Selasa, 01 September 2015

Indonesia's Leading MarComm Media Mempromosikan Produk Vs Layanan

Hasil penelitian yang dilakukan MARS dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa di hampir semua kategori produk, ekspektasi konsumen terhadap merek-merek di Indonesia lebih tinggi dari kualitas yang dipersepsikannya. Temuan ini mengisyaratkan kepada para pengelola merek untuk benar-benar mengelola komunikasinya sehingga tidak membuat ekspektasi konsumen terlalu tinggi sementara merek atau produknya tidak mampu mempenuhi ekspektasi tersebut.
Bila dilihat dalam kacamata Expectancy-Disconfirmation Theory maka itu berarti bahwa merek-merek tersebut gagal memuaskan konsumennya. Sebab berdasarkan teori tadi, kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari harapan pelanggan atas layanan dan sejauh mana hal itu dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh pengalaman layanan.
Ketika evaluasi hasil pengalaman sama atau melebihi harapannya, diskonfirmasi positif terjadi. Itu berarti merek tersebut berhasil memuaskan konsumennya. Sebaliknya, jika harapan melebihi evaluasi hasil pengalamannya, diskonfirmasi negatif terjadi atau merek tersebut gagal memberikan kepuasan kepada konsumennya.
Paradigma kepuasan konsumen menyoroti teka-teki besar dalam manajemen operasi layanan yang berkaitan dengan promosi-pemasaran jasa. Dalam persaingan dengan penyedia layanan lainnya, perusahaan berusaha menarik kelompok-kelompok pelanggan (segmen) tertentu dan meyakinkan bahwa produk mereka memenuhi kebutuhan mereka secara lebih baik daripada merek pesaing.
Mereka melakukan hal ini melalui fungsi pemasaran dan khususnya melalui promosi pemasaran. Proses ini pasti menimbulkan atau membangkitkan harapan konsumen tentang produk. Persoalan ini makin rumit manakala untuk mendiferensikan (membedakan) – terkait dengan pemasaran produk – pengelola merek serigkali melakukannya dengan mengedepankan layanan. Bila demikian, maka perusahaan dituntut untuk memenuhi atau bahkan melebihi harapan konsumen yang meningkat tersebut.
Ini memunculkan persoalan apakah mempromosikan produk ataukah layanan. Sebab bagaimana pun promosi pemasaran yang dapat memuaskan konsumen lebih sulit dilakukan dan sulit dipahami. Ini karena hal tersebut menyangkut persepsi masing-masing konsumen sehingga tidak tertutup kemungkin munculnya perbedaan satu sama lainnya dan berubah menurut waktu.
Karena itulah, dalam berpromosi, pengelola merek disarankan — dengan asumsi aspek fisik (tangible) produk yang paling mudah dikontrol dan bisa diandalkan untuk memenuhi harapan pelanggan secara konsisten – memfokuskan pesan promosi mereka pada aspek fisik dari produk di mana pengelola merek yakin dapat memenuhi harapan dan jarang memenuhi kegagalan.
Diferensiasi produk berdasarkan dimensi fisik juga lebih dapat diandalkan dan konsisten, dan tentu saja benefitnya lebih nyata bagi pelanggan. Sementara itu, aspek kualitas layanan disarankan untuk tidak digunakan dalam pesan promosi karena sulit untuk menghindari penggunaan bahasa klise semisal, “sambutan hangat” atau “layanan tradisional” yang cenderung menciptakan berbagai harapan yang sulit dipenuhi.
Pengaruh pada Ekspektasi Pelanggan
Untuk mencegah harapan pelanggan menjadi tak terkendali, maka perlu campur tangan sehingga meningkatnya harapan dapat dicegah atau diperlambat. Ide ini membutuhkan pemahaman tentang bagaimana harapan diciptakan. Meskipun proses pembentukan ekspektasi sulit dipahami dengan jelas (Coye, 2004; Robledo, 2001), sebuah tinjauan tentang kualitas pelayanan dapat mengidentifikasi anteseden harapan tersebut.
Faktor pertama yang membentuk harapan adalah pengalaman masa lalu: Pengalaman masa lalu organisasi dianggap faktor utama yang membentuk pengalaman layanan. Keakraban dengan layanan akan meningkatkan kemungkinan harapan realis, meskipun O’Neil & Palmer, (2003) telah mengidentifikasi bahwa pengguna layanan sebelumnya memiliki harapan yang lebih kompleks daripada mereka yang sebelumnya belum menggunakan. Pengalaman sebelumnya memunculkan pengetahuan yang lebih rinci tentang layanan dan mempromosikan harapan.
Hal kedua adalah kebutuhan pelanggan. Ojasalo (2001) menganggap kebutuhan pelanggan menjadi pemicu harapan alami. Disini harapan dianggap sebagai kebutuhan yang memberikan alasan konsumen untuk memilih menggunakan layanan. Hal ini juga menyarankan bahwa semakin penting kebutuhan, semakin tinggi harapan konsumen terhadap layanan.
Yang ketiga adalah komunikasi dari mulut ke mulut (WOM. Pesan komunikasi yang berasal dari keluarga, teman-teman, staf atau sumber kredibel memungkinkan orang untuk membentuk sebuah harapan layanan yang belum mereka digunakan. Pesan dari mulut ke mulut juga berperan dalam mengubah atau memperkuat ekspektasi yang ada (Bolton & Drew, 1991; Parasuraman et al, 1994).
Komunikasi pemasaran seperti iklan, bahan publikasi, penjualan pribadi dan kontrak pada dasarnya memberikan janji eksplisit kepada pelanggan tentang atribut layanan yang akan diberikan oleh merek. Komunikasi peasaran juga memberikan janji implisit tentang kualitas, nilai uang, keandalan dan reputasi melalui image, merek dan harga. Dengan demikian, pelanggan menggunakan janji-janji untuk pembentukan harapannya.
Hal lain yang berperan dalam pembentukan harapan adalah image. Clow et al (1997) menemukan bahwa image merupakan anteseden penting harapan pelanggan. Untuk beberapa layanan perusahaan, pengaruh image dalam pembentukan harapan adalah yang paling penting. Mereka berpendapat bahwa image memungkinkan pelanggan untuk ‘melihat dan merasakan’ organisasi dan tentunya memiliki dampak yang signifikan terhadap harapan.
Lalu bagaimana cara menangani harapan tersebut? Bila komunuikasi dapat membangkitkan harapan, lalu bagaimana komunikasi pemasaran yang perlu dilakukan agar harapan tersebut terkendali? Dalam kaitan ini, [erlu diambil langkah-langkah pengendaliannya.
Dalam melaksanakan program komunikasi pemasaran, selain lebih memfokuskan pada komunikasi tentang atribut produk. Dalam konteks ini, strategi peningkatan kualitas memainkan peran penting dalam mempengaruhi harapan pelanggan yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu.
Untuk mengelola harapan yang tercipta melalui komunikasi dari mulut ke mulut, pengelola merek disarnkan untuk menerapkan strategi edukasi pelanggan. Dalam kaitan ini, Robledo (2001) dan Robinson (2004) menyarankan para penglola merek untuk berdialog. Strategi yang mengekspos pelanggan untuk realitas apa yang dapat ditawarkan akan memfasilitasi pengembangan harapan yang realistis. Dengan menggunakan kombinasi dari strategi di atas, manajer dapat mendorong terbentuknya harapan pelanggan yang realistis.
Belakangan, ketika berkembang teknologi media sosial, mau tak mau pengelola merek harus ikut terlibat dalam media sosial tersebut. Di satu sisi, media sosial memberikan peluang bagi pengelola merek untuk meningkatkan kualitas layanannya, sehingga bila tidak mereka tertinggal oleh pesaingnya. Di sisi lainnya, komunikasi yang dibangun melalui media sosial juga bisa membangkitkan dan meningkatkan harapan koonsumen.
Di sisi yang lain pula, secara teknis media sosial seringkali menemui masalah. Bayangkan, pada prakteknya, seorang karyawan airline pengelola akun media sosial misalnya, setiap minggu harus menangani tweet, @mentions, direct message dan hashtags sebanyak 30.000. Bahkan saat cuaca buruk jumlahnya meningkat jauh lebih tinggi.
Meskipun beberapa airline menyediakan waktu 24/7 untuk memberikan layanan pelanggan untuk penumpang mereka, namun tidak semua airline mempromosikan akun Twitter mereka sebagai saluran untuk menanggapi keluhan dan kekhawatiran.
Sebagian besar airline mempromosikan akun twiiter saat pelanggan mengisi folink pesan singkat untuk mengisi formulir. Sebagai contoh, meskipun American Airlines cekatan dalam layanan pelanggan melalui twitter, ia tidak mempromosikannya.
Dia cuma menulis pesan saat seorang pelanggannya mengisi formulir dengan mengatakan, “Terima kasih untuk check-innya. Kami menawarkan saran dan inspirasi bagi perjalanan Anda di Amerika. Silahkan klik di sini jika Anda memerlukan tanggapan resmi atas keluhan: Bit.ly/AACR1 ”
Dua dari sepuluh airline di US menyediakan fasilitas dan waktu untuk layanan pelanggan. Alaska Air misalnya, menginformasikan saat Tim-nya siap “mendengarkan” , menginformasikan dan memuaskan kesenangan pelanggannya sekaligus. Delta memantain DeltaAssist dengan mengatakan “mendengarkan sekitar jam tertentu, meski sepanjang 7 hari seminggu.” Frontier Airlines juga memiliki akun kepedulian sosial yang terpisah. Frontiercare menangani pertanyaan. Satu detail penting di sini adalah, baik akun Delta maupun Frontier tidak mengarahkan pelanggan ke akun kepedulian sosial khusus.
Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa merek lainnya mengabaikan percakapan dan permintaan yang diterima. Yang terjadi adalah bahwa mereka ditangani secara berbeda. JetBlue, Southwest Airlines, Delta Airlines, Hawaiian Airlines, dan Twitter Skywest, kurang lebih hanya bertindak sebagai pemberi pernyataan dan bertujuan untuk mengelola harapan. Merek selalu hadir dan tersedia, tetapi tidak benar-benar bisa melayani semuanya.
Southwest Airlines muncul setiap minggu dan mengupdate statusnya. Pada Juli, tweet rata-rata per harinya sekitar 10% setiap minggu. Meskipun mereka tidak secara terus terang mengakui bahwa mereka merespon, tapi mereka melakukannya. Tim Southwest juga mengakui bahwa mereka mendengarkan dan melakukan sesuatu sesuai porsinya.
Virgin America adalah satu-satunya yang berani mengatakan bahwa mereka tidak menyediakan fasilitas di media sosial untuk merespon suara pelanggannya. “Meskipun kita tidak akan membahas isu-isu layanan secara spefisik di Twitter, tim ahli kami bersemangat untuk membantu Anda di http://vgn.am/GstHlp atau hubungi 1-877-359-8474.”
Terlepas dari tujuan untuk membangun kesadaran merek dan layanan pelanggan, dua merek memutuskan menggunakan Twitter agar bisa fokus pada layanan. JetBlue dan Hawaiian Airlines memiliki akun berbeda untuk mengkomunikasikan tentang tarif dan diskon khusus. Keduanya tidak terang-terangan dipromosikan untuk menangani ini pada Twitter. Ruang ini memang disediakan untuk secara tidak langsung mengarahkan pelanggan ke masalah sebenarnya.
Dibandingkan dengan airline internasional; Amerika, Delta, dan United tidak memiliki akun terpisah untuk pelanggan internasional mereka. KLM memiliki sekitar 30 akun twitter dalam “Official KLM accounts” akun Twitter yang meliputi akun khusus untuk negara-negara itu terbang untuk keperluan promosi khusus, dan penghargaan. Cathay Pacific memiliki struktur yang sama saat British Airways memiliki dua, yang utama dan yang lainnya untuk pelanggan Amerika nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar