hitungan menit bahkan detik komunitas konsumen online dapat mengetahui dan meresponnya sehingga risiko perusahaan makin terjerumus dalam krisis yang lebih besar makin terbuka lebar.
Dalam iklim baru yang memungkinkan setiap pengguna menciptakan video dan blog sebagai virus yang tak terkendali, siapa saja dapat membuat krisis perusahaan. Bahkan tanpa akses ke sumber daya -- mereka mungkin mantan karyawan yang tidak puas -- perusahaan dan tidak ada pengetahuan tentang perusahaan sebelumnya, atau hanya anak-anak yang berpikir sedang melucu, dapat membuat krisis atau memperparah krisis.
Ketika tiga orang pekerja di sebuah restoran Domino di Conover, North Carolina, melucu dengan memposting video saat mereka membuat pizza. Dalam video itu digambarkan pizza yang terkontaminasi dan siap dikirim ke pelanggan. Dalam beberapa hari, video ini diunggah di YouTube itu dilihat lebih dari sejuta kali, sebagian karena Twitter dan media sosial lainnya. Karyawan yang dipecat dan menghadapi tuduhan kejahatan karena mendistribusikan makanan yang dilarang. Namun mereka berpendapat bahwa video itu hanya lelucon dan makanan itu tidak pernah disampaikan.
Mungkin klaim mereka benar. Namun komentar negatif telanjur bermunculan dan informasi yang muncul di video tersebut diterima publik sebagai suatu fakta. Situasi ini bisa berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun setelah seseorang memposting pesan negatif itu. Bahkan seringkali perusahaan merasa kedulitan untuk menghapus postingan tersebut dari situs jejaring sosial karena sudah beredar kemana-mana. Karena itu, jika informasi negatif tersebut tidak diimbangi atau dibantah, banyak orang tidak dapat menentukan apakah informasi tersebut akurat atau tidak.
Pengrusakan reputasi perusahaan akibat video di YouTube, tweet, atau rumor berbisa bisa menyebar melalui Facebook dan dapat menghancurkan ekuitas merek. Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan perusahaan rusak dengan cara ini, dan di masa mendatang setiap hari bakal lebih menghadapi kemungkinan bahaya yang lebih besar.
Ketika musisi Dave Carroll melihat keluar jendela pesawat United Airlines di landasan Bandara O'Hare  Chicago, dia melihat cara penangan bagasi yang menurut dia sembarangan. Dia melihat pekerja melemparkan gitarnya ke jalan. Saat mengambil bagasi, dia mendapati gitarnya rusak dan melaporkan ke bagian pengaduan. Tidak puas dengan jawaban yang diberikan petugas United keluhan, Carroll dan anaknya buahnya yang tergabung dalam Maxwell Band menulis dan merekam video lagu dengan judul "United Breaks Guitars."
Setelah video itu diposting di YouTube, bagai virus video itu dilihat jutaan (hitungan terakhir lebih dari 12 juta) pemirsa. Video berdurasi empat menit, 37 detik itu menghibur sekaligus membuat frustrasi konsumen berkaitan dengan layanan perusahaan penerbangan itu. Ada yang kemudian melaporkan tasnya hilang, dan sebagainya.
Dalam keadaan darurat atau krisis siapapun yang terhubung dengan media sosial seperti twiter dapat memberikan laporan apa yang terjadi di sekitarnya. Wartawan juga memanfaatkan tweet sebagai bagian dari laporan mereka. Dengan kata lain, Twitter kini menjadi alat strategis untuk komunikasi darurat. Dari perspektif pemasaran, perusahaan dapat menggunakan Twitter untuk melacak pikiran konsumen.
Namun, sifat langsung komunikasi Twitter dapat menimbulkan risiko yang signifikan bagi perusahaan, karena jelas, isi tweet tidak dikonfirmasi atau tidak selalu benar tapi dapat langsung dan secara luas diedarkan ke ribuan penerimanya. Ini berarti pada dasarya, Twitter adalah media yang bisa menyebarluaskan informasi dan tidak terkendali.
Gatekeeper media kini berubah. Sekarang, pelanggan yang tidak puas dapat menyampaikan keluhannya melalui media sosial. Dengan media sosial yang berfungsi untuk menemukan informasi yang berkembang di publik, kecepatan perusahaan untuk menganggapi isu tersebut akan lebih cepat dari sebelumnya.
Dalam dunia digital, krisis yang terbaik dicegah melalui kebijakan yang baik dan pemeliharaan, daripada ditangani setelah fakta. Tentu saja, kebijakan yang hanya sebagai baik sebagai orang yang telah mengambil sedikit waktu untuk menyerap mereka, sehingga sangat penting bahwa semua anggota tim penanggulangan krisis yang up-to-date pada kebijakan.
Karena itu bila peredaran informasi negatif tidak terkendali dengan baik, dapat merusak brand perusahaan atau  citra, memperburuk, atau memperpanjang efeknya sebagai pesan yang terus bergaung di antara ribuan pengguna Twitter.
Sayangnya, banyak strategi perusahaan dalam mengatasi melaui media baru itu belum terkelola dengan baik, bahkan banyak perusahaan yang belu siap merespon ketika terjadi suatu krisis yang mengancam citra merek mereka. Proses komunikasi mereka seringkali terperosok dalam birokrasi organisasi, atau terikat strategi public relations yang sudah usang. Yang paling banyak terjadi -- dan ini paling penting – respon mereka terhadap krisis cenderung lambat.
Sosial media dan jejaring sosial telah membuat crowdsourcing yang memungkinkan bagi setiap penggunanya yang terkoneksi berpartisipasi dalam berbagai informasi. Mereka bisa memberikan saran upaya mengatasi krisis dan sebagai. Wikipedia misalnya, adalah contoh utama dari inisiatif dan kontribusi dari lebih 90.000 pengguna secara individual untuk menulis 17 juta artikel dengan lebih mudah dan cepat.
Disinilah pentingnya bagi setiap perusahaan atau individu untuk terhubung dengan internet dan media sosial dan membangun jejaring online yang kuat. Dengan demikian, ketika terjadi krisis, selain mendapat pengetahuan tentang situasi yang berkembang di luar perusahaan, perusahaan juga dapat memanfaatkan media baru itu untuk merespon perkembangan yang terjadi. Dengan demikian melalui media sosial, perusahaan dapat mengidentifikasi pesan-pesan yang muncul dan meresponnya dengan cepat. 
Manfaat terbesar media sosial dalam komunikasi krisis saat ini adalah kontribusinya sebagai alat untuk memantau dan mendengarkan. Perusahaan sekarang memiliki kemampuan untuk memantau apa yang dipikirkan konsumen melalui berbagai media sosial. Sepintas, kedengarannya seperti invasi konsumen. Namun apapun yang diposting di forum-forum publik - dalam diskusi – selalu menguntungkan baik untuk perusahaan maupun konsumen.
Seseorang bisa duduk di rumah sakit dan metweet tentang pengalaman mereka menunggu bahkan sampai tiga jam untuk mendapatkan layanan petugas rumah sakit. Dalam kondisi kebingungan itu, tiba-tiba ada seseorang petugas rumah sakit yang membantu mereka. Fenomena ini merupakan bentuk dari  aplikasi pemantauan yang dilakukan melalui media sosial yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat dan rumah sakit itu sendiri.
Pada dasarnya, komunikasi krisis adalah mengirimkan pesan selama krisis berlangsung. Dalam konteks ini, blog juga dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk memberikan informasi terkini mengenai krisis. Seperti situs web, blog juga dapat diperbarui dengan cepat. Blog memiliki fitur tambahan interaktivitas. Stakeholder dapat memposting komentar atau memberikan umpan balik dan mengajukan pertanyaan.
Kebutuhan untuk menanggapi permintaan meningkatkan investasi waktu bagi tim krisis. RSS juga dapat digunakan untuk menjangkau karyawan atau pihak lain yang ingin mendapatkan infomasi yang up to date. Podcast dan video juga dapat dimanfaatkan. Video permintaan maaf Jet Blue di YouTube sering dijadikan sebagai contoh penggunaan video yang efektif dalam krisis. Idenya adalah dengan menggunakan berbagai saluran untuk memberikan informasi krisis Anda.
Perlu diingat respon pemirsa terhadap video krisis kecil. Ketika KFC memposting sebuah video di YouTube menanggapi situasi di New York City, sangat sedikit orang menontonnya. Bahkan pada bulan pertama, hanya dua orang mengakses video dari YouTube. Yang menarik, semua pemirsa dibawa ke video dari situs web KFC.
Intinya, dalam era internet dan media sosial, perusahaan yang paling siapapun beresiko mengalami krisis. Di penjuru dunia, perusahaan atau perorangan yang mengalami krisis hampir terjadi setiap hari dan sering mendominasi headline media tradisional dan sosial. Akibatnya, organisasi harus merencanakan, mempersiapkan, dan melaksanakan rencana krisis sehingga staf mengatahui bagaimana merespon peristiwa yang terungkap.
Selain harus mengantisipasi intensitas perhatian media dan publik, komunikator harus siap untuk mengatasi masalah dengan pemangku kepentingan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan kepercayaan organisasional. 

Ketika ini terjadi, perusahaan harus memiliki rencana tidak hanya memperbaiki kerusakan, tetapi juga meyakinkan pelanggan sehingga mereka merasa aman. Menggunakan strategi komunikasi krisis media sosial adalah salah satu dari banyak cara bahwa perusahaan dapat membangun kembali kepercayaan dengan konsumen.