Selasa, 28 April 2015

Beginilah Nasib Shampoo 2in1

Anda tentu masih ingat jargon 2in1? Itu adalah salah efek dari munculnya produk shampoo 2in1 yang saat itu begitu fenomenal. Apalagi fenomena itu diramaikan dengan kisah pertempuran legendaris di gelanggang 2in1 antara Rejoice dengan Dimension.
Konon kala itu, melalui aksi Intelligence Pemasaran Unilever berhasil mendapatkan formulasi 2in1. Unilever mendahului peluncuran produk 2in1 dibandingkan PT Procter & Gamble (P&G) melalui merek shampoo Dimension. P&G akhirnya juga meluncurkan produk shampo --Rejoice, Pantene dan Head & Shoulders -- dan conditioner dalam satu kemasan.
Kalau dulu konsumen harus membeli shampoo dan conditioner dalam dua kemasan berbeda—bahkan dua merek berbeda, kini konsumen tidak perlu repot. Beli satu dapat dua keuntungan. Reaksi konsumen juga positif sehingga 2in1 menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Keberhasilan itu kemudian membuat merek-merek lain – meski tidak semuanya -- ikut mengeluarkan produk 2in1.  


Namun, dominasi shampoo 2in1 mungkin segera berakhir. Bila Anda perhatikan di rak-rak supermarket, hypermarket, atau warung-warung, produk shampoo 2in1 mulai jarang dijumpai. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah merek terkemuka yang dulu mengeluarkan produk 2-in-1, seperti Rejoice, Pantene dan Head & Shoulders, ditarik dan diganti dengan sampo dan kondisioner yang terpisah.
Ceritanya berawal dari situasi pasar shampoo pada 2011 dan kemudian melihat ke fenomena sebelumnya. Menurut catatan Euromonitor International Juni 2012, pada 2011 conditioners mencatat pertumbuhan nilai penjualan tertinggi dalam bisnis produk perawatan rambut, yakni sebesar 14%. Besaran pertumbuhan itu memang – salah satunya -- dipengaruhi basis nilai penjualan  yang kecil pada tahun-tahun sebelumnya sehingga bila peningkatan penjualan diterjemahkan ke persentase pertumbuhan nilainya menjadi besar.
Bila dilihat datanya secara lebih mendalam, peningkatan nilai penjualan conditioner itu mulai terjadi sejak 2006 (lihat Tabel). Mulai 2006, nilai penjualan shampoo standar (hanya shampoo tanpa conditioner) juga meningkat. Sebaliknya, nilai penjualan shampoo 2in1 mulai turun.
Fenomena ini dianggap para pemain bisnis shampoo sebagai peluang, meski mereka sadar bahwa pasar shampoo standar sudah sesak. Namun karena diperkirakan permintaan conditioner akan terus meningkat, mereka tetap masuk dan menarik sejumlah produk shampoo 2-in-1. Mereka mengganti shampoo 2in1 dengan shampoo dan kondisioner terpisah. Ini yang kemudian mendorong peningkatan  pertumbuhan kondisioner pada tahun 2011 tertinggi diabndingkan sebelum-sebelumnya.
Kinerja menjanjikan kondisioner juga didorong oleh meningkatnya popularitas produk masker rambut untuk mengatasi banyak masalah pada rambut. Beberapa penelitian FGD memberikan gambaran bahwa konsumen mengatakan bahwa shampoo dan kondisioner dalam satu botol membuat rambut jadi lebih lembut dan berkilau. Namun, negatifnya shampoo 2in1 membuat kulit kepala jadi kotor karena penumpukan kotoran dan minyak. Ini yang kemudian membuat sebagian pengguna shampoo beralih dari shampoo 2in1 ke shampoo standar.
Itu sebabnya pada 2011, shampoo standar terus menjadi penyumbang terbesar dalam nilai penjualan produk perawatan rambut dengan pangsa 74%. Shampoo standar dianggap sudah menjawab sangat banyak kebutuhan dasar sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun demikian, penetrasinya yang sudah begitu tinggi membuat produsen tertantang untuk  terus merangsang penggunaan shampoo lebih lanjut, misalnya dengan kampanye penggunaan shampoo dari satu kali menjadi dua kali sehari dan sebagainya. 
Selain itu, pasar sesak membuat produsen melakukan banyak terobosan promosi guna membujuk konsumen beralih ke mereknya. Mengingat bahwa switching merek adalah sangat umum dalam persaingan merek perawatan rambut, terutama dalam hal shampoo, produsen berinvestasi dalam upaya promosi, terutama iklan, serta kegiatan promosi lainnya. Mereka banyak melakukan terobosan prmosi seperti bundling, hadiah gratis dengan produk dan promosi "buy-one-get-one -free" di gerai ritel modern, khususnya hypermarket dan apotek.

Lalu akan matikah shampoo 2in1? Trend masyarakat perkotaan untuk mewarnai, meluruskan dan mengeriting rambut mereka sebagai bagian dari gaya hidup modern, menciptakan peluang baru bagi conditioner. Kenapa? Seperti diketahui penggunaan bahan kimia pada rambut selama proses pewarnaan, pelurusan dan mengeriting sering mengakibatkan rambut kering. Ini berarti agar rambut tetap lembut, mereka membutuhkan conditioner. Namun demikian, jangan lupa shampoo untuk salon seperti TRESemmé juga mengandung conditioner meski tidak harus menyebutnya sebagai shampoo 2in1.

Kamis, 23 April 2015

Kenapa Pembelanja Keluar dari Toko Tanpa Membeli Apapun?

Konsumen, tak terkecuali di Indonesia, dibombardir dengan informasi. Survey yang dilakukan Kadence International (Majalah MIX – April 2013) mendapati bahwa orang Indonesia menonton televisi rata-rata 3,5 jam per hari. Dalam kurun waktu tersebut, tak kurang dari 150 iklan yang mereka lihat, dan yang menarik setiap hari terdapat 60 iklan baru yang dipublikasikan melalui televisi. Ini menjadikan Indonesia menempati posisi kedua di dunia sebagai negara yang memiliki tingkat aktivitas periklanan tertinggi.
Fenomena tersebut juga merefleksikan fenomena global. Artinya, konsumen seluruh dunia saat ini teterpa iklan atau informasi produk atau merek yang banyaknya mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Belum lagi informasi yang mereka akses melalui smartphone mereka.
Lalu apakag kepadatan informasi itu mempengaruhi proses keputusan pembelian? Jawabannya iya. Jadi kalau selama ini Anda berpikir bahwa karena begitu banyak infomasi yang ada di benak konsumen lalu Anda berpikir bahwa pembeli tahu persis tentang apa yang mereka inginkan sebelum melangkah kaki di toko, itu tidak sepenuhnya tepat.
Ketika melakukan survey pada 1.200 konsumen, Timetrade (penyedia jasa riset dan konsultansi retail) mendapati lebih dari separuh responden yang melaporkan bahwa setelah mereka mengakses informasi secara online, mereka mempersempit pilihan mereka menjadi 2 atau 3 merek produk. Namun demikian, dan ini yang menarik, meski sudah menentukan dua atau tiga pilihan, masih memerlukan bantuan untuk membuat keputusan akhir.
Statistik ini merupakan pergeseran paradigma dalam perilaku pembelian pembelanja. yang Selama ini, ada anggapan bahwa temuan merek melalui online merupakan tahap akhir dari proses menjelang keputusan sehingga ketika masuk ke toko, konsumen tidak pilih-pilih lagi. Ternyata, temuan Timetrade itu mendapati bahwa keputusan akhir tetap dibuat di toko (Bandingkan dengan ZMOT dan FMOT).
Fenomena ini sekaligus merupakan peluang bagi pengecer untuk mendorong konsumen membeli reka memberikan informasi yang benar buat mereka sehingga dapat membantu mereka mengambil  keputusan pembelian akhir. Jika pengecer tidak memberikan bantuan yang tepat, konsumen meninggalkan toko dengan tangan kosong atau tidak membeli apapun, bahkan banyak diantara mereka yang tidak kembali ke toko Anda.
Yang jadi persoalan, menurut survey Timetrade tadi, 90% responden mengatakan bahwa ketika berada di toko, mereka tidak selalu dapat menemukan orang yang tepat untuk membantu. Padahal, 90% dari mereka cenderung membeli ketika dibantu oleh rekan berpengetahuan. Akibatnya, 85% dari mereka tidak membeli apapun ketika mereka tidak dapat menemukan yang tepat orang.
Jadi, ketika saat konsumen berjalan ke toko ritel, mereka sebenarnya berharap mendapatkan bantuan  dan pengetahuan secara cepat sementara mereka berbelanja. Namun ternyata konsumen tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Ini berarti bahwa 90 persen dari pembeli ini mengambil bisnis mereka di tempat lain.
Lalu apa solusinya? Untuk memenangjkan hati calon pembeli yang frustrasi, pengecer harus menyediakan layanan yang cepat buat mereka berupa pengetahuan yang akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan menciptakan pengalaman ungul pelanggan. Ini makin penting karena konsumen memiliki lebih banyak untuk berbagi tentang pengalaman ritel mereka - yang baik, yang buruk dan jelek.
Berikut adalah beberapa hal yang membantu konsumen saat berada di toko sehingga membantu mereka mengambil keputusan pembeliamn. Yang pertama adalah konsumen membutuhkan rekan bicara yang memiliki pengetahuan tentang produk. Hampir dua pertiga dari konsumen mengharapkan bahwa penjual dapat merekomendasikan produk mana yang memiliki nilai terbaik dan yang memiliki kualitas tertinggi (masing-masing 65% dan  64%).
Kedua, konsumen seperti halnya penjual, berharap penjual mengetahui secara persis siapa-siapa yang datang ke toko, apa yang mereka telah membeli sebelumnya, dan apa yang mereka cari sehingga mereka dapat menerima layanan yang lebih personal.
Ketiga, konsumen menginginkan layanan yang cepat ketika mereka tiba di toko. Mereka ingin diakui dan diberitahu tentang berapa banyak waktu mereka harus menunggu.

Tenga penjual yang penjualan yang berpengetahuan makin memperkuat keberhasilan pengecer karena ketika mereka terhubung dengan pembeli yang ragu-ragu, 90 persen cenderung melakukan pembelian. Bahkan, peningkatan penjualan makin besar peluangnya bila mereka berinteraksi lebih kuat. Dari survey ini diekathui bahwa 60 persen mengatakan mereka akan menghabiskan lebih banyak uang jika mereka bisa mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, dan 91 persen akan meninggalkan toko dengan perasaan lebih puas.

Rabu, 15 April 2015

Misteri Harga Rp 50 Ribu



Banyak isu seputar marketing communication yang mucul dalam diskusi kelas di kampus, kemarin. Salah satunya adalah tentang harga produk. Yang menarik pembahasan ini lebih pada efek psikologi yang ditimbulkan oleh harga yang dipatok pemasar, baik di supermarket maupun di restoran.

Salah satunya adalah tentang bagaimana harga bisa mempengaruhi keputusan seorang konsumen untuk beli lagi (loyalitas) atau berhenti membeli di suatu outlet. Salah soarng mahasiswa mengatakan bahwa untuk konsumen restoran, harga psikologi benar-benar sengat berpengaruh. “Untuk orang Indonesia ada angka harga psikologis penting, Rp 50 Ribu.” Katanya.

Berdasarkan pengalaman, katanya, dalam memutuskan membeli atau makan lagi di suatu restoran atau  tidak sangat ditentukan oleh berapa yang dia bayar. “Konsumen akan merasa nyaman bila dia membayar makanannya di bawah harga Rp 50 ribu. Kalau mereka membayar dengan pecahan Rp 50 ribu da nada kembaliannya, mereka puas.”

Akan tetapi, lanjutnya, bila konsumen membayar dengan pecahan Rp 50 ribu dan dia masih harus menambah lagi uangnya, jangan harap mereka kembali. “Memang itu ada untuk konsumen yang sensitive terhadap harga. Tapi persoalannya jumlah mereka banyak,” katanya.

Dia lalu mengilustrasikan salah satu resto siap saja yang sampai dua tahun masih bagus penjualannya. Resto tersebut sekarang kewalahan karena munculnya pesaing dekat baru, Yushinoya. Awalnya, harga Yushinoya masih di atas harga resto tersebut. Namun dua tahun lalu, pelanggan Yushinoya bertambah banyak.

Kemudian, anak pemilik resto yang mulai kewalahan itu yang baru lulus sekolah di luar negeri mengambil alih penhelolaan restonya. Tahun lalu, resto itu direbranding habis. 

Tampilannya baru dan lebih ngejreng. Namun demikian pengunjung masih tetap saja tak bisa seramai dua tiga tahun lalu. “Saya melihat ada kesalahan pricing yang dilakukan resto tadi,” kata mahasiswa tadi. “Harganya sekarang di atas Rp 50 ribu. Secara psikologi ini memunculkan persepsi mahal,” katanya.

Harga memang persepsi. Dalam dalam proses pembeliannya, konsumen tidak hanya bersikap rasional tetapi juga irrasional. Ini karena adanya hal-hal emosinal yang terlibat dalam proses pembelian. Dalam memutuskan membeli atau tidak suatu produk yang ditawarkan dengan tingkat harga tertentu, konsumen seringkali mengandalkan persepsi.

Ini yang membuat menarik. Selama beberapa dekade harga-harga produk atau merek per satuan naik tanpa disadari oleh konsumen. Ini karena kenaikan itu disembunyikan di bawah ambang diferensial, atau titik stimulus perubahan dirasa cukup membuat seseorang menyadarinya bila ada perubahan. 

Ini karena selama ini konsumen tidak terlalu menggunakan hitung-hitungan matematis dalam membandingkan harga satu produk dengan harga produk tersebut sebelumnya.

Banyak aplikasi dimana marketer dapat memanfaatkan faktor psikologis ini. Dalam dunia ritel misalnya, ada dua hal yang sering digunakan sebagai senjata untuk bersaing melalui penetapan harga. Para ritel seringkali menggunakan taktik lost merchandising. 

beberapa produk yang sengaja dibuat sangat murah dan bila perlu rugi atau harganya di bawah harga pokok. Produk ini kemudian dipajang di depan dan diberi label harga yang besar. Konsumen yang masuk, akan segera melihat harga tersebut. Ritel berharap, sejak pertama kali masuk dalam ritel tersebut, sudah terbentuk persepsi bahwa ritel mereka memberikan harga yang relatif murah.

Banyak ritel terutama supermarket dimana pelanggannya adalah ibu-ibu rumah tangga yang sensitif terhadap harga, melakukan taktik pemasangan harga di bawah ambang psikologis. Ada produk yang diberikan harga Rp 9.999, Rp 49.999 atau Rp 99.959. Dengan harga ini, ingin ditunjukkan bahwa harga mereka belum menembus batas psikologis. “Masih di bawah Rp 10.000 atau di bawah batas ambang atas suatu produk”.

Seperti diketahui, kenaikan harga satuan mencerminkan peningkatan mata uang yang dibayarkan untuk per unit produk yang diperolehnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan hanya beberapa sen terhadap harga tanpa mengubah digit paling kiri (misalnya, berubah dari $ 2,95 ke $ 2,99, Thomas dan Morwitz, 2005). Taktik menaikkan  harga satuan ini disebut total price increase (kenaikan harga total).

Taktik tersebut juga sering dilakukan dengan menjaga harga produk dipersepsikan tidak berubah namun kontennya dikurangi dengan cara yang hampir tidak kelihatan. Misalnya, dengan tidak mengurangi ukuran paket fisik meskipun kontennya diturunkan atau mengurangi ukuran paket proporsional dengan ukuran aslinya (Chandon dan Ordabayeva, 2009). 

Anda tentu sering menjumpai kasus ini. Perhatikan kemasan bubuk detergen yang dulu satu kilo sekarang menjadi hanya 800 mg. Kenaikan harga satuan ini disebut taktik pengurangan konten. Misalnya, kopi Folgers baru-baru ini mengurangi paket populer kopinya dari tiga belas ons menjadi sebelas ons, namun harga produk tersebut masih sama.

Beberpa waktu lalu, ada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan lima percobaan untuk menjelaskan mengapa harga yang berakhiran angka sembilan diakui sebagai signifikan lebih kecil dari harga satu sen lebih tinggi diatasnya. Studi ini dilakukan karena studi terdahulu (Monroe 2003 et al.) memiliki pandangan yang berbeda bahwa pelanggan tidak bereaksi terhadap sedikit perubahan harga.

Penelitian menunjukkan bahwa angka terakhir pada display harga itu penting (Anderson et al.). Ada beberapa fenomena yang menarik tentang bagaimana konsumen mempersepsikan harga yang terpampang di display. Pertama, fenomena ini terjadi ketika angka paling kiri berbeda. 

Kedua, jarak numerik dan psikologis target harga dan harga produk pesaing akan mempengaruhi efek digit sebelah kiri. Ketiga, efek angka sebelah kiri tidak hanya terbatas pada harga; itu juga bisa mempengaruhi persepsi pada jumlah angka lainnya.

Bila konsumen melihat display harga berakhiran angka sembilan, persepsi apa yang muncul dalam pikiran konsumen? Dalam beberapa kasus konversi dari suatu angka ke angka lain yang lebih besar, biasanya mempengaruhi ketepatan angka yang dikodekan (Dehaene 1997). 

Proposisi yang mendasari adalah bahwa pengolahan display angka dari kiri-ke-kanan mempengaruhi proses konversi besaran. Biasanya angka paling kiri dijadikan sebagai indeks besarnya harga.

Berikut ini adalah tiga efek yang mendukung proposisi. Efek angka sebelah kiri biasanya menekankan perubahan. Misalnya, digit sebelah digit daripada penurunan satu persen yang benar-benar mempengaruhi besaran yang dipersepsikan. 

Selama proses perbandingan, angka paling kiri memainkan peran penting. Pelanggan cenderung meremehkan besarnya harga yang berakhir dengan angka sembilan jika digit paling kiri adalah 1 dollar lebih kecil. Salah satu alasan yang mungkin untuk efek ini adalah bahwa proses encoding dimulai bahkan sebelum kita selesai membaca semua digit. Akibatnya, kita akan mempertimbangkan digit paling kiri menjadi besarannya.

Efek angka di sebelah kiri memang tidak berlaku untuk setiap situasi. Ketika mekanisme internal untuk membedakan antara dua nomor menjadi sulit, maka muncul efek digit sebelah kiri. Namun, jika mekanisme pembedaan itu bisa dilakukan secara mudah, efek digit sebelah kiri tidak aktif.

Fenomena dapat dijelaskan dengan efek jarak. Jika jarak yang dirasakan dari dua nomor lebih dekat, lebih banyak upaya (waktu) yang diperlukan untuk membandingkan besarnya mereka. Para peneliti berpendapat efek jarak akan menentukan efek digit kir dengan batas tertentu. Ketika perbandingan akan lebih sulit, otak kita akan membandingkan digit paling kiri secara langsung langsung. Sebaliknya, perbandingan gampang dilakukan, hal itu tidak akan terjadi.

Jadi bagaimana sebaiknya? Tak ada resep tunggal yang berlaku untuk semuanya. Suatu resep hanya berlaku untuk konsisi tertentu. Karena itu untuk menerapkan suatu strategi, pengenalan karakter konsumen dan lingkungannya adalah suatu keharusannya. 

Senin, 13 April 2015

Beda Place Marketing dan Place Branding

Definisi dan konsep place marketing dan place branding sering dipertukarkan. Penelitian-penetian yang dilakukan oleh Berglund & Olsson (2010), dan Kavaratzis & Ashworth (2005) membuktikan seringnya kedua istilah tersebut dipergunakan sevara bertukaran.
Pada kebanaykan diskusi, place marketing sering  difahami sebagai menjual tempat - place selling yang memfokuskan kegiatannya hanya pada aspek promosi pemasaran, mengabaikan tujuan yang tepat, jangkauan tempat pemasaran, dan branding. Sejatinya, pemasaran bertujuan memahami dan memenuhi kebutuhan dan keinginan (orientasi demand) konsumen. Di pihak lain, place selling menggambarkan suatu proses yang mencoba untuk menemukan konsumen yang tepat untuk produk (orientasi supply) yang ada.
Dua-duanya memang saling melengkapi, meski dapat pula digunakan secara bergantian. Secara umum, place marketing dapat dipahami sebagai:
[...] Penggunaan secara terkoordinasi dari alat pemasaran secara bersama yang didukung oleh filosofi yang berorientasi pada pelanggan, untuk membuat, berkomunikasi, memberikan, dan menciptakan  pertukaran nilai yang dimiliki oleh sebuah kota dengan pelanggan dan masyarakat kota pada umumnya (Braun, 2008, p . 43).


Place marketing bertujuan memaksimalkan fungsi sosial dan ekonomi suatu daerah atau kota secara yang efisien sesuai dengan tujuan yang secara luas telah ditentukan (Ashworth dan Voogd, 1990, hal. 41). Definisi ini menyoroti dua poin sangat penting. Pertama, meskipun place marketing memiliki tujuan  ekonomi, peningkatan fungsi sosial - seperti identifikasi tempat atau kepuasan - juga membentuk suatu tujuan utama.
Kedua, place marketing merupakan pendekatan yang berorientasi pada pelanggan dan harus mengintegrasikan semua potensi kota yang ada dan "pelanggan." Dengan kata lain, place marketing  pemasaran berusaha untuk lebih meningkatkan fungsi sosial bagi seluruh warga ketimbang mendukung kelompok tertentu.
Dalam beberapa tahun terakhir, fokus pada perdebatan tentang tempat pemasaran bergeser ke arah place branding (Kavaratzis, 2008). Saat ini banyak pihak yang ingin membangun asosiasi positif dari suatu place ke dalam pikiran konsumen sebagai upaya untuk lebih mengembangkan dan mempromosikan merek mereka. Ini dilakukan dengan cara misalnya memperkenalkan peringkat merek kota seperti Anholt-GMI City Brands Index (Anholt, 2006) dan Saffron European City Brand Barometer (Hildreth, 2010).
Keduanya merupakan sesuatu yang usaha baru, meskipun strategi itu sendiri telah ada sebelumnya. Harus diakui bahwa konsep tersebut memiliki akar dalam branding perusahaan (Kavaratzis, 2009). Sebuah corporate brand merupakan paduan antara ekspresi visual, verbal dan model perilaku organisasi bisnis yang unik, yang dipancarkan melalui misi perusahaan, nilai-nilai inti, budaya dan desain secara keseluruhan (Kavaratzis, 2009; Knox dan Bickerton, 2003). Mengadaptasikan definisi corporate brand dengan konteks place branding, dan dalam pemahaman merek sebagai jaringan asosiasi di benak konsumen (Keller, 1993; Keller dan Lehmann, 2006), dan Zenker Braun (. 2010, p 3) mendefinisikan place branding sebagai, [...] Jaringan asosiasi dalam pikiran konsumen berdasarkan ekspresi visual, verbal, dan perilaku place, yang diwujudkan melalui tujuan, komunikasi, nilai-nilai, dan budaya umum stakeholder dari suatu place  dan desain place menyeluruh.
Menyimak pernyataan tersebut, pada dasarnya itu menegaskan bahwa merek bukanlah ekspresi yang dikomunikasikan atau tempat dalam artian fisik melainkan persepsi dari ekspresi tersebut dalam pikiran kelompok sasaran.
Dalam literatur merek, karakteristik yang nyata - seperti ekspresi visual, verbal dan perilaku perusahaan - diberi label sebagai identitas merek (Nandan, 2005). Dengan demikian, identitas tempat (place) dalam model yang disajikan dapat dipahami sebagai ekspresi visual, verbal dan perilaku tempat, yang diwujudkan dalam tujuan, komunikasi, nilai-nilai dan budaya umum stakeholder dan desain tempat keseluruhan.
Dalam kaitan ekspresi tersebut, Kavaratzis (2004) membagi tiga jenis komunikasi kota yang bisa membentuk ekspresi dari suatu tempat:
(1) komunikasi utama, yang meliputi arsitektur dan tempat yang nyata yang ditampilkan, serta perilaku kota. Karena itu semuanya dapat diberi label sebagai tempat fisik.
(2) Komunikasi sekunder, yang meliputi komunikasi formal melalui jalur resmi, seperti semua bentuk iklan atau hubungan masyarakat, dan karena itu dicap sebagai place communication. .
(3) Komunikasi tersier, yang mengacu pada detail word-of-mouth yang  diperkuat terutama oleh media dan warga sendiri, dan dengan demikian bisa digambarkan sebagai place word of mouth.

Apabila konsep-konsep tersebut digabungkan maka akan terbentuk suatu model persepsi place branding yang memaparkan tentang bagaimana perseps-persepsi itu dibangun melalui identitas tempat dan bagaimana mereka mampu membedakan antara satu tempat dengan tempat lainnya diantara kelompok sasaran (Zenker et al., 2010a, b). Pada akhirnya, persepsi mereka tersebut menimbulkan efek merek seperti identifikasi (Azevedo, 2009; Bhattacharya dan Sen, 2003; Zenker dan Petersen, 2010), kepuasan (Bruhn dan Grund, 2000;. Zenker et al, 2009a, b), atau niat untuk tinggal atau meninggalkan tempat (Zenker dan Gollan, 2010). 

Kampanye Pemasaran Telah Mati, Era Baru Marcomm Datang

Kampanye pemasaran sudah mati. Jika Anda masih berpikir tentang kampanye, itu pertanda Anda tidak mendengarkan pelanggan Anda, apalagi  menanggapi kebutuhan mereka. Saat ini sudah waktunya menggantikan gagasan kampanye dengan konsep baru: keterlibatan pelanggan adaptif. Keterlibatan pelanggan adaptive adalah tentang menangkap sentimen konsumen di setiap titik sentuh dan terus mem-fine-tuning tanggapan Anda untuk memenuhi pelanggan Anda, tidak hanya di mana mereka berada saat ini, tetapi juga di mana mereka akan berada besok.

Kampanye tidak lagi efektif, karena kampanye tidaklah mencerminkan cara berpikir pelanggan. "Pelanggan tidak berpikir tentang hubungan mereka dengan kita sebagai kampanye," kata Liz Miller, wakil presiden senior pemasaran CMO Council. "Mereka hanya memikirkan tentang hubungan mereka dengan kita sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang paling relevan buat mereka."
Karena itu, mulailah membangun keterlibatan dengan mereka. Ini bisa dimulai dengan mendengarkan suara mereka secara aktif. "Bila kita gagal mendengarkan, kita gagal untuk beradaptasi atau gagal untuk menjadi organisasi gesit yang bisa memenuhi tuntutan dan kebutuhan pelanggan kami," kata Miller.



Sejak perkembangan teknologi informasi, dunia pemasaran terutama marketing communications cepat sekali berubah. Beberapa tahun lalu dunia pemasaran dihebohkan dengan marketing experiential. Kini dunia marketing communication masuk ke era komunikasi berbasis experiential. Ini yang disebut dengan era pengalaman.

Era ini antara lain ditandai dengan kemampuan pemasar untuk menyenangkan audiense dengan pesan-pesan berbasis pengalaman (content driven) yang bisa membuat pelanggan merasa tenggelam dalam nilai atau benefit emosional yang ditampilkan oleh merek. Bila Anda perhatikan iklan-iklan merek produk Unilever banyak yang menggunakan konten pengalaman, mulai cuci tangan hingga sikat gigi ramai-ramai.

Jadi para era ini para pemasar modern, membuat, mengelola dan memimpin penciptaan pengalaman berharga, sehingga pemasaran dapat menciptakan perbedaan menjadi suatu  jenis operasi bisnis yang unik dan membedakan. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh sang  futurist Peter Drucker, 60 tahun yang lalu.

Yang membedakan dengan situasi 60 tahun silam, penciptakan konten-konten itu mengharuskan pemasar berkolaborasi dengan aset digital sehngga penggunaan aset tersebut memungkinkan pesan-pesan sampai secara lebih tepat ke audiense secara lebih efisien melalui berbagai macam saluran media. Namun demikian, Kolaborasi itu hanya mungkin bisa diwujudkan oleh pemasar itu sendiri. Disini media hanyalah pendukung.

Selain itu, hal baru lainnya adalah perlunya usaha yang lebih fokus. Artinya proses ini adalah harus tetap  difokuskan pada penciptaan, penerbitan, penggunaan kembali dan pengukuran media yang kaya makna, sebagai lawan dari stratagi sebelumnya yang lebih berfokus pada penemuan, pembatasan, pengaturan,  dan pengarsipan.

Usaha yang sekarang memang bisa berfungsi sebagai pabrik konten sehingga kemungkinan besar  menghasilkan gunung besar file-file digital yang kemudian dimuntahkan keluar dari pemasaran. Persaoalannya adalah seberapa besar file-file yang dikeluarkan itu mampu menciptakan pembeda. Itu semua tergantung pada bagaimana perusahaan mengelola konten tadi.

Evolusi yang menekankan pada perjalanan konten berbasis pengalaman ini merupakan salah satu fokus yang dibicarakan dalam buku ini. Dalam buku Experiences: The 7th Era Of Marketing ini, kedua penulis  Robert Rose dan Carla Johnson menekankan bahwa dalam era baru pemasaran, keunikan, dampak, dan pembeda yang tercipta melalui konten berbasis pengalaman, menjadi sama pentingnya dengan pengembangan produk.

Seperti diketahui, pemasar yang berhasil akan selalu beradaptasi dan berubah mengikuti perkembangan media dengan memfokuskan diri pada upaya untuk menciptakan pengalaman yang menyenangkan untuk diinformasikan, menghibur, melibatkan dan akrab dengan konsumen. Buku ini menguraikan tentang mengapa dan bagaimana transformasi bisnis di era baru yang dipimpin oleh para penceritadan dan didukung secara luar biasa oleh konten-konten berbasis pengalaman pelanggan.

Salah satu alasan kenapa konten berbasis pengalaman adalah kemampuan merek untuk terhubung dengan pelanggan saat ini jauh lebih sulit dari waktu-waktu sebelumnya.
Dalam konteks ini, Robert dan Carla berhasil menunjukkan mengapa pemasaran saat ini tidak lagi mengikuti aturan-aturan bisnis seperti biasa. Kini sudah saatnya pemasaran mengambil peran yang lebih luas dan lebih strategis dalam memimpin arah perusahaan.

Dalam Experiences: The 7th Era Of Marketing, pembaca seakan mendapatkan panduan langkah-demi-langkah dari kerangka kerja yang menuntut pembaca membuat konten bisnis, termasuk tentang  bagaimana me-rolling, bagaimana berkomunikasi, bagaimana mengembangkan rencana pengukuran dan banyak yang lain lagi terkait dengan konten pemasaran.

Robert dan Carla menekankan bahwa tujuan pemasaran baru ini bukan bukan hanya untuk menciptakan  pelanggan, melainkan juga mengembangkan mereka dalam konteks keseluruhan hubungan. Kunci untuk melakukan ini adalah untuk beralih dari berbicara tentang produk dan layanan ke penciptaan pengalaman berbasis pengalaman. Hanya dengan konten berbasis pelangganlah sebuah keunikan dapat dibangun guna menciptakan nilai bagi pelanggan.

Buku ini cocok terbaik bagi pemasar dan profesional PR yang mencoba beralih ke model baru pemasaran. Sat sisi, saat ini perusahaan-perusahaan seperti Red Bull dan Coca-Cola sedang dalam proses untuk melakukan hal ini, di sisi lainnya perusahaan-perusahaan lain mengalami kesulitan untuk bertransformasi. Buku ini menyediakan peta jalan diuji bagi pemasar yang mencari langkah perubahan lebih lanjut. Tidak hanya dengan menciptakan lebih banyak konten, tetapi juga mengembangkan strategi yang masuk akal baik untuk merek maupun pelanggan.

Sabtu, 04 April 2015

Dalam Situasi Krisis, Membangun Kesan Bertanggung Jawab itu Penting

Pada Desember 2014, Sears Holdings Co. CEO Eddie Lampert mengumumkan rencana penutupan lebih dari 200 Kmart dan Sears di AS. Penutupan itu terpaksa dilakukan karena dalam waktu lalu lama toko-toko tadi tak lagi menguntungkan.

Lampert juga mengatakan bahwa bahwa keputusan itu diabil dengan berat hati mengingat dampak negatifnya yang mungkin bakal menimpa para tenaga kerja yang selama ini dinilai meningkatkan kinerja toko-toko tersebut selama bertahun-tahun.

Memasuki tahun 2015, Lampert berjanji berusaha keras meningkatkan kinerja Sears yang masih memiliki sekitar 1.700 toko Sears dan Kmart yang beroperasi dan mewakili sekitar 200 juta kaki persegi ruang.

"Saya bangga dengan pekerjaan rekan-rekan yang telah berkontribusi melayani anggota kami di seluruh toko dan percaya bahwa keputusan untuk menyimpan beberapa kinerja toko terburuk kami di masa lalu… Kami telah bereksperimen dengan format yang berbeda, berbagai tingkat investasi dan proses yang berbeda untuk menghasilkan hasil yang lebih baik. Perubahan dilakukan, baik dalam industri ritel dan di perusahaan kami, namun kami tidak bisa lagi mampu atau membenarkan mempertahankan toko-toko ini tetap beroperasi.”

Krisis memang bisa terjadi dan berkembang di tempat kerja dan mungkin juga bisa Anda kenali. Namun demikian, ada pula krisis yang mungkin benar-benar tak diharapkan dan tak diperkirakan.

Terlepas dari seberapa baik suatu perusahaan menjalankan jadwal kerjanya  sehari-hari, "Hukum Murphy" adalah sebuah kenyataan. Hukum ini menyatakan bahwa krisis akan terjadi ketika orang tidak mengharapkannya, terjadi pada saat kemungkinan terburuk dan ketika orang secara pasti melakukannya tanpa itu.

Meski tidak terduga, krisis atau bencana masih bisa diantisipasi dengan mempersiapkan diri dalam bentuk latihan-latihan atau simulasi bila terjadi krisis. Latihan yang membantu mengantisipasi hal-hal yang terburuk adalah kompilasi dari setiap jenis kemungkinan bencana yang bisa dibayangkan bakal terjadi. Dari pengamatan pribadi dan pengalaman program komunikasi krisis baru muncul pada saat krisis terjadi. Ini seperti yang terjadi pada sebuah perusahaan penerbangan lokal beberapa waktu lalu.

Kesimpulan saya adalah sederhana dan mudah! Setiap organisasi membutuhkan program komunikasi krisis. Program ini harus mampu memberikan kerangka dan prosedur untuk membantu organisasi untuk mengambil langkah yang mungkin dan tiba-tiba pada saat organisasi mengalami krisis.

Pada saat krisis mengelola kesan pada stakeholder bahwa pengelola perusahaan bertanggung jawab adalah penting. Tidak peduli apapun yang terjadi, tidaklah masuk akal bila pada saat krisis perusahaan sengaja membentuk kesan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan, kecuali perusahaan tersebut diyakini bertanggung jawab atas tindakannya itu.

Tindakan tidak bertanggung jawab bisa muncul dalam berbagai bentuk yang tersamar mulai dari misalnya, tidak mengambil tindakan perbaikan, memerintahkan, mendorong, memfasilitasi, atau mengizinkan krisis terjadi.

Selain itu, tindakan tidak bertanggung jawab juga bisa muncul manakala pengelola perusahaan mempunyai pikiran bahwa saat itu tidak terjadi apa-apa - atau jika apa yang terjadi tidak dianggap ofensif – dan beranggapan bahwa citra perusahaan tidak terancam. Yang penting, audiense yang berpengaruh dianggap menyetujui tindakan.

Pada kedua kondisi tersebut, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Yang penting adalah bukan apakah bisnis sebenarnya bertanggung jawab atas tindakan ofensif, tapi apakah perusahaan tersebut dianggap bertanggung jawab oleh audiense yang relevan. Tentu saja, jika perusahaan tidak benar-benar harus disalahkan untuk tindakan ofensif, ini bisa menjadi komponen penting dari respon. Selama audiense berpikir perusahaan bersalah, citra berada di ujung tanduk.

Pada sistuasi krisis, perencanaan dan keterusterangan adalah kunci untuk bertahan. Ini berarti perusahaan memiliki rencana untuk mempersiapkan diri ketika Anda tiba-tiba harus mengkomunikasikan fakta dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di tengah-tengah mimpi buruk yang berlangsung. Disini keterusterangan adalah kinerja Anda dalam melakukan pekerjaan ini.

Pogram komunikasi krisis merupakan bagian dari rencana penanggulangan bencana yang dihadapi perusahaan dan kelangsungan bisnis. Ini berarti, para pengambil keputusan paling senior dalam organisasi harus menunjukkan komitmen yang kuat terhadap seluruh proses. Tanpa komitmen tidak mungkin rencana komunikasi krisis akan berhasil.

Komunikasi yang berlangsung pada jam-jam pertama - atau bahkan menit – situasi darurat dapat berimplikasi dramatis pada citra perusahaan (Dawar dan Pillutla, 2000). Sebuah studi yang dilakukan terhadap 2.645 konsumen oleh agensi periklanan DDB Needham menunjukkan bahwa penanganan krisis perusahaan menempati peringkat ketiga terpenting dalam mempengaruhi keputusan pembelian oleh  konsumen, kemudian diikuti masalah kualitas produk dan penanganan keluhan (Marketing News, 1995).

Para ahli manajemen krisis sepakat bahwa manajamen krisis bukan suatu masalah ketika sebuah perusahaan menghadapi krisis. Yang jadi persoalan adalah kapan dan bagaimana eksekutif menyiapkan segaa sesuatunya dengan baik bila terjadi badai tersebut (Albrecht, 1996). Memang, tidak ada perusahaan yang kebal terhadap krisis, terutama yang disebabkan oleh produk cacat, pemerasan oleh konsumen yang tidak bermoral, tindakan tidak jujur oleh karyawan atau manajer, kematian mendadak seorang eksekutif senior, tindakan teroris atau bencana alam.

Namun, dalam salah satu situasi tersebut, menunjukkan kepedulian yang nyata dan empati serta empati  dengan tindakan yang konsisten dapat menyelamatkan perusahaan dari berbagai kesulitan. Bahkan jika manajemen merasakan krisis sebagai "tidak berdasar" atau "tidak adil" karena di bawah-the-belt serangan atau karena mereka meremehkan masalah yang dihadapi, bertahun-tahun upaya untuk k membangun brand yang kuat dan reputasi bisa hancur dalam waktu singkat Cuma gara-gara mengatakan  "no comment".

Identitas, Citra, dan Reputasi


Dalam beberapa literatur, beberapa peneliti menyamakan citra dan reputasi (Bromley, 1993), meskipun keduanya merupakan dua konsep yang berbeda. Citra suatu organisasi dapat dilihat sebagai cerminan dari sikap individu. Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai pandangan eksternal organisasi (Hatch dan Schultz, 1997, hal. 361). Ini adalah refleksi dari sebuah organisasi, yang terbentuk atas dasar atribut individual dan subyektif yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan (Herger, 2006, hal. 161).
Sementara itu identitas merupakan manifestasi actual dari realitas perusahaan misalnya seperri yang ditunjukkan melalui nama perusahaan, logo, moto, produk, layanan, bangunan, alat-alat tulis, seragam , dan barang-barang nyata yang diciptakan oleh perusahaan tersebut dan dikomunikasikan kepada beragam konstituen. Konstituen kemudian membentuk persepsi berdasarkan pesan-pesan yang dikirimkan perusahaan itu dalam bentuk nyata (Argenti, 2009). Persepsi-persepti itulah yang menghasilkan citra. Karenanya jika citra-citra itu dengan akurat mencerminkan realitas perusahaan, maka program identitas tersebut berhasil.


Ketika identitas perusahaan dan citranya selaras, terbentuklah reputasi. Dengan demikian, reputasi  merupakan sintesis dari banyak citra dan karena itu banyak sikap yang hadir bersama-sama (Fombrun, 1996, hal 72;. Gray dan Balmer, 1998; Helm, 2004). Umumnya, reputasi digambarkan sebagai "persepsi atas kemampuan perusahaan untuk memenuhi harapan seluruh stakeholder" (Fombrun, 1996, hal. 37). Ini merupakan sintesis dari sikap individu terhadap perilaku masa lalu organisasi dan prospeknya masa depan (Davies dan Chun, 2002; Pos dan Griffin, 1998).
Sementara itu, Gotsi dan Wilson (2001) berpendapat, reputasi adalah sikap umum terhadap pihak ketiga. Karena sebagian besar pendekatan konsep reputasi dikaitkan dengan persepsi agregat dan evaluasi perusahaan oleh berbagai pihak (Davies et al, 2003;.. Fombrun et al, 2000), maka kelompok pemangku kepentingan yang berbeda memandang reputasi organisasi berbeda (Caruana et al, 2006, hal 430;.. Gotsi dan Wilson, 2001, hal 24.).
Dari sudut pandang sosiologis, reputasi dipandang sebagai penerimaan sosial dari suatu organisasi. Hal ini mengacu pada tindakan (organisasi atau individu) di masa lalu dan "[. . .] Muncul jika mitra aktor masa depan diinformasikan pada perilakunya yang sekarang "(Raub dan Weesie, 1990, hal. 626).
Pada tingkatan yang lebih abstrak, dari perspektif ini, reputasi dipandang sebagai suatu proses pertukaran legitimasi diantara para agen (organisasi dan pemangku kepentingan) dan diperoleh baik melalui persetujuan pihak ketiga (misalnya melalui NPO) atau melalui proses kognisi, seperti bertindak dalam kerangka sosial. Karena itu, dari sudut pandang ini reputasi dilihat dalam konteks fungsi integratif dalam masyarakat (Eisenegger dan Imhof, 2008).
Dari sudut pandang ekonomi, reputasi dipandang sebagai aset tidak berwujud yang membantu menciptakan nilai finansial perusahaan (Ressel, 2008). Studi tentang dampak reputasi terhadap keuangan masih memunculkan perdebatan (Eberl dan Schwaiger, 2005). Namun, Schnietz dan Epstein (2005, hal. 341) menunjukkan bahwa selama masa krisis, reputasi dalam tanggung jawab sosial memberikan keuntungan finansial yang nyata.
Dalam hal manajemen reputasi, pemimpin bisnis menunjukkan bahwa lebih sulit memulihkan kegagalan reputasi daripada untuk membangun atau mempertahankannya. Memulihkan reputasi karena krisis  membutuhkan waktu. Biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan sebagaimana sebelumnya (Milewicz dan Herbig, 1994, hal 44.). Memulihkan reputasi akibat krisis lebih seperti maraton daripada sprint. Ini menggarisbawahi perlunya manajemen reputasi yang canggih baik sebelum (manajemen isu) atau pada saat ancaman (krisis dan manajemen komunikasi) berlangsung.
Dari sudut pandang komunikasi perusahaan, reputasi dipandang sebagai sumber daya yang harus dilindungi, terutama selama situasi krisis. Komunikasi yang baik memiliki dampak pada pemulihan citra (Benoit, 1995) atau agenda media di mana reputasi dibangun (Eisenegger, 2005), dalam rangka untuk menjaga reputasi dalam jangka panjang (Coombs, 2006).
Membangun reputasi yang baik di antara para pemangku kepentingan dapat meningkatkan kemampuannya sebagai sumber daya yang sangat bermanfaat bila peusahaan berada dalam situasi sulit, seperti krisis (Jones et al, 2000; Davies et al, 2003;. Dowling, 2002). Contohnya, reputasi yang kuat membantu Johnson & Johnson menyelamatkan Tylenol dari krisis sianida yang merusak pada awal 1980an. Reputasi yang baik juga memungkinkan kasus kontaminasi Coca-Cola di India pada 2004 tanpa menimbulkan kerusakan jangka panjang yang berarti bagi Coca-Cola.

Jumat, 03 April 2015

Kiat-Kiat Wartawan Mengorek Informasi Anda Saat Krisis

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti acara jumpa pers yang diadakan untuk memberikan informasi terbaru tentang situasi yang menimpa sebuah perusahaan penerbangan. Dalam sesi Tanya jawab, ada pertanyaan menarik yang diajukan aseorang wartawan, “Jadi siapa yang bertanggungjawab?”

Perrtanyaan itu saya anggap wajar, karena dalam setiap krisis, para pemangku kepentingan termasuk wartawan cenderung berusaha mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas suatu masalah.

Yang menarik adaah jawaban dari juru bicara perusahaan tersebut yang mengatakan bahwa perusahaan masih meneliti dan memverifikasi informasi yang masuk. Dia juga mengatakan bahwa perusahaan tidak bermaksud mencari siapa yang salah namun lebih ditujukan untuk perbaikan sistem sehingga masalah tidak muncul lagi dikemudian hari. Kalau pun masalah tersebut muncul lagi, dengan prosedur yang telah disempurnakan, masalah tersebut segera diatasi.  

Bagi sebagian besar juru bicara perusahaan, menghadapi wartawan antagonis – bila salah dalam mensiasatinya – kadang-kadang memang merepotkan. Meskipun pada kenyataannya, menhadapi wartawan yang memiliki karakter demikian, pada dasarnya tidak lebih sulit dibandingkan dengan wartawan lain yang ramah. Anda hanya perlu beberapa wawasan tentang karakter mereka sehingga Anda siap untuk menemui mereka.

Dalam situasi krisis, berikut ini simak tiga trik yang digunakan wartawan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan sehingga juru bicara mengatakan lebih dari yang mereka inginkan. Juga bagaimana memastikan Anda siap berurusan dengan mereka.

1. “Saya lagi dikejar deadline nih.” ...
Wartawan memahami benar tentang pentingnya menjaga dan menunjukkan bahwa berita mereka harus imbang. Karena itu, agar cerita mereka seimbang, mereka berusaha mendapatkan informasi dari pihak yang memiliki sudut pandang yang berlawanan. Dalam situasi seperti ini apapun jawaban Anda pasti akan dikutip wartawan.

Untuk mendapatkan informasi dari Anda, mereka sering mengatakan dengan mengemukakan alasan dikejar deadline. Mereka juga akan mengatakan bahwa mereka memiliki sejumlah iformasi dan butuh konfirmasi dari Anda.

Karena itu, wartawan akan memanfaatkan kelengahan Anda dengan menanyakan sesuatu sambil mengharapkan Anda mengatakan sesuatu yang bisa makin mempertajam cerita mereka. dalam situasi seperti ini, mengatakan 'no comment' merupakan suatu tindakan yang tidak disarankan. Ini karena akan menimbulkan persepsi pada mereka sepertinya Anda mencoba untuk menutupi sesuatu pula.

Namun demikain, sebagai juru bicara perusahaan, Anda jangan sampai luluh oleh pendekatan ini. Katakan pada mereka bahwa Anda senang berbagi informasi dengan mereka, cuma waktunya yang belum tepat. Katakanlah bahwa Anda saat itu masih mengumpulkan dan memverifikasi informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Katakan pada mereka bahwa Anda akan menghubungi mereka bila mendapatkan informasi yang akurat. Gunakan selang waktu itu untuk membangun pesan kunci Anda, mencari sesuatu yang bisa membantu wartawan tadi untuk menyusun dan membuat cerita terbaru. Gunakan pula waktu itu untuk berpikir dan mengantisipasi beberapa pertanyaan sulit yang mungkin diminta watawan pada Anda.

2. Beberapa Pertanyaan dalam Satu Kesempatan
Taktik lain untuk membuat Anda lengah dan membuat Anda berbagi informasi yang tidak Anda siapkan  adalah menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus. Hal ini bisa sangat membingungkan, karena pada saat yang bersamaan Anda berjuang untuk menentukan dan memilih respon terbaik terhadap berbagai pertanyaan. Jangan mengambil umpan tersebut. Dengarkan dan simak setiap pertanyaan yang diajukan dan pilih salah satu yang membuat Anda merasa paling nyaman. Jika wartawan benar-benar ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lainnya, mereka langsung bertanya lagi. Namun ingat bahwa Anda tidak harus menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan.

Jika seorang wartawan bertanya tentang sesuatu yang Anda tidak ingin menjawabnya, katakan padanya dengan sopan bahwa Anda merasa tidak nyaman menjawab pertanyaan karena bukan wewenang Anda untuk menjawabnya. Bangun jembatan untuk sesuatu yang Anda ingin katakan. Misalnya tanyakan kepada bila pada kondisi yang sama apa yang mereka lakukan, dan katakanlah bahwa hal itu bukan kewenangan Anda untuk mengatakannya, atau situasinya masih dalam proses verifikasi dan sebagainya.

3. Dead Air
Dalam suatu wawancara misalnya, seringkali wartawan menggunakan trik simpati terhadap Anda. Misalnya ketika Anda menghadapi masalah tuntutan pekerja, mungkin saja ada orang mengatakan begini, “Jika Anda seperti saya, sebagai tenaga kerja cuti hamil hampir sama tidak nyamannya dengan Anda. Ini karena pekerjaan mereka bisa jadi saya yang melakukan.” Tapi jangan tertipu; ini hanya trik lain yang digunakan beberapa wartawan untuk membuat Anda untuk berbagi lebih banyak informasi dari yang direncanakan dengan mengisi kekosongan percakapan.


Trik lainnya, beberapa wartawan mungkin seakan hanya mereview daftar pertanyaan yang ingin mereka tanyakan. Akan tetapi bagaimanapun, jangan terlalu banyak berbicara tidak peduli seberapa tergoda Anda. Berikan jawaban resmi dan tunggu mereka keluar. Jika Anda harus mengatakan sesuatu, cobalah dengan sesuatu seperti "Jika Anda telah mendapatkan semua informasi yang Anda inginkan, mohon maaf saya meninggalkan Anda karena saya ditunggu rapat."...