Jumat, 30 November 2018

Don’t believe anything you read on the Internet




Rabu, 23 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik beberapa hal terkait pemberitaan media. Dalam acara yang diselenggarakan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, SBY mengeluhkan banyaknya  berita dengan sumber yang tak jelas.

SBY juga menyinggung soal penggunaan media sosial sebagai sumber berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, berita yang berbau fitnah, pers yang mengadili, serta berita yang tidak melalui cek silang.

Munculnya media sosial sebagai sumber berita semakin mengaburkan batas antara berita dan opini. Kenapa? Ini karena -- seperti ditulis Lee McIntyre dalam bukunya, Post-Truth (Cambridge, MA : MIT Press, 2018) -- orang-orang yang berbagi cerita melalui blog dan situs berita alternative seolah-olah semuanya benar. Yang menarik adalah penggiat jurnalistik yang bekerja di media konvensional juga larut di dalamnya.

Pada tahun 2010, Dewan Pers menerima 514 surat pengaduan, 13 di antaranya terkait dengan ketidakakuratan berita, dan delapan karena media tidak memverifikasi berita yang telah mereka terbitkan. Ini adalah kebiasaan buruk yang menurut Dewan Pers berasal dari dorongan untuk menyampaikan informasi secepat mungkin kepada publik.

Diakui atau tidak, digitalisasi telah mengubah praktik jurnalisme di Indonesia. Akhir tahun 2010, konsultan Maverick Indonesia dan STIKOM London School of Public Relations Jakarta melakukan survei tentang perilaku wartawan menggunakan internet dan media sosial. Hasil survey yang dilakukan antara Juni dan September 2010 dengan mewawancari 321 wartawan dari 141 media, menunjukkan bahwa tujuh dari 10 wartawan memperoleh ide tulisan untuk membuat laporan berita mereka berasal dari internet.

Yang lebih menarik, jurnalis enggan memverifikasi informasi yang mereka dapatkan dari internet tersebut. Survei tersebut menemukan bahwa hanya separuh dari wartawan yang mengklaim mereka memverifikasi informasi yang mereka temukan di internet sebelum menggunakannya. Sebanyak 138 responden (dari 321 responden dari 141 media di Indonesia) memverifikasi informasi dengan memeriksa di internet dan hanya 64 responden yang memverifikasinya langsung dengan sumber-sumber.


                                                     Judul buku           : Post-Truth

                                                     Penulis                 : Lee McIntyre
                                                     Penerbit               : The MIT Press, 2018


Fenomena post-truth meroket menjadi perhatian publik setelah Kamus Oxford menuliskannya bulan November 2016. The Oxford Dictionaries mendefinisikan "post-truth" sebagai keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada daya tarik emosi dan kepercayaan pribadi.

Saat pemilihan presiden Amerika Serkat pada tahun 2016 memanas, semakin banyak konten di media sosial partisan. Publik dapat mengklik “berita” yang memberi tahu tentang informasi yang ingin didengar (apakah mereka telah diperiksa untuk akurasi atau tidak) sebagai lawan dari beberapa konten faktual dari media mainstream yang mungkin kurang cocok. Tanpa mengetahui bahwa mereka melakukannya, orang dapat memberi umpan informasi sesuai keinginan mereka secara langsung, tanpa mencari sumber berita tradisional.

Mengapa Anda harus membayar atau berlangganan koran bila Anda bisa mendapatkan banyak cerita seperti yang Anda inginkan dari teman-teman yang memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang peristiwa yang Anda minati secara gratis? Gagasan ini bisa menjadi ancaman bagi pers. Kenapa? Dalam kondisi seperti itu, tidak ada peluang untuk hidup bagi pers prestise.

Dalam jajak pendapat Pew, 62 persen orang dewasa di AS melaporkan mendapatkan berita mereka dari media sosial, dan 71 persennya berasal dari Facebook. Ini berarti, 44 persen dari total populasi dewasa AS sekarang mendapatkan berita dari Facebook. Hal ini mencerminkan perubahan dalam sumber (dan komposisi) konten berita saat ini. Lalu, dengan menurunnya pemeriksaan dan penyuntingan, bagaimana orang bisa mengetahui cerita mana yang bisa diandalkan?

Meskipun berita tradisional masih ada, semakin sulit untuk mengatakan apa yang dimaksud dengan potongan yang bersumber dari fakta dan apa yang bukan dari fakta. Tentu hanya beberapa orang yang  lebih suka membaca (dan percaya) berita yang sudah sesuai dengan sudut pandang mereka.
Hasilnya,munculnya "silo berita" yang menciptakan polarisasi dan fragmentasi dalam konten media. Jika seseorang mendapatkan berita dari media sosial, mereka dapat mengabaikan sumber-sumber yang tidak disukai, sama seperti seseorang dapat menghapus orang-orang yang tidak setuju dengan pendapat politiknya.

Sungguh ironis bahwa internet, yang memungkinkan akses langsung ke informasi yang dapat dipercaya oleh siapa saja yang mengganggu untuk mencarinya, telah menjadi tidak ada apa-apa selain ruang gema. “Betapa berbahayanya. Tanpa bentuk kontrol editorial atas apa yang sekarang kadang-kadang disajikan sebagai "berita," bagaimana kita bisa tahu kapan kita dimanipulasi?” tulis McIntyre.

Fenomena inilah yang disebut McIntyre sebagai post-truth. Ini terjadi ketika "fakta-fakta alternatif" menggantikan fakta-fakta aktual, dan perasaan lebih dipercaya sebagai kebenaran dibandingkan dengan  bukti. Lalu, apakah saat ini kita hidup di era post-truth (pasca-kebenaran - di mana “fakta-fakta alternatif” menggantikan fakta dan perasaan yang sebenarnya memiliki bobot lebih dari bukti).

Lee McIntyre menelusuri perkembangan fenomena post-truth yang dimulai dari penolakan sains melalui munculnya “berita palsu,” dari titik buta psikologis ke retret publik menjadi “silo informasi.” Apa itu post-truth? Apakah itu angan-angan, political spin, khayalan massal, atau keberanian berbohong?

McIntyre menampilkan contoh-contoh terbaru, mulai dari klaim tentang besarnya kerumunan saat pelantikan, statistik kejahatan, dan popularitas. Dia lalu menemukan bahwa post-truth adalah penegasan supremasi ideologis yang dengannya para praktisi berusaha memaksa seseorang untuk mempercayai sesuatu tanpa menghiraukan bukti.

Kamis, 01 November 2018

Nation Branding – Tanggung Jawab Pemerintah atau Warga Negara?




Dalam beberapa tahun terakhir, nation branding telah menjadi kosa kata yang banyak dibicarakan. Ini karena makin ketatnya persaingan antar negara dalam menarik investor, pelancong, siswa dan mahasiswa, orang sakit, orang tua pensiunan dan sebagainya.

Dalam telaan tentang nation branding, sangat penting untuk diketahui bahwa pada dasarnya nation branding tidak hanya untuk konsumsi luar negeri. Sebab bagaimana pun nation branding memiliki komponen dalam negeri yang lebih kuat ketimbang diplomasi publik.

Menurut Fan (2006) nation branding menerapkan teknik branding dan komunikasi pemasaran untuk mempromosikan citra bangsa. Gudjonsson (2005), seorang praktisi merek Islandia, mendefinisikan nation branding dengan mengedepankan pemerintah sebagai inisiator branding, terlibat secara tidak langsung dan pengaruhnya.

Dengan kata lain, nation branding terjadi ketika pemerintah atau perusahaan swasta menggunakan kekuatannya untuk membujuk siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mengubah citra suatu bangsa. Dalam konteks ini, sumber daya tersebut termasuk alat-alat branding yang bisa digunakan  untuk mengubah perilaku, sikap, identitas atau citra suatu bangsa dengan cara yang positif.

Meskipun benar bahwa 'diplomasi publik baru' terus mempromosikan gagasan melalui diplomasi orang-ke-orang dan makin mendorong terjadinya pembagian tanggung jawab sehingga nation branding bukan lagi menjadi suatu kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah sendirian. Benar secara historis diplomasi public biasanya merupakan kegiatan yang melibatkan kontak antara suatu pemerintah dan orang-orang dari negara lain (Cull, 2007).

Namun, globalisasi juga telah menciptakan pergeseran kekuatan dalam kaitannya dengan masalah hubungan internasional. Globalisasi juga telah menciptakan interdependensi yang lebih besar  dalam bisnis global dan politik internasional (Muldoon, 2005). Korporasi bisa jadi menghabiskan lebih banyak uang untuk komunikasi daripada banyak pemerintah, dan memainkan peran sebagai aktor non-negara dalam diplomasi publik yang membantu membangun reputasi dan citra negara asal mereka, apakah peran itu disengaja atau tidak.

Peran yang dimainkan oleh perusahaan sektor swasta dalam diplomasi publik dapat didefinisikan sebagai diplomasi korporat. Disini perusahaan berpartisipasi dalam proses pembangunan hubungan dengan entitas asing yang meningkatkan citra, cita-cita, lembaga dan budaya negara asal perusahaan (White, 2013).

Ordeix-Rigo dan Duarte (2009) mendefinisikan diplomasi perusahaan sebagai proses untuk mengembangkan kekuatan dan legitimasi korporasi dalam masyarakat dengan menggunakan alat hubungan masyarakat. Ini berarti ada kesamaan antara tujuan diplomasi perusahaan dan public, yakni membangun citra di public global.

Konsep diplomasi perusahaan ini dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, termasuk melalui program CSR serta inisiatif komunikasi strategis lainnya seperti periklanan. Ini dapat terjadi ketika perusahaan bertindak secara independen atau bukan atas nama pemerintahnya, atau bekerjasama  dengan pemerintah (White, 2013).

Seringkali perusahaan-perusahaan internasional terlibat dalam kegiatan yang memiliki efek diplomasi publik dan nation branding. Sebagai contoh, White et al (2011) menemukan bahwa kegiatan perusahaan-perusahaan Amerika di Rumania tercermin positif di Amerika Serikat dan memiliki efek diplomasi publik, meskipun itu bukan maksud dari kegiatan tersebut.

Namun dari pengalaman inilah muncul gagasan tentang bagaimana melibatkan warga di negara dimana nation branding dilakukan ke dalam urusan pemerintah tadi. Dalam hal ini peran yang diharapkan pada warga negara tadi adalah bagaimana caranya mereka juga ikut menjelaskan kebijakan luar negeri negaranya kepada khalayak internasional.

Dalam kaitan ini melibatkan warga negara dalam kegiatan nation branding didasari pada dua pertimbangan. Pertama, pada dasarnya nation brand merupakan hasil proyeksi atau diproyeksikan oleh banyak sumber. Disini tidak hanya pemerintah yang hanya diberi mandat untuk membangun sikap positif para pemangku kepentingan (stakeholder) negara tersebut.

Menurut Simon Anholt, pakar nation branding, image suatu negara dikomunikasikan melalui saluran yang sangat kompleks termasuk saluran yang terkadang tidak ada pemiliknya sehingga tidak ada yang memiliki kekuatan mutlak untuk mengatur saluran komunikasi tadi (Anholt, 2006). Dalam konteks ini, perkembangan teknologi sosial media telah melahirkan ancaman sekaligus tantangan.

Salah satu dari efek perkembangan teknologi informasi dalah lahirnya citizen journalism atau aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh warga biasa (bukan wartawan). Konsep citizen journalism didasarkan warga masyarakat (public citizens) yang berperan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan menyebarkan berita dan informasi.

Ancamannya, karena setiap orang bisa memiliki media sosial, terjadi tsunami informasi dan opini dari pemilik akun media sosial, blog dan influencer atau buzzer lainnya. Nada opininya kadang lebih banyak bernada negative, terkadang juga bernada positif. Sebaliknya, peluangnya adalah makin luasnya bentangan media yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang melakukan kegiatan nation branding.

Disini pemerintah bisa memanfaatkan para pemilik akun sosial media untuk menjadi mitra dalam mengkomunikasikan secara positif tentang negaranya kepada orang lain. Selain itu yang juga perlu dipertimbangkan adalah bahwa realitasnya nation branding melibatkan pesan dari puluhan lembaga, organisasi, perusahaan swasta dan warga negara dan ini diperkuat serta diperkaya oleh makin kuatnya tindakan komunikasi antara negara dan belahan bumi lainnya di seluruh dunia.

Semuanya, mulai dari liputan berita nasional dan internasional yang diterima dan bagaimana warga negara mensikapi dan meresponnya, cara merepresentasikan dirinya di pameran perdagangan dan ekspor msalnya, hingga bagaimana warga negara mensikapi isu-isu kompleks seperti perjanjian perdagangan internasional dan cara warganya berperilaku di luar negeri dapat memberikan petunjuk tentang identitas negaranya.

Alasan kedua adalah bahwa – dalam teori -- salah satu aturan utama dalam nation branding adalah bahwa nation barnd harus berakar pada realitas negara dan masyarakatnya. Dalam Journal of Brand Management, Fiona Gilmore (2002) menegaskan, hal penting yang harus disadari dalam hal nation branding suatu negara adalah pentingnya amplifikasi dari setiap aktivitas dan nilai serta tindakan yang sudah ada dan bukan menampilkan hal-hal yang bersifat palsu ...

Brand nation harus berakar dari realitas dan kebenaran mendasar tentang tujuan dilakukannya nation branding. Jika merek tidak berakar pada realitas dan kredibel, audience (domestik dan internasional) akan merasakan disonansi dan kehilangan kepercayaan pada merek. Dalam bukunya Brand New Justice, Anholt mengingatkan akan pentingnya menyentuh peran masyarakat dalam negeri karena seringkali dalam konteks warga negara dapat mengaplifikasi dan menjadi corong bagi nation branding.

Nation branding atau perpaduan unsur-unsur unik dan multidimensional yang memberikan suatu negara atau bangsa diferensiasi dan relevansi budaya yang kokoh kepada semua khalayak targetnya  (Dinnie, 2008, hal. 15), menciptakan kesan dan membuat suatu negara menjadi lebih menarik.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Masih Relevankah Public Relations Reaktif?



Tidak hanya kesempatan yang seringkali tidak terduga, strategi yang dibutuhkan public relations reaktif juga bervariasi. Situasi PR reaktif yang khas seringkali menuntut respons yang jauh lebih kompleks daripada PR proaktif.


Dalam episode Selasa (23/10/2018) acara talkshownya, “Today”, Megyn Kelly membuat pernyataan tentang kostum Halloween yang dinilai bernada rasis. Pada hari Rabu (24/10), Kelly yang dikontrak NBC selama tiga tahun dengan nilai lebih dari 69 juta dolar, terlihat di kamera dan meminta maaf. Namun, Kamis (25/10), dia tidak lagi muncul di televisi, padahal dia seharusnya tampil. Jam tayang acaranya diisi dengan pemutaran ulang "Megyn Kelly Today" untuk menggantikan siaran langsung acaranya.

Presenter AS Megyn Kelly dicopot dari program NBC setelah komentar kontroversial tentang blackface (makeup yang digunakan oleh pemain untuk meniru seorang kulit hitam) menuai banyak protes. Ms Kelly memprovokasi munculnya badai kritik karena saat siaran dia mempertanyakan mengapa menghitamkan  wajah sebagai kostum Halloween disalahkan.

Kelly bukanlah anchor sembarangan. Ketika Kelly meninggalkan Fox News, Januari 2017, NBC memberinya kesepakatan yang besar hingga 2020. Dia akan menjadi pusat dari jaringan. Selain memberinya slot acara pagi, Today, NBC juga membuatkan program jaringan dibuat "Sunday Night With Kelly" yang dirancang untuk menantang program CBS "60 Minutes." Dia juga digadang-gadang menjadi peliput utama pemilu di AS dan Olimpiade.

Beberapa bulan sebelum ia meloncat ke NBC,  Kelly menantang Donald J. Trump dalam debat presiden. Dia juga menulis secara kritis dalam memoar tentang Ketua Fox News, Roger E. Ailes, yang meninggalkan Fox setelah beberapa wanita menuduhnya melakukan pelanggaran seksual. Dalam buku, "Settle for More," Kelly melaporkan bahwa Mr. Ailes telah "membuat komentar seksual untuk saya" dan "menawarkan kemajuan profesional sebagai imbalan atas bantuan seksual."

Mantan jurnalis, komentator politik, mantan pengacara pembela perusahaan, pembaca berita di Fox News dari 2004 hingga 2017 itu mempertanyakan mengapa hal itu dianggap rasis ketika seorang tokoh di The Real Housewives of New York menggelapkan kulitnya untuk kostum Diana Ross. "Saya merasa seperti, 'Siapa yang tidak suka Diana Ross'," tambahnya.

 “Anda mendapat masalah jika Anda orang kulit putih memakai topeng hitam pada Halloween, atau orang kulit hitam yang memakai topeng putih untuk Halloween. Kembali ketika aku masih kecil, itu Oke, selama kamu berdandan seperti karakter yang Anda ingin tampilkan.”

Dalam seminggu, Ms Kelly meminta maaf atas komentarnya itu dua kali di dua kesempatan, sekali melalui email ke rekan-rekannya, dan sekali lagi yang disiarkan melalui televise. Namun, menurut beberapa pengamat, Kelly tidak banyak mempertontonkan penyesalannya. Ini yang menimbulkan dugaan bahwa dia masih ingin meningkatkan posisinya di jaringan televisi.

Andrew Lack, kepala divisi pemberitaan NBC, tidak menyebutkan permintaan maafnya pada pertemuan staf pada hari Rabu. Al Roker, dari bagian perlengkapan "Today", mengatakan pada acara itu, Rabu, bahwa Ms. Kelly “berhutang permintaan maaf yang lebih besar kepada orang-orang kulit berwarna di seluruh negeri.” Sementara anchor Craig Melvin menyebut komentar Kelly sebagai “rasis dan bodoh.”

Dalam emailnya yang meminta maaf kepada rekan, Kelly mengatakan bahwa dia tidak pernah menjadikan itu merujuk pada "PC". Tetapi, dia mengerti bahwa "saat ini kita memang perlu lebih sensitive." Dia melanjutkan, “Khususnya pada isu-isu ras dan etnis yang telah diperparah dalam politik kita selama setahun terakhir. Ini adalah waktu untuk lebih banyak membangun pengertian, cinta, kepekaan dan kehormatan, dan aku ingin menjadi bagian dari itu."

McDonald's adalah merek kontroversial. Ia dikagumi kalangan periklanan yang mungkin sama tingkatannya dengan kebencian di kalangan penggiat kesehatan. Tahun lalu, belanja iklannya mencapai US$ 532,9 juta (https://www.statista.com/statistics/286541/mcdonald-s-advertising-spending-worldwide/.)

Oktober 2014 lalu, McDonald's melakukan kampanye besar “Our Food, Your Questions” sebagai upaya untuk menunjukkan transparansi dan keterbukaan. Menurut time.co, McDonald's menghadapi masalah image yang serius karena dianggap memproduksi makanan yang tidak sehat. Untuk mengatasi masalah tersebut, McDonald's membuka pintu bagi publik yang ingin menanyakan segala hal tentang produk  McDonald's, semisal bagaimana sosis dibuat sehingga dapat memenangkan hati konsumen.

McDonald's menyadari bahwa di sekitarnya orang memiliki pertanyaan besar tentang kualitas dan asal-usul makanan mereka. Jadi perusahaan yang melayani 28 juta orang setiap hari di AS itu sekarang menjanjikan jawaban yang lugas atas pertanyaan yang diajukan warga. McDonald's juga merilis apa yang terjadi di balik dapurnya dengan mempublikasikan sketsa dan infografik di web yang menggambarkan  proses produksi di balik produk-produknya seperti McNugger dan McRib.

McDonald's juga mempublikasikan proses daging yang digunakannya mulai dari peternakan ke restoran. Yang mungkin penting bagi McDonald's adalah komitmennya untuk mendengarkan uneg-uneg pelanggan, yang mengajukan pertanyaan secara online dan McDonald's menjawabnya dengan jujur ​​secara real time.

Tidak cukup itu saja, McDonald's juga memasukkan profesional yang skeptis dan mantan  "MythBusters" Grant Imahara, dan testimoninya ditampilkan dalam serangkaian video yang membahas keraguan dan pertanyaan bertubi-tubi dari konsumen.

“Kami tahu beberapa orang - baik penggemar dan yang skeptis terhadap McDonald - terus bertanya-tanya tentang makanan kami dari sudut pandang bahan-bahan atau bagaimana makanan disiapkan di restoran. Ini adalah langkah kami untuk memastikan kami melibatkan orang-orang dalam dialog dua-arah tentang makanan kami dan menjawab pertanyaan dan menanggapi komentar mereka, ” kata 

Kevin Newell, kepala-merek dan strategi EVP McDonald's USA seperti dikutip BurgerBusiness.com.
Hingga saat itu, publik belum faham benar proses yang terjadi di balik dapur McDonald. Rantai pasokan perusahaan yang begitu panjang, dan sumber bahan baku yang berasal dari beragam lokasi dan fasilitas, bisa jadi membuat  tidak mungkin tur, sketsa, atau infografis menunjukkan lebih banyak informasi tentang yang terjadi di peternakan, pabrik, dan pengolahannya.

Seperti yang diduga semula, tidak semua pertanyaannya bernada sopan. Akan tetapi McDonald tetap dengan cara mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan cara yang baik dan lucu. Misalnya, ada pertanyaan "Apakah daging Anda terbuat dari karton?" Alih-alih menyensor pertanyaan itu, McDonald menjawabnya: "Sama sekali tidak. Kami tidak berpikir kardus akan terasa sangat enak di burger kami.”

Langkah yang dilakukan itu berarti memberi banyak orang kesempatan untuk berinteraksi dengan merek McDonald's. Dengan memposting pertanyaan dan mendapatkan tanggapan, McDonald segera merasa kurang seperti perusahaan yang memiliki image dan lebih sebagai sekelompok orang kebanyakan. Ini yang membuat orang cenderung menyukainya. 

Setelah McDonald menjawab pertanyaan itu secara online, setiap orang lain yang memiliki pertanyaan yang sama, bisa jadi menguji jawaban itu di Googles. Mereka yang sepaham dengan McDonald meneruskan pesannya ke yang lain dan seterusnya.

Kemajuan teknologi social media dan komunikasi dua arah lainnya yang disediakan oleh internet dan jejaring sosial telah mendorong terjadinya pertukaran konten yang luar biasanya, tidak hanya antara konsumen dan merek tetapi juga di antara konsumen. Konsumen kini memiliki pengaruh yang lebih besar teradap manajemen merek.

Perilaku sosial mereka di internet memungkinkan peningkatan keterlibatan dengan merek karena terjadinya interaksi dan hubungan. Kemudahan dalam berbagi pesan dalam jaringan itu sendiri dan di antara jaringan yang berbeda melipatgandakan visibilitas objek bahwa audiens juga menghasilkan konten sensitive.

Pertanyaannya adalah apakah kemunculan konten yang dibuat pengguna telah mengurangi kedigjayaan merek? Diakui atau tidak, pengungkapan masalah atau suara negative yang lebih besar tentang merek akan meningkatkan tingkat krisis citra. Itu sebabnya, melindungi merek melalui manajemen krisis telah menjadi semakin menarik bagi organisasi.

Disini pengelola tertantang untuk memantau isu-isu tentang perusahaan? Positifnya, informasi internal dan eksternal dapat membantu dalam tindakan ini. Yang jadi persoalannya, terkadang informasi dari internal juga tak terarah. Disini manajer kontemporer harus siap untuk membuat keputusan dalam pengendalian-pengurangan informasi dan peningkatan kecepatan, variasi dan volume skenario informasi.

Yang juga bermasalah jika, di satu sisi, merek tidak pernah begitu sensitif, di sisi lain, para manajer tidak pernah memiliki begitu banyak informasi yang tersedia untuk mencegah dan mengidentifikasi masalah yang dapat menyebabkan krisis.

Emosi memengaruhi keputusan yang dibuat oleh individu. Krisis dalam sebuah organisasi sering menyebabkan kemarahan di ruang publik; terutama media social. Dalam konteks ini, strategi respon krisis yang diarahkan pada khalayak media sosial harus bertujuan untuk memberikan informasi yang membantu untuk mengatasi situasi krisis kepada publik yang terkena dampak.

Teoritis, pemahaman tentang respons emosional publik dan strategi penanggulangan selama krisis akan membantu manajer krisis organisasi mengembangkan strategi manajemen krisis yang efektif untuk membangun kembali kepercayaan dan memulihkan kepercayaan dalam organisasi.

Rasionalisasi bahwa kemampuan Twitter dan social media lainnya untuk memberikan akses tanpa filter ke emosi publik akan membantu praktisi PR untuk secara akurat dan segera mengukur sentimen publik dan menyusun strategi respons krisis yang memetakan emosi-emosi ini.

Di India, Twitter, hanya menyumbang 17 persen dari total pengguna jejaring sosial. Menurut laporan eMarketer, pada tahun 2014, di India hanya terdapat sekitar 18,1 juta pengguna Twitter. Pertumbuhan pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 30,4 persen. Verghese (2011) mencatat bahwa media sosial tidak menyebar dengan cepat di India seperti di negara lain karena ketergantungan platform pada bahasa Inggris. India memiliki 21 bahasa resmi lainnya.

Kurangnya konektivitas dan infrastruktur juga berkontribusi pada pertumbuhan media sosial yang relatif lambat di India. Pada tahun 2011, beberapa wilayah di negara ini memiliki jangkauan hanya 8 persen dan hanya 5 persen dari pelanggan seluler negara itu dapat mengakses Internet melalui perangkat seluler selain komputer.

Ketika berita tentang ramuan mie Maggi menyebar, masyarakat India yang kecil namun vokal  membawa isu tersebut ke twitter untuk menyatakan pendapat mereka yang berkisar dari kritik terhadap cara perusahaan dan pemerintah menangani antara lain keluhan tentang penarikan kembali yang terlambat (Varandani, 2015).

Awal Juni 2015, produsen makanan multinasional Nestle, resmi menarik produk mie instan Maggi dari pasar India, setelah ditemukannya masalah dalam beberapa produk kemasan tersebut. Selain Nestle, beberapa produk Heinz dan Kellog juga sedang dalam pengawasan ketat Food Safety and Standards Authority of India (FSSAI).

"Perusahaan-perusahaan tersebut telah diminta untuk memberikan pembenaran ilmiah tentang bagaimana produk mereka diberi label, dipasarkan, hingga dijual," kata sumber resmi FSSAI yang dilansir MIX Marcomm dari The Times of India. Namun sayangnya, perusahaan-perusahaan sama sama sekali tidak berkomentar tentang hal ini.

Sumber tersebut juga mengatakan bahwa pihak regulator merasa ada kekeliruan antara keterangan yang tertera dalam kemasan produk, cara produsen memasarkan produk, dan kandungan yang sebenarnya ada dalam produk tersebut. Sehingga memicu keresahan konsumen, khususnya di India.
Complan Pista Badam dan Heinz's Easy-To-Cook Baked Beans adalah dua produk Heinz yang tengah diperiksa oleh FSSAI, karena diduga konten produk tidak konsisten dengan apa yang mereka pasarkan ke pasar.

"Ini sama saja menipu konsumen. Mereka harusnya konsisten dengan apa yang mereka tampilkan, yang mereka tulis dan sampaikan ke konsumen," kata sumber resmi dengan menekankan pekerjaan regulator adalah untuk melindungi kepentingan konsumen.

Sementara Kellogg's, produk lainnya yang sedang diperiksa adalah Oats and Honey. Tamil Nadu menjadi negara bagian pertama yang melarang pemasaran beberapa merek mie instan, termasuk Nestle. Pelarangan segera disusul oleh sedikitnya lima negara bagian lain di India.

Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa ketika individu dihadapkan dengan situasi krisis, mereka menanggapinya melalui penilaian primer dan sekunder, dan berusaha mengatasinya. Penilaian primer melibatkan persepsi terhadap ancaman, penilaian sekunder melibatkan penentuan respon atau tindakan terhadap ancaman, dan mengatasi krisis tersebut berarti tindakan sebagai respons atas ancaman tersebut.

Menurut Lazarus (1991), ada beberapa pertimbangan ketika individu masuk dalam penilaian primer. Yang pertama adalah relevansi tujuan. Pada tahapan ini, individu mempertanyakan apakah peristiwa itu penting bagi kesejahteraannya. Kedua, kesesuaian tujuan atau ketidaksesuaian yang menggambarkan seberapa cocok peristiwa dengan kesejahteraan individu; dan yang terakhir keterlibatan pihak lain(berapa banyak pihak lain berkontribusi, bertanggung jawab, dan terlibat dalam suatu kejadian).

Penilaian sekunder mengacu pada evaluasi pilihan dan sumber daya individu untuk mengatasi situasi dan prospek masa depan. Ini melibatkan tiga komponen; menyalahkan atau menyokong yang menyangkut akuntabilitas atas apa yang terjadi, mengatasi potensi (apakah seorang individu memilih untuk berfokus pada masalah atau berfokus pada emosi untuk beradaptasi dengan situasi), dan harapan masa depan (apakah seseorang mengharapkan dirinya untuk menanggapi situasi).

Selasa, 23 Oktober 2018

Ada Public Relations yang Proaktif dan Ada Public Relations yang Reaktif




Dalam konteks komunikasi merek, public relations dibagi menjadi dua bidang kegiatan yang luas. Yang pertama, sebagian besar ditentukan oleh tujuan pemasaran perusahaan, berusaha untuk mempublikasikan perusahaan, produk atau layanannya. Yang kedua cenderung sebagai pemadam pkebakaran. Tapi apakah yang kedua itu tidak penting?

Dua puluh empat jam menjelang penjualan resmi perdana Apple iPhone XS - Dentsu X dan Huawei memanfaatkannya dengan membagikan power bank Huawei kepada penggemar iPhone yang sedang  antri secara gratis. Pesan resmi yang disampaikan, Huawei ingin memastikan baterai smartphone penggemar Apple masih aktif sepanjang malam.

Aksi itu dilakukan di 11 SGT pada 20 September 2018. Tidak kurang dari 200 power bank Huawei dibagikan kepada pengantri dan ludes dalam waktu 15 menit. Namun demikian, bukan pemasar kalau kurang akal. Dalam power bank yang dibagikan itu diselipkan pesan, “Here’s a power bank. You’ll need it. Courtesy of Huawei.”

Anggota masyarakat, orang-orang yang berada dalam antrean dan blogger dari seluruh wilayah menangkap aksi itu dan mengunggahnya ke media sosial. Kampanye itu menjadi viral dengan lebih dari 299 artikel di 41 negara, menghasilkan 10,56 juta view, 336.000 shares di media sosial dan PR Value yang mencapai US $ 343,6 juta.

Dampak aktivasi ini tidak hanya mendorong media menempatkannya sebagai berita utama, tetapi yang lebih penting adalah mengangkat merek Huawei ke tingkat yang memungkinkan merek tersebut  terhubung dengan target marketnya.

“Satu pesan humor dalam dosis tertentu dan perhatian dalam branding seringkali tidak berjalan seiring. Tapi kali ini, kami telah menambahkan elemen kejutan dan kegembiraan dengan membagi-bagikan Huawei SuperCharge power bank kami kepada mereka yang telah menghabiskan waktu berjam-jam dan upaya menunggu dalam antrean,” kata Jonathan Ye, Kepala Digital APAC dan Direktur Pemasaran Huawei Consumer Business Group.

Persaingan Nike dan Adidas benar-benar transparan selama Piala Dunia 1998 di Prancis. Dari sudut pandang public relations, event sepak bola memberikan keuntungan yang luar biasa melalui  kemampuannya dalam menarik pemirsa TV di seluruh dunia. Karena itu, bagi kedua merek global seperti Nike dan Adidas, daya tariknya sangat jelas.

Kedua merek sepatu itu sama-sama ingin menjadi sponsor utama. Persoalannya, penyelenggara Piala Dunia, FIFA, hanya mengizinkan satu sponsor utama untuk setiap kategori bisnis, sehingga Nike dan Adidas tidak dapat mensponsori acara tersebut secara bersama. Adidas "memenangkan undian" dan menjadi sponsor resmi. Anggaran untuk menjadi sponsor resmi itu mencapai £ 20 juta. Tapi ini seakan memberikan keuntungan besar bagi Adidas karena Adidas mensponsori banyak Tim Piala Dunia, meski beberapa tim yang berlomba di Piala Dunia itu disponsori oleh Nike.

Nike melihat itu sebagai tantangan dan peluang bukan ancaman agar mereknya tetap dianggap sebagai bagian dari Piala Dunia. Karena bukan sponsor resmi,  identitas merek Nike tidak diizinkan muncul di arena atau kegiatan Piala Dunia lainnya. Namun, Nike tidak kehilangan akal. Nike mendirikan "desa sepakbola" di antara gedung-gedung dengan desain yang menarik dan sensasional di La Défense, di ujung utara Paris.

Untuk masuk ke “desa” itu, Nike tidak memungut bayaran. Bahkan Nike menyediakan sejumlah acara "menyenangkan" yang ditujukan untuk penggemar sepak bola muda. Nike tidak diizinkan menggunakan logo Piala Dunia, atau bahkan merujuk langsung ke acara tersebut. Akan tetapi kebanyakan orang yang mengunjungi desa Nike tidak menyadari hal ini.

Nike bahkan menyelenggarakan "road show" tur Perancis, memberikan kesempatan kepada anak-anak sekolah untuk bermain melawan tim nasional Nigeria di bawah 17 tahun. Pengeluaran Nike di desa itu hanya £ 4,2 juta, jauh lebih sedikit daripada investasi Adidas, namun hasilnya tidak berbeda jauh dengan sponsor resmi.

Di banyak organisasi, pemasaran dan komunikasi dipandang sebagai alat untuk meningkatkan reputasi perusahaan atau merek. Komunikasi dilihat sebagai strategi oleh praktisi public relations dengan tujuan  mengikat kembali kegiatan-kegiatan ke konteks reputasi merek. Harus diakui bahwa hal itu bukanlah pekerjaan yang ringan dan cenderung membuat frustrasi serta memakan waktu karena biasanya pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh sebagian besar organisasi besar dengan anggaran penelitian besar dan kuat pula.

Dalam konteks komunikasi merek, strategi pemasaran PR dibagi menjadi dua bidang kegiatan yang luas. Yang pertama, sebagian besar ditentukan oleh tujuan pemasaran perusahaan, berusaha untuk mempublikasikan perusahaan, produk atau layanannya. Pilihan ini mencerminkan tujuan penjualan perusahaan, pilihan pasar, dan positioning, dan lebih bersifat ofensif daripada defensif, pencarian peluang daripada pemecahan masalah, dan "proaktif" daripada "reaktif."

Meskipun berhubungan dengan perubahan saat ini dan jangka pendek, harus diakui bahwa PR proaktif tetap dipandu oleh kebijakan pemasaran jangka panjang. Hal ini sebagian dikarenakan adanya perubahan yang berhubungan yang mencerminkan pengaruh internal yaitu keputusan perusahaan, rencana, dan program. Oleh karena itu, mereka dapat diramalkan, jika tidak sepenuhnya dapat dikontrol.

Selain itu, perubahan tersebut dilihat sebagai sesuatu yang positif. Artinya, mereka tidak melihatnya sebagai suatu masalah; sebaliknya, perubahan itu dilihatnya sebagai sesuatu yang menawarkan peluang. Oleh karena itu, kebijakan perusahaan seyognya bertujuan untuk mengatur agar PR bisa dijalankan relatif mudah dan sederhana. 

Pertanyaannya bukan apa yang harus dilakukan, tetapi bagaimana melakukannya. Jika berita itu bagus, misalnya, itu harus dipublikasikan. Satu-satunya masalah adalah: Media atau acara apa yang harus digunakan untuk mempublikasikannya?

Area kedua hubungan masyarakat yang berorientasi pemasaran ditentukan oleh pengaruh luar biasanya perubahan di pasar. Tantangannya adalah, sebagian besar perubahan seperti kebijakan pemerintah, sikap konsumen, atau tindakan kompetitif tidak dipicu perusahaan, mereka tidak dapat direncanakan. Mereka biasanya tidak diatur oleh kebijakan pemasaran.

Oleh karena itu, mereka harus ditangani secara ad hoc. Mereka membutuhkan keputusan tentang apa yang harus dilakukan, serta bagaimana melakukannya. Lebih jauh lagi, perubahan yang berhubungan dengan reaktif PR biasanya negatif. Mereka adalah masalah yang harus dipecahkan, bukan kesempatan yang harus diambil, dan mereka membutuhkan tindakan defensif, bukannya ofensif.

Bentuk kedua dari praktek PR adalah reaktif. Tidak seperti PR proaktif, yang mencoba meningkatkan citra perusahaan dan meningkatkan pendapatannya, PR reaktif mencoba mengembalikan perusahaan ke status quo dengan memperbaiki reputasinya, mencegah erosi pasar, dan mendapatkan kembali penjualan yang hilang.

Yang sangat penting adalah bentuk hubungan masyarakat yang reaktif ini (dan sering kali diabaikan sebagai alat pemasaran) yang mungkin bermanfaat untuk memberinya nama sendiri. Karena PR proaktif berhubungan dengan kekuatan perusahaan dan hubungan PR yang reaktif dengan kelemahan perusahaan, orang menyebutnya sebagai "relasi kerentanan" atau "VR" untuk membedakannya dari jargon lainnya yang lebih tua dan lebih mapan.

Bentuk proaktif PR secara tradisional digunakan dalam berurusan dengan tujuan dan pencapaian perusahaan: Mendapatkan eksposur produk; mengumumkan perubahan perusahaan, perusahaan, dan personil; mengungkapkan berita yang terkait dengan keuangan dan kesejahteraan perusahaan; dan mempublikasikan perkembangan rekayasa state-of-the-art.

Bahkan beberapa fungsi reaktif ini lebih dari banyak dipraktekkan perusahaan sebagai ruang lingkup PR. Di perusahaan-perusahaan canggih lainnya, PR sering kali terdegradasi pada rilis berita yang jarang mengangkat produk atau personel. Dalam banyak contoh, ada sedikit pemahaman tentang nuansa siaran pers sehingga sering dianggap sebagai mempertontonkan praktek PR yang kurang strategis. Sebagai contoh, dampak psikologis antara sebuah artikel yang ditentukan oleh seorang eksekutif perusahaan dan yang ditulis oleh staf publikasi sering berbeda, tapi di sisi lain, diloloskan bahkan oleh pemasar yang berpengalaman sekalipun.

Diakui atau tidak, praktek PR reaktif telah menjadi topik yang diabaikan dalam hubungan masyarakat karena nilai strategisnya dalam pemasaran tidak dipahami dengan baik, dan sebagian karena kurang direncanakan dengan mudah daripada PR proaktif. Tidak hanya kesempatan yang dibutuhkan yang sering muncul secara tidak terduga, tetapi strategi yang dibutuhkan juga seringkali bervariasi. 

Situasi PR reaktif yang khas sering menuntut respons yang jauh lebih kompleks daripada PR proaktif.
Pertama, jika masalah PR didasarkan pada kelemahan atau kekurangan yang sebenarnya, maka upaya awal harus ditujukan secara internal pada manajemen perusahaan, mendesaknya untuk menyelesaikan masalah. Dalam konteks ini strategi PR harus ditargetkan pada publik eksternal perusahaan, memberi tahu mereka bahwa masalah telah atau sedang dipecahkan.

Yang membuat respons PR menjadi lebih kompleks adalah kebutuhan untuk menghindari penolakan langsung bahwa masalah itu ada. Karena tidak ada perusahaan yang ingin memperhatikan masalah-masalahnya, itu harus ditangani secara tidak langsung. Oleh karena itu, PR yang reaktif harus berurusan dengan publik publik eksternal dan kadang-kadang dengan media yang mengaku untuk mengatakan atau melakukan satu hal ketika benar-benar mengatakan atau melakukan yang lain.

Publisitas negatif tentang suatu perusahaan atau produknya dapat muncul secara tidak disengaja atau secara kebetulan, atau mungkin hasil dari tindakan yang disengaja oleh pesaing di mana kasus PR harus diarahkan pada perusahaan lain, serta publik eksternal. Publisitas negatif ini mungkin didasarkan pada kelemahan atau kekurangan yang dituduhkan tetapi tidak aktual. Ketika itu adalah kasus (dan itu sering), maka program PR tidak hanya harus mencari sumber dari tuduhan dan menghentikannya, tetapi juga meyakinkan publik eksternal bahwa tuduhan itu salah.

Jumat, 28 September 2018

Benarkah Koneksi Budaya Mampu Meningkatkan Daya Saing?




Pada awalnya, U2 adalah kelompok band rock yang dicemooh dan ditertawakan orang. Sekarang, setelah menerima Grammy Award ke-22 pada tahun 2005, U2 jauh lebih banyak mendapatkan pujian dari kelompok band manapun dalam sejarah. Rekor tur dan konsernya jauh melampui Rolling Stones, terlaris dan tercatat sebagai kelompok band dengan pendapatan tertinggi diantara kelompok band yang pernah ada.

Para kritikus memuji musik band, dan penggemar di seluruh dunia seakan khawatir tidak mendapatkan cukup banyak album lagu dan penampilan konsernya. Semua pujian itu menunjukkan bahwa U2 berada di puncak permainannya dan kuat di masa mendatang. Bagaimana kelompok ini bisa naik ke puncak ketinggian, dan apa yang bisa kita pelajari dari keberhasilannya?

Jalan U2 menuju ke puncak seakan lebih luar biasa daripada musiknya. Empat anggota band; penulis lirik dan penyanyi utamanya Bono, pemain gitar utamanya "Edge," pemain gitar bassnya Adam Clayton, dan drummer Larry Mullen Jr. - sudah saling kenal sejak mereka remaja di Dublin, Irlandia.

Yang dilakukan Bono da teman-temannya seakan memberikan gambaran tentang band lebih dari sebuah organisme ketimbang organisasi. Beberapa atributnya berkontribusi pada budaya unik ini. Masing-masing anggotanya menghargai setiap kemampuan untuk mencapai potensi mereka sendiri. Mereka selalu mempertahankan pandangan bahwa mereka dapat menjadi lebih baik.

Anggota-anggota U2 selalu berbagi visi misi dan nilai mereka. Anda mungkin mempunyai ekspektasi  misi band adalah meraih kesuksesan komersial dengan ukuran hit nomor 1 dan kehadirannya dalam konser. Namun, misi U2 bukan itu. Misi U2 adalah untuk meningkatkan kehidupan dunia melalui musik dan pengaruhnya.

Bono menggambarkan dirinya sebagai penjual ide keliling dalam lagu. Pesan-pesan dalam lagu membahas tentang tema yang diyakini anggota band sebagai sesuatu yang penting untuk dipromosikan. Disini termasuk tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan masalah keyakinan. Bono dan istrinya, Ali, membantu orang miskin, khususnya di Afrika, melalui filantropi mereka dan organisasi yang mereka ciptakan.

Anggota U2 menghargai satu sama lain sebagai orang yang tidak hanya memikirkan satu sama lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Bono pernah mengatakan bahwa meskipun dia mendengar melodi di kepalanya, dia tidak dapat menerjemahkannya ke dalam tulisan musik. Dia sadar bahwa dirinya itu pemain gitar dan keyboard yang buruk. Karenanya, dia mengandalkan anggota lain untuk membantunya menulis lagu dan melemparkan pujian ke mereka karena bakat yang mereka miliki yang merupakan bagian integral dari kesuksesan U2.

Bono juga seakan menjadi tiang penyangga anggota bandnya ketika mereka mendapatkan cobaan.  Ketika Larry kehilangan ibunya dalam sebuah kecelakaan mobil beberapa lama setelah band terbentuk, Bono ada di sana untuk mendukungnya. Bono, yang telah kehilangan ibunya, memahami rasa sakit Larry.

Ketika U2 ditawari kontrak rekaman pertamanya dengan menggunakan drummer pengganti Larry yang lebih konvensional, Bono mengatakan kepada eksekutif perusahaan rekaman: Tidak ada kesepakatan tanpa Larry. Ketika Edge harus melewati masa-masa paska perceraian, teman-teman bandnya ada di sana untuk mendukungnya. 

Ketika Adam muncul di konser  dan dilempari batu sehingga dia tidak bisa tampil, yang lain bisa saja melemparkannya atau membiarkannya jatuh. Tetapi, mereka meminta seseorang untuk melindunginya, dan kemudian melanjutkan untuk membantu Adam mengatasi kecanduan narkoba dan alkoholnya.

Di buku Fired Up or Burned Out (Thomas Nelson, 2007), Michael L. Stallard, Carolyn Dewing-Hommes, Jason Pankau menulis, ancaman terbesar bagi ekonomi Amerika bukanlah praktik perusahaan yang tidak etis atau pasar yang bergejolak yang memaksa perampingan. Survei yang dilakukan Gallup terhadap lebih dari satu juta orang Amerika menunjukkan bahwa hampir 75 persen pekerja tidak merasa memiliki keterikatan dan keterlibatan dalam perusahaan (disengaged).

Disengaged adalah penyakit yang menyebar luas di organisasi-organisasi Amerika, dan telah menyebabkan hilangnya miliaran dolar, ketidakpuasan, dan kehidupan kerja yang kurang memiliki nilai yang sebenarnya. Tantangan sekarang – seperti yang ditulis di buku itu adalah mengubahnya dengan  tindakan penting, yaknu menjadikan tempat kerja yang penuh semangat, inovatif, dan berkembang.

Stallard berfokus pada enam kebutuhan universal yang dimiliki manusia untuk berkembang: rasa hormat, pengakuan, kepemilikan, otonomi, pertumbuhan pribadi, dan makna. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, sistem saraf merespon dengan kemarahan, ketakutan, atau keadaan pasif “putuskan” untuk mengembalikan rasa kesejahteraan.

Di tempat kerja yang sehat, emosi ini berfungsi untuk salah dan membangun kembali lingkungan yang berkembang di mana sistem saraf otonom dan sistem endokrin mempromosikan rasa kesejahteraan dan kesehatan yang baik. Namun, ketika interaksi dan lingkungan kantor umum tidak memenuhi enam kebutuhan tersebut, mereka dapat menyebabkan respons emosional yang tidak sehat oleh karyawan dan manajer. Perasaan putus hubungan ini membuat orang lebih rentan terhadap stres, kecemasan, depresi, dan kecanduan.

Dalam buku Connection Culture (ATD Press, 2015), Michael Lee Stallard menulis bahwa sebuah organisasi akan berkembang ketika karyawan merasa dihargai, lingkungannya diberi energi, dan menjadikan produktivitas serta inovasi tinggi sebagai norma. Ini membutuhkan pemimpin baru yang menumbuhkan budaya koneksi di dalam organisasi.

Menurut Stallard ada enam kebutuhan universal yang dimiliki manusia agar bisa berkembang: rasa hormat, pengakuan, kepemilikan, otonomi, pertumbuhan pribadi, dan makna. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, sistem saraf merespon dengan kemarahan, ketakutan, atau keadaan pasif dan keputusasaan untuk mengembalikan perasaan sejahtera. Di tempat kerja yang sehat, emosi ini berfungsi sebagai salah satu hal yang dapat membangun kembali lingkungan menjadi berkembang.

Sistem saraf otonom dan sistem endokrin mempromosikan rasa kesejahteraan dan kesehatan yang baik. Namun, ketika interaksi dan lingkungan kantor secara umum tidak memenuhi enam kebutuhan tersebut, mereka dapat memunculkan respons emosional yang tidak sehat baik pada karyawan maupun  manajer. Perasaan disengaged ini membuat orang lebih rentan terhadap stres, kecemasan, depresi, dan kecanduan.

Yang dibutuhkan adalah koneksi budaya yang dibangun dari identitas, empati, dan pemahaman bersama. Dalam konteks U2 tadi meisalnya, Bono menggambarkan band ini sebagai keluarga dan komunitas yang erat. Komitmen mereka untuk mendukung satu sama lain melampaui empat anggota band ke komunitas yang lebih besar yang mencakup keluarga mereka, personel, dan kolaborator yang diantara mereka telah saling kenal selama beberapa dekade.

Rahasia kesuksesan U2 adalah kepemimpinan dan budayanya. Bono seakan memposisikan dirinya  sebagai pemimpin di antara secara egaliter dan sederajat. Dia selalu mengkomunikasikan visi yang mengilhami dan menghidupinya, dia menghargai orang sebagai individu, dan dia memberi mereka suara dalam pengambilan keputusan. Ini adalah budaya visi, nilai, dan suara yang telah membantu U2 mencapai dan mempertahankan kinerja superiornya.

Dalam koneksi budaya, orang peduli tentang orang lain dan peduli dengan pekerjaan mereka karena menguntungkan manusia lain. Mereka menginvestasikan waktunya untuk lebih mengembangkan hubungan yang sehat dan berusaha membantu orang lain yang membutuhkan, daripada bersikap acuh tak acuh terhadap mereka. Ikatan ini membantu mengatasi perbedaan yang secara historis memisahkan orang, menciptakan rasa koneksi, komunitas, dan kesatuan yang inklusif dan berenergi, serta memacu produktivitas dan inovasi.

Rabu, 26 September 2018

Setelah Big Data, Lihatlah Small Data




Big Data kini seakan menjadi norma dalam membangkitkan atau melanggengkan merek. Benarkah? Ada sudut pandang lain dari strategi pemasaran, melihat small data. Kenapa? Big data hanyalah analisis yang cenderung tidak menggambarkan hal-hal yang sifatnya emosional.

Tahun 2014. Ketika Julia Goldin diangkat sebagai chief marketing officer (CMO) di Lego, salah satu perusahaan mainan paling bernilai di dunia, dia membelikan putra-putrinya seperangkat Lego Big Ben. “Saya menaruhnya di atas meja dan (berkata) 'Saya punya berita. Saya punya pekerjaan baru, dan kami akan pindah ke London,” kata Goldin kepada CNBC.

Saat itu Goldin dan keluarganya tinggal di AS. Goldin telah bekerja sebagai CMO merek kecantikan global, Revlon, yang berbasis di New York. Dia menerima tawaran menjadi CMO Lego karena yakin bahwa merek mainan itu mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh merek lainnya.

Setiap orang memiliki kisah tentang Lego, kata Goldin. “Setiap kali saya bertemu dengan sesorang dan saya memberi tahu kalau saya bekerja di Lego, mereka tersenyum lebar karena semua orang memiliki kisah pribadi untuk layak diceritakan. Mereka mengingat seoerangkat Lego pertama mereka, mereka ingat saat pertama kali mereka memberi anak mereka sesuatu yang mereka susun dan bangun.”

Seorang yang telah berkeluarga lebih dari 10 tahun, bisa dengan bangga menunjukkan model LEGO Taj Mahal yang mereka buat dari tumpukan balok Lego. Ini merupakan salah satu mainanLEGO terbesar yang pernah dihasilkan, dengan lebih dari 5.900 balok bata. Ketika seseorang menerima kitnya, konstruksi dimulai. Bila misalnya, siang atau malam hari ada kondangan, merek stop tapi melanjutkan merangkainya pada keesokan harinya.

Mungkin persis dengan smartphone sekarang, ketika orang itu bangun pada pukul 04.00 dan bekerja atau sekolah mulai pukul 07.00, hal pertama yang dia lakukan setelah pulang sekolah atau kerja pukul 15:00 adalah menuju ke kamarnya untuk memulai menyusun Lego lagi. Dia melakukan itu pada hari berikutnya, dan selanjutnya dan selanjutnya. Dia menyelesaikannya bisa dalam waktu empat hari.

Lalu berapa harga kit LEGO? Sekitar $ 300. Itu harga saat itu. Untuk ukuran mainan anak-anak, harga itu sangat mahal. Namun hari ini kit itu telah menjadi barang kolektor yang harganya bisa lebih dari $ 3000. Tak banyak yan tahu tentang itu. Para eksekutif LEGO merasa cukup mendengarkan reaksi teman-temannya usia muda, dan kini sadar bahwa mereka terlalu berpikir tentang Big Data yang selama ini mereka kumpulkan dan dapatkan dari online.  

Padahal, seperti kata Heath, big data tidak memicu wawasan. Ide-ide baru biasanya berasal dari penjajaran — menggabungkan dua hal yang sebelumnya belum digabungkan. Tapi Big Data biasanya tinggal di database yang didefinisikan terlalu sempit untuk menciptakan wawasan.

Ketika perusahaan mengeksplorasi Big Data dari pelanggan online-nya, biasanya hanya terlihat pada pembelian online. Seringkali basis data itu tidak melacak pembelian yang dilakukan pelanggan di toko-toko fisik karena mereka berada dalam database terpisah dan dijaga ketat oleh pemiliknya. Dengan kata lain, tidak ada basis data yang terkait dengan informasi tentang waktu iklan perusahaan.

Big data pada dasarnya hanya data. Persoalannya, sebagian pemasar yang menggunakan data lebih menyukai analisis daripada hal-hal yang sifat emosional. Sulit membayangkan big data mampu menangkap kualitas emosional seperti cantik, ramah, seksi, keren atau imut. Jika data memupuk keputusan emosional yang lebih baik, maka akuntan, bukan penyair, bisa menjadi prototipe budaya untuk para pencinta yang hebat.

Kevin Roberts dari Saatchi dan Saatchi berpendapat bahwa merek-merek hebat memiliki dua keuntungan: (1) mereka membangkitkan penghargaan atas kinerja teknologi, daya tahan, dan keefektifannya; dan (2) mereka membangkitkan cinta karena, yah,. . . kami mencintai mereka. Merek seperti HP dan Duracell adalah merek yang dihormati, dan Big Data sering dapat membantu membuat keputusan tentang peningkatan rasa hormat. Akan tetapi, merek-merek seperti Disney, Cheerios, dan Geek Squad juga dihormati dan dicintai, dan big data sangat tidak kompeten dalam menyarankan bagaimana meningkatkan cinta.

Harus diakui bahwa cerita Lego dari Goldin tidak berasal dari masa kecilnya. Dia dibesarkan di Rusia, dunia tanpa mainan mirip batu bata plastik yang terkenal. Seperti diketahui, Lego dibuat di sebuah kota kecil di Denmark pada tahun 1958. Dia pindah ke AS sebagai ibu seorang yang berusia empat tahun dan dia jatuh cinta pada Lego.

Dia kemudian pindah ke Jepang ketika sang anak berusia enam tahun. Namun, mainan Lego belum dikenal disana. “Di Jepang waktu itu sulit menjumpai Lego. Jadi saya biasanya kembali ke London untuk berbelanja di Argos. Saya membeli seperangkat Lego untuknya, karena dia benar-benar menginginkannya. Yang dia inginkan adalah Millennium Falcon (kapal luar angkasa serial Star Wars).  Itu adalah kisah Lego saya. ”

Tahun lalu, Lego menjadi merek mainan paling berharga di dunia dengan nilai $ 7,57 miliar versi konsultan Brand Finance. Pengukuran nilai mereknya terdiri dari faktor-faktor termasuk kinerja bisnis dan nilai merek jika ingin dilisensikan.

Ada berbagai versi Millennium Falcon dan yang terbaru, diluncurkan pada bulan Oktober, adalah salah satu hits Lego di 2017. Dijual hampir $ 800, memiliki 7.500 buah, menjadikannya versi terbesar dari pesawat luar angkasa yang dibuat oleh perusahaan. Namun, terdapat banyak sekali batu bata yang berkontribusi buruk pada hasil tahun lalu. Tahun lalu dan tahun sebelumnya, terlalu banyak stok yang disimpan di gudang sehingga harus dijual murah. Ini yang membuat terjadinya penurunan pendapatan sebesar 8 persen pada 2017.

Menurut Goldin, pemasaran adalah bagian utama dari bagaimana bisnis milik pribadi beroperasi, sehingga keberhasilan Lego bergantung padanya. “Di banyak perusahaan, kepala pemasaran hanya pemasaran. Saya tidak hanya melakukan pemasaran. Anda tahu itu sebenarnya hanya satu bagian kecil dari pekerjaan itu. Yang dilakukan tim saya adalah menggunakan seluruh portofolio produk, pengalaman produk, komunikasi, konten, saluran sosial untuk meningkatkan penjualan. Jadi itu benar-benar inti dari apa yang kami keluarkan di sana di pasar,” kata Goldin.

Pengelola merek sering mengabaikan faktor situasi penggunaan. Padahal, bagi sebuah merek, cara terbaik terbaik untuk meningkatkan penjualan seyogyanya bukan mencoba meningkatkan citra atau sikap konsumen terhadap merek, tetapi meningkatkan arti-penting merek. Juga penting bagi suatu merek untuk memperluas kesadaran merek dan situasi di mana konsumen mempertimbangkan menggunakan merek untuk mendorong konsumsi dan meningkatkan volume penjualan.

Awal tahun 2003, Lego menghadapi masalah, Lego kehilangan 30 persen dari omzetnya. Pada 2004, 10 persen lainnya lenyap. Seperti yang dikatakan Jørgen Vig Knudstorp, CEO Lego, “Kami berada di platform yang membara, kehilangan uang dengan arus kas negatif, dan risiko nyata gagal membayar utang sehingga kemungkinan besar menyebabkan bangkrutnya perusahaan.”

Bagaimana produsen mainan Denmark jatuh begitu cepat? Bisa dibilang, masalah perusahaan dapat ditelusuri kembali ke tahun 1981, ketika game genggam pertama di dunia, Donkey Kong (DK), masuk pasar. Masuknya DK memunculkan perdebatan di halaman-halaman majalah internal Lego, Klodshans, tentang apa yang disebut permainan platform side-scrolling atau masa depan mainan konstruksi. Hasil dari perdebataan itu adalah bahwa platform seperti Atari dan Nintendo adalah mode - yang ternyata benar, setidaknya sampai munculnya game komputer untuk PC. Ini merupakan bagian dari badai kedua karena mereka yang sangat sukses.

Ketika diminta oleh Lego untuk memberikan rekomendasinya pada 2004, Chip Heath, Co-author Made to Stick and Switch, memberikan saran agar Lego mengembangkan strategi branding keseluruhannya. Heath tidak ingin perusahaan mengabaikan apa yang telah dilakukannya dengan baik selama waktu yang lama, meski di sisi lain, taka da yang menyangkal bahwa ada arus tantangan baru berupa meningkatnya pemanfaatkan teknologi digital di mana-mana.

Seperti dikatakan Heath, sejak pertengahan 1990-an, Lego mulai menjauh dari produk intinya, yaitu, membangun blok-blok bangunan, dan berfokus pada bisnis yang seakan prospektif seperti themepark,  pakaian anak-anak, permainan video, buku, majalah, program televisi, dan toko ritel. Di bagian lain,  selama periode yang sama, manajemen melihat fenomena ketidaksabaran pada millennium, impulsif dan gelisah. Disini LEGO harus mulai memproduksi balok mainan yang lebih besar.

Setiap studi data besar yang ditugaskan LEGO menarik kesimpulan yang sama: generasi mendatang akan kehilangan minat pada LEGO. Pribumi Digital — pria dan wanita yang lahir setelah tahun 1980, yang sudah dewasa di Era Informasi — tidak memiliki waktu, dan kesabaran. Pada situasi ini, berbahaya bila LEGO kehabisan ide dan alur cerita untuk membangunnya.

Benar pribumi digital bisa kehilangan kapasitas untuk berfantasi dan kreativitas mereka. Ini karena  komputer melakukan sebagian besar pekerjaan untuk mereka. Setiap penelitian Lego menunjukkan bahwa kebutuhan generasi untuk kepuasan instan lebih kuat daripada blok bangunan apa pun yang pernah bisa diatasi yang biasanya membutuhkan waktu lama.

Fenomena lainnya, konsumen sering melihat beberapa merek hanya cocok untuk acara-acara khusus. Dalam kasus Lego misalnya, penggunaan dalam jumlah tertentu karena bisa jadi bila dikonsumsi terlalu banyak menimbulkan risiko waktu yang terbuang. Tapi di sisi lain, bisa jadi konsumen tidak memahami penggunaan dan kegunaan dari suatu produk. Ambil contoh Chivas Regal. Awalnya, orang mengenal CR hanya untuk momen-momen tertentu, ulang tahun misalnya.

Bagi pengelola merek CR, kalau hanya mengandalkan momen tersebut mungkin menjalankan kampanye iklan cetak untuk Blended Scotch-nya dengan tema Untuk apa Anda menyimpan Chivas? Iklan termasuk berita utama seperti Kadang-kadang hidup dimulai ketika baby-sitter datang , Scotch dan soda Anda hanya sebagus Scotch dan soda Anda,  dan Jika Anda berpikir bahwa orang melihat Anda memesan Chivas untuk pamer, mungkin Anda berpikir terlalu banyak

Namun, untuk kampanye seperti ini, merek harus mempertahankan asosiasi merek premium —sumber utama kesetaraan — sambil meyakinkan konsumen untuk mengadopsi kebiasaan penggunaan yang lebih luas pada saat yang sama.

Penetrasi pasar dianggap sebagai strategi pertama pertumbuhan perusahaan. Praktek ini hampir dilakukan di hampir semua organisasi, sehingga dapat meningkatkan volume penjualan, baik di pasar yang ada untuk produk yang sudah ada atau produk baru (Hussain et al. 2013).

Menurut Ansoff, penetrasi pasar adalah strategi yang berusaha meningkatkan penjualan suatu merek misalnya, tanpa meninggalkan produk yang ada di pasar saat ini. Tujuannya adalah bersaing dengan produk pesaing yang ada di pasar yang sama (Ansoff, 1965).

Strategi penetrasi biasanya cocok untuk pasar yang kompetitif dan sensitif terhadap harga dengan margin unit yang lebih rendah. Di sini mempertahankan kemiripan perbedaan di antara penawaran yang bersaing adalah penting. Oleh karena itu inovasi inkremental cocok. Inovasi ini bermanfaat untuk menunda efek komoditisasi dalam hal identitas merek dan margin.

Salah satu strategi untuk meningkatkan penetrasi pasar adalah dengan meningkan penggunaan oleh pelanggan yang sudah ada. Cara ini biasanya aman dari balasan pesaing karena tidak terlalu mengancam pesaing. Karena itu, cara ini bisa menjadi seuatu cara yang lebih efektif untuk meningkatkan penjualan yang berbasis pada merek. Pertimbangannya sederhana, dari pada berusaha mendapatkan potongan yang lebih besar dari sebuah kue, biasanya lebih mudah dan menguntungkan untuk mencoba membuat kue itu lebih besar.

Kamis, 13 September 2018

Kurs, Mau Berenang atau Tenggelam?


Pengalaman sistem kurs mengambang mengecewakan banyak pihak. Indonesia, misalnya. Itu sebabnya, ada keinginan kembali ke kurs tetap. Toh, masing-masing punya kelebihan dan kelemahan.

Aruman dan Ines W. Handayani
(Tulisan ini dimuat di Majalah SWA edisi Juni 1998)

Jangan kaget, bila sewaktu-waktu Pemerintah menetapkan berlakunya sistem kurs ganda. Maksudnya, dalam kondisi seperti sekarang, bukan tak mungkin Pemerintah memberlakukan kurs yang berbeda. Yang pertama, kurs tetap (baku atau fixed exchange rate/FxER) untuk importir komoditas tertentu seperti barang modal, bahan baku keperluan ekspor dan bahan pangan pokok. Yang kedua, kurs mengambang bebas untuk keperluan selain yang disebutkan di atas.

Mengingat situasi sekarang, itu tindakan wajar. Banyak orang meragukan kemampuan sistem mengambang bebas (*floating exchange rate*/FER) dalam mengendalikan kebinalan dolar AS terhadap rupiah. Ada pula yang mencela FER sebagai biang krisis berkepanjangan seperti yang terjadi kini.

Nilai rupiah tetap akrobatis, naik-turun dengan derajat penurunan yang lebih tinggi. Dan pemikiran menerapkan dua sistem tersebut, bisa jadi, merupakan kompromi setelah pemikiran menerapkan Sistem Dewan Mata Uang (CBS) -- sementara -- kandas, karena mendapat tantangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan para ekonom pendukung mekanisme pasar.

Di pihak lain, CBS bukan tanpa pendukung. Para pengusaha dan sebagian ekonom sangat mendukung rencana tersebut. Ini karena dengan FER -- yang diberlakukan sejak pertengahan Agustus tahun lalu -- dolar AS makin binal, cenderung meninggi nilainya dan sulit diprediksi. Lalu muncul usulan lain, yakni FxER dengan mempertahankan peran Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dan pengelola rupiah. Ini berarti, BI tetap diperbolehkan melakukan intervensi likuiditas, atau bahkan mencetak uang baru seperti yang banyak diduga orang dewasa ini. Itu pun banyak dikritik.

Harus diakui, perdebatan soal sistem kurs tadi telah berlangsung lama. Penerapannya mengalami pasang-surut. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, jumlah negara yang menganut sistem FER makin banyak. Kalau pada 1991 dari 133 negara sedang berkembang anggota IMF terdapat 19 negara yang menganut sistem FER (bebas), pada 1996 jumlahnya meningkat menjadi 29 negara.

Sementara itu, yang menganut FxER susut dari 57 menjadi 45 negara. Pada 1996, penganut sistem *peg* terbanyak berada di Afrika (25 negara) dan Asia cuma 11 negara. Adapun penganut FER terbanyak berada di belahan bumi barat (21 negara, 9 di antaranya FER bebas).

Sistem Kurs Negara Sedang Berkembang
====================================
              1976           1991      1996

Peg          86            57                4
- dolar AS  42            19              15
- franc Prancis  13            11              11
- lain-lain    7                3                4
- SDR  12              5                2
- Campuran  12            20              14

Fleksibel            3                4                3
(terbatas)

Fleksibel           11            39              52
- indikator     6              4                2
- terkendali     4            16              21
- bebas     1            19              29

====================================
Sumber: IMF.


Argumen yang sering dipergunakan para penganut FER adalah kemudahan meredam gejolak ekonomi, yang sumbernya dari luar. Seperti naiknya harga minyak atau bahan pangan yang membuat defisit perdagangan negara makin besar.

Secara teoretis, kurs mengambang dapat melindungi negara dari rembesan inflasi yang berasal dari luar negeri dalam jangka panjang. Sekaligus, memungkinkan bank sentral memanfaatkan kebijakan moneter -- misalnya, menaikkan suku bunga -- guna mencapai target.

Namun, para pengecam sistem kurs mengambang menegaskan bahwa kurs pada akhirnya akan bergerak menyamakan tingkat harga domestik dan desakan inflasioner. Ini karena, secara relatif negara yang bersangkutan pasti mengalami kenaikan tingkat penawaran uang.

Selain itu, penentang kurs mengambang berpendapat, depresiasi mata uang yang meningkatkan harga-harga impor, dapat mendorong para pekerja menuntut upah lebih tinggi demi mempertahankan standar kehidupan sehari-hari.

Meningkatnya upah jelas meningkatkan harga produk, sehingga merangsang inflasi, yang selanjutnya kembali mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah. Juga, depresiasi mata uang segera meningkatkan harga bahan baku impor yang digunakan dalam proses produksi domestik. Maka, kurs mengambang mereka anggap hanya akan mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan penawaran uang.

Meski kurs mengambang memang bisa memperbesar kemampuan bank sentral mengendalikan tingkat penawaran uang nominal, kurs mengambang tidak mampu memperkuat instrumen kebijakan pengendali ketenagakerjaan dan variabel-variabel ekonomi riil lainnya.

Jadi, kurs mengambang tidak memperkuat pengendalian tingkat penawaran uang riil. Reaksi harga-harga domestik terhadap perubahan kurs di negara yang banyak mengimpor bahkan lebih cepat. Di negara-negara tersebut, perubahan nilai mata uang sangat mempengaruhi daya beli kaum pekerjanya.

Secara akademis -- seperti ditulis pakar ekonomi moneter Paul R. Krugman dalam bukunya International Economic: Theory and Policy -- ada beberapa hal yang dikemukakan sebagai kelemahan utama sistem kurs mengambang, yakni:

-Disiplin. Dengan membebaskan kurs, bank sentral tak lagi wajib mengintervensi, karena nilainya ditentukan kekuatan pasar. Namun, kebebasan itu bisa membuka kemungkinan bank sentral menerapkan kebijakan yang bersifat inflasioner. Para pendukung sistem kurs mengambang berpendapat bahwa tipisnya disiplin hanya terjadi di negara-negara yang pemerintahannya kurang kompeten.

- Spekulasi. Dalam sistem kurs mengambang, spekulasi kurs mudah tumbuh subur, sehingga menjurus pada instabilitas di pasar valuta asing. Instabilitas ini, pada gilirannya, pasti menghasilkan berbagai dampak negatif terhadap keseimbangan internal dan eksternal semua negara.

Lebih jauh, gangguan dalam pasar uang domestik lebih berbahaya, bila dibandingkan gangguan dalam sistem kurs baku. Paling tidak, hal itu terbukti dengan rontoknya nilai rupiah belakangan, yang sebagian besar -- meski dipacu spekulan luar negeri -- "dipermainkan" pemain lokal dan amatir.

Toh, para pendukung sistem kurs mengambang tak percaya kelanggengan "permainan" para spekulator itu. Sebab, pada titik tertentu, spekulator manapun yang terus menjual mata uang yang terdepresiasi di bawah nilai jangka panjangnya, dalam waktu singkat akan kehabisan uang dan harus hengkang dari pasar.

Maka, menurut para pendukung sistem kurs mengambang, para spekulator perusak stabilitas itu tak akan bisa terus-menerus memercikkan instabilitas. Demi kelangsungan usahanya, mereka harus turut mengupayakan proses penyesuaian kurs terhadap nilai jangka panjangnya.

Menurut pendukung kurs mengambang, justru kurs bakulah yang menciptakan instabilitas. Sebab, hilangnya sebagian cadangan internasional milik bank sentral secara tak terduga segera menimbulkan perkiraan akan terjadinya devaluasi.

Keadaan ini mendorong para spekulator menjual aset-aset dalam mata uang domestik secara besar-besaran, sehingga pada akhirnya kondisi cadangan internasional semakin buruk. Pelarian modal seperti itu sudah tentu membuat peluang terjadinya devaluasi makin besar, dan bisa jadi pasti terjadi, meski Pemerintah sendiri tak berniat melakukannya. Pemerintah terpaksa mengambil kebijaksanaan, karena upaya-upaya lain mengatasi pelarian modal tak membuahkan hasil.

Kritik lain terhadap kurs mengambang adalah pengaruhnya terhadap pasar uang domestik, yang membuat perekonomian negara makin rentan berbagai gangguan. Terlepas dari soal kurs, masyarakat hanya akan puas dengan tingkat penawaran uang yang ada, jika tingkat pendapatan mereka menurun. Padahal, kenaikan permintaan uang pengaruhnya sama dengan penurunan penawaran uang. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, menjurus pada turunnya tingkat harga dalam negeri.

Dalam sistem kurs baku, perubahan permintaan uang tidak mempengaruhi perekonomian sama sekali. Sebab, untuk mencegah apresiasi mata uangnya, bank sentral membeli aset cadangan internasional berupa aset luar negeri dengan menggunakan uang domestik.

Pembelian ini dilakukan terus sampai tingkat penawaran uang riil domestik sama dengan tingkat permintaan riilnya. Ini merupakan argumen kuat yang sangat memperkokoh kedudukan sistem kurs baku, seandainya sumber utama berbagai gangguan terhadap perekonomian adalah pasar uang domestik. Namun, pembakuan kurs justru memperburuk kondisi makro ekonomi secara umum, seandainya sumber gangguan perekonomian datang dari pasar *output*.

- Ancaman terhadap investasi dan perdagangan internasional. Sistem kurs mengambang membuat harga-harga internasional makin sulit dipastikan atau diprediksi, sehingga mengganggu arus investasi dan perdagangan internasional.

Namun, para pendukung sistem kurs mengambang menanggapi kecaman ini dengan menegaskan bahwa para pelaku perdagangan internasional dapat menghindari risiko kurs dengan bertransaksi di pasar valas berjangka atau *forward exchange market*, yang ruang lingkup dan efisiensinya meningkat dalam sistem kurs mengambang.

Persoalannya, pasar valas berjangka terlalu mahal. Ini pula yang mendasari kenapa BankExim enggan melakukan lindung nilai *(hedging)*, sehingga kekalahannya dalam bermain valas membuatnya nyaris bangkrut.

Selain itu, mereka juga meragukan, transaksi berjangka di pasar tersebut dapat menutup seluruh risiko. Investasi jangka panjang yang baru akan menghasilkan keuntungan 10 tahun mendatang, misalnya, tidak bisa dilindungi dengan transaksi berjangka, karena transaksi ini umumnya jauh lebih singkat periodenya -- paling lama sekitar satu tahun.

Dalam sejarah ekonomi, tak ada sistem yang benar-benar bagus. Yang ada, cocok atau tidak bila sistem kurs -- *fixed* atau *floating* -- diterapkan di suatu negara. Dan kecocokan itu sangat bergantung pada kondisi masing-masing negara. Ada yang cocok dengan sistem *fixed* seperti Argentina, Hong Kong, dan sebagainya. Ada pula yang cocok dengan sistem *floating*.

Dalam laporannya tahun lalu, IMF mendiskripsikan soal sistem kurs dan kecocokan bagi suatu negara. Bila ukuran dan keterbukaan ekonomi negara kecil, misalnya, maka yang cocok adalah sistem kurs baku.

- Ukuran dan keterbukaan. Jika kontribusi sektor perdagangan dalam PDB besar, biaya stabilisasi sangat tinggi. Maka, disarankan menggunakan FxER.

- Tingkat inflasi. Bila suatu negara memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dari lawan dagangnya, sudah tentu ia memerlukan fleksibilitas untuk mencegah barang tetap kompetitif. Jika tingkat inflasi tak begitu tinggi, sistem kurs baku tak begitu masalah.

- Mobilitas tenaga kerja. Dalam suatu negara yang mempunyai derajat mobilitas tenaga kerja lebih besar -- ketika tingkat upah dan harga barang turun -- dengan kurs tetap tidak begitu sulit menyesuaikan diri, bila terjadi guncangan dari luar.

- Derajat perkembangan sistem keuangan. Di beberapa negara dengan sistem keuangan yang belum dewasa, menerapkan kurs mengambang bebas bukanlah langkah bijaksana. Sebab, sekecil berapapun jumlah valuta yang diperdagangkan, akan membuat pengalihan mata uang (lokal dan asing) yang besar.

- Kredibilitas pengambil keputusan. Reputasi bank sentral yang lemah dapat diperkuat dengan mematok mata uang lokal ke mata uang tertentu untuk menanggulangi inflasi. Di Amerika Latin, kurs baku berhasil menekan inflasi.

- Mobilitas modal. Dalam suatu negara yang mempunyai derajat keterbukaan terhadap arus modal internasional, sulit rasanya bila menerapkan sistem kurs baku.

Melihat kriteria tersebut, sudah pas bila negara-negara Asia Tenggara menerapkan sistem kurs mengambang bebas? Menurut *The Economist*, sebagian besar negara-negara Asia Tenggara relatif kecil, tetapi ekonominya relatif sangat terbuka. Thailand, Malaysia dan Filipina misalnya, nilai impornya lebih dari 40% PDB. Adapun tingkat inflasinya relatif rendah, dan pasar tenaga kerjanya relatif fleksibel.

Dalam kondisi seperti itu, sistem kurs mengambang bebas bukanlah pilihan yang paling baik. Beberapa ekonom mengatakan, bila Pemerintah tidak mengaitkan mata uangnya pada sesuatu (dolar AS, misalnya), mata uang lokal akan terseret dalam gejolak dan depresiasi berkepenajangan, serta inflasi yang lebih tinggi.   

Persoalannya, negara-negara tersebut kini dihadapkan pada kenyataan tingginya arus modal internasional. Selain itu, ada persoalan yang lebih serius. Seperti yang terjadi di Indonesia dan Thailand, kurs baku ternyata banyak dimanfaatkan pengusaha mencari pinjaman luar negeri.

Per Desember tahun lalu, utang swasta Indonesia mencapai US$ 73 miliar. Pinjaman tersebut dipergunakan untuk investasi yang cenderung spekulatif -- seperti di sektor properti. Akibatnya, ekonomi memanas dan membahayakan.

Karena itu, penerapan FER tanpa dibarengi kebijakan moneter yang ketat -- misalnya, memperketat aturan pinjaman luar negeri -- bakal membuat bank sentral kewalahan mempertahankan mata uang lokal. Menurut perkiraan seorang bankir, tahun ini utang yang yang jatuh tempo mencapai setengahnya.

Dengan beban sebesar itu -- katakanlah 50% pengutangnya adalah perusahaan yang tidak menghasilkan dolar -- kebutuhan dolar tahun ini diperkirakan mencapai US$ 17,5 miliar. Ini berarti menguras devisa yang sekarang jumlahnya cuma US$ 16,25 miliar.

Bisa jadi karena melihat perkembangan mata uang Thailand dan beberapa negara lain yang digoyang spekulan, BI lalu mengambangkan rupiah secara bebas. Celakanya, menurut Rizal Ramli, saat rupiah diambangkan kondisi kita kurang bagus.

Antara lain, ditunjukkan dengan neraca berjalan yang selalu negatif, utang luar negeri yang menggunung, pertumbuhan ekspor yang menurun, dan sebagainya. Kondisi itu dibaca spekulan dengan coba-coba menggoyang rupiah. Ternyata berhasil. Rupiah rontok tak beraturan.

Nah, bila sekarang Indonesia menerapkan FxER, menurut DR. Sri Mulyani Indrawati -- Wakil Direktur LPEM UI -- di satu sisi akan memberikan kepastian, terutama saat kurs bergerak tak beraturan. Namun, di sisi lain merugikan. Kurs yang stabil, sangat menguntungkan bagi rencana-rencana usaha, kegiatan dan proyeksi bisnis ke depan. Keuntungan lain, FxER juga memberikan kepastian pada importir, yang akan melakukan impor bahan baku, terutama dalam transaksi dan pembayarannya.

Lain halnya bagi eksportir, kepastian tadi bisa juga merugikan. Bila biaya-biaya produksi meningkat cepat, sementara kurs (terhadap negara tujuan) tetap, dengan menaikkan harga, eksportir masih memperoleh keuntungan.

Namun, bila kurs di negara tujuan melemah (di dalam negeri tetap), eksportir akan merugi. Itu sebabnya, penerapan suatu sistem tergantung pada pelakunya. Bila ekonomi membutuhkan lebih banyak penerimaan devisa, dengan kurs tetap biasanya cenderung tidak menguntungkan eksportir, karena mengurangi kemampuan memperoleh devisa.

Dalam kasus Indonesia, saat ini kita lebih banyak membutuhkan kepastian, di samping devisa. Dua-duanya penting. Karena itu, menurut Sri, Indonesia berat bila kembali ke FxER, karena biaya yang sangat tinggi.

Adapun bila menerapkan FER -- dalam kondisi psikologi pasar yang tidak pasti -- pasar bergejolak dan menimbulkan ketidakpastian. Itu sebabnya, bila berlaku FER, psikologi pasaar tadi harus diredam. Sebab, pada kondisi yang tidak terlalu bergejolak, dalam arti psikologis pasar tidak seliar sekarang, FER jauh lebih menguntungkan, karena mencerminkan nilai sebenarnya dari suatu mata uang.

Pertanyaannya, siapa yang harus menjaga FxER? Menurut Sri, penerapan FxER pada kondisi yang bergejolak, seperti saat ini, membutuhkan biaya yang tinggi. Paling tidak dibutuhkan kredibilitas dari lembaga yang menjaga FxER itu.

Karena dalam kondisi yang bergejolak, siapapun lembaganya -- CBS ataukah bank sentral -- pasti membutuhkan cadangan devisa yang cukup untuk memberikan citra kredibilitas yang tinggi. Di luar itu, dibutuhkan kemampuan suatu perekonomian untuk selalu menumpuk cadangan devisa.

Meski demikian, perlu dilihat, apa yang menyebabkan timbulnya gejolak. Bila gejolaknya berasal dari ketidakpastian yang tercipta akibat rumor, maka tidak selalu dibutuhkan cadangan devisa yang besar. Misalnya, gejolak timbul akibat kenaikan harga minyak atau komoditas yang lain, dengan kredibilitas cadangan devisa saja sudah cukup.

Bagi Indonesia, lebih kompleks dari sekadar cadangan devisa. Karena, dimensi kredibilitas itu sekarang dalam perekonomian Indonesia, berakar pada hal-hal yang sifatnya politis. "Ini yang menyebabkan betapa sangat kompleks dan rawannya, sebuah rezim FxER untuk diterapkan pada saat ini," ujar Sri.

Faktor yang harus diperhatikan dalam penerapan FxER -- demikian Sri -- adalah seberapa besar interaksi perekonomian terhadap berbagai gejolak lain dari luar negeri. Kemudian, tergantung pula pada seberapa mampu bank sentral bisa bekerjasama dengan lembaga keuangan bank sentral negara lainnya, sebagai *back up*.

Kalau beberapa waktu lalu Indonesia sukses menerapkan FxER, menurut Sri, itu sangat didukung kondisi internasional, yakni ketiadaan gejolak yang berawal dari Thailand. Sekarang, dalam kondisi gejolak, mengelola FxER makin sulit.

Terlepas dari pro-kontra terhadap sistem kurs, terdapat satu titik temu, yakni keinginan segera menstabilkan rupiah. Bagaimana caranya itulah yang kini tengah dicari. Dua pekan lalu, AP-Dow Jones mewartakan soal kemungkinan penerapan sistem dua kurs tadi.

Namun, itu bukan berarti tanpa risiko. Salah satunya, transparansi sekitar komoditas yang mendapat subsidi dan siapa yang mendapat apa. Banyak orang yang khawatir bila sistem tersebut diterapkan -- selain memunculkan *black market* -- bakal memperbesar peluang terjadinya kolusi baru. Mudah-mudahan semuanya sudah diantisipasi dan dibuatkan pagarnya. Sebab, jangan sampai langkah yang ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan, justru malah meruntuhkan kepercayaan itu sendiri.

Selasa, 11 September 2018

Sekadar Dimuat, Dibaca, atau Mempengaruhi Persepsi dan Sikap Pembaca?



Bulan lalu, saya kebetulan diminta teman-teman untuk menjadi juri Best Corporate Initiative oleh teman-teman di Majalah Mix. Ada puluhan kegiatan yang masuk dan umumnya harus saya akui bagus-bagus. Kebetulan saya – bersama sahabat-sahabat dari Telkom University -- juga diminta teman-eman di SWA untuk menjadi juri Best e-Marketing. Ini juga bagus-bagus.

Namun demikian, ada yang mengganggu pikiran saya tentang bagaimana teman-teman praktisi public relations (PR) dan marketing menggunakan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan mereka. Dari laporan kegiatan yang masuk atau dipresentasikan, saya menjumpai banyak laporan yang menyertakan pencapaian dengan menampilkan liputan media atau publisitas.  

Unsur utama public relations adalah publisitas. Ini menyiratkan komunikasi tentang produk atau organisasi dengan menempatkan informasi tentang hal perusahaan atau produk di media tanpa membayar waktu dan ruang secara langsung. Publisitas dalam bentuk yang paling sederhana adalah sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat umum melalui media.

Kemampuan untuk menciptakan publisitas inilah yang membedakan antara seorang praktisi public reations dan periklanan. Ini berarti salah satu tugas penting dari praktisi PR adalah mendorong  pergerakan informasi ke masyarakat umum melalui media. Informasi yang dipublikasikan dapat berupa berita, kesadaran tentang produk dan layanan, dan lain-lain. Ini adalah proses menciptakan kesadaran produk dan layanan baru.

Selama bertahun-tahun – bahkan mungkin sampai sekarang -- praktik menggunakan harga kesetaraan tarif iklan yang ditawarkan penerbit (diukur dalam biaya per kolom) sering berlangsung. Kesetaraan ini digunakan dengan asumsi artikel yang dipublikasikan media memberikan ukuran nilai dari sentimeter kolom editorial. Padahal, penggunaan nilai kesetaraan iklan (AVE) ini menyesatkan.

Gagasan ini merupakan implikasi dari pemikiran yang pada intinya menyamakan pengiriman pesan dengan mengkomunikasikan pesan, atau penyebaran informasi disamakan dengan komunikasi. Disini praktisi public relations, terutama media relations, menggunakan penempatan media, semisal guntingan atau kliping berita) sebagai bukti telah terjadnya komunikasi.  

Dari sini muncul pertanyaan, dalam konteks media relations, apakah press release misalnya ukuran keberhasilannya sekadar dimuat, dibaca pembaca, kontennya positif atau mengubah persepsi pembaca pada perusahaan atau pemberi release?

Kiliping telah lama digunakan sebagai dasar analisis isi. Analisis isi hanya mengindikasikan apa yang tercetak dan disiarkan, bukan apa yang dibaca atau didengar. Analisis isi juga tidak mengukur apakah khalayak menerima dan percaya atas isi pesan. Dengan kalimat lain, analisis isi kliping surat kabar memberi ukuran yang berguna dari pesan yang sedang ditayangkan media, tetapi tidak mengindikasikan jumlah pembaca dan dampaknya.

Editorial juga bukan iklan yang kontennya bisa diatur orang lain sebagaimana iklan. Editorial adalah kewenangan redaksi. Informasi yang diberikan praktisi PR bisa diolah lagi oleh redaksi agar sesuai dengan kepentingan pembacanya. Itu sebabnya, kontennya bisa positif atau negatif buat perusahaan.

Karenanya, mempersamakan atau memperbandingkan editorial dan iklan dianggap menyesatkan. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk. Editorial hadir dalam berbagai bentuk dan kisarannya mulai dari berita hingga komentar pembaca.

Di sisi lain, iklan dapat berupa tampilan, diklasifikasikan atau advertorial dan banyak variasi di antaranya. Dinilai menyesatkan karena beberapa orang memiliki ukuran nilai iklan yang akurat mungkin juga tidak, meskipun mereka sebenarnya memiliki pandangan yang jelas tentang biayanya.

Para penggiat PR melihat penggunaan AVEs menarik karena di pasar industi periklanan yang terbuka, tarif iklan pada dasarnya bisa dinegosiasikan, kompetitif dan didominasi oleh pendanaan yang lebih baik dan karena ketiadaan alternatif kuantitatif lainnya, maka pengukuran prestasi public relations dianggap cocok bila menggunakan kesetaraan dengan nilai editorial.

Logika ini semakin diperparah oleh fakta bahwa, terlepas dari isi, biaya atau nilai dari beberapa artikel sangatlah bervariasi. Beberapa editorial bisa diperoleh dengan biaya yang tinggi (misalnya, jurnalisme investigatif). Di sisi lain, beberapa editorial – kalau dinilai atau dilihat dari biaya untuk mendapatkan bahan  editorial itu – biasanya berbiaya rendah karena bahannya mungkin siaran pers yang ditulis dengan baik, informatif dan mempunyai nilai berita.

Dengan semakin banyaknya pekerjaan PR terfokus pada hubungan media, perlu untuk dapat memahami bagaimana editorial mempengaruhi orang. Langkah-langkah yang sesuai kemudian dapat diterapkan adalah dengan mengetahui seberapa efektif praktisi melakukan kegiatannya dan nilai dari apa yang telah dicapai.

Dalam memahami konten -- baik dalam konteks editorial dan sosialnya – praktisi PR dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang nilai dan efek sebenarnya dari editorial dan menjadikannya sebagai tolok ukur keberhasilan.

Pengalaman-pengalaman sebelumnya, seseorang dapat dimaafkan karena percaya bahwa penggunaan nilai kesetaraan iklan sebagai tolok ukur keberhasilan tidak hanya menyesatkan, tetapi juga dapat benar-benar merusak ketika hal itu digunakan untuk mengevaluasi efek dan efektivitas sebuah liputan editorial.

Namun demikian, harus diakui bahwa publisitas penting karena tak ada persepsi bila tak ada stimulus.  Stimulus yang saya maksud disini bisa berarti informasi yang dimuat di media. Namun demikian, pemuatan di media idealnya tidak dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu kegiatan. Pemuatan informasi yang dikirimkan praktisi hendaknya dilihat sebagai tolok ukur keberhasilan awal, yakni menciptakan stimulus.

Tugas komunikasi PR selanjutnya adalah bagaimana memperoleh perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan, membangun hasrat dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan tindakan yang diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan, serta membuat khalayak sasaran selalu ingat akan pesan dan pengalamannya setelah mereka melakukan tindakan itu. Tak mudah memang, namun demikian itulah tantangan sebenarnya.