Minggu, 19 Juni 2016

STREET MARKETING - DISRUPTIVE IN MARKETING COMMUNICATION


Perusahaan saat ini terus berusaha memaksimalkan penggunaan teknologi komunikasi modern dengan harapan biayanya menjadi lebih murah tapi efektif. Ini karena mereka harus bersaing ditengah-tengah konsumen yang sudah bosan dengan kampanye pemasaran konvensional. Bagaimana perusahaan merespon perubahan itu dengan teknologi?

Model bisnis dan komunikasi pemasaran berubah dengan cepat. Kelesuan ekonomi tahun lalu memberikan dampak yang tidak menggembirakan pada bisnis di Indoesia. Tahun lalu, belanja iklan TV mengalami penurunan hingga 26,7%. Belanja iklan tahun sebelumnya mencapai Rp 99 triliun, sedangkan tahun lalu hanya Rp72,5 triliun.

Meskipun tanda-tanda pemulihan pada tahun ini mulai kelihatan, perusahaan masih merasa bahwa mereka harus berinovasi dan menjaga pengeluaran pada level yang lebih rendah dar sebelumnya. Beberapa merek premium kini tidak memiliki cukup tersisa di anggarannya untuk membiayai kampanye iklan baru. Mereka kini fokus pada model komunikasi pemasaran yang lebih banyak memanfaatkan buzz, media sosial, dan sebagainya.

Ini menggambarkan reaksi banyak perusahaan saat ini yang ingin memaksimalkan penggunaan teknologi komunikasi modern dengan harapan biayanya menjadi lebih murah tapi efektif. Begitu perusahaan terus mencari alat pemasaran yang lebih terjangkau, mereka masih memiliki sejumlah ketakutan terhadap pasar lain. Mereka harus bersaing ditengah-tengah konsumen yang kini dilanda kebosanan dan kelelahan karena dibombardir dengan kampanye pemasaran konvensional. Saat ini publik dihadapkan dengan terlalu banyak iklan, dan di sisi lain konsumen kini sangat mahir dan cepat dalam men-decoding pesan. 

Saat internet baru berkembang pada 1990-an, Profesor dari Harvard Business School, Clayton Christensen, mengemukakan ramalan yang mengengangkan dunia tentang kemungkinan gangguan pasar akibat perkembangan teknologi baru. Dalam salah satu pidatonya, pada 1995, Christensen memperkenalkan istilah disruptive innovation untuk menggambarkan produk dan jasa yang memanfaatkan teknologi dan model bisnis baru.

Disruptive innovation memang sudah lama, dan orang hampir melupakannya. Namun, bagi public Indonesia kemunculan GoJek, Uber, GrabBike, dan sebagai membuat orang membuka kembali literature tentang inovasi yang mengganggu itu. Gojek dan Uber memang bukan teknologi mengganggu seperti yang dimaksudkan oleh Christensen. Mereka tidak menciptakan pasar dan rantai nilai baru. Tapi aplikasi yang mereka gunakan ada karena tren mengganggu layanan over-the-top. Mereka menyediakan layanan melalui internet, melewati distribusi tradisional

Inovasi ini bisa mengganggu pasar dengan menciptakan tuntutan baru dan jenis konsumen baru. Akhirnya inovasi ini menggantikan produk dan layanan yang ditawarkan pelaku usaha sebelumnya. Saat itu belum banyak yang berubah. Baru pada 2013, Christensen mengamati runtuhnya "pertahanan" banyak perusahaan karena mereka tidak berinovasi dengan teknologi baru. Alih-alih berinovasi, mereka asyik dengan hanya meningkatkan layanan yang ada.

Contoh-contohnya dapat dilihat dengan masih adanya perusahaan yang memproduksi komputer mainframe raksasa, sementara orang berpkir dengan penggunaan alat yang praktis. Demikian pula, masih ada perusahaan yang mengelola telepon fixedline sementara makin banyak penggunanya yang berpikir mobile. Usia mereka kini tak panjang lagi karena digantikan oleh merek yang benar-benar mengerti yang diinginkan konsumen.

Dalam mengkonsumsi, konsumen sekarang sangat memperhatikan tentang tentang apa yang mereka lakukan. Ini karena mereka memiliki pengalaman tentang produk yang lebih besar dan pengetahuan yang lebih rinci tentang atribut yang berbeda dari produk tertentu. Ini sekaligus menjelaskan mengapa konsumen sekarang tidak lagi segan-segan meninggalkan produk satu merek ke mereka lain yang memenuhi harapan mereka secara lebih baik.

Lingkungan persaingan yang luar biasa ketatnya itu, memaksa perusahaan mendesain ulang kampanye komunikasi pemasarannya. Sebab bagaimanapun fenomena itu melahirkan sesuatu yang baru. Bila dulu pada event-event tertentu semisal lebaran terjadi lonjakan penjualan, kini perusahaan merasakan susutnya penjualan yang mereka dapatkan karena bagaimana pun harus diakui bahwa saat ini pemainnya semakin banyak disamping pola konsumsi dan belanja orang juga berubah.  

Survei menunjukkan bahwa festive season Ramadan di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan gejala berkurang kemeriahannya. Menurut catatan Nielsen Indonesia, perusahaan riset terkemuka dunia, sejak 2012 kenaikan penjualan produk di modern market pada festive season dari tahun ke tahun semakin menurun. Ini terjadi terutama untuk produk-produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Di sisi lain, memang ada produk/jasa yang justru makin hari makin ramai diburu saat Ramadan atau jelang Lebaran, yaitu restoran dan penginapan.

Situasi ini membuat perusahaan atau merek mendesain ulang komunikasi pemasarannya agar agar mampu mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasarnya. Karena itu, mereka perlu menciptakan berbagai program guna mengunci pelanggan yang sudah ada dan pelanggan baru. Di luar kenyamanan platform tradisional seperti televisi, radio, bioskop, dan lain-lain media yang menghubungkan dengan pelanggan, melibatkan situasi keterpencilan dan terlepas dari sektor yang mereka geluti, perusahaan kini lebih dari siap untuk menemukan metode komunikasi baru.

Ledakan di bidang teknologi komunikasi dan informasi baru yang diakibatkan oleh internet dan media sosial menawarkan berbagai macam alat komunikasi baru. Bagaimana pun situasi ini bisa sangat ambivalen. Di satu sisi stuasi ini mencerminkan tumbuhnya peran konsumen yang selama ini tertutupi, tetapi juga mencerminkan tumbuhnya kesediaan konsumen untuk menggunakan beragam alat agar bisa berbagi pengalaman dan perasaannya.

Sebagai mahluk sosial, mereka membentuk komunitas. Dalam konteks ini penyebaran informasi secara massal, komunitas adalah aktor baru yang mewakili kesempatan tetapi juga ancaman bagi perusahaan. Dunia bisnis dipaksa untuk beradaptasi dan telah mulai fokus pada kondisi ini dengan mengembangkan kehadiran mereka secara online, menggunakan internet untuk membuat hubungan dengan konsumen yang lebih paripurna, lebih langsung, dan di atas semua lebih cepat daripada di masa lalu.

Saat ini makin banyak perusahaan atau merek yang menyadari bahwa hanya dengan mengkaji ulang model komunikasinya, mereka bisa merebut peluang yang menarik. Karena itu mereka mengembangkan model pendekatan komunikasi pemasaran yang tidak konvensional. Setidaknya mereka tidak lagi hanya mengandalkan satu media komunikasi. Sunpride misalnya, kini mengandalkan komunitas, social media, aktivasi merek, dan Public Relation (PR) sebagai channel komunikasi utama tim marketing komunikasi Sunpride.

Komunikasi pemasaran alternatif ini merupakan respon langsung terhadap perubahan harapan baik konsumen dan perubahan sosial. Tapi seperti hanya dengan pendekatan tidak konvensional, pemasaran alternatif juga merupakan suatu keharusan bagi merek. Ini karena pemasaran alternative memiliki dua keuntungan utama. Pertama, biaya pengembangan dan operasional umumnya jauh lebih rendah dari kampanye media berbasis tradisional. Kedua, karena orisinal, mereka memberikan merek kesempatan untuk menghasilkan banyak buzz tentang strategi komunikasi mereka.

Sebuah kegiatan komunikasi pemasaran selalu mengejar salah satu dari dua gol, meningkatkan pengakuan konsumen atau mempromosikan produk, layanan, atau merek. Kampanye pemasaran yang tidak konvensional dapat menawarkan respon terhadap beberapa kendala kontekstual seperti makin banyaknya media atau perubahan konsumen.

Salah satu yang menjadi trend pendekatan komunikasi pemasaran yang tidak konvensional adalah pemasaran jalanan. Pemasaran jalanan adalah pemasaran atau mempromosikan produk atau jasa dengan cara yang tidak konvensional di tempat umum. Titik utama pemasaran jalanan adalah bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara eksklusif di jalanan atau tempat umum lainnya, seperti pusat perbelanjaan.

Tidak seperti kampanye pemasaran publik konvensional yang memanfaatkan billboard, pemasaran jalanan melibatkan penerapan beberapa teknik dan praktek dalam rangka membangun kontak langsung dengan pelanggan. Salah satu tujuan dari interaksi ini menyebabkan reaksi emosional di klien. Tujuan akhir dari pemasaran jalanan adalah untuk mendapatkan orang untuk mengingat merek dengan cara yang berbeda dari yang biasa mereka gunakan.

Untuk meningkatkan interaksinya dengan konsumen, Gulaku melancarkan program ‘Jajanan Manis Bersama GULAKU’. Ini merupakan rangkaian kegiatan Gebrak Pasar Tradisional serta ajakan kepada berbagai komunitas perempuan untuk melestarikan jajanan tradisional. Selain merupakan kepedulian Gulaku untuk ikut ambil bagian dalam melestarikan warisan kuliner asli Indonesia agar tidak pudar diterjang serbuan makanan internasional, melalui kegiatan tersebut, tim Fiter juga harus memasukkan konten edukasi untuk membantu meluruskan pemahaman masyarakat awam tentang gula. Untuk memprovokasi gerakan tersebut, tim Gulaku memasukkan kegiatan demo masak jajanan tradisional yang dipandu oleh chef Yenny dalam kegiatan kunjungan ke komunitas ibu-ibu.

Belajar dari pengalaman merek-merek top saat ini seperti Mini, Coca-Cola, Red Bull, atau Ben & Jerry, kini makin banyak perusahaan yang memahami kegunaan kampanye ini. Mereka memasukkan ke dalam anggaran mereka sejumlah item biaya pengembangan untuk teknik komunikasi baru. Salah satu contoh kampanye interaktif yang memberikan dampak positif adalah yang dilakukan oleh Tipp-Ex, merek cairan penghapus dan koreksi dari Eropa. Dalam satu kampanyenya, Tip Ex menawarkan permainan yang sangat menarik kepada target marketnya, yakni The Tipp-Ex (perience) berupa serangkaian video berfitur beruang dan pemburu.

Dalam segmen satu, pemburu meminta pengunjung untuk memilih apakah dia harus menembak beruang atau tidak. Jika pemirsa memilih menembak beruang, pemburu menolak. Pemburu kemudian mengambil Tipp-Ex dan menghapus kata "menembak"; penampil kemudian memiliki kesempatan untuk menulis apapun untuk menggantikan kata "menembak." Jika dia menulis "tarian," pemirsa akan melihat video pemburu menari dengan beruang.

Tipp-Ex memproduksi empat puluh skenario video yang berbeda dengan empat puluh pilihan kata kerja. Dalam kampanye lain, pemburu dan beruang mengadakan pesta ulang tahun. Sebuah rudal masuk mengancam untuk mengganggu pesta, dan penampil memilih "mengakhiri pesta" atau "pesta tidak berakhir." Ini adalah salah satu kampanye video yang paling banyak menciptakan buzz sepanjang 2011, menghasilkan lebih dari 20 juta hits di YouTube dalam waktu kurang dari dua tahun.

Hari-hari makin banyak perusahaan atau merek bahkan personal menggunakan internet atau media online untuk branding. Ketika pengguna internet masih kecil, penggunaan media online mungkin tanpa strategi yang canggih peluang untuk mendongkrak popularitas bahkan transaksi mungkin besar.
Akan tetapi, ketika pengguna internat makin banyak, dan makin banyak merek yang memanfaatkan media online bahkan media sosial, peluang itu semakin kecil karena yang memperebutkannya semakin banyak. Disini tantangannya karena sementara banyak merek menggunakan media sosial untuk pitch dan menjual secara online, logikanya peluangnya semakin kecil. Namun, sepertinya peluang itu justru semakin lebar karena makin banyak media yang bisa digunakan.

Platform media sosial bukanlah tempat untuk secara terang-terangan menawarkan produk atau mempertontonkan kekuatan persuasi Anda. Inti dari media sosial adalah menjadi sosial, bukan untuk jualan. Media sosial adalah tempat orang menyuarakan pendapat, merasakan nikmatnya berkomunitas, dan berbagi foto. Jadi ketika seseorang menyerang ruang yang nyaman itu dengan penjualan, orang merasa  privasi diserang. Orang sebetulnya tidak ingin orang lain menjual produk melalui online.

Makin banyaknya orang memanfaatkan content marketing (pemasaran konten) merupakan bukti bahwa kita semakin menjauh dari model penjualan tua. Model pemasaran yang makin berorientasi pada upaya merangkul pelanggan dilakukan secara lebih terintegrasi, secara terus menerus berubah, dan dilakukan dengan pendekatan hubungan yang makin terfokus. 

Sabtu, 18 Juni 2016

Kenapa Perlu Content Marketing?


Hari-hari makin banyak perusahaan atau merek bahkan personal menggunakan internet atau media online untuk branding. Ketika pengguna internet masih kecil, penggunaan media online mungkin tanpa strategi yang canggih peluang untuk mendongkrak popularitas bahkan transaksi mungkin besar.
Akan tetapi, ketika pengguna internat makin banyak, dan makin banyak merek yang memanfaatkan media online bahkan media sosial, peluang itu semakin kecil karena yang memperebutkannya semakin banyak. Disini tantangannya karena sementara banyak merek menggunakan media sosial untuk pitch dan menjual secara online, logikanya peluangnya semakin kecil. Namun, sepertinya peluang itu justru semakin lebar karena makin banyak media yang bisa digunakan.
Platform media sosial bukanlah tempat untuk secara terang-terangan menawarkan produk atau mempertontonkan kekuatan persuasi Anda. Inti dari media sosial adalah menjadi sosial, bukan untuk jualan. Media sosial adalah orang menyuarakan pendapat, merasakan nikmatnya berkomunitas, dan berbagi foto. Jadi ketika seseorang menyerang ruang yang nyaman itu dengan penjualan, orang merasa  privasi diserang. Orang sebetulnya tidak ingin orang lain menjual produk melalui online.
Makin banyaknya orang memanfaatkan content marketing (pemasaran konten) merupakan bukti bahwa kita semakin menjauh dari model penjualan tua. Model pemasaran yang makin berorientasi pada upaya merangkul pelanggan dilakukan secara lebih terintegrasi, terus berubah, dan pendekatan hubungan yang makin terfokus.
Pemasaran konten adalah model marketing yang kalau dilihat dari sisi penjualan merupakan metode penjualan yang dilakukan dengan cara yang jauh lebih halus. Anda mungkin masih ingat film Hercules. Di akhir film itu ada pertanyaan apakah kehebatan Hercules itu realitas yang sebanranya atau sekadar mitos. Dalam film itu ada storyteller yang mendampingi Hercules kemanapun dia pergi dan dalam penaklukan daerah baru, sang storyteller selalu menceritakan kehebatan Hercules.
Pemasaran konten itu mirip dengan itu. Ini adalah teknik pemasaran di mana Anda membuat, berbagi, dan mempublikasikan konten dengan maksud untuk mendidik, menghibur, mencerahkan, dan membantu menginformasikan pelanggan Anda. Dengan demikian Anda secara langsung memberikan dukungan positif dan meningkatkan kehidupan pelanggan Anda dengan menampilkan informasi-informasi yang relevan. Anda pun membangun kepercayaan, kesetiaan, dan hubungan yang bermakna, yang berubah menjadi lead, dan akhirnya mengkonversi ke penjualan.
Banyak merek yang sudah menerapkan strategi ini. Merek besar seperti Coca-Cola dan Nike sering mempublikasikan konten melalui online misalnya. Itu merupakan bagian dari strategi pemasaran konten yang jauh lebih besar. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda sudah berkata-kata dengan dunia dengan konten Anda? Tidak peduli di industri apa Anda bekerja, atau bisnis apa yang Anda jalankan, menggunakan konten untuk mengkomunikasikan pesan kunci dan terhubung dengan pelanggan dengan cara yang cerdas  sangatlah penting agar perusahaan atau merek bergerak maju.
Berkaitan dengan itu, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, begitu dunia online bertumbuh, keinginan public untuk terlibat dalam konten tumbuh juga. Intinya, public tidak akan pernah puas karena ketika kebutuhan satu kebutuhan terpenuhi, kebutuhan lain muncul. Intinya, orang tidak akan pernah puas karea kebutuhannya juga terus tumbuh.
Kedua, konten online yang Anda miliki adalah aset penting yang memungkinkan Anda untuk mempersonalisasi merek Anda dengan cara yang tak berujung. Anda mungkin hanya memiliki satu meme, satu blog, atau satu video Instagram untuk mendapatkan perhatian dari audiens dan mendapatkan pesan dari Anda. Ta masalah yang penting kreativitas dalam mengisi dengan konten yang otentik dari Anda adalah penting. Konten online yang baik adalah yang bisa memicu emosi, men-drive diskusi, dan menangkap imajinasi.

Akan tetapi, dalam kaitannya dengan strategi konten yang membunuh pesaing, konten yang kreatif itu hanya salah satu bagian kecil dari yang Anda butuhkan. Ini karena di dbalik content yang kreatif tersebut, terdapat banyak bagian yang ikut berkontribusi. Disitu ada pembuatan konten, pengidentifikasian konten Anda, menguraikan tujuan konten Anda, menciptakan kalender editorial, memiliki anggota tim yang tepat, strategising berbagi konten Anda dan taktik media sosial, menguraikan metode pengukuran untuk konten Anda, dan unsur-unsur lain yang lebih banyak. 

Jumat, 17 Juni 2016

Fenomena Digital Selama Ramadhan


Ada beberapa fenomena digital yang menarik selama Ramadhan. Pertama, Ramadhan adalah bulan seluler. Google mencatat penggunaan digital—untuk video dan belanja online—saat Ramadhan meningkat, terutama seminggu sebelum Ramadhan, dan langsung menurun terutama seminggu setelah Idul Fitri. Peningkatan penggunaan digital ini terjadi pada saat istirahat siang dan sahur, dan sebagian besar akses dilakukan dengan seluler.
“Pada tahun lalu 81% penelusuran terkait Ramadhan dilakukan melalui perangkat seluler,” kata Hengky Prihatna, Country Industry Head Google Inc. Jadi, lanjutnya, untuk menjangkau konsumen pada saat Ramadhan, pemilik brand harus hadir di perangkat seluler konsumen.
Temuan kedua, Ramadhan adalah waktu untuk memperbaiki diri. Pada bulan ini, penelusuran istilah terkait “perbaikan diri” di Google melonjak. “Orang Indonesia ingin tampil dan merasa lebih baik serta tetap menjaga kesehatan, maka penelusuran resep, produk perawatan kulit dan busana Muslim semuanya meningkat selama bulan suci ini,” ujarnya.
Hal ini terlihat dari kenaikan frekuensi kunjungan situs yang memuat jadwal puasa yang naik tiga kali, doa naik tujuh kali, hal-hal yang membatalkan puasa naik Sembilan kali, amalan Ramadhan meningkat 12 kali, kultum naik delapan kali, dan Al-Quran naik dua kali.
Ketiga, Ramadhan adalah waktu untuk berbelanja. ”Tahun lalu kami melihat peningkatan volume penelusuran pada lima kategori belanja: pakaian (+29%), travel (+30%), ponsel cerdas (+17%), telekomunikasi (+19%), dan barang elektronik (+24%).” Dengan asumsi penelusuran yang dilakukan itu kemudian dieksekusi di toko, maka bisa disimpulkan bahwa Ramadhan bagi banyak orang berarti berbelanja.
Keempat, Ramadhan adalah bulan membangun merek. Pada Ramadhan tahun lalu merek-merek besar, seperti LINE, Royco, dan Traveloka, gencar berkampanye dengan iklan video. Menurut catatan Google, ketiga merek ini membuat iklan bertema Ramadhan yang masuk ke daftar 10 iklan teratas pada 2015.
Sementara itu, Senior Manager Digital Marketing Blibli.com Tabah Yudhananto menambahkan bahwa selama Ramadhan, peranan wanita sangat dominan terkait aktivitas belanja, karena itu Blibli.com meluncurkan program Groceries Day, promo khusus Ramadhan yang biasanya digemari wanita.
Dia juga menceritakan beberapa temuannya di Blibli.com sepanjang Ramadhan tahun-tahun lalu. Menurut Tabah, pembelian baju koko dan prayer set meningkat. Untuk baju wanita, para shopper tidak selalu mencari baju muslim atau hijab, melainkan baju-baju yang lebih tertutup. Temuan berikutnya, wanita lebih banyak mencari produk kosmetik yang halal. “Peningkatan pencariannya selama Ramadhan bisa meningkat 2-3 kali lipat.” Temuan ini cocok dengan hasil riset Google yang membuktikan pada saat Ramadhan orang ingin terlihat lebih baik dan tampil baik untuk menyempurnakan ibadahnya.

Bagaimana Aplikasi ZMOT pada Perguruan Tinggi?


Secara kuantitas jumlah perguruan tinggi naik. Pada tahun 2005 jumlah perguruan tinggi di Indonesia masih 2.428 buah. Namun data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi 7 Juni 2015 lalu menunjukkan jumlah PT di Indonesia sudah mencapai 4.273 buah. Pertumbuhan ini sangat fantastis, yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir setiap dua hari bertambah satu perguruan tinggi.
Pertanyaannya adalah soal pemerataan dan kualitas. Dari sisi kualitas, berdasarkan data dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP PTSI), dalam satu kopertis dengan sekitar 340 PTS, ternyata hanya 20,83 persen sehat murni, 2,38 sehat, dan 4,17 persen hampir sehat, dan 64,88 persen belum sehat alias sakit.

Menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014, jumlah pemuda di Indonesia sebanyak 61,83 juta jiwa atau sekitar 24,53 persen dari 252,04 juta jiwa penduduk Indonesia. Menurut Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang dimaksud dengan pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16-30 tahun. Pemuda mempunyai jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia di bawah 16 tahun (76,68 juta) dan penduduk di atas 30 tahun (113,52 juta).

Pemuda Indonesia yang tidak bisa membaca dan menulis atau buta huruf sebesar 0,64 persen. Angka buta huruf pemuda di perdesaan sebesar 1,26 persen lebih tinggi dibanding di perkotaan yang sebesar 0,10 persen. Rata-rata lama sekolah yang berhasil dicapai para pemuda secara keseluruhan adalah 10,01 tahun atau secara umum pemuda telah dapat menyelesaikan pendidikan hingga kelas 1 Sekolah Menengah (SM).

Sebesar 43,78 persen pemuda di Indonesia berpendidikan SM ke atas, 31,99 persen tamat SMP/sederajat, 18,51 persen tamat SD/sederajat dan 4,67 persen tidak/belum tamat SD. Gambaran ini menunjukkan masih besarnya potensi calon mahasiswa di pedesaan, apalagi ada kecenderungan terjadi peningkatan ekonomi di daerah-daerah. 

Survei yang dilakukan Majalah Mix 2015 lalu menunjukkan bahwa saat ini makin banyak pendidikan tinggi yang menerapkan strategi branding untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap merek perguruan tinggi bersangkutan. Ada beberapa perguruan tinggi yang meng-hire profesional pemasaran eksternal atau perusahaan dan menginvestasikan waktu dan dananya untuk membangun merek yang kuat.

Beberapa lembaga pendidikan tinggi mengembangkan desain mobile untuk website mereka. Ini sangat menarik sebab pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta pengguna. 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif. WeAreSocial dalam laporannya bertajuk Digital, Social, and Mobile Report in 2016, memaparkan jika 90 persen netizen Tanah Air aktif di jejaring sosial. Dengan penetrasi mencapai 30 persen dari total populasi, pengguna media sosial di Indonesia pun kini sudah sebanyak 79 juta orang.

Dari segi pertumbuhan, bertambahnya pengguna internet selaras dengan active user di medsos. Dibanding tahun lalu, masyarakat yang memainkan Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan lain-lain sudah bertambah 10 persen. Menariknya, masyarakat Indonesia malah tidak semakin kecanduan dalam menggunakan media sosial. Masih menurut data dari WeAreSocial, rata-rata orang Indonesia 'cuma' menghabiskan 2 jam 51 menit untuk mengakses medsos per harinya lewat pelbagai perangkat. Rerata itu malah menurun dari durasi penggunaan medsos tahun lalu di Indonesia yang selama 2 jam 52 menit.

Beberapa perguruan tinggi dan universitas juga mengandalkan analisis data untuk menentukan siapa, bagaimana, dan di mana mereka mencapai khalayak mereka. Penggunaan perangkat lunak analisis meningkat sebagai pendidikan tinggi ekosistem online menjadi semakin kompleks. Mendapatkan lebih baik menangani data ini merupakan daerah baru konsentrasi untuk perguruan tinggi dan universitas.

Yang paling menarik adalah beberapa lembaga pendidikan tinggi kini mulai lebih mengandalkan otomatisasi pemasaran untuk membangun dan memelihara hubungan yang berarti dengan siswa. Melalui otomatisasi pemasaran, lembaga yang mampu menangkap dan memanfaatkan berbagai data siswa dalam rangka untuk mengembangkan lebih personal, pesan multichannel dan komunikasi pemasaran.

Disinilah pentingnya lembaga tinggi mulai menerapkan model pemasaran baru. Dulu misalnya untuk membeli gadget terbaru, orang mencari informasi dengan bertanya ke teman, atau harus beli majalah, untuk melihat harga dan membandingkan review-nya.  Lalu dilanjutkan dengan ke pusat elektronik, membandingkan harga dari beberapa toko. Begitu juga ketika akan membeli produk lainnya misalnya asuransi,mobil dan lain lain.

Tapi saat ini informasi tentang produk, harga bahkan review dengan mudah didapatkan di internet. Ketika saya akan beli produk baik itu di toko atau berbelanja via online. “Saya punya informasi yang sangat lengkap.” Proses pencarian informasi melalui internet, sebelum akhirnya akan melakukan pembelian, disebut sebagai Zero Moment of Truth (ZMOT).

Konsep ini diperkenalkan pada bulan November 2011, oleh Jim Lecinski dari Google dengan menerbitkan tulisannyayang berjudul ZMOT: Winning Moment of Truth Nol. Tulisan tersebut merupakan hasil studi yang memperkenalkan pemasar pada paradigma mental yang baru yang diadopsi pembeli karena evolusi dari aksesibilitas informasi. Pada 2011 Google melakukan riset kepada lebih dari 5.000 responden untuk mengukur seberapa besar pengaruh ZMOT terhadap konsumen. Dan hasilnya, secara keseluruhan ternyata ZMOT menjadi proses paling berpengaruh dalam (sebelum) proses pembelian produk. Sekitar 84% responden mengatakan melakukan ZMOT sebelum membeli produk.

Dalam konteks ini, Universitas Paramadina membangun ZMOT positif, menurut Hendriana Werdhaningsih, Mds, Direktur Humas dan Pemasaran Universitas Paramadina, strateginya terutama pada konten. Konten yang di-publish diusahakan sedinamis dan sedapat mungkin engage dengan user. “User dari media online kami tidak hanya calon mahasiswa baru, melainkan orang lain dari berbagai kalangan luas—seluas-luasnya sehingga nuansanya seperti komunitas. Komunitas selalu memberikan kenyamanan bagi orang-orang yang ada di dalamnya, karena kesamaan pandangan. Hal itu memperkaya semua yang terlibat. Para mahasiswa dan alumni selalu menyebut Universitas Paramadina adalah rumah, kemana mereka selalu merasa ingin kembali.”

Itu sebabnya, imbuh Hendriana, kekuatan ikatan emosional yang terbangun di dalam komunitas Universitas Paramadina, yang dirasakan mahasiswa dan alumni selama berada di kampus, menjadi dasar dari semangat mereka untuk turut membangun ZMOT positif, terutama lewat media digital. Ia menekankan bahwa terkait membangun ZMOT positif, tidak ada upaya pemberdayaan dari pihak kampus, tetapi terjadi secara alami dari perjalanan panjang menghidupkan nilai-nilai positif di kampus. 

“Intinya, dalam komunikasi pemasaran untuk membidik Generasi Millenials, kami lebih kepada menyebarkan nilai-nilai yang dihidupkan oleh Universitas ini sejak lama. Nilai-nilainya bisa sangat sederhana dan umum, seperti pentingnya toleransi, pentingnya semangat memperlajari banyak hal dan menjadi pembelajar seumur hidup, integritas, 'be your-self'--yang menjadi kampanye kami sejak 2008, dan lain-lain. Dan sampai saat ini, nilai-nilai tersebut sejalan dengan kecenderungan Generasi Millenials,” pungkas Hendriana yang mengklaim bahwa program dan kampanye Universitas Paramida di dunia maya, sejauh ini berhasil, indikatornya, follower Twitter dan Likers Facebook Universitas Paramadina bertambah pesat beberapa waktu terakhir ini.

Rabu, 08 Juni 2016

Seeding Trials: Riset yang Menghasilkan Word of Mouth


Menciptakan word of mouth itu gampang. Salah satunya adalah dengan riset. Jadi kalau Anda selama ini beranggapan bahwa riset itu pemborosan atau bagian dari pekerjaan yang masuk dalam kategori cost centre, itu salah besar. Sebab ternyata riset bisa menciptakan word of mouth yang selanjutnya bisa menciptakan penjualan.

Beberapa produk dan perusahaan seperti Post-it Notes, Google, P&G, Microsoft, dan sebagai perusahaan serta merek besar lainnya memanfaatkan strategi ini. Intinya, mereka melakukan seeding trials. Menurut Paul Marsden – seperti yang ditulis dalam buku, Connected Marketing: The Viral, Buzz and Word of Mouth Marketing -- seeding trials adalah riset dengan menggunakan opinion leader sebagai responden atau narasumber.

Akan tetapi, dalam riset tersebut, periset membagikan contoh produk. Para opinion leader – yang oleh Duncan Brown dan Nick Hayes dalam buku Influencer Marketing disebut sebagai orang-orang yang secara tidak langsung membujuk – ini menjadi semacam hub-hub yang bisa menjadi juru kampanye, bahkan menjadi pembela (advokat) atau combe dalam bahasa Surabaya. Mereka begitu loyal karena telah membuktikan manfaat dari produk yang dibelanya.

*****

Menciptakan buzz atau word of mouth bukan perkara sulit, kata Richard Laermer – penulis buku Full Frontal PR: Building Buzz About Your Business, Your Product, or You. Kita bisa menciptakan buzz dari faktor-faktor yang ada pada diri kita. Kita tidak perlu memiliki produk yang ruar biasa. Sebab yang ruar biasa itu biasanya hanya persepsi, dan pesepsi itu bisa saja bukan merupakan fakta. Disini yang penting adalah bagaimana kita mengenali dan menggarap para opinion leader. Merekalah yang akan menjadi combe dari produk atau merek kita.

Bila kita ingin menciptakan publisitas, bila menggunakan konsep ini, asal memenuhi kebutuhan dan tidak menghasilkan komplain, setiap nafas produk atau perusahaan (merek dan atau termasuk kita), gerak gerik perusahaan dan sebagainya berpotensi menciptakan buzz. Seseorang pindah kerja atau dipromosikan, laporan keuangan perusahaan, pertumbuhan laba perusahaan, kantor pindah, dan termasuk musibah yang dialami kantor bisa menjadi buzz.

Artinya, dalam semua gerak-gerik itu, peluang untuk menciptakan buzz. Tak ada sesuatu yang misterius dalam seni menciptakan buzz yang benar-benar tajir. Kita tidak perlu menjadi ahli marketing. Yang penting kita memahami secara benar apa itu buzz dan gosip dan mana yang bukan buzz.

Masih menggunakan Post-it Notes, pertanda kuning kecil yang biasa ditempelkan pada dokumen yang ingin atau diminta untuk dikomentari atau lainnya? Produk itu nyaris tidak bisa atau tidak akan menjadi bagian dari kita karena pada awalnya dianggap tidak berguna. Awalnya produk itu dianggap bukan apa-apa bahkan menjadi sampah. Namun akhirnya, produk itu yang menjadi tulang punggung penghasilan 3M.

Ceritanya bermula pada 1968 ketika 3M meminta salah seorang peneliti, Dr. Spence Silver untuk mengembangkan suatu produk perekat super lengket. Akan tetapi dia gagal. Alih-alih menghasilkan super lengket, yang dihasilkan justru perekat super lemah. Disenggol sedikit sudah lepas. Produk itu pun dimasukkan dalam kotak produk-produk gagal. Selama enam tahun, proyek itu dilupakan.

Pada 1974, Art Fry - peneliti untuk pengembang produk baru 3M, kesal karena pertanda yang dia pasang pada kumpulan lagu-lagu gerejanya hilang. Dia lalu berpikir, mungkin tidak akan hilangkalau pertanda itu bisa melekat tanpa merusak kertas bukunya. Dia ingat produk gagal yang ditemukan Silver. Sialnya, ketika diujicobakan kepada orang-orang biasa melalui riset, lagi-lagi gagal. Produk itu dinilai tidak ada gunanya. Tak seorang pun melihat kegunaan dari produk itu.

Meski perusahaannya minta program itu tidak dilanjutkan, Fry ngotot untuk melakukan uji peluncuran terbatas. Lagi-lagi gagal. Akhirnya, sebelum perusahaannya benar-benar membuang produk itu, 3M memutuskan melakukan seeding trials denga opinion leader pada mereka yang kira-kira menjadi target market produk tersebut. 3 M melakukan sampling dengan mengatasnamakan riset. Untuk itu, 3M membagikan berkotak-kotak Post-it kepada para sekretaris CEO perusahaan-perusahaan pemasok barang-barang kebutuhan kantor.

Mereka memang mencari opini, apakah produk itu berguna bagi mereka. Catatan atau pertanyaan itu, 3M mencantumkan di dos-dos kecil Post-it yang dikirim kepada para sekretaris itu. Taktik ini – menurut definisi riset – bisa disebut riset, tapi juga bisa dianggap sebagai promosi karena seperti membagi sampling. Dari sampling ini, para sekteris tadi akhirnya mengenali kegunaan Post-it. Mereka pun menjadi opinion leader yang menjadi semacam promotor atau advokat produk tersebut karena mereka benar-benar merasakan kebutuhan terpenuhi oleh Post-it. Akhirnya, Post-it pun menjadi produk yang ruar biasa.

****

Menurut Marsden, ada dua teori yang bisa menjelaskan tentang seeding trials. Teori pertama adalah apa yang disebut dengan the Hawthorne Effect, dan kedua, adalah teori Two Step Flow of Communication yang diperkenalkan Paul Lazarsfeld.

Teori Hawthorne Effect, menyebutkan bahwa di dalam riset, opini yang Anda tanyakan kepada responden atas sesuatu, pada dasarnya tidak hanya menciptakan suatu harapan tetapi juga seakan merayu ego dari responden. Di bawah kesadaran manusia, para responden merasa berhutang kepada penanya. Hutang psikologis ini membuat responden secara signifikan lebih menyetujui apapun yang Anda tanyakan kepada responden.

Hawthorne adalah suatu tempat di dekat Chicago, AS. Di sebuah pabrik di kota itu, sekelompok pakar dari Harvard Business School melakukan penelitian untuk perusahaan Lucent Technology. Mereka diminta untuk menyelidiki lingkungan kerja yang bisa meningkatkan produktivitas. Disitu mereka menemukan bahwa suasana baru untuk bekerja apapun yang mereka perkenalkan meningkatkan produktivitas. Kedua, apapun yang mereka tanyakan dan diskusikan dan diujicobakan juga meningkatkan produtivitas.

Tim peneliti yang dipimpin – pakar manajemen SDM -- Elton Mayo itupun akhirnya mengakui bahwa tidak ada yang perlu dilakukan untuk meningkatkann produktivitas. Dengan mengkhususkan sekelompok pekerja untuk berpartisipasi dalam uji coba, partisipan merasa dihargai, diperlakukan secara khusus, dan dianggap penting. Perhatian khusus yang diberikan kepada mereka, membuat ego mereka merasa berhutang dan harus membayarnya. Ini menciptakan suatu ikatan emosional yang positif terhadap apa yang diuji cobakan. Selanjutnya, mereka akan menjadi advocad dari setiap usulan yang diajukan oleh si pemberi percobaan terhadap mereka.

Karena alasan inilah suvey pemilih menjelang pemilu tentang kecenderungan memilih menjadi perdebatan. Survey itu kampanye atau riset. Ini karena pertanyaan-pertanyaan dalam survey bisa menciptakan dan meningkatkan awareness sekaligus mempengaruhi pilihan responden. Dengan pertanyaan yang bersifat aided dengan menunjukkan tanda gambar misalnya, itu berarti si pewawancara menggiring seseorang pada partai tertentu. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang juga bisa menggiring.

Sementara itu, dalam teori Two Step Flow of Communication, Lazarsfeld – doktor matematika dan pendiri Bureau of Applied Social Research yang meneliti tentang kecenderungan pemilih -- seakan mementahkan anggapan umum yang berkembang selama itu bahwa media massa sangat efektif mengubah pilihan pemilih. Itu sebabnya, jutaan dolar dihabiskan untuk kampanye para kandidat melalui media massa seperti radio dan koran.

Ternyata, temuan Lazarsfeld menunjukkan bahwa pengaruh langsung dari media massa terhadap pilihan pemilih sangat kecil. Hasil ini yang membuat Lazarsfeld dan kawan-kawannya mengemukakan dalil, “Two Step Flow of Communication” atau arus komunikasi dua tahap. Pertama, mass media mempengaruhi pemuka pendapat (opinion leader). Kedua, opinion leader kemudian mempengaruhi individu-individu lainnya. Sejak itu, berkembang tradisi penelitian tentang pengaruh terbatas (limited effect) dari media massa.

Dalam konteks ini, media massa dianggap sebagai salah satu dari media lainnya yang mempengaruhi manusia, meski tidak sangat kuat. Yang berpengaruh kiat justru para suara para pinion leader. Lazarsfeld dan Katz dalam bukunya Personal Influence: The Part Played by People in the Flow of Mass Communications ( New York: Free Press, 1955) mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun 1940, MacFadden Publication mensponsori suatu proyek penelitian mengenai pengaruh antarpribadi dan media massa terhadap keputusan 800 konsumen wanita. Hasilnya, pengaruh media massa jauh lebih kecil dibandingkan jaringan antar pribadi.

***
Jadi, menciptakan word of mouth itu sebenarnya tidak memerlukan kecanggihan ilmu marketing. Yang penting Anda faham benar tentang prioduk dan siapa target yang bakal menjadi opinion ledaer atau dalam bahasa Surabaya disebut combe itu. Dalam bukunya, the Tipping Point, Gladwell membuktikan keterujian the Law of the Few dalam word of mouth. Para peneliti lain -- seperti dikutip Marsden – juga percaya bahwa 10 persen opinion leader akan membentuk opini dan pembelian 90% pengikut dari opini tersebut.


Kedua, word of mouth tidak memerlukan produk yang ruar biasa. Asal dia menjadi yang pertama di kategorinya, itu sudah ckup menciptakan word of mouth. Ketiga, word of mouth memerlukan database. Melaluidatabase ini kita bisa mengenali dan mengetahui siapa-siapa yang berpotensi menjadi opinion leader.