Selasa, 19 September 2017

PLAIN FOLKS


Miral adalah film tahun 2010 yang disutradarai oleh Julian Schnabel dan diangkat dari novel karya Rula Jebreal dengan judul yang sama. Miral berkisah tentang empat wanita yang berkawan akrab dan mempunyai tujuan sama, yakni mencari keadilan, harapan dan rekonsiliasi di tengah dunia yang dibayang-bayangi oleh konflik, kemarahan dan perang.

Ceritanya dimulai pada tahun 1948 di Yerusalem, ketika Hind Husseini membuka sebuah panti asuhan untuk anak-anak pengungsi, yang dari hari ke hari jumlahnya semakin mengkhawatirkan. Salah satu dari anak-anak ini adalah Miral, remaja berusia tujuh belas tahun, yang tiba di panti asuhan pada usia tujuh tahun, setelah kematian ibunya yang tragis.

Selama periode perlawanan Intifada berlangsung, anak-anak perempuan dari panti asuhan Nyonya Hind dikirim untuk memastikan pendidikan anak-anak di kamp-kamp pengungsian. Miral dikirim ke Ramallah, sebuah kamp yang terletak di Balkan timur. Di sini dia bertemu dengan Hani, seorang aktivis politik dan jatuh cinta.

Di sebagian hidupnya yang berada di tengah-tengah kekejaman perang, Miral menemukan dirinya dalam sebuah pertempuran pribadi yang mencerminkan dilema dirinya sendiri: dia ikut berperang seperti orang-orang sebelum dia atau mengikuti ajaran Mother Hind, yaitu bahwa pendidikan adalah satu-satunya solusi yang membuka jalan menuju perdamaian.

Para ilmuwan menyoroti bahwa dengan menampilkan dirinya sebagai "orang polos", komunikator tersebut ingin meyakinkan audiensenya bahwa gagasannya bagus karena mereka melibatkan orang biasa sehingga cocok buat mereka (Lee, 1937). Secara umum komunikator ingin dirinya dianggap atau dimasukkan ke dalam kelompok orang biasa, bukan sebagai orang atasan yang terputus hubungannya dengan orang bawah. Untuk membangun kesan itu, para politisi berusaha penampilan perilaku sealami mungkin dan normal.
  
Pada tataran interpretasi audience, dapat dikatakan  bahwa film tersebut merupakan salah satu film propaganda. Ini karena melalui karakter utama (Miral, seorang gadis biasa), penonton dicoba untuk diyakinkan bahwa perdamaian di wilayah Israel dimungkinkan jika kedua belah pihak mencapai sebuah konsensus (Panaite 2014).

Dalam kajian propaganda ada konsep yang dikenal dengan plains folks atau metode yang dipakai oleh komunikator atau pembicara dalam upanya untuk meyakinkan audience bahwa dia dan gagasan-gasannya adalah bagus karena mereka merupakan “bagian dari rakyat”, “rakyat yang lugu” (Lee dan Lee 1993 halaman 93).

Metode ini sering dipakai dalam politik. Karena dalam banyak kasus metode ini dirasa efektif, maka periklanan juga menggunakan metode ini sebagai cara untuk membujuk audience. Misalnya, ada seorang model dalam iklan TV yang mempromosikan produk kecantikan mengatakan, “Jangan membenci saya karena saya cantik. Saya juga seperti kamu karena pada saat saya baru tidur pada pagi hari, saya cantik persis seperti kamu.”

Ada iklan lain, iklan merek lokal sebuah makanan panggang menunjukkan pemandangan “menuju kampung halaman” dan lagu pengiring tentang “lahan kain biru”, sedangkan serangkaian ilan merek es krim lokal menceritakan sapi-sapi yang mengira sebuah kota kecil adalah surge dan orang-orang pedesaan memuji es krim tersebut (Severin and Tankard 2001).

Pada safari kampanye Juli 1992, keluarga Clinton dan Senator serta Mrs. Al Gore difoto dengan pakaian kasual, duduk di atas tumpukan jerami sambil berbicara dengan para petani di dekat Utica, Ohio. Latar belakangnya adalah lading jagung, peralatan panen, dan beberapa pakaian. New York Time lalu menuliskan itu dengan judul Just Folks (http://www.nytimes.com/1992/07/26/weekinreview/just-folks-what-s-meant-and-what-s-mean-in-the-family-values-battle.html).

Beberapa hari setelah terpilih, sebuah artikel berita utama tentang keuangan Clinton menyebutkan bahwa sebelum Clinton terpilih sebagai presiden, posisi keluarga Clinton termasuk dalam kelompok satu persen warga berpendapatan dan kelompok tiga persen warga berpendapatan bersih tertinggi di Amerika Serikat. (Anrig and MacDonald 1992).

Ini berarti bahwa sebetunya keluarga Clinton itu termasuk keluarga kaya. Pertanyaannya adalah apakah mungkin dalam kesehariannya kegiatan Clinton seperti yang dia tampilkan seperti yang difoto tadi? Apakah itu sekadar pencitraan?

Tiga tahun kemudian, Presiden Clinton kembali ke citra rakyat biasa yang sederhana. Seorang reporter menulis (Nicols 1995), Presiden Clinton yang merakyat dengan memakai jins biru, boat koboi… menghabiskan waktu 48 jam di sebuah tempat dimana posisi politiknya telah melemah… Kunjungan dua hari ke Colorado dan Montanaini adalah waktu bagi Clinton untuk memperkuat citranya bahwa sebagai “rakyat sederhana” yang akan dia manfaatkan pada pemilihan umum berikutnya (halaman 8A).

Banyak hal yang bisa digunakan oleh politisi untuk membangun citranya sebagai rakyat atau sebagai orang yang dekat dengan rakyat. Bagi para politisi, pemilihan tempat liburanpun menjadi sebuah keputusan politik. Seorang penulis, Seelye (1999) menyebutkan bahwa Presiden dan Nyonya Clinton merencanakan liburan musim panas tahun 1999 ke Adirondack atau Shelter Island, negara bagian New York, tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Kunjungan itu bukanlah sekadar datang dan tanpa agenda apa-apa. Menurut Seelye, kunjungan itu seakan mengungkapkan agenda Ny. Clinton yang mengangankan sebuah kampanye untuk kursi Senat dari New York.

Pada 1996, dalam rangka menggalang dukungan, Clinton telah dua kali berlibur ke Wyoming, berkemah dan mendaki, untuk mengambil hati para pecinta lingkungan. Dia sangat ingin pergi ke kebun anggur Martha untuk liburan musim panas tahun 1997 dan 1998. Kandidat Presiden dari partai Republik George W Bush selama pembukaan kampanye akhir pekannya, bergaul dengan para pelanggan Madden Family Restaurant di Derry, New Hampshire.

Disitu, sebelum dia pergi ke meja makan, dia ikut melayani penjualan dan membantu menyediakan kopi. Seorang multi-jutawan yang – untuk beberapa saat – hanyalah “rakyat sederhana” (Associated Press 1999). Bagi politisi, bisa diakatakan bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah seakadar melakukan tapi memiliki agenda politik.

Saat krisis ekonomi Amerika Serikat 2011, Presiden Obama melakukan liburan ke Martha’s Vineyard, Massachusetts. Liburan seseorang yang saat itu menjabat presiden bagi warga Amerika sudah biasa. Persoalannya adalah liburan itu dilakukan seorang presiden saat Amerika dilanda krisis. Liburan ini dikritik sebagai kegagalan Obama berempati terhadap nasib puluhan juta orang Amerika karena krisis tersebut.

Betapa tidak, saat rakyatnya menghadapi kesulitan ekonomi, Obama menghabiskan uang pajak yang besarnya diperkirakan mencapai $ 50.000 per minggu untuk menyewa rumah dan staf keamanan mencapai jutaan dolar. Obama saat itu berlibur selama 11 hari. Kritik itu tak mengganggu liburannya karena di kota kecil itu Obama menghabiskan waktu liburannya dengan bersepeda, berbelanja di toko grosir meski sesekali main golf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar