Minggu, 31 Desember 2017

Kali Ini Saya Ingin Mengganggu (Disrupt) Pikiran Pemerintah


Dalam dunia bisnis yang berubah tiada henti, hanya ada satu cara untuk memenangkan permainan: Transform it completely. Ini membutuhkan sebuah revolusi dalam pemikiran - sebuah aliran strategi yang mengganggu dan solusi tak terduga.

Mantra lama, "differentiate or die” (membedakan atau mati) kini tidak lagi relevan. Kenapa? Saat ini sudah terlalu banyak diferensiasi yang terjadi. Dengan berpegang teguh pada mantra "membedakan atau mati", bisnis besar dan kecil semakin menyulitkan pelanggan (dan calon pelanggan mereka) untuk membedakan antara perubahan yang dalam dan bermakna dan hal baru yang dangkal dan dangkal.

Akibatnya, dengan kelebihan penawaran serupa di pasar, semua orang mengklaim "berbeda"  -- yang secara teoritis seharusnya memberi nilai tambah pada produk atau layanan perusahaan – akibatnya hampir tidak mungkin bagi bisnis untuk membuat produk mereka diperhatikan dan mendapatkan tanggapan yang berharga dari target marketnya.

Selama ini masih banyak perusahaan yang berkutat pada upaya untuk menemukan diferiensi produk dari sisi fitur. Jarang perusahaan yang memikirkan tentang bagaimana menciptakan suatu produk atau jasa yang ditujukan untuk konsumen yang selama ini belum terpenuhi kebutuhannya oleh produk atau merek yang ada. Ini bisa jadi karena akses mereka yang terhambat atau ketidaktahuan mereka atau kemampuan mereka menjangkau produk tersebut.

Situasi ini yang kemudian berusaha diatasi oleh Presiden Jokowi melalui pembangunan infrastruktur yang pada intinya membuka akses daerah atau masyarakat yang selama ini tidak bisa menjangkau atau dijangkau. Persoalannya adalah bagaimana kemudian membuat akses tadi dimanfaatkan oleh masyarakat yang baru terbuka tadi. Sulit mengharapkan mereka bergerak sendiri. Mereka harus didorong untuk bergerak memanfaatkan akses itu untuk meningkatkan kehidupannya.

Pemerintah DKI kini menghadapi persoalan penataan Tanah Abang. Pasar Tanah Abang sejak lama menjadi destinasi belanja masyarakat kelas menengah. Dalam bayangan saya, yang membuat Pasar Tanah Abang menarik adalah kemudian aksesnya. Banyak pedagang Pasar Bogor misalnya yang saya kenal kulakannya ke Pasar Tanah Abang. Mereka tidak bermobil melainkan berkereta. Ini membuat trafik antara stasiun dan pasar menjadi tinggi. Ini juga menjadi daya tarik pedagang. Daya tariknya makin tinggi paska pasar direnovasi.

Ini yang membedakan Pasar Tanah Abang dengan Pasar Mayestik misalnya sehingga Pasar Tanah Abang jauh lebih berkembang.  Pasar Mayestik sebenarnya mempunyai potensi untuk berkembang, sayangnya aksesnya yang hanya bisa dijangkau dengan moda transportasi mobil atau motor membuat orang – terutama dari luar daerah -- harus mempertimbangkan Pasar Tanah Abang sebagai pilihan belanja. Demikian pula dengan Pasar Jatinegara.

Beberapa waktu lalu, Majalah SWA-MIXdan Business Digest bekerjasama dengan Yayasan Danamon Peduli menyelenggarakan Forum Pembelajaran Inovasi Pasar Rakyat. Dalam presentasinya, pengelola pasar Koja menyatakan ambisinya untuk bisa menjadikan sebagai pasar alternative Pasar Tanah Abang. Namun sekali lagi mereka juga terkendala akses.

Potensi lainnya yang bisa dikembangkan sebagai alternatif adalah Pasar Bogor. Disini akses dan lokasi mudah dijangkau dengan kereta. Tinggal akses dari daerah di Jawa Barat lainnya yang mungkin perlu dikembangkan. Bukanah kini sudah akses kereta ke Sukabumi?  

Penelitian saya menunjukkan bahwa pasar meningkatkan daya tariknya paska direvitalisasi. Pengunjung meningkat meski belum tentu membeli. Disini kelebihan pedagang pasar Tanah Abang. Mereka piawai dalam local marketing. Mereka aktif mempersuasi pembelanja untuk membeli produknya. Ini berbeda dengan pasar lainnya. Di Pasar Blok F Bogor misalnya, berdasarkan penelitian saya, pedagangnya pasif, menunggu pembeli. Ini tipikal pedagang pasar tradisional yang diantara pedagang tidak terdapat persaingan.

Dalam buku Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns (University Of Chicago Press, 1963), Clifford Geertz, antropologis ternama, menyebutkan bahwa dalam pasar tradisional yang terjadi bukan persaingan antara pedagang dan pedagang lainnya, melainkan antara pedagang dan pembeli. Ini yang kemudian melahirkan teori sliding price, harga meluncur ke bawah akibat kegigihan pembeli dalam menegosiasikan harga yang ditawarkan pedagang.   

Ini yang kemudian memunculkan pertayaan, mengapa pemerintah tidak memecah Pasar Tanah Abang dengan melahirkan sentra-sentra pedagangan lainnya? Menjelang krsisi ekonomi tahun 1998 sejatinya pemerintah berhasil memecah pusat-pusat perdagangan yang selama itu berpusat di Glodok dengan melahirkan konsep trade center seperti ITC Fatmawati, Senayan dan sebagainya. Sayangnya krisis segera melanda. Kedua aksesnya juga tidak semudah Pasar Tanah Abang misalnya yang bisa dijangkau masyarakat dengan kereta.

Dalam literatur teori inovasi, ungkapan disruptive (mengganggu) diasosiasikan dengan gagasan tentang disruptive technology (teknologi yang mengganggu) yang digambarkan Clayton Christensen dalam bukunya The Innovator's Dilemma. Christensen mengamati bahwa teknologi yang mengganggu sering masuk di bagian bawah pasar, di mana perusahaan mapan mengabaikannya. Mereka kemudian tumbuh pada titik dimana pengaruh mereka melampaui sistem lama. Namun, dalam realtitasnya gagasan “mengganggu” tidak begitu banyak diimplementasikan banyak perusahaan sehingga mereka bisa menemukan dan bereaksi terhadap perubahan teknologi yang mengganggu pasar.

Menjadi perubahan yang mengganggu dalam industri adalah jenis usaha baru yang mungkin termasuk usaha kecil yang terbaik. Ini adalah cara berpikir yang dapat dipelajari dan diterapkan secara efektif oleh perusahaan atau organisasi baik besar maupun kecil atau bahkan calon industri yang bersedia menantang status quo di manapun mereka berada.

Tidak ada waktu yang lebih baik untuk menantang status quo daripada saat ini. Perusahaan atau yang menang dalam dekade mendatang adalah perusahaan yang memproduksi dan menerapkan gagasan yang tidak mudah dipahami atau direplikasi oleh pesaing. Perusahaan akan membuat kategori baru dan mendefinisikan ulang yang lama.

Pelanggan pada dasarnya mengubah apa yang mereka inginkan dari produk dan layanan yang mereka alami. Internet dan infrastruktur koneksi masif sudah menemukan kembali banyak industri, namun saat ini bisa jadi tahapannya masih menggaruk permukaannya. Merlimpah potensi di baliknya. Saat ini, pada dasarnya kita masih dikelilingi oleh banyak produk, layanan, dan model bisnis yang dibangun berdasarkan logika masa lalu. Banyak keputusan yang mendefinisikan suatu bisnis dibuat pada era bertahun-tahun yang lalu, dalam usia yang berbeda, dan konteks yang berbeda.


Dari sini pula muncul pertanyaan, kenapa tida menjadikan pasar fisik sebagai digital marketplace. Pasar fisik yang selama ini, menjadi semacam “warehouse” atau showroom untuk memfasilitasi habit showrooming yang kini semakin ngetrend. Kenapa pemerintah tidak mengedukasi pedagang pasar rakyat menjadi pedagang online yang andal?

Minggu, 24 Desember 2017

Wisdom of the Crowd


Tahun 2004, James Surowiecki menulis buku The Wisdom of Crowds: Why the Many Are Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies, Societies and Nations. Sebagaimana judulnya, tesis yang dibangun Surowiecke dalam buku itu adalah sebuah prediksi atau keputusan hasilnya akan jauh lebih baik bila keputusan atau prediksi itu didasarkan atas masukan atau sumbangan informasi atau pemikiran dari banyak orang yang independen ketimbang yang hanya berdasarkan pertuimbangan individu atau masukan sedikit orang, sekalipun individu tersebut pintar.

Pertanyaannya adalah informasi seperti apa yang bisa membuat keputusan atau prediksi menjadi efektif? Untuk itu Surowiecke mengajukan kondisi bahwa suatu informasi secara kolektif bermanfaat bila, pertama terdapat keragaman pendapat. Artinya, setiap orang harus memiliki informasi sendiri, termasuk interpretasi terhadap fakta yang mereka ketahui. Karena itu, Surowiecki menekankan perlunya keragaman di dalam suatu crowd untuk memastikan varians yang cukup dalam pendekatan, proses berpikir, dan informasi pribadi.

Kedua, orang yang memberikan informasi tersebut harus bebas merdeka. Ini berarti pendapat yang dikemukakan tidak dipengaruhi atau ditentukan oleh lain, termasuk orang-orang di sekitar mereka. Ketiga, desentralisasi. Disini, pendapat atau informasi yang disampaikan memiliki karakteristis kekhususan, termasuk yang didasarkan pada pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan lokal. 

Bencana pesawat ulang-alik Columbia 2003, menurut Surowiecke terjadi karena manajemen birokrasi hirarkis NASA yang menutup diri terhadap pendapat para insinyur tingkat bawah.
Kegagalan intelijen AS mencegah serangan 11 September 2001 sebagian karena informasi yang dipegang oleh satu subdivisi tidak dapat diakses oleh pihak lain. 

Argumen Surowiecki adalah bahwa sebenarnya para analis intelijen telah bekerja dengan baik saat mereka menentukan sendiri apa yang harus dikerjakan dan informasi apa yang mereka butuhkan. Namun karena ketertutupan birokrasi di diatasnya, membuat informasi yang disampaikan intelijen di lapangan menjadi percuma. Karena itulah, yang keempat, adalah adanya agregasi. Disini ada mekanisme dan aturan main yang berfungsi mengubah penilaian pribadi menjadi keputusan kolektif.

Untuk membuktikan bahwa kecerdasan kelompok mengalahkan kecerdasan individu, Surowiecki memberikan ilustrasi acara permainan TV Who Wants to Be a Millionaire? (di Indonesia, permainan ini tayag di RCTI dengan host Tantowi Yahya). Acara ini adalah sebuah pertunjukan sederhana. Seorang kontestan mengajukan banyak pertanyaan pilihan, yang secara berturut-turut semakin sulit, dan jika dia menjawab lima belas pertanyaan berturut-turut dengan benar, dia berpeluang mendapatkan hadiah $ 1 juta.

Gimmick acara itu adalah jika seorang kontestan bingung dengan sebuah pertanyaan, dia bisa meminta bantuan mealui tiga cara. Pertama, dia bisa memiliki dua dari empat jawaban pilihan ganda yang dihapus (jadi setidaknya dia akan memiliki lima puluh lima peluang jawaban yang benar). Kedua, dia bisa menelepon seorang teman atau kerabat atau seseorang yang menurut dia nilai paling cerdas yang dia kenal, dan meminta jawabannya kepadanya. Ketiga, dia bisa meminta bantuan penonton di studio, yang akan segera memberikan suaranya melalui komputer.

Setelah beberapa kali melakukan pengamatan atas acara itu, Surowiecki menyimpulkan bahwa ternyata pada dasarnya individu yang cerdas yang paling banyak menawarkan bantuan. Para "ahli" mempunyai keinginan yang besar untuk menawarkan jawaban yang benar meski dia berada di bawah tekanan setidaknya oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memberikan jawaban itu. Dilihat lebih jauh, ternyata 91% jawaban yang diberikan oleh orang-orang punya pikiran bahwa mereka lebih baik bekerja dari pada duduk di depan pesawat televisi benar.

Sejak 1 Oktober lalu, channel FOX menayangkan serial berjudul Wisdom of the Crowd. Serial itu bercerita soal gagasan seorang entrepreneur sosial yang ingi memberdayakan masyarakat untuk menuntaskan pemasalahan di depan mereka. Idenya datang dari tulisan Surowiecki. Didorong oleh tekadnya untuk menemukan pembunuh putrinya, inovator teknologi Silicon Valley, Jeffrey Tanner, mengajak banyak orang masuk ke dunia baru dengan menciptakan platform digital bagi  orang-orang di seluruh dunia untuk berbagi dan mengevaluasi bukti-bukti penyelidikan kriminal secara terbuka.

Dia menggunakan perangkat lunak sebagai landasan untuk meluncurkan perusahaan baru dengan staf spesialis yang penuh gairah - termasuk petugas polisi beneran yang mencari pembunuh putrinya. Meski dia sendiri – sampai episode Senin kemarin -- gagal menemukan pembunuh putrinya, namun dia berhasil merevolusi cara masyarakat dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan di kawasan  Teluk San Francisco.

Sepintas tak ada yang baru dari gagasan dalam film serial yang tayang di Fox sejak 1 Oktober lalu tersebut. Namun penggunaan perangkat teknologi ditambah dengan unsur dramatisasi membuat serial itu menarik, minimal buat saya, sekaligus memiliki makna sosial yang tinggi, yakni bagaimana menggalang massa untuk menemukan solusi. Dengan perangkat teknologi terhubung melalui internet, semua pengguna teknologi internet dan smartphone bisa memberikan kontribusi atas pemasalahan kota, seperti bagaimana polisi mendapat sumbangan informasi dari warga untuk menemukan pelaku kejahatan pembunuhan, termasuk yang telah lama terjadi.

Dalam usahanya ikut membantu mengungkap kasus-kasus kejahatan seperti pembunuhan dan penculikan, Tanner dan teman-temannya yang tergabung dalam The Source dimulai dulu dengan menyebarkan misalnya, foto orang yang dalam beberapa hari tidak pulang ke rumah. Seperti halnya kita menyebarkan informasi melalui Facebook atau pesan langsung seperti WhatsApp dan sebagainya. Setelah foto dosebar, mereka menunggu respon informasi dari orang-orang yang terhubung yang jumlahnya mencapau 200 ribuan lebih dan tersebar di seluruh dunia itu.

Tak ada yang baru dari model penyebaran itu. Tahun 1980an, kita mengenal radio komunikasi antar penduduk. Konon seperti yang dikutip serial NCIS 15 yang tayang pukul 06.00 Senin kemarin, radio antar penduduk ini banyak membantu “menyambung kehidupan” karena menyebarkan informasi tentang peristiwa 9 September dan badai Katrina di AS. Dengan alat itu agen khusus McGee melacak an berhasil mengidentifikasi Ricochet yang diduga mengetahui pembunuh seorang marinir AS.

Tahun 1944, Departemen Kehutanan AS pernah mengalami kesulitan untuk mengatasi asap akibat kebakaran hutan yang tidak terkendali. Lalu, ide apa yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut? Menakut-nakuti? Membuat regulasi? Mengadakan hujan buatan? Tentu saja tidak. Departemen Kehutanan AS muncul dengan ide kreatif dengan menciptakan maskot bernama Smokey Bear di tahun 1944 yang disasarkan untuk mendidik generasi muda mengurangi kebakaran hutan. Smokey Bear berhasil menurunkan kebakaran hutan sebesar 80%.

Smokey Bear merupakan ikon AS layaknya Mickey Mouse atau Bugs Bunny. 95% penduduk dewasa dan 77% anak-anak 5-13 tahun di AS mengenali Smokey Bear dan memberikan inspirasi pembuatan maskot kampanye anti polusi bernama Woodsy Owl. Smokey Bear menjadi salah satu kisah komunikasi pemasaran tersukses di AS yang bertahan sampai tiga generasi. Bahkan akhirnya Kongres AS memutuskan menjadikan Smokey Bear milik pemerintah dibawah kendali Kementerian Pertanian.

Hal yang sama pernah dicoba dilakukan oleh KPK di Indonesia yang mencoba mengkomunikasikan ide anti-korupsi yang intangible. Ide yang cukup kreatif dilakukan melalui inisiatif awal yang bagus dengan komik “Pemburu Koruptor” Tiga tokoh utama ditampilkan yaitu Tara, Imel dan Tifa.  Meskipun hasilnya belum terlihat karena memang mengubah perilaku korupsi dalam perspektif pemasaran adalah sebuah pekerjaan jangka panjang, kreatifitas KPK perlu dihargai karena kreatifitas memang tidak ada batasnya.


Yang dilakukan Tanner, Departemen Kehutanan AS, KPK, dan mungkin Anda adalah sesuatu yang  sederhana namun kuat. Dalam situasi yang tepat, kelompok akan menjadi sangat cerdas, dan seringkali lebih pintar daripada orang terpandai secara individual. Suatu kelompok tidak perlu didominasi oleh orang-orang yang sangat cerdas agar bisa pintar. 

Bahkan jika sebagian besar orang dalam kelompok tidak terlalu mengetahui atau mendapatkan suatu informasi sehingga mereka lebih rasional sekalipun, itu masih dapat mencapai keputusan yang secara kolektif lebih bijaksana. Intinya semakin banyak kepala yang independen dan satu tekad adalah baik karena manusia bukanlah pembuat keputusan yang dirancang dengan sempurna.

Jumat, 22 Desember 2017

Mengapa Orang-orang Terkadang Tidak Peduli?


Kemarin, saya sempat melakukan diskusi dengan sahabat saya Edy Priyono di grup Association for Marketing and Consumer Behavior, sebuah grup yang digagas oleh sahabat saya Prof Ujang Sumarwan, dosen perilaku konsumen dari Institut Pertanian Bogor. Dalam diskusi tersebut, Mas Priyono mengatakan bahwa dalam komunikasi yang penting adalah bagaimana caranya agar pesan yang dirancang oleh pengirimnya sampai ke target. Kalau misalnya, response yang diharapkan tidak sesuai, itu menunjukkan kegagalan komunikasi.

Menarik. Ini karena bagaimanapun dalam sitausi seperti sekarang, saat interaksi orang dengan media semakin tinggi -- seseorang tidak lagi mengandalkan satu media untuk mendapat informasi -- agar suatu pesan sampai ke target ausidense sangatlah sulit. Saking sibuknya seseorang, dia makin sulit fokus pada sesuatu yang mungkin datangnya mendadak. Bisa jadi dia tidak memperhatikan pesan yang dikrimkan oleh seseorang sehingga pengirim pesan gagal mendapatkan response yang diharapkan.

Dalam buku Uninformed: Why People Know so Little about Politics and What We Can do about It, Arthur Lupia dari University of Michigan menulis bahwa jajak pendapat, wawancara media, dan percakapan sehari-hari mengungkapkan kebenaran yang meresahkan: warga negara, meski bermaksud baik dan bahkan bergairah terhadap masalah saat ini, hanya sedikit mengetahui tentang politik.

Ratusan survei mendapati banyaknya orang yang menjawab pertanyaan mendasar tentang pemerintah secara tidak benar. Mengingat keadaan yang tidak menguntungkan ini, tidak mengherankan jika orang yang merasa lebih berpengetahuan sering mencemooh publik karena ketidaktahuannya. Beberapa ahli bahkan berpikir, jangan-jangan warga masyarakat yang kurang mengetahui tentang politik itu sengaja dibuat agar mereka tetap berada di luar politik.

Seperti yang ditunjukkan Arthur Lupia dalam Uninformed, kondisi seperti itu sangat tidak konstruktif. Kritik terhadap ketidaktahuan publik itu bisa jadi cuma kesalahpahaman. Banyak ahli percaya bahwa dengan hanya memberi lebih banyak fakta kepada mereka akan membuat pemilih mereka lebih kompeten. Namun, para ahli ini gagal memahami bagaimana kebanyakan orang belajar, dan karenanya tidak benar-benar mengetahui jenis informasi apa yang relevan buat mereka. Memberi mereka informasi yang menurut penerimanya tidak relevan tidak akan mengatasi masalah. Dengan kata lain, sebelum mendidik masyarakat, mereka yang mengkritik tentang ketidaktahuan publik itu perlu entrospeksi, apa yang sebenarnya telah lakukan kepada mereka.

Lupia tidak hanya menawarkan kritik; dia juga punya solusinya. Dengan memberikan gambaran dari banyak hasil penelitian mengenai topik seperti rentang perhatian dan psikologi politik, dia menunjukkan bagaimana sebenarnya kita bisa dapat meningkatkan kompetensi isu di antara para pemilih di berbagai bidang mulai dari peraturan tentang kepemilikan senjata api hingga perubahan iklim. Untuk mengatasi masalah tersebut, dia mengembangkan sejumlah teknik untuk menyampaikan secara efektif informasi orang yang mereka benar-benar peduli. Intinya, informasi yang disampaikan harus sampai dulu kepada mereka.

Perlu diketahui bahwa warga terkadang kurang memiliki pengetahuan bahwa mereka sejatinya perlu menentukan pilihan politik secara kompeten. Disini kuncinya adalah bagaimana membuat mereka memiliki pengetahuan yang lebih besar sehingga dapat memperbaiki pengambilan keputusan politik mereka. Tapi kita perlu memahami bahwa para pemilih tidak peduli atau memperhatikan banyak informasi yang menurut para ahli penting.

Dalam konteks iklan, bila diceramti, sampai saat ini peran iklan TV masih besar, meski harus diakui mungkin tidak sepenting dahulu. Berbeda dengan dengan dulu, kata-kata yang paling penting tentang periklanan saat ini adalah "relevansi, keterlihatan, dan data." "Kreatif" yang dari dulu menjadi dogma periklanan masih penting, tapi tidak sekuat dulu, tulis Jim Sterne dalam bukunya, Artificial Intelligence for Marketing : Practical Applications.
  .
Perubahan itu dipicu oleh semakin banyaknya iklan merek membombardir konsumen sehingga bukan saja konsumen menghindari, mereka kini juga aktif menggunakan aplikasi yang memungkinkan tidak menerima iklan. Persoalannya adalah pemasar juga perlu menyampaikan keberadaan mereknya kepada target market mereka. Karena itu, tantangan pengelola merek saat ini adalah bagaimana merek itu sampai di depan pelanggan sasaran. 

Beriklan di televisi saat ini mungkin masih yang murah. Tapi, bagaimana jika sebuah iklan di televisi diabaikan karena berita besar tentang gempa? Atau…lainnya misanya? Belum lagi persoalan bahwa orang menonton televisi saat ini tidak lagi fokus pada televisi di depannya. Sambil menonton tevelisi, mereka juga melakukan aktivitas lain chattingan atau melakukan aktivitas dengan smartphonenya misalnya.  

Pengelola merek bekerja dengan biro iklan untuk memastikan koran, majalah, lokasi billboard, acara radio atau program TV sesuai dengan merek. Ini karena merek itu dianggap terkait tidak hanya dengan mediumnya, tapi juga gagasan tentang bagaimana media itu diproyeksikan. Misalnya, bila seseorang ingin menjual obat penguat otot, Anda mempromosikannya melalui media yang berfokus pada olahraga,  kesehatan pria – sehingga hubungan positif antara pesan / konten media dan tujuan pemasang iklan untuk merek tersebut bersinergi.

Pemasar tahu bahwa jika mereka menempatkan merek mereka dengan konten media yang tepat, di depan target mereka, hal itu akan mengarah pada identifikasi merek, peningkatan merek, dan pertumbuhan penjualan. Karena itu, yang ingin dicapai selain berapa banyak orang melihat iklan tersebut, namun memasang iklan di depan orang yang tepat, terkait dengan konten yang tepat, untuk membangun nilai merek, dan membuat produk lebih menarik bagi pembeli sasaran.

Dalam periklanan dikenal istilah atribusi. Pada intinya atribusi itu ada dua hal. Pertama, mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi, bagaimana orang mendengar tentang kita, apa yang membuat mereka mempertimbangkan kita, apa yang membuat mereka memutuskan untuk membeli? Kedua, kita mencoba untuk mengetahui pengaruh relatif dari semua hal yang kita lakukan. Semua itu memberikan  kontribusi, namun bukankah tuntutan pemasang iklan kini makin realistis? Bukanlah mereka selalu berusaha mengoptimalkan anggaran dengan berhitung soal uang yang dihabiskan untuk beriklan untuk  mendapatkan hal-hal yang sesuai.

Di era internet, semua yang peduli dengan pelanggan, dalam mengambil keputusan penempatan iklan pemasar sangat mempertimbangkan metriks. "Berapa banyak penempatan yang menerima iklan saya?"; "Berapa banyak orang yang melihat iklan saya?" "berapa banyak orang yang mengklik iklan saya?" "berapa banyak tampilan halaman yang dihasilkan situs web ini?"; "Berapa banyak tampilan halaman yang dihasilkan oleh penulis atau blogger?" Pertanyaan yang paling berat adalah "Apakah kita mempunyai informasi tentang siapa peselancar internet yang mengikuti mereka, dan mengirimkan iklan saat mereka melalui halaman dan situs web?"

Pada titik ini, konten tidak lagi penting. Beberapa kajian menghasilkan berbagai teori dan model pemilihan media. Dua model yang mendapat perhatian yang besar dari para pakar adalah media richness theory (Daft & Lengel, 1986) dan model pengaruh sosial (Fulk, Schmitz, & Steinfield, 1990). Media richness theory berpendapat bahwa pilihan media adalah fungsi kecocokan kompleksitas pesan dengan kekayaan media (Lengel & Daft, 1988). Media disusun sepanjang kontinum kekayaan berdasarkan empat kriteria: potensi umpan balik segera, berbagai isyarat, bahasa alami, dan fokus pribadi (Trevino, Daft, & Lengel, 1990).

Proposisi dasar media richness theory adalah bahwa ketika pesan yang disampaikan masih samar-samar, yang berarti memiliki potensi multitafsir (D'Ambra & Rice, 1994; Lengel & Daft, 1988), komunikator menggunakan media yang peringkatnya lebih tinggi berdasarkan empat kriteria kekayaan tersebut. Artinya, penggunaan saluran komunikasi atau media yang “kaya” (seperti tatap muka langsung dan telepon) dianggap lebih tepat untuk mengatasi situasi yang tidak jelas (equivocal situations) yang memungkinkan terjadinya multiinterpretasi terhadap informasi yang tersedia.


Di sisi lain, media yang “miskin” (seperti dokumen tertulis atau komunikasi melalui mediasi komputer) tepat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian (dimana informasi sangat terbatas). Dalam konteks periklanan dan kebutuhan konsumen melalui media sosial, jika beberapa penampil halaman diketahui mencari meja kerja, iklan meja kerja yang ditempatkan di halaman yang dibaca pembaca (calon pelanggan), terlepas apapun isinya, lebih efektif ketimbang iklan dengan kreatif lain. 

Rabu, 20 Desember 2017

Benarkah Iklan Bisa Mendorong Penjualan?


Pada 2017 pemasar menghabiskan lebih dari $ 1 triliun secara global dan lebih dari 11% dari total penjualan untuk rata-rata organisasi. Konsekuensi dari peningkatan itu adalah tekanan pada para eksekutif pemasaran untuk menunjukkan bahwa peningkatan investasi mereka dalam aset pemasaran, media dan teknologi dapat menghasilkan semakin meningkat.

Para ekskutif pemasaran kini makin dituntut untuk membuktikan nilai investasi pemasaran mereka di pasar yang berubah dengan cepat di mana pertumbuhan ekonomi melambat, pelanggan beralih ke saluran digital, dan investasi pemasaran meningkat, menghasilkan kenaikan penjualan, keuntungan dan nilai perusahaan.

Beberapa penggiat periklanan membedakan antara periklanan konsumen dan iklan bisnis-ke-bisnis. Ada aturan praktis tradisional bahwa periklanan untuk konsumen harus emosional, sedangkan periklanan untuk business-to-business harus faktual. Konsumen membeli emosi, sehingga copy dalam iklan konsumen tidak terlalu panjang, namun banyak gambar, dan sarat dengan pemicu emosional seperti bayi, kucing, anjing, dan sebagainya. Pelanggan bisnis membeli dengan alasan, oleh karena itu periklanan copy business-to-business harus lama, memuat dan menggambarkan fakta.

Konsumen perorangan mungkin ingin tampil beda untuk mengekspresikan individualitasnya. Tapi pembeli bisnis tidak ingin mengekspresikan kepribadian mereka. Yang mereka inginkan adalah bagaimana caranya agar kinerja perusahaan dan posisi mereka bisa bertahan bahkan meningkat. Apakah Anda terkejut bila mendengar bahwa IBM secara tradisional mendapatkan rata-rata 70 persen bisnis komputer mainframe? Bahkan pada 1996, pangsa pasar IBM mencapai 90 persen. Mencengangkan bukan?

Dalam tulisannya di Sales and Marketing Management, 1996, Al Ries mengungkapkan bahwa ketika IBM beriklan dengan headline, "Apa yang kebanyakan orang inginkan dari perusahaan jasa komputer adalah tidur yang nyenyak" IBM seakan menyampaikan bahwa Anda mendapatkan ketenangan saat melakukan bisnis dengan IBM. Iklan tersebut menangkap keuntungan berbisnis sebagai pemimpin pasar dengan cara yang menyentuh pembaca secara emosional.

Dalam pasar B2B, pada dasarnya, pembeli menghadapi situasi dan mereka mencoba untuk menyelesaikan masalah besar mereka tersebut; seperti meningkatkan pendapatan, menciptakan efisiensi, dan mengelola lebih banyak pekerjaan (yang vendor coba untuk bantu yang mereka lakukan). Mereka sebenarnya memiliki banyak pilihan dalam memecahkan masalah mereka (menciptakan tekanan kompetitif bagi vendor). Mereka juga melihat-lihat dan mencermati pilihan mereka terlebih dahulu sebelum menghubungi vendor, dan lebih berhati-hati dalam memahami pilihan potensial mereka (yang menyulitkan vendor untuk membedakan dan mendapatkan kabar di atas kekacauan).

Saat ini, pembeli B2B semakin mobile-menggunakan smartphone dan tablet untuk meneliti dan mengkonsumsi informasi (vendor mana yang harus dipertimbangkan dalam bauran pemasaran mereka). Harapan pembeli telah berubah karena mereka berharap untuk terlibat dalam komunikasi dua arah dengan vendor (tidak hanya dipasarkan) dan mereka mengharapkan jangkauan pemasaran yang sifatnya personal dan konsisten (pendekatan yang harus disesuaikan oleh vendor). Mereka terhubung satu sama lain sehingga mudah memanfaatkan kearifan orang banyak lainnya dalam menentukan pilihannya dan juga didengar melalui media sosial (yang harus dipantau dan ditanggapi oleh vendor mana).

Advertising pernah mengalami peristiwa dramatis ketika John E Kennedy dan Albert Lasker membentuk kemitraan historis pada 1904 di agensi Lord & Thomas. Lasker adalah manajer yang genius, yang menjadikan agensi sebagai kekuatan penting di industry advertising. Dia percaya pada prinsip bahwa iklan harus menjual produk, tidak sekadar menginformasikan.

Bahkan bakat, filosofi, dan staf kreatif yang dimiiki Lasker, agensi itu mampu menangguk keuntungan saat pihak lain mengalami kerugian. Agensi ini menarik banyak klien, seperti Kimberley-Clark dan RCA dan menjadi salah satu agensi pertama yang menciptakan program acara radio untuk produk kliennya.

Pada 1904, Lasker memikirkan pertanyaan: apa itu advertising? Copywriter John E Kennedy merespons dengan catatan: “Aku tahu apa itu advertising?” Ketika keduanya bertemu, Kennedy menjelaskan, “advertising adalah penjualan di media cetak.” Sejak itu lahir prinsip advertising yang menjual.

Gaya Kennedy cukup sederhana dan langsung, berdasarkan keyakinan bahwa iklan harus menyajikan argumen yang sama seperti yang dipakai oleh orang-orang penjualan (sales). Gaya reason-why ini menjadi ciri khas iklan Lord & Thomas. Mengenai pertemuaannya dengan Kennedy, Lasker mengatakan, “Seluruh ranah advertising untuk Amerika berubah sejak pertemuan itu.”

Sumber:
Merryl DeVoe, Effective Avertising Copy (New York: MacMillan, 1956): 21; M Carole Macklin, ed, “Creativity in Advertising: Lessons from the Legend,” Conference of the American Academy of Advertising, St. Louis (1997).     

Sabtu, 09 Desember 2017

Mengapa Brand Page itu Bukan Komunitas?


Sebagian mungkin menyebut laman merek (brand page) dalam Facebook misalnya sebagai sebuah komunitas. Dalam penelitian, penentuan apakah laman merek termasuk dalam komunitas atau bukan menjadi penting karena berimplikasi pada hasil yang selanjutnya berimplikasi pada rekomendasi praktik. Hal ini disebabkan setiap pendefinisian yang berbeda akan menghasilkan indikator yang berbeda. Selanjutnya indikator yang berbeda akan menghasilkan temuan yang berbeda. 
   
Dalam penelitiannya tentang keterlibatan pelanggan, Gummerus et al. (2012) yang meneliti  perilaku pengguna terhadap merek di Facebook misalnya, menggambarkan laman merek sebagai "komunitas merek Facebook." Hasil penelitiannya kemudian memberikan gambaran bahwa dampak aktivitas sosial di halaman game Facebook tidak setinggi yang diharapkan meskipun penelitian tentang komunitas merek menyatakan bahwa hubungan pribadi antara anggota masyarakat menjadi sangat penting.

Gummerus e al. (2012) juga menemukan bahwa partisipasi aktif pengguna cukup rendah. Padahal dalam komunitas, anggotanya biasanya sangat aktif. Para penulis melacak ini kembali ke sifat permainan dan keengganan anggota untuk menerbitkan konten di Facebook. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan apakah mungkin perlu membedakan antara komunitas merek dan laman merek di jejaring sosial.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Zaglia (2013) melakukan pendekatan netnografi untuk membuktikan keberadaan komunitas merek yang disematkan ke jejaring sosial. Facebook dipilih sebagai subjek penelitiannya. Penulis menyelidiki dua entitas berbeda di Facebook: subkelompok dan laman merek. Subkelompok terbentuk berdasarkan topik tertentu; bisa hobi, kawasan geografis, klub alumni atau merek tertentu. Halaman merek justru memiliki karakter papan bulletin (bulletin board).
Zaglia (2013) memilih menganalisis dengan cara membandingkan laman merek Canon Camera Malaysia yang memiliki 151.380 pengikut dan grup Canon Digital Photography dengan 108.259 anggota yang merupakan sub-kelompok di Facebook. Dalam penelitian eksploratifnya, Zaglia (2013) menemukan  indikasi kuat subkelompok berfungsi sebagai sebuah komunitas. Namun, temuannya tidak dapat diverifikasi pada laman merek Canon.

Berdasarkan itu, dia menyimpulkan bahwa laman merek adalah "bentuk komunitas merek yang lebih lemah." Temuan tersebut menyarankan (a) konseptualisasi yang berbeda untuk laman merek dan (b) diferensiasi dari komunitas merek. Muniz & O’Guinn (2001) mendefinisikan tiga karakteristik sebuah komunitas: kesadaran akan jenis, ritual – bersama dan tradisi -- serta tanggung jawab moral terhadap komunitas secara keseluruhan dan terhadap anggotanya masing-masing. Kriteria ini tidak berlaku untuk laman merek di jejaring sosial.

• Kesadaran akan Jenis:
Kesadaran jenis menyiratkan perasaan memiliki sesuatu yang unik dan membedakan anggota komunitas masyarakat dari yang bukan anggota. Di jejaring sosial (misalnya Facebook) sebaliknya, siapapun bisa "menyukai" laman merek. Ada akses yang tak terbatas ke laman merek. Tidak ada persyaratan selain profil aktif. Dengan kata lain, orang tidak harus menjadi pelanggan merek bila sekadar ingin mengikuti sebuah merek.

Pengguna dapat terhubung ke berbagai halaman merek di jaringan sosial. Rata-rata, pengguna online di Indonesia misalnya,  terhubung ke sembilan merek melalui jejaring sosial. Karena itu, merek yang membuat profil di jejaring sosial tidak memiliki pengguna secara eksklusif. Laman merek disematkan ke dalam jaringan hubungan antara pengguna yang merupakan teman atau keluarga. Hubungan ini biasanya juga ada di dunia offline dan tidak ada hubungannya dengan merek tapi dengan hubungan emosional antar manusia. Dalam komunitas merek "tradisional", hubungan antara pengguna hanya terbentuk karena merek yang mereka kagumi bersama. Orang-orang, yang menyukai merek yang sama di jejaring sosial, bahkan tidak perlu terhubung satu sama lain. Oleh karena itu istilah "komunitas" dalam konteks laman merek kurang tepat.

• Ritual dan tradisi bersama:
Ritual dan tradisi berbagi merupakan suatu kebiasaan atau praktik yang telah ada di dalam komunitas seiring dengan perjalanan waktu. Mereka ditetapkan oleh anggota dan memberikan panduan tentang bagaimana warga komuniktas tersebut perilaku. Melalui ritual dan tradisi budaya dan sejarah masyarakat diakui.

Pengguna yang memiliki sebuah profil di jejaring sosial (misalnya Facebook) dapat terhubung ke merek dengan cara mengklik "like" laman sebuah merek. Mereka kemudian mendapatkan informasi atau update cerita dan berita terbaru melalui newsfeed mereka.200 Dengan cara ini, mereka secara otomatis menerima informasi tentang merek secara teratur. Mereka dapat menelusuri laman merek dan mengirim komentar atau pertanyaan ke "wall" merek tersebut.

Karena itu, interaksi dapat dilakukan jika dimulai atau diinginkan oleh pengguna. Tidak ada kewajiban bagi pengguna untuk mengotorisasi akses merek ke profilnya. Oleh karena itu, hubungan antara pengguna dan merek di jejaring sosial dalam kebanyakan kasus "tidak terarah." 201 Dengan "menyukai" suatu merek, mereka dapat secara pasif mengkonsumsi konten yang disediakan oleh merek, namun mereka tidak harus aktif berkontribusi.

Pada akhirnya, tidak ada praktik umum yang dibagikan di antara pengguna. Laman merek terutama dioperasikan dan diisi dengan konten oleh perusahaan. Konsekuensinya, JAHN / KUNZ (2012) menyimpulkan bahwa motivasi untuk berpartisipasi dalam ritual dan tradisi komunitas merek berbeda dengan laman merek.

• Tanggung jawab moral
Tanggung jawab moral, menurut Muniz & O’Guinn (2001) mengacu pada peraturan tidak tertulis yang ada dalam budaya suatu masyarakat dan menyiratkan perasaan berkewajiban untuk bertindak demi masyarakat.

Laman merek di jejaring sosial sering digunakan untuk melampiaskan perasaan kecewa. Karena kritik tersebut terlihat oleh publik, pengguna mengharapkan umpan balik langsung dari merek. Dalam banyak kasus, pengguna lain tidak ikut mendukung kritik yang disampaikan kepada merek. Terkadang pengikut lainnya membela brand dan menjawab langsung ke pelanggan yang mengeluh. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab moral di antara pengikut dalam laman merek tidak dapat ditiadakan sepenuhnya tapi jelas bukan karakteristik konstitutif laman merek.

Singkatnya, beberapa argumen mendukung perbedaan konseptual antara komunitas merek dan laman merek. Titik pusat perbedaan adalah adanya rasa memiliki dalam komunitas namun tidak muncul pada laman merek. Namun, laman merek dapat mengakomodasi bentuk komunitas. Subkelompok pengikut dapat membangun hubungan antara satu sama lain dan menciptakan rasa kebersamaan. Tapi hal tesebut tidak dapat digeneralisasikan. Oleh karena itu, perbedaan antara kedua konsep itu wajib dan membenarkan fokus sendiri untuk halaman merek.

Konsep Laman Merek
Laman merek dapat didefinisikan sebagai situs yang disiapkan oleh merek dalam jaringan sosial. Setiap pengguna bisa mengakses laman merek. Saat dia mengklik tombol "like", dia secara otomatis mengikuti laman merek dan mendapat update dari brand melalui newsfeednya.

Pengguna dapat mengkonsumsi secara pasif atau memanfaatkan kesempatan mereka untuk berinteraksi secara aktif dengan merek. Mereka juga dapat berkomunikasi dengan pengguna lain atau mengirim komentar, gambar atau video, mengajukan pertanyaan atau menggunakan aplikasi.
Beberapa laman merek mungkin bisa menciptakan rasa kebersamaan bagi sejumlah pengguna mereka.  Itu biasanya sangat interaktif. Laman merek lainnya sama seperti papan buletin tanpa interaksi sama sekali. Namun, mereka mungkin bisa menjalin ikatan dengan audiens mereka melalui konten informatif. Laman merek diintegrasikan ke dalam jejaring sosial (misalnya Facebook). Karena itu, sebenarnya media tidak dimiliki oleh brand maupun penggunanya.

Referensi:

Kleine-Kalmer B. 2016. Brand Page Attachment: An Empirical Study on Facebook Users’ Attachment to Brand Pages. Springer Fachmedien Wiesbaden 

Jumat, 01 Desember 2017

Job-to-Be-Done


Coba Anda hitung, berapa kali Anda dikecewakan Lion Air? Apakah Anda masih menggunakan jasa Lion Air? Kenapa? 

Seorang teman bercerita bahwa dia memang sering dikecewakan Lion Air karena jadwal penerbangannya yang sering delay misalnya. Namun dia sampai kini menggunakan Lion Air. Kenapa?

Perilaku pembelian konsumen merupakan proses saat seseorang mencari, memilih, membeli, menggunakan, memberi komentar dan membuang produk atau layanan. Ini merupakan aktivitas mental subyektif konsumen dan aktivitas material objektif. 

Gagasan "Economic Man" dalam teori ekonomi mikro yang telah menjadi dasar konsep perilaku konsumen menyatakan bahwa pada dasarnya semua konsumen itu rasional. Teori konsumen tradisional menggunakan asumsi itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa motivasi orang untuk memaksimalkan manfaatnya adalah rasionalitas; orang akan selalu memilih biaya minimum untuk output maksimal.

Sejak awal, pelanggan menempatkan Spirit Airlines sebagai maskapai penerbangan yang paling dibenci di Amerika Serikat. Pelanggan secara konsisten menilai Spirit Airlines sebagai maskapai terburuk di Amerika Serikat. Namun demikian, Spirit Airlines terus-menerus menjadi maskapai dengan pertumbuhan tercepat dan paling menguntungkan di Amerika.

Sama dengan Lion Air, fenomena ini memunculkan pertanyaan klasik, jika pelanggan sangat membencinya, mengapa mereka terus menerbangkannya? Jika pelanggan sangat membencinya, mengapa mereka terus membelinya? Angka-angka memang tidak hanya bisa menyesatkan, juga bisa disalahgunakan.

Spirit Airlines adalah maskapai penerbangan yang paling cepat berkembang dan paling menguntungkan di Amerika. Margin laba 2016 Q1-nya mengejutkan, mencapai 21,3 persen. Antara 2011 hingga 2015, laba bersihnya tumbuh 315 persen. 

Bagaimana airline dengan peniliaian kierja layanan buruk bisa mencapai pertumbuhan dan keuntungan eksplosif tersebut? Kuncinya adalah pada kepiawaian mereka menggabungkan harga terendah dengan pengalaman pelanggan yang mengerikan itu.

Maskapai lain, Ryanair, serupa. Pelanggan juga menempatkannya sebagai salah satu maskapai terburuk di dunia. Bahkan Ryanair menempati peringkat kedua sebagai merek terburuk di dunia. Namun demikian, pertumbuhan dan keuntungannya secara konsisten mengejutkan. 

Pada tahun 2011, laba bersih setelah pajaknya mencapai € 374,6 juta. Bahkan pada tahun 2015 melonjak menjadi € 866,7 juta. Jadi suara pelanggan mana yang harus kita dengarkan - apa yang pelanggan katakan, atau apa yang pelanggan lakukan?

Pelanggan Spirit Airlines dan Ryanair tidak mengerti mengapa manajemen memilih untuk menawarkan layanan pelanggan yang buruk. Mereka memang berpikir, hampir semua maskapai lain memberinya  minuman gratis. Tetapi, mengapa Spirit Airlines tidak memberi mereka minuman gratis? Disini kadang-kadang yang dimaui pelanggan berbeda dengan penyedia jasanya.

Jika Spirit Airlines berempati dengan kebutuhan pelanggan, mungkin tergoda untuk menambah ruang kaki, menambah tempat duduk, menawarkan minuman gratis, terbang ke bandara yang lebih nyaman, atau menghentikan pungutan $ 10 untuk mencetak tiket masuk mereka. Namun, bagi Spirit Airline, perubahan tersebut tentu akan meningkatkan biaya produksi. Akibatnya, Spirit Airlines tidak dapat lagi menawarkan harga terendah.

Sebuah perusahaan, kata Anthony W. Ulwick dan Perrin Hamiton dari Strategyn, menerapkan strategi yang mengganggu (disruption) saat menemukan dan menargetkan populasi pelanggan atau non konsumen dengan menawarkan produk atau jasa yang dapat menyelesaikan pekerjaan (job to be done) mereka pekerjaan dengan lebih murah. 

Menurut Ulwick dan Hamilton, konsumen membeli produk dan layanan untuk membantu mereka menyelesaikan pekerjaan. Dalam studi yang mereka lakukan, ditemukan bahwa konsumen (baik perorangan maupun perusahaan) memiliki "pekerjaan" dengan dimensi fungsional yang muncul secara teratur dan perlu diselesaikan. 

Ketika pelanggan menyadari pekerjaan yang harus mereka lakukan seperti itu, mereka mencari produk atau layanan yang dapat membantu mereka menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, bila seseorang melihat rumput di halaman rumahnya sudah tinggi dan tidak enak dilihat, dia harus memotong rumput-rumput itu. 

Untuk memotong rumput itu dia membutuhkan pemotong rumput. Karena itu, dia berusaha mencari dan mendapatkan pemotong rumput. Dia pun membeli mesin pemotong rumput agar mereka dapat memotong rumput mereka.

Hal yang sama juga dilakukan ketika seseorang merasa perlu membatasi risiko keuangan mereka, maka dia membeli polis asuransi. Mereka membeli smartphone sehingga mereka bisa mengobrol dan menikmati pertemanan mereka.

Petani jagung, mengambil contoh lain, membeli benih jagung, herbisida, pestisida, dan pupuk untuk membantu mereka menanam jagung. Tukang kayu membeli gergaji bundar untuk memotong kayu. Hampir semua produk dan layanan diperoleh untuk membantu menyelesaikan pekerjaan. 

Dalam paradigma yang digerakkan oleh hasil, fokusnya bukan pada pelanggan, tetapi pada pekerjaan. "Pekerjaan adalah unit analisis," kata Ulwick dan Hamilton. 

Ketika perusahaan berfokus untuk membantu pelanggan menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat, lebih nyaman, dan lebih murah daripada sebelumnya, mereka cenderung menciptakan produk dan layanan yang diinginkan pelanggan. Hanya setelah perusahaan memilih untuk fokus pada pekerjaan, bukan pelanggan, barulah mereka mampu menciptakan nilai pelanggan dengan andal.

Merek-merek yang menerapkan strategi ini seperti Google Docs (lebih murah ketimbang Microsoft Office), TurboTax (dibandingkan dengan layanan pajak lainnya), pisau cukur Dollar Shave Club (relative lebih murah ketimbang Gillette), platform perdagangan online eTrade’s, dan  Coursera, layanan pendidikan online.

Menurut Teori Pekerjaan Clayton Christensen, pekerjaan merupakan kemajuan yang ingin dibuat seseorang dalam keadaan tertentu. Definisi pekerjaan ini bukan sekadar cara baru untuk mengkategorikan pelanggan atau masalah mereka. Ini adalah kunci untuk memahami mengapa mereka membuat pilihan yang mereka buat.

Pilihan kata "kemajuan" itu disengaja. Ini mewakili gerakan menuju tujuan atau aspirasi. Dalam konteks kemajuan, maka pekerjaan haruslah selalu merupakan proses untuk membuat kemajuan. Ini jarang merupakan kejadian tersendiri. Seba bagaimanapun pekerjaan belum tentu hanya sebuah "masalah" yang muncul, meski bentuk kemajuan yang diambil bisa saja berupa penyelesaian masalah tertentu dan perjuangan yang diembannya
.
Intinya, Christensen mengatakan bahwa pelanggan tidak hanya menggunakan produk, mereka menyewa produk untuk menyelesaikan pekerjaan untuk mereka. Oleh karena itu, Teori Pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan adalah kemajuan yang seseorang coba buat dalam keadaan tertentu.

Misalnya, pelanggan tidak menginginkan bor, mereka menginginkan lubang seperempat inci. Oleh karena itu, mereka "menyewa" bor untuk mencapainya. Bergantung pada kelebihan latihan yang mereka pilih, hal itu akan melakukan pekerjaan itu dengan baik atau buruk. Bagi Toyota, teori ini diwujudkan dalam rangkaian proses yang mereka kembangkan untuk menghasilkan manufaktur tanpa cacat.

Karena itu di setiap aktivitas, mereka selalu melihatnya dengan selalu memunculkan pertanyaan pada setiap individu, jika-kemudian. "Jika kita melakukan ini, maka apa yang akan dihasilkannya." Melalui teori manufaktur ini, gerakan kualitas lahir. 

Sebagai konsekuensinya, orang Amerika mengambil apa yang mereka pelajari dari pesaing Jepang mereka ke dalam strategi produksi mereka. Saat ini industri otomotif AS terus berusaha mengeluarkan mobil yang sangat andal.

Gagasan tentang "keadaan" intrinsik dengan definisi pekerjaan. Pekerjaan hanya bisa didefinisikan - dan solusi yang berhasil diciptakannya – tergantung pada konteks tertentu saat dan di mana dia muncul. 

Ada puluhan pertanyaan yang penting untuk dijawab ketika seseorang menentukan keadaan pekerjaannya. "Apa kabar?" "Kapan ini?" "Siapa kamu?" "Sedang melakukan apa?" "Apa yang kamu lakukan setengah jam yang lalu?" "Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" "Apa itu sosial atau budaya? atau tekanan politik mengarahkan pengaruh?" dan seterusnya.

Gagasan tentang suatu keadaan juga bisa berlanjut ke faktor kontekstual lainnya, seperti tahap kehidupan ("baru saja keluar atau lulus dari perguruan tinggi?" "Terjebak dalam krisis setengah baya?" "Menjelang pensiun?"), status keluarga ("menikah, lajang, bercerai?" "bayi baru lahir, anak kecil di rumah, orang dewasa yang harus diurus?"), atau status keuangan ("underwater in debt?" "kekayaan bersih yang sangat tinggi?"). Keadaan itu yang menjadi dasar bagi penentuan pekerjaan (dan menemukan solusinya), karena sifat kemajuan yang diinginkan akan selalu dipengaruhi oleh keadaan.


Namun demikian, penekanan pada keadaan bukanlah sekadar perpaduan atau semantik sederhana. Ini sangat penting bagi penentuan arti sebenarnya dari the Job to Be Done. Persoalannya, para manajer sering tidak mempertimbangkan hal ini. Sebaliknya, mereka biasanya mengikuti salah satu dari empat prinsip - atau beberapa kompositnya --  pengorganisasian utama dalam pencarian inovasi mereka, yakni atribut produk, karakteristik pelanggan, tren, dan respon terhadap persaingan. 

Intinya bukan bahwa salah satu kategori ini buruk atau salah, namun hal itu hanya contoh yang paling umum. Hanya saja, seringkali kali para manajer menganggap bahwa itu saja sudah mencukupi, dan karena itu tidak memprediksi perilaku pelanggan.

Kasus Lion Air, dalam catatan saya, armada Lion Air saat ini memang yang banyak. Demikian pula rute dan frekuensinya. Hasilnya, seperti yang dituturkan teman saya, “…hari ini saya harus ke Surabaya misalnya, sementara pagi saya masih meeting. Saya kontak travel yang paling sering tersedia ya Lion Air,’’ kata teman tadi.

Dengan kata lain dia menggunakan jasa airline itu untuk menyelesaikan pekerjaan mereka karena berburu dengan waktu dan yang tersedia saat itu Lion Air. Sementara itu, beberapa mahasiwa mengatakan bahwa tarif Lion Air memang lebih murah dibandingkan yang lain. Jadi ada dua hal yang diandalkan Lion Air, ketersediaan dan tarif yang lebih murah.

REFERENSI:

Christensen CM. 2016. Competing Against Luck: The Story of Innovation and Customer Choice. HarperBusiness.