Sabtu, 20 Agustus 2016

Apakah PR akan Mati ?



                                                   Judul Buku          : Trust Me, PR is Dead
                                                   Penulis                 : Robert Phillips  
                                                   Penerbit              : Unbound, 2015
                                                   Tebal Buku          : 313 halaman belum termasuk cover dan pengantar



Dalam tiga decade ini public seakan dibanjiri dengan kematian dari perangkat komunikasi pemasaran bahkan marketingnya sendiri. Masih ingat dalam pikiran kita, tulisan Bill Lee yang berujudul Marketing Is Dead yang dimuat di Harvard Business Review pada 2012.

Sepuluh tahun sebelumnya, Al Ries dan Laura Ries meluncurkan buku laris The Fall of Advertising & the Rise of PR. Pertanyaannya lalu apa yang masih hidup? Benarkah mereka sudah mati.

Realtitasnya, yang dikatakan “mati” itu masih menjadi andalan dalam komunikasipemasaran. Memang harus diakui bahwa setiap organisasi selalu menghadapi tantangan besar untuk bisa mengelola perubahan internal dan eksternal secara efektif.

Agar bisa bertahan di tengah arus perubahan lingkungan yang semakin dinamis, perusahaan harus terus-menerus melakukan perubahan strategi, struktur, proses, dan budaya dan melakukan adaptasi secara cepat.

Intinya, pengelola organisasi saat ini harus siap menghadapi tiga tantangan.  Tantangan pertama adalah persaingan yang semakin meningkat dalam memperebutkan sumber daya organisasi. Kedua, persaingan tersebut terjadi ditengah-tengah perubahan dunia.

Globalisasi, perubahan teknologi dan peristiwa tak terduga telah memberikan pertanda kepada dunia, bahwa perubahan berlangsung secara tidak terduga. Ketiga, perubahan lingkungan organisasi tidak dapat diprediksi.

Perubahan tersebut bisa antara lain dalam hal persaingan, preferensi pelanggan dan standar masyarakat, serta diperkenalkannya secara tiba-tiba peraturan baru yang berdampak pada organisasi. Intinya, satu-satunya kepastian dalam dunia yang berubah adalah bahwa perusahaan tidak bisa melepaskan diri dari perubahan.

Pada kondisi tersebut, organisasi harus terus-menerus bersinergi dan menghadaptasikan praktek dan perilaku internal dengan perubahan eksternal mereka. Untuk itu, organisasi perlu mengidentifikasi lingkungan mereka secara kritis dan meresponnya. Dalam kaitan ini, respon yang tepat terhadap perubahan bisa membuat organisasi memiliki keunggulan kompetitif.  

Banyak organisasi gagal menanggapi perubahan lingkungan tersebut sehingga harus menanggung biaya kegagalan yang sangat mahal. Pada kebanyakan kasus, kecepatan dan kompleksitas menanggapi perubahan tersebut merupakan ujian bagi kemampuan bagi manajer dan karyawan dalam mengelola organisasi.

Ini karena sebagai pengelola, mereka harus mempersiapkan anggotanya untuk siap menghadapi dan beralih dari situasi yang selama ini digelutinya ke situasi yang baru yang mungkin tidak diketahuinya. Kondisi ini seringkali memunculkan ketidakpastian, ketegangan dan kecemasan di kalangan karyawan serta stakeholder lainnya.

Sudah sejak lama muncul perdebatan apakah PR perlu di-rebranding, paling tidak untuk menghindarkan diri dari stereotype bahwa praktisi PR serung melakukan spin dan membuat sesuatu menjadi cocok sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan. Pertanyaannya adalah apakah di era digital sosial seperti sekarang ini paradigm spin tersebut masih berlaku?

Pertanyaan tersebut, menurut Robert Phillips, penulis Trust Me, PR is Dead, muncul mengingat PR adalah gagasan Edward Bernays yang lahir pada zaman begitu berkuasanya kelembagaan, intermediasi dan hubungan media. Padahal saat ini, semua batasan-batasan itu menjadi tidak relevan. Saat ini terjadi pergeseran paradigma PR dari hubungan publik menjadi keterlibatan publik, sebuah refleksi dari dinamika realitas pada beberapa pemangku kepentingan (staleholder).

Namun, gagasan Phillips tidak hanya berhenti hanya sampai pada keterlibatan public. Phillpis berpendapat bahwa keterlibatan publik juga harus diganti dengan konsep baru yang disebut dengan kepemimpinan public yang memiliki dimensi aktivis, co-produced, citizen-centric dan mengutamakan kepentingan sosial.  Hal ini mencerminkan kebutuhan warga, bisnis dan pemerintah secara bersama-sama.

Premis utama dari buku ini adalah bahwa kini kini terjadi perubahan yang luar biasa di semua bidang kehidupan modern. Perubahan besar dalam masyarakat tersebut sebagian besar didorong media sosial. Selanjutnya perubahan tersebut mendorong perubahan dalam nodel transparansi. Perusahaan atau organisasi sekarang ditantang untuk membuat diri mereka lebih transparan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, public relations juga mengalami mengalami pergeseran yang sangat monumental yang menghasilkan era baru komunikasi dan harapan baru di kalangan konsumen. Dengan makin majunya teknologi dan pergeseran yang konstan dalam saluran komunikasi, ruang lingkup tradisional telah berubah drastis. Keterlibatan publik (public engagement) kini menjadi ungkapan yang mencoba untuk mendefinisikan dan mengeksplorasi lingkungan baru komunikasi tersebut.

Ketika CNN2 (sekarang dikenal sebagai HLN) diluncurkan pada tahun 1982, lahir siklus berita 24/7. Ketika kemudian muncul media sosial (Twitter, khususnya) siklus berita dengan model 24/7 yang sama namun makin tinggi kecepatan bak kecepatan cahaya yang memaksa praktisi PR untuk meresponnya dengan pesat.

Selain itu, perubahan media berita tradisional ke dalam mesin berita digital, mengaduk-aduk lebih banyak konten daripada sebelumnya. Pada saat bersamaan, konten kini lebih ringkas dan dibuat senyaman mungkin sesuai dengan karakter sosial-media. Generasi boomer dan Gen X kini harus mengakui bahwa rekan-rekannya generasi milenium seakan telah menyatu dengan media baru dengan cara yang jauh lebih otentik. Sebagai contoh, pada awal 2000-an, Facebook hanya sedang digulirkan ke kampus terpilih. Kini Facebook telah dimanfaatkan secara aktif oleh lebih dari 1,5 miliar pengguna.

Para ahli dan orang-orang di industry public relations telah mencoba dan mengajukan gagasan tentang definisi public relations. Disinilah letak kelenturan dari disiplin public relations. Meski banyak gagasan dimunculkan namun hingga kini pencarian dan perumusan definisi tersebut tetap cair dan selalu berubah.

Cutlip dan Center mendefinisikan public relations sebagai fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan saling menguntungkan antara organisasi dan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi. Definisi ini mencakup ide umum, akan tetapi tetap masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana mempertahankan hubungan tersebut. Disinilah disiplin public relations menjadi makin berkembang.

Dunia telah berubah. PR sudah mati, kata Phillips. Kenapa? Sebagian besar model bisnis dalam PR didominasi oleh bisnis konsultasi yang jaringannya makin lama makin membesar tetapi memiliki kecenderungan generalis. Akar filsafat yang menganggap bahwa konsultasi PR adalah menjual barang kepada konsumen, bukan menangani kebutuhan masyarakat, kini habis. Dunia yang transparan kini mulai memperlihatkan kelelahan atas kebohongan dalam manajemen pesan.

Sejatinya, PR telah memiliki tiga kali memimpin sebagai alat komunikasi pemasaran yang bagus dalam dua dekade terakhir. Setidaknya, PR sudah mengenali dirinya bahwa mereka butuh masyarakat, pemanfaatan media sosial dan data. Namun industri PR justru gagal bertransformasi untuk memahami pentingnya desain organisasi, dan merangkul data.

Ada beberapa hal yang membuat PR bakal mati. Pertama, dalam praktik PR masa kini, masih banyak dijumpai  perilaku top-down di dunia yang pada dasarnya sudah semakin datar. Saat berbicara, PR memposisikan dirinya seakan berada dalam suatu hierarki, padahal dia berada dalam jejaring.

Oleh karena memulai dari posisi yang salah, seringkali PR tidak mengenali domainnya sendiri dan semesta yang lebih luas mulai dari warga, perusahaan dan merek. Intinya adalah bahwa PR tidak bisa lagi mendiktekan dengan istilahnya sendiri. Ini karena pada dasarnya produk PR bukan lagi sekadar penyiaran atau pengeras suara atau mengelola pesan.

Masih banyaknya siaran pers yang tidak relevan menunjukkan adanya kebingungan di kalangan PR sendiri. Disini, menurut Phillpis, PR perlu membangun advokasi dan aktivisme dari dalam jaringan. Syaratnya, suara-suara orang-orang biasa perlu didengar. Selain itu, orang PR terlalu lama mengabaikan pentingnya desain organisasi dan implikasi dari evolusi. Masalah struktural lebih sering diabaikan yang ditunjukkan oleh cara mereka berkomunikasi.

Kedua, sisi akuntabilitas juga kurang diperhatikan. Ini ditunjukkan dengan masih kurangnya proses pengukuran dalam kebanyakan kegiatan PR. Tanpa pengukuran yang tepat, sudah tentu tidak ada akuntabilitas. Tanpa akuntabilitas, PR semakin terpinggirkan. Prinsip Barcelona yang berupa seperangkat pedoman yang ditetapkan oleh industri PR untuk mengukur keberhasilan suatu kampanye PR, belum diadopsi secara universal. Padahal, prinsip itu sudah ditetapkan lebih dari lima tahun silam.

Pada akhirnya, kurangnya para talenta di PR akan membunuhnya. Saat ini, dalam dunia komunikasi yang progressif diperlukan pemikiran besar. Lord Chadlington, kepala eksekutif urusan luar kelompok PR global Huntsworth, telah menyuarakan kekhawatirannya bahwa saat ini PR kekurangan orang yang berbicara atau merancang perubahan.

Bakat-bakat mereka masih terlalu dangkal. Ujung depan industri ini masih kurang tercerahkan, dan para pemain industri besar yang sebagian besar didominasi perusahaan-perusahaan multinasional terjebak oleh model bisnis yang memaksa mereka untuk menjual lengan dan kaki daripada berinvestasi untuk mendapatkan talenta baru.

Ancaman-ancaman itu diperburuk oleh tren global yang dalam beberapa tahun terakhir ini signifikan.
Kepercayaan publik pada lembaga-lembaga utama dalam ekonomi Barat - keuangan, bisnis, media dan pemerintah - telah runtuh.

Paling tidak karena munculnya pemberdayaan individu, yang melihat kekuasaan bergeser dari negara untuk warga negara; majikan kepada karyawan; perusahaan kepada konsumen. Aktivis muncul di mana-mana - termasuk aktivis pemegang saham institusional, yang, menurut laporan Financial Times pada akhir 2013, naik lima persen dalam 12 bulan.

Dunia baru ini jauh dari situasi saat awal berkembangnya profesi PR. Hari-hari optimistisi seperti di era Bernays, Dan Edelman dan Harold Burson kini surut. Transparansi adalah suatu keharusan. Spin sudah mati. Etika, nilai-nilai dan perilaku, bukan pernyataan misi, menyediakan kerangka kerja bagi komunikasi masa depan. Lembaga kini dituntut untuk menunjukkan kepemimpinan melalui tindakan bukan kata-kata. Persoalannya adalah PR masih terlalu sibuk berbicara, tidak bertindak, dan konsultan PR sering memberi saran kepada klien untuk melakukan hal yang sama.

Akibatnya, sering terdengar beberapa kesalahan dalam kegiatan CSR misalnya dan terus menempatkan kepatuhan dalam konteks perilaku yang baik yang didorong nilai perusahaan dan sosial. PR telah disalahgunakan dan merasakan kelelahan yang amat sangat ketika harus mempertahankan kepercayaan.

Disini Phillpis mengingatkan bahwa pemulihan kepercayaan bukan merupakan fungsi dari PR. Kepercayaan bukan sekadar berupa pesan. Kepercayaan merupakan hasil dari sebuah tindakan, baik percakapan atau perilaku.

Kepercayaan merupakan sesuatu yang kompleks yang terbangun dari beberapa elemen yang rapuh. Menurut Phillips tidak ada tindakan tunggal yang bisa membangun dan mempertahankan kepercayaan. Tak ada peluru perak yang bisa dibidikan untuk mengatasi masalah defisit kepercayaan. Kepercayaan membutuhkan perjuangan keras, dan susah payah setiap hari. Bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan.

Jika kepercayaan adalah hasil yang diinginkan, maka PR bukanlah solusi yang pas. Beberapa perusahaan ramai-ramai memamerkan kredensial CSR mereka. Kegiatan itu tidak ada artinya kalau dalam kesahariannya mereka berlaku tidak adil?

Sudah tentu mereka lebih baik disarankan untuk menangani masalah-masalah substantif: upah yang rendah, kondisi kerja ilegal, dan artifisial dan perdagangan yang tidak adil berupa harga rendah yang ditawarkan kepada pelanggan. Organisasi yang cerdas menjadikan salah satu tersevut untuk segera ditangani dan kemudian memilih untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan stakeholder di sekitar perubahan transformasional secara nyata dan penting.

Disini Phillpis mengajukan argument bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah kepemimpinan public. Ini karena kepemimpinan publik membingkai komunikasi ke dalam pemberdayaan individu sehingga mampu menjadi penggerak tindakan dan menciptakan kepercayaan. Sebab bagaimanapun perlu disadari bahwa persepsi dengan kepercayaan itu sendiri telah bergeser makin tinggi.

Dipicu oleh teknologi, kekuasaan kini terus bergeser dari negara ke warga masyarakat, dari majikan kepada karyawan, dari perusahaan kepada konsumen. Aktivis kemasyarakatan hari ini melihat kekuasaan dan pengaruh yang asimetris. Karena itu disinilah perlunya praktisi PR bertemukan dengan aktivisme dan berpartisipasi dalam kegiatan mereka.

Krisis keuangan global telah mempertontonkan gambaran perpecahan antara perilaku politik dan ekonomi di Barat. Masalah itu sebenarnya sudah berlangsung selama satu dekade sebelumnya. Dorongan terus menerus konsumerisme dalam bisnis dan pemerintah, mempromosikan ambisi egois yang bisa mengancam kesejahteraan manusia dan planet ini.

Kepemimpinan publik menghormati dunia seperti itu, bukan dunia sebagaimana yang sudah berlalu. Ini merupakan ciri dari kepemiminan yang berjiwa sosial karena itu gagasannya selalu muncul dari dan di antara orang-orang lainnya. Kepemimpinan itu juga demokratis karena memberikan suara untuk semuanya. Juga bersifat progresif karena transformatif atau meratakan hierarki dan merangkul jaringan. Ini adalah dalam suatu jaringan bahwa perubahan besar selalu bisa terjadi.

Membaca buku ini, muncul dalam pikiran saya bahwa kematian PR digunakan Phillpis disini melambangkan kematian yang tidak bisa dielakkan karena masih dominannya praktik-praktik tradisional, makin banyaknya gangguan yang harus dihadapi industri dan pelaku PR, disiplin dan sebagai. Kematian karena masih diterapkannya cara-cara tradisional tersebut juga diakibatkan karena terjadi pergeseran semisal dalam menyelesaikan sesuatu orang kini cenderung menggunakan diplomasi ketimbang hukum.

Perkembangan teknologi telah menggeser banyak hal. Kekuasaan kini bergeser dari negara ke kota, majikan bergeser ke karyawan, dan bila dulu perusahaan yang bisa menentukan selera konsumen kini konsumen yang menentukan kebijakan perusahaan. Ini merupakan ciri-ciri makin berdayanya konsumen. Akibatnya, hubungan antara kekuasaan dan pengaruh menjadi asimetris dan kepercayaan menjadi rapuh sehingga banyak upaya untuk mengendalikannya menjadi sia-sia.
 
Dalam situasi seperti itu, public relations seakan tidur tapi berjalan di tepi jurang sehingga bila salah dalam melangkah bisa terjerumus. Tidak hanya public relations, industry lainnya juga dalam situasi yang sama. Intinya adalah bahwa semuanya akan mati kecuali yang mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Disinilah peran public relations. Ia harus mendorong mereka yang kurang memiliki kecepatan dan ketepatan dalam melakukan perubahan sehingga mampu mengimbangi daya adaptasi terhadap perubahan seperti yang dilakukan orang lain.

Industri public relations telah banyak disalahtafsirkan dan kepercayaan menjadi semacam penyakit yang melelahkan bagi para pelakunya. Namun orang masih mengharapkan public relations sebagai cawan suci bagi merek dan organisasi. Meski harus diakui bahwa kepercayaan bukanlah fungsi PR. Ini adalah hasil, dan bukan sebuah pesan. Kepercayaan diwujudkan dalam perilaku yang mendalam, kompleks, rapuh dan harus diperjuangkan setiap hari dengan susah payah dengan tindakan, bukan dengan kata-kata.

Perubahan waktu tidak akan pernah membuat orang bisa kembali ke kepercayaan lama. Karena itu diperlukan strategi baru yang berbicara kepada dunia besok, bukan dunia kemarin. Ini berarti orang harus lebih memperhatikan dan menyampaikan pesan komunikasi masa depan.

Trust Me, PR is Dead adalah bagian-analisis dan bagian polemic tentang masa depan. Ini mencakup hampir 200 anekdot dan cerita dari praktisi garis depan serta wawancara dengan tokoh-tokoh bisnis utama, politisi dan komentator - dan banyak rincian, studi kasus perusahaan dan gerakan yang sangat beragam mulai dari Unilever, Novo Nordisk, John Lewis Partnership, Handelsbanken , Patagonia, Mondragon, 38 Degrees hingga Porto Alegre. Buku ini juga memaparkan praktek yang baik dan buruk dengan contoh-contoh perusahaan global.

Dalam Trust Me, Phillips – bekas CEO EMEA of Edelman -- salah perusahaan PR terbesar di dunia - menyebut akhir dari industri PR dan mendukung model kepemimpinan dan nilai-nilai public baru. Di buku ini, Phillips menceritakan pengalaman para frontliner dan dua puluh lima tahun pengalamannya di puncak perusahaan PR, mulai dari kampanye 'Hello Boys' Wonderbra hingga berbagi panggung dengan para CEO dan perdana menteri, serta pengalamannya dalam menghadapi berbagai usaha untuk mengakhiri monarki Inggris.

Pada bagian ini (halaman 141-145) Phillpis menceritakan pengalamannya tentang upaya mengakhiri pemerintahan monarkhi di Innggris. Bagi Phillips system monarki Inggris merupakan jangkar bagi para elit tua dan tradisional. Mengutip pendapat Hillary Mantel, monarki Inggris merupakan lembaga yang sudah tidak relevan lagi dengan kemauan bangsa yang ingin tumbuh dan maju. Namun demikian, sistem ini masih terus berlangsung setidaknya telah dijadikan bahan cerita meski public mengetahui bahwa biaya untuk mencipatakan itu sangat mahal.

Pandangan ini yang mempengaruhi pemikiran Phillpis tentang karyawan aktivis. Baginya, perusahaan bukan hanya sekadar memproduk barang atau jasa. Namun perusahaan harus memberi manfaat atau nilai pada public. Dalam konteks ini, menurut Phillpips, perusahaan sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Phillpis, perusahaan memiliki karyawan. Karyawan memiliki opini dan jejaring sosial baik yang memiliki kesamaan hobi seperti sport, pornografi dan sebagainya. Mereka juga ingin mengekpresikan pendapatnya.

Karyawan juga ingin membangun dan bisa membangun koalisi dengan karyawan lainnya. Di sisi lain harapan karyawan juga berubah dari waktu ke waktu. Meningkatnya rasa ketidakamanan dalam pekerjaannya, melebarnya jurang pemisah antara pension dan upah yang diterima menurunkan loyalitas terhadap perusahaan. Ini tentu menjadi tantangan bagi perusahaan. Serikat pekerja harus mencermati fenomena ini. Karena itu mereka harus membangun hubungan dengan para aktivis.

Di sisi lainnya, karyawan juga mengharapkan perusahaan untuk bisa memberikan kontribsui secara sosial. Para karyawan – terutama kaeyawan dari generasi millineal yang terkoneksi dengan lingkungannya, dan berpikir sebagai aktivis -- menuntut perusahaa untuk lebih beisa berperan secara sosial. Karena itulah perusahaan hatrus memikirkan bagaimana caranya mereka mengorganisasikan mereka untuk menunjukkan public value ke luar perusahaan.

Buku Trust Me, PR is Dead meski secara eksplisit tidak terlalu banyak membahas masalah PR, namun semua ilustrasi yang ditampilkan mendukung hipotesis dia tentang matinya PR bila tidak melakukan perubahan. Bahasan mulai dari soal politik hingga ekonomi saya kira masih releb]van dengan tesis dia tentang kematian PR, meksi harus diakui terkadang lepas dari konteks PR.

Menariknya, buku ini menawarkan model baru kepemimpinan public dan metrik akuntabilitas berdasarkan public value. Menurut buku ini, kepemimpinan publik ditandai oleh aktivis, co-produced, berpusat pada warga dan menomorsatukan masyarakat.

Yang juga menarik, buku ini menawarkan perlunya demokrasi sosial yang baru, di luar dari sekadar dalam bentuk bentuk kebebasan seperti yang terjadi di media sosial, setidaknya itu berlaku di tempat kerja. Konstruk itu terkesan politis namuan menjadi relevan manakala melihat fenomena sekaran yang dihgerakkan oleh perkembangan media sosial yang mengarahkan bahwa hierarki komunikasi kini makin luntur dan menjadi datar.

Demokrasi sosial diperlukan karena kekuasaan sebenarnya berasal dan diantara orang-orang yang ada secara nyata, dan demokratis karena memberikan suara untuk semua bukan untuk seseorang. Dalam konteks ini, kepemimpinan publik seyogyanya dikembalikan pada tujuan semula dengan inti bahasan dan bisnis yang mengedepankan faktor kepercayaan.

Kepemimpinan publik merupakan kepemimpinan yang mencerahkan untuk mempromosikan partisipasi dan kebebasan diatas kontrol dan mendorong orang untuk berpikir serta berperilaku sebagai layaknya para aktivis sosial itu sendiri. Pemimpin publik memfasilitasi aktivitas orang lain, yang secara efektif co-producing kepemimpinan.

Perusahaan masa depan secara de facto adalah sebuah gerakan sosial sehingga fungsi komunikasinya adalah membangun jaringan komunitas yang sangat terhubung, yang masing-masing pelakunya terdiri atas orang-orang yang memiliki keahlian khusus. Bila konsep ini maka Corporate Social Responsibility konvensional tidak dibutuhkan lagi.

Model baru dari Public Leadership diukur melalui Nilai Publik. Gagasan ini mengingatkan orang pada gagasan Aristoteles tentang Common Good dan pengembangan dari gagasan professor dari Harvard,  Michael Porter tentang Shared Value. Intinya, menurut Phillips, setiap organisasi memiliki versi yang unik - dan manifesto sendiri. Ini karena Nilai Public itu dihasilkan bersama dari rembugan para para   karyawan, pelanggan dan stakeholder lainnya.

Ini bisa menjadi jangkar akuntabilitas kepada orang banyak orang. Sebuah bank yang berpikir dalam konteks memghasilkan nilai public (public value) misalnya, sudah tentu akan dengan cepat membahas tantangan kalau-kalau mereka menjadi sebuah institutsi yang "tidak berguna secara sosial." Pada sisi lainnya, pemikiran public value juga menjadi penentu kerangka kerja yang lebih baik untuk pengambilan keputusan secara etis dan terpercaya.

Buku Trust Me, PR is Dead menangkap kisah-kisah dari berbagai industri yang tampaknya tidak menyadari bahwa dirinya sekarat menghadapi kematiannya. Selain PR, dalam buku ini, Phillpis juga  menyoroti kematian yang tak terelakkan dari banyak industri tradisional yang dikumpulkannya dari media untuk penerbitan dan partai-partai politik, diplomasi untuk komunikasi internal dan, yang paling penting, kepemimpinan itu sendiri.

Pada era pemberdayaan individu seperti sekarang ini, kekuatan bergeser dari negara ke kota; majikan kepada karyawan; korporasi ke konsumen. Kekuasaan dan pengaruh telah menjadi asimetris. Kepercayaan menjadi begitu rapuh dan upaya mengontrolnya menjadi pekerjaan yang sia-sia.

Seirama dengan berjalannya waktu, PR dan banyak industri lama segera berakhir. Namun, Phillpis optimistis bahwa ada upaya untuk menjawab pertanyaan, “Jika semuanya sudah mati, lalu apa yang datang berikutnya?" Disinilah aktivis, kejujuran secara radikal dan transparansi harus menjadi jantung bisnis dan politik saat ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar