Senin, 26 Juni 2017

Membangun Perusahaan Tahan Gangguan




Judul Buku          : Digital Mastery: Membangun Kepemimpinan Digital untuk Memenangkan Era Disrupsi
Penulis                 : Priyantono Rudini dan Mardi FN Sinaga
Penerbit               : PT Gramedia Pustaka Utama, 2017
Tebal Buku          : 220 Halaman termasuk sampul

Ketika saya ditawari oleh menulis review tentang buku Digital Mastery karya Priyantono Rudito dan Mardi FN Sinaga ini saya langsung tertarik. Dari judulnya, saya tahu buku itu tentu akan membahas tentang disrupsi atau gangguan industri yang belakangan ini banyak dibicarakan orang. 

Namun  demikian, ada yang mengusik rasa keingintahuan saya tentang bagaimana pengalaman perusahaan-perusahaan besar di Indonesia menghadapi perubahan disrupsi tadi.  

Hal lain adalah karena saya “kenal” penulisnya sebagai sesesorang yang sangat lekat dengan modal manusia. Karenanya saya makin penasaran untuk mengetahui perspektif penulis buku ini dari sisi faktor manusia dalam menghadapi perubahan yang mengggangu.

Dalam diskusi kelas integrated marketing communication di kelas postgraduate program STIKOM LSPR Jakarta beberapa hari lalu, beberapa mahasiswa sempat menyinggung soal lebih sulitnya perusahaan besar berdaptasi terhadap perubahan ketimbang perusahaan yang lebih kecil. 

Perusahaan kecil jauh lebih lincah ketimbang perusahaan besar sehingga peluang untuk “gagal” bisa terjadi lebih awal ketimbang perusahaan kecil. Kebetulan penulis buku ini terlibat dalam langsung dalam pengelolaan modal manusia sebuah perusahaan BUMN.   

Dalam 20 tahun terakhir, ada satu kata yang paling “ditakuti” para eksekutif atau pengusaha mapan, disruptive. Tak peduli, perusahaan di industri apapun, yang bergerak cepat atau lambat saat ini terganggu perubahan pasar dan teknologi. Banyak perusahaan yang gagal menghadapi perubahan tersebut. Tak peduli perusahaan yang bagus atau jelek, yang inovatif ataupun tidak.

Kata disruption atau disruptive kini menjadi kata kunci bisnis yang mudah dijumpai. Segala sesuatu dan semua orang tampaknya mengkarakteristikkan kegiatan dan gagasannya sebagai disruptive. Atau jika mereka tidak masuk dalam disruptive, mereka berharap bahwa hanya persoalan waktu saja yang membawa mereka pada sesuatu yang disruptive.

Tepat 20 tahun lalu, profesor dari Harvard Business School, Clayton Christensen, menulis buku The innovator’s dilemma : when new technologies cause great firms to fail. Butuh waktu hampir 15 tahun bagi Clay untuk dinobatkan sebagai pemikir manajemen bisnis paling berpengaruh di dunia pada tahun 2011 dan 2013. Selama itu pula orang masih belum sadar benar adanya ancaman nyata di depan mata mereka.

Orang baru benar-benar sadar ketika muncul Uber, GoJek, AirBnB, dan sebagainya. Orang baru sadar ketika banyak perusahaan retail yang tutup menjadi korban dari perubahan. Sejatinya, bisnis Uber, GoJek dan sebagainya bukanlah baru. 

Bisnis itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Namun yang membedakan saat ini adalah tingkat pengetahuan dan kesibukan, kebutuhan dan taste serta tuntutan orang yang berubah. Perubahan itu makin dipercepat dengan berkembangnya teknologi digital. Perusahaan-perusahaan tersebut – setidaknya hingga saat ini -- berhasil memanfaatkan perubahan tersebut.   

Ketika Clay menulis buku itu, ada pertanyaan kunci yang diajukan untuk dicari jawabannya, kenapa perusahaan bagus pun bisa menjadi korban perubahan. Kenapa perusahaan yang dikelola dengan baik yang memiliki antena kompetitif, mendengarkan dengan cerdik pelanggan mereka, berinvestasi secara agresif dalam teknologi baru, namun masih kehilangan dominasi pasar.

Sears Roebuck, misalnya, selama bertahun-tahun dianggap sebagai salah satu pengecer paling cerdas di dunia. Pada puncaknya Sears menyumbang lebih dari 2 persen dari seluruh penjualan eceran di Amerika Serikat. 

Tak kalah pentingnya, perusahaan itu yang  mempelopori beberapa inovasi yang penting bagi kesuksesan pengecer yang paling dikagumi saat ini: misalnya, manajemen rantai pasokan, merek toko, katalog, dan penjualan kartu kredit. Namun, perusahaan itu terpaksa tutup.

Joshua Gans, profesor manajemen strategis di Universitas Toronto Rotman School of Management, setuju bahwa manajer harus waspada terhadap ancaman disruptive dan guncangan yang membuat orang keluar dari zona kenyamanan mereka. 

Tapi dia mengingatkan bahwa pendulum telah berayun terlalu jauh: banyak orang yang "melihat disruptive di mana-mana dan digunakan untuk membenarkan keputusan manajerial yang berisiko dan tidak – yang pada akhirnya -- untuk kepentingan mereka.  "Ini sangat bagus untuk menantang keyakinan Anda," tulisnya dalam The Disruptive Dilemma, "tapi itu tidak berarti Anda harus terus menganggapnya tidak ada".

Gans mengajak orang untuk fokus pada disruptive yang digunakan dalam  istilah bisnis, yakni dengan mengidentifikasi cara-cara baru untuk memahami hal itu dan menyarankan alat-alat baru untuk mengelola perubahan itu. Gagasan yang muncul setelah hampir dua puluh tahun yang lalu Clayton Christensen mempopulerkan istilah disruptive dalam bukunya The Innovator's Dilemma dengan menulis bahwa disruptive merupakan seperangkat risiko yang dihadapi perusahaan.

Dalam buku Digital Mastery ini, Priyantono Rudito dan Mardi FN Sinaga menulis, ada kesamaan di balik gelombang disrupsi industri tersebut, yakni teknologi digital. Teknologi ini telah mengubah pengalaman konsumen, mengubah proses perusahaan dan memaksa perusahaan untuk menemukan kembali model bisnisnya. Perubahan konsumen itulah yang membuat sesuatu yang dulu penting dan dibanggakan perusahaan menjadi kurang relevan bagi konsumen.

Dalam situasi demikian, perusahaan memiliki dua pilihan, melakukan sesuatu atau tidak. Yang pasti bila perusahan tidak berubah dan menemukan kembali model bisnisnya mereka akan ditinggalkan kosumennya. Sebaliknya, kalau perusahaan memilih yang kedua, apa yang harus mereka lakukan? Sesuai dengan tesis awal buku ini mengajukan alternatif agar perusahaan tidak tergerus profitabilitasnya, perusahaan melakukan transformasi digital.

Dakam konteks itu, perusahaan harus berinvestasi digital, mengadopsi teknologi digital dan mengimplementasikannya, mentransformasi model bisnis dan menawarkan value segar dan – setidaknya – baru. Segar dan baru disini bisa jadi barangnya tidak baru tapi konsumen mendapatkan pengalaman baru akibat perubahan proses yang dideliver oleh perusahaan.  

Kenapa saya katakan prosesnya? Ambil contoh Netflix. Barang yang ditawarkannya bukanlah baru, tapi proses pendeliveran produknya yang baru membuat pengalaman konsumen berubah total. Lagi-lagi ini dimeungkinkan karena teknologi digital.

Jadi seperti yang ditulis di buku ini, aplikasi teknologi digital ditujukan untuk mendongkrak kinerja bisnis dan keuangan perusahaan. Itu yang dilakukan Amazon atau Google. Dari perspektif inilah kompetensi Rudito sebagai orang yang sangat memperhatikan faktor manusia di dalam perusahaan masuk. Sebab secanggih apapun teknologi, kalau dijaankan oleh manusia yang tidak tepat dan kompeten bisa dipasikan akan menemui kegagalan.

Rudito menguji gagasan itu melalui penelitian dengan menjadikan perusahaan tempat penulis bekerja sebagai obyeknya. Melalui serangkaian penyebaran kuesioner kepada ratusan responden dan diskusi kelompok berfokus pada belasan eksekutif perusahaan, sampailah penulis pada kesimpulan bahwa untuk menjadi digital mastery, yang dibutuhkan adalah digital capability (kemampuan digital) dan digital leadership capability (kemampuan kepemimpinan digital).  
    
Kemampuan digital merujuk pada kemampuan perusahaan dalam menerapkan teknologi digital untuk meningkatkan daya saing. Sedangkan kemampuan kepemimpinan menyangkut kemampuan mengarahkan dan menggerakkan perubahan. Untuk meningkatkan daya saing melalui kemampuan kemampuan digital dapat dilakukan dengan tiga cara; memperkayak pengalaman konsumen, menntransformasi proses operasi dan menemukan kembali model bisnis.

Transformasi digital menuntut adanya kepemimpinan yang memiliki visi; mampu melibatkan seluruh karyawan di semua level organisasi; tata kelola transformasi yang solid dengan menyelaraskan sistem, proses, data, teknologi dan karyawan agar bergerak dalam satu arah menuju visi; dan kemampuan untuk mewujudkan hubungan harmonis-sinergis antara orang teknik (IT) dan orang bisnis sehingga transformasi benar-benar menghasilkan nilai bisnis.

Buku ini sangat berharga bagi mereka yang ingin mendalami masalah modal manusia, terutama dalam konteks perubahan mengganggu yang akhir-akhir ini seakan-akan jadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Meski harus diakui bahwa untuk mengaplikasikan temuan ini butuh penyesuaian-penyesuaian karena bagaimanapun lingkungan dan kebutuhan masing-masing perusahaan tentu berbeda. Namun demikian, ada satu hal yang penting dari buku ini, yakni bagaimana pun perubahannya, faktor manusia menjadi sangat penting.