Minggu, 08 Oktober 2017

Wartawan Sekarang Lebih Berat dari Wartawan Dahulu?


Dalam lanskap media di mana pengikut media sosial dianggap jauh melebihi sirkulasi media berbayar, selebriti memiliki kontrol lebih besar atas liputan media daripada sebelumnya. Pernyataan atau pengumuman resmi mereka tidak dikirim ke editor di media utama, publikasi diterbitkan dengan mengupload guntingan informasi, foto, bahkan video ke Twitter atau Instagram. Dengan kata lain, apakah selebriti sekarang tidak lagi membutuhkan siaran pers yang biasa dibuat jurnalis atau praktisi
public relations?

Pasangan selebriti – bila digabung -- memiliki lebih banyak follower di Instagram daripada hampir semua publikasi. Para follower tersebut bisa jadi sebagian besar merupakan penggemar sebenarnya. Follower seorang selebriti bisa mencapai dua juta lebih. Bandingkan dengan media terbesar yang memiliki sirkulasi kurang dari 500 ribu. Karena itu wajar bila ketika seorang selebriti, seperti Chrissy Teigen,  mengumumkan kehamilannya, informasi itu tersebar keluar ke 4.1 juta orang karena followernya lebih dari 4.1 juta. Itu belum ditambah dengan follower pasangannya, John Legend, yang memiliki 2,7 juta follower.

Seperti yang ditulis oleh John Herrman di Awl in Access Denied: "Mereka, bukan publikasi yang mengirimkan kepada mereka, adalah filter utama yang digunakan orang di Internet untuk menemukan dan mengkonsumsi berita dan hiburan." Praktik yang dulu membutuhkan tim humas yang berpengalaman, sekarang bisa mereka lakukan hanya dalam waktu 30 detik melalui ponsel mereka. Dengan kata lain, saat ini banyak selebriti tampaknya memiliki kepercayaan diri bahwa mereka telah menemukan cara mereka mempublikasikan diri sendiri.

Fenomena ini menggambarkan betapa wartawan sekarang juga harus bersaing dengan selebriti dalam mempublikasikan informasi. Bila dulu untuk mempublikasikan dirinya, mereka bikin jumpa pers atau menyebarkan siaran pers, kini hal itu tidak butuh itu. Siaran pers adalah tulisan yang dikeluarkan oleh perusahaan atau institusi untuk menyampaikan informasi yang layak diberitakan ke komunitas media dan kepada masyarakat umum (secara tidak langsung melalui pemberitaan surat kabar, atau, secara langsung, dengan membuat siaran pers yang tersedia di situs web perusahaan) di sisi lain. Meskipun seolah-olah informatif, secara implisit, siaran pers juga memuat tujuan mempromosikan diri sendiri, sejauh informasi yang dikandungnya berasal dari sumber internal organisasi yang merupakan tujuan dari siaran itu sendiri.

Dalam beberapa kali diskusi, saya selalu mengatakan bahwa menjadi wartawan jaman sekarang jauh lebih berat daripada jaman saya semasih sering berburu berita dahulu. Semasih saya berburu berita, kontrol media begitu ketat. Namun para wartawan saat itu mengetahui berita-berita yang harus dihindari, seperti jangan memberitakan tentang hal-hal negatif bisnis keluarga penguasa atau urusan internal keluarga lainnya. Yang paling aman saat itu adalah memberitakan peristiwa luar negeri, meski itupun harus dipilah-pilah karena terkadang ada berita yang ada sangkut pautnya dengan urusan “internal”.

Wartawan jaman dulu kesulitan mencari, mengakses informasi. Wartawan sekarang kebanjiran informasi, Ini bukan berarti wartawan sekarang tidak lebih berat dari era dulu. Wartawan sekarang justru lebih berat tanggungjawabnya karena selain yang dilakukan wartawan dulu itu tadi juga lebih berat dalam memilah dan mengemasnya karena saking banyaknya informasi yang mungkin simpang siur karena semua orang pingin bicara. 

Wartawan jaman sekarang dituntut jauh lebih bekerja lebih keras dan kreatif. Tantangannya jauh lebih besar manakala bekerja di media – mohon maaf – kecil atau kurang bernama. Kalau dulu untuk mendapatkan berita eksklusif lebih mudah karena ada saja narasumber yang ingin memanfaatkan media untuk menciptakan publisitas. Perlu diketahui bahwa saat itu berlaku adegium, No Source No News. Memberitakan tanpa mencantumkan narasumber yang jelas sangat-gangat rawan menjadi bidikan penguasa.

Persoalannya, Informasi eksklusif sering diberikan narasumber kepada media-media menengah. Mengapa? Media besar terlalu berisiko bila menyebarkan informasi negatif tentang penguasa misalnya. Kalaupun mau memberitakannya harus dikemas sedemikian rupa sehingga penguasa tidak tersinggung. Baru informasi yang sangat sensitive misalnya, narasumber yang sudah benar-benar ingin membuat publisitas, mendekati media menengah atau media kecil yang lebih leluasa ruang geraknya karena bisa jadi penguasa kirang menaruh perhatian pada media kelas ini.  

Pengalaman saya selama bekerja di Harian Republika membuktikan hal itu. Anda mungkin masih ingat pada awal-awal Republika berdiri, banyak berita-berita eksklusif yang muncul di Republika. Bagaimana ceritanya kok bisa begitu, ya seperti yang saya ceritakan di atas. Karena saking seringnya mendapatkan informasi eksklusif sampai-sampai di rumah saya pasang mesin fax, media pengiriman yang lagi “penting” jaan itu.   

Sekarang, jamannya berubah. Yang namanya breaking news, pengaruhnya terhadap media itu sendiri nyaris kurang nggreget. Ini karena media lain yang dalam hitungan menit bahkan detik, media juga memberirakan masalah atau topik yang sama. Seperti diketahui, breaking news adalah penyampaian informasi penting oleh media sehingga penyiar, misalnya, merasa perlu menyela jadwal pemrograman dan/atau berita saat itu untuk melaporkan rinciannya.

Saat ini jumlah wartawan dan media semakin besar. Persaingan antar media meningkat karena kue iklan yang diperebutkan juga belum bertambah secara signifikan bahwa untuk media konvesional menyusut. Wartawan sekarang dituntut jauh lebih produktif. Bila dulu seorang wartawan cuma, misalnya, menyusun dua berita per hari, sekarang – apalagi sekarang terjadi konvergensi media -- dituntut membuat minila 5 ata lebih lebih setiap hari. Apakah sutuasi ini peluang bagi kegiatan public relations?

Hal lainnya, tuntutan publik sekarang juga berubah. Untuk segmen audience tertentu, berita yang sifatnya langsung kurang diminati. Mereka memang mempunyai keterbatasan waktu yang mereka sisihnya untuk mengamati berita, namun mereka selanjutnya butuh informasi ada apa di balik berita yang mereka dapatkan tadi. Dalam kondisi seperti ini, wartawan memang dituntut untuk lebih kreatif menemukan informasi yang berada di balik berita tadi.

Wartawan sekarang juga dituntut bekerja lebih cepat, bila tidak cepat bekerja misalnya dalam menuliskan beritanya, dia akan ketinggalan dengan media lain. Bila beritanya ketinggalan dengan media lain, karena media tempat dia bekerja tidak prominence, bisa jadi beritanya tidak dibaca orang karena publik cenderung membaca berita dari media utama.

Kreatif saat ini menjadi tantangan tersediri karena ada sebagian publik yang merasa awam dengan isu-isu yang ditampilkan media. Kreatif wartawan terkadang menjadi tantangan tersendiri bagi karyawan sehingga jurnalisme objektif mulai ditinggalkan. Media sekarang banyak yang menganut jurnalisme interpretatif. Apa dampaknya bagi praktik public relations?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar