Selasa, 04 Agustus 2015

Bagaimana China Bisa Berubah Menjadi Transparan?



Dalam lima tahun terakhir, peerintah China menetapkan kebijakan transparansi. Masyarakat bisa mengakses informasi terutama yang menyangkut administrasi dan fiscal pemerintah daerah. Perrtanyaannya adalah apa yang mendorong pemerintah melakukan itu?

Februari 2009, untuk pertama kalinya Perdana Menteri Wen Jiabao melakukan chatting online dengan netizens China. Dia menawarkan kesempatan yang – bagi warga negara biasa -- belum pernah terjadi sebelumnya, yakni secara langsung bisa menyampaikan permasalahan mereka kepada pucuk pimpinan negara tersebut.
Selama percakapan online, Premier Wen mengatakan, "Saya percaya bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui apa yang pemerintahnya pikirkan dan lakukan. Masyarakat juga memiliki hak untuk mengkritik dan memberi komentar pada kebijakan pemerintah." Selama 2010-2011, dia mengadakan chatting online lebih dari dua kali menanggapi isu-isu dari konsumen tentang meningkatnya harga perumahan, korupsi dan akses ke perawatan kesehatan serta pendidikan pedesaan.
Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bagaimana Partai berupaya untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi, dan bagaimana pimpinan puncak sedang mencoba untuk menunjukkan sikap berubah terkait hubungan antara warga negara dan negara.
Di China hari-hari ini, informasi semakin kencang mengalir melalui jejaring sosial. Hubungan yang lebih bersifat horizontal ketimbang vertikal melalui lapisan birokrasi. Isu-isu sosial naik ke permukaan melalui chat room internet, pesan teks ponsel, dan blogosphere. Komunikasi ini kadang-kadang diizinkan oleh otoritas pusat - seperti ketika di antara mereka terlibat dalam kegiatan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat local - dan kadang-kadang kebablasan seperti ketika mereka menyentuh pada isu-isu politik yang sensitif seperti Tibet atau Lapangan Tiananmen.
Pada saat yang sama, tidak hanya pemimpin Cina seperti Wen yang online berkomunikasi dengan melibatkan warga, instansi pemerintah juga semakin menempatkan informasi pada posisi yang lebih proaktif melalui website dan siaran pers, dan menunjuk juru bicara untuk berkomunikasi antarmuka dengan publik. Yang paling dramatis, baru-baru ini China melakukan lompatan pada tren global yang berkembang dengan menerapkan peraturan yang bilamana dilihat dari kacamata Cina kontemporer, yakni diberlakukannya undang-undang tentang kebebasan informasi.
Apa yang mendorong sebuah negara yang sebelumnya dicap sebagai totaliter  -- sebuah negara yang memiliki sejarah ribuan tahun menganut system pemerintahan terpusat -- tiba-tiba bergerak ke bawah dengan meningkatkan transparansi pemerintahannya? Jawaban singkatnya adalah karena keharusan. Hal ini secara luas diakui baik di dalam dan luar negeri bahwa pemerintahan di China selama itu terlalu banyak menyumbat saluran informasi, menutupi kerahasiaan dan minimnya akuntabilitas.
Memang secara terencana pemerintah China membuka diri. Namun, ketika ekonomi mereka berkembang, masalah mulai muncul. Sebab pada kondisi seperti itu, kemampuan pemerintah pusat untuk memantau perilaku pejabat pemerintah di level bawah menjadi tidak sebanding. Di satu sisi kompleksitas masalah akibat pergerakan ekonomi makin tinggi, di sisi lain ada desakan agar pemerintah membuka diri karena masyarakat yang makin terinformasikan.
Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah mulai mendesentralisasikan kewenangan fiscal dan administrasi. Namun, desentralisasi birokrasi berarti bahwa pemerintah pusat tidak lagi sepenuhnya mengendalikan informasi. Dalam arti informasi yang masuk dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat semakin minim terutama menyangkut kebenaran tentang besaran dan biaya pada tingkatan pemerintah lainnya.
Dalam struktur partai-negara, desentralisasi administrasi dan tanggung jawab fiskal tanpa bangunan  mekanisme akuntabilitas vertikal melahirkan kompromi antara kemampuan kementerian pusat dalam menegakkan kebijakan nasional dengan upaya menjaga agar pemerintah daerah tetap berrtanggungjawab. Ini karena di dalam wilayah yang sama sekalipun, instansi Pemerintah tidak mudah untuk satu sama lain berbagi informasi. Instansi yang lebih tinggi juga tidak mendapatkan kebenaran informssi secara lengkap dan tak diplintir bawahan mereka.
Sementara itu, di tingkat warga biasa – kepada siapa akses ke informasi pemerintah dan partai – informasi yang mereka dapatkan memberikan langkah minimal yang memungkinkan mereka mendapatkan hak-hak mereka dan memaksa pejabat mereka bertanggung jawab. Memang, argumen Minxin Pei bahwa evolusi politik China menjadi terperangkap sebagian besar karena tingkat asimetri informasi akibat tidak adanya  mekanisme akuntabilitas yang berarti.
Fenomena itulah yang membuat penulis buku ini, Ann Florini, Hairong Lai, dan Yeling Tan, sampai pada kesimpulan bahwa pergeseran dari pemerintahan China yang semula tertutup menjadi pemerintahan yang lebih transparan lebih didorong oleh kekuatan yang luar biasa dan spesifik ketimbang sekadar pengakuan bahwa Cina memiliki masalah kerahasiaan.
Buku ini membahas perubahan wawasan tentang hubungan antara negara dan masyarakatnya, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai upaya reformasi di tingkat subnasional, dan mengeksplorasi implikasinya bagi China dan dunia. Ann Florini, Hairong Lai, dan Yeling Tan menyusun analisisnya dalam konteks perbandingan, menyelidiki bagaimana memahami perubahan alat pemerintah China perubahan dan perbandingan konsep-konsep dengan perkembangan dan perdebatan di tempat lain.
Melalui buku ini, penulis mengajukan tesis bahwa China kini bergerak menuju ke bentuk baru dari otoritarianisme. Ini ditandai dengan menyediakan saluran kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya secara lebih besar dan akuntabilitas. Di sisi lain, langkah itu dinilai yang bisa mengaburkan perbedaannya dengan demokrasi. Sebab seperti diketahui saat ini para pemimpin China menghadapi kebutuhan untuk menyeimbangkan hubungan negara-masyarakat dan menumbuhkan legitimasi yang lebih besar dalam menanggapi munculnya kelas menengah baru, media baru, dan kesadaran hak yang makin besar di kalangan masyarakat.
Meskipun system satu partai dinilai tetap sakral, namun penulis mengidentifikasi berbagai eksperiment di tingkat lokal yang telah melonggarkan control dari atas ke bawah dan membuka saluran kepada masyarakat untuk memberikan masukan. Disini juga termasuk sistem pengawasan elektronik guna mencegah korupsi terutama dalam penerbitan persetujuan administratif bagi bisnis baru di Shenzhen, penggunaan berbagai bentuk jajak pendapat dan pemilihan semi-kompetitif untuk membantu memilih pejabat pemerintah dan partai di tingkat terendah, pemberdayaan kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pelayanan sosial, dan penerapan peraturan untuk meningkatkan akses publik terhadap informasi pemerintah. Pertanyaannya adalah apakah eksperimen ini dirancang hanya untuk menyamarkan struktur kekuasaan yang sebenarnya atau tanda-tanda awal dari perubahan nyata?
Beberapa fenomena lain menyertai argument tentang desakan kuat dari luar tersebut. Yang pertama adalah perkembangan teknologi informasi. Menurut penulis buku ini, terjadi pergeseran tersebut, salah satu penggerak utamanya adalah interaksi positif antara kekuatan pasar dan teknologi informasi. Sebab begitu reformasi ekonomi China dan integrasi global berlangsung semakin dalam,   maka kebutuhan untuk bergeser dari sistem informasi yang didasarkan pada penimbunan dan penyebaran vertikal yang sangat selektif ke sistem yang didasarkan pada arus bebas, semakin ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Itu berlaku tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga pada pemerintah.
Pada saat yang sama, kemajuan teknologi informasi membuat pergeseran ke sistem informasi baru menjadi semakin mudah. Sebab seperti diketahui, pemerintah China mulai mengadopsi teknologi komputasi dan internet pada 1980-an, dan mendirikan Leading Group on National Informatization  pada tahun 1999, serta Kantor Dewan Negara untuk urusan Informasi untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Grup Leading. Akan tetapi, penulis buku ini mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah ini diambil karena meningkatnya penggunaan internet di kalangan masyarakat, dan meningkatnya tuntutan akan ketersediaan informasi tentang pemerintah melalui Internet.
Faktor lain adalah WTO. Bergabungnya China ke Organisasi Perdagangan Dunia pada Desember 2001 memuncukan konseuensi bahwa diterimanya persyaratan transparansi yang lebih besar dalam perdagangan – terutama yang menyangkut  aturan dan peraturan. Pemerintah China berusaha keras memenuhi kewajibannya karena mekanisme review keanggotaan WTO didasarkan pada hasil pantauan atas implementasi dari persyaratan itu yang dilakukan secara teratur.  
Sebagai bagian dari perubahan hukum, peraturan, dan administrasi yang luas sebagai konsekuensi bergabungnya China ke WTO, China tidak hanya setuju mempublikasikan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah hukum perdagangan, tetapi juga untuk memungkinkan komentar publik sebelum peraturan tersebut dilaksanakan, dan mengadakan pelatihan secara luas serta penelitian pada pendekatan internasional untuk transparansi. Hal ini berarti pemerintah China harus membuka saluran informasinya secara aktif sehingga masyarakat China dan dunia internasioanl bisa mengakses dan medapatkan informasi yang dibutuhkan.
Faktor ketiga adalah pemberantasan korupsi. Desentralisasi fiskal dan administrasi di China telah memunculkan masalah seputar pemantauan  dan penegakan hukum. Karena itu, pemerintah mencari jalan bagaimana caranya bisa tetap mengontrol  birokrasi. Disini ada dua cara yang dilakukan. Pertama, pemerintah pusat perlu akses ke informasi yang lebih baik dan lebih tepat waktu tentang perilaku pemerintah daerah agar bisa mendisiplinkan mereka.
Kedua, dengan lebih banyak mengungkapkan informasi yang dikuasai pemerintah, sehingga memungkinkan segmen masyarakat lainnya untuk ikut memaksa pemerintah daerah melaksanakan tanggung jawabnya dan mengurangi korupsi. Sidang Pleno Keempat Komite Sentral Partai pada 2004 misalnya, menyerukan pemerintah untuk memperkuat kemampuan pemerintahan dan menggambarkan isu pemberantasan korupsi sebagai "masalah hidup atau mati bagi partai."
Hal lainnya adalah mediasi antara negara dan masyarakat. Sejak ratusan tahun silam, masyarakat China lekat dengan tradisi xingfang dimana masyarakat dimungkinkan untuk menyampaikan keluhan secara langsungatas layanan dan perilaku pejabat yang kurang layak. Tradisi itu makin diperkuat degan perkembangan teknoogi informasi sehingga memaksa pemerintah China meningkat ketersediaan saluran bagi masyarakat yang semakin terhubung dan kompleks guna menyuarakan keluhan mereka.
Kemajuan dalam komunikasi modern dan transportasi, bersama dengan masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan sosial-ekonomi mempercepat proses pergeseran ke transparansi tadi. Ini berarti bahwa sistem yang ada selama itu menjadi kewalahan dan pemerintah menghabiskan lebih banyak energi bila bermaksud menghalangi orang untuk menyampaikan petisinya terkait dengan masalah yang mereka temui. Pemerintah yang lebih terbuka akan menyediakan lebih banyak saluran untuk menyelesaikan isu-isu sosial yang muncul dan dengan demikian memperkuat akuntabilitas negara-masyarakat dan legitimasi negara.

Sederhana. Tapi justru itu yang menjadi kelebihan dari buku Buku China Experients. Analisis  ini dalam buku ini mengacu pada kasus-kasus yang spesifik untuk menunjukkan bagaimana pihak berwenang setempat menanggapi tantangan yang ditimbulkan oleh transformasi yang cepat seperti yang telah digariskan Beijing. Buku ini dengan demikian berbeda dari dari buku lain yang berfokus pada pernyataan intelektual. Analisis buku ini tergolong unik, rinci dan membumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar