Jumat, 26 Januari 2018

Bisakah Event Asian Games Jadi Tonggak Gerakan Re-branding Kota?



Hari-hari Indonesia, khusus kota Jakarta dan Palembang, disibukkan dengan persiapan event besar olahraga, Asian Games, pesta olahraga level internasional yang bisa dipastikan mendapat sorotan ratusan juta penonton. Pertanyaannya adalah bisakah event ini mampu membuat, misalnya, Palembang menjadi kota dunia?

Seperti yang dilakukan banyak kota dunia lainnya, event itu seyogyanya bisa mendongkrak Palembang sebagai kota yang bisa disejajarkan dengan Jakarta atau Surabaya.  Kenapa? Diakui atau tidak, kota-kota di Indonesia masih dalam taraf awal dari branding kota. Sementara kota-kota di Indonesia masih sibuk dengan membranding kota, kota-kota di dunia sudah berlari dan terus mengubah image kota setelah dirasakan imagenya sudah tidak menjual lagi atau perlu ditingkatkan, atau kesaktiannya dalam memberikan kesejahteraan kepada warganya turun

Beberapa kota global dunia berhasil memposisikan dirinya melalui acara olah raga internasional seperti menyelenggarakan turnamen tenis (Wimbledon, Perancis terbuka, Australia Terbuka dan AS Terbuka) atau pertandingan sepak bola sepanjang tahun (misalnya, FC Barcelona, ​​Real Madrid, AC Milan, Chelsea FC, Manchester United, dll). 

Di awal pemerintahannya, Nelson Mandela juga memanfaatkan event kejuaraan dunia rugby untuk mempromosikan citra Afrika Selatan yang sudah berubah. Kota dan negara tersebut  berhasil menciptakan keterkaitan antara kota dengan tim atau turnamen.

Sejak tahun 1990an, branding kota telah menjadi faktor kunci dalam kebijakan pembangunan perkotaan. Kota-kota di seluruh dunia berusaha keras dan melakukan tindakan spesifik untuk memoles citra dan persepsi kota,  di mata penduduk maupun calon wisatawan, investor, pengguna dan konsumen.

Langkah strategis itu tidak hanya dilakukan kota yang baru akan dikembangkan melainkan juga kota-kota yang sudah lama berkembang namun dirasa daya tariknya berkurang atau masih masih ada peluang untuk ditingkatkan. Perencana kota dan pengambil keputusan, makin kuat usahanya menarik bisnis dan turis. Mereka menghabiskan jutaan dolar untuk mengubah image kota mereka dengan melakukan rebranding sehingga ini menjadi  sebuah aktivitas populer di seluruh dunia.

Kopenhagen misalnya, menghabiskan sekitar $ 100 juta dalam lima tahun untuk mengubah citranya di Eropa dari hanya sebagai ibukota negarta di Eropa menjadi salah satu ibukota terkemuka di Eropa. Bahkan saat ini hampir setiap kota besar di Inggris telah direbranding. Hampir 70 persen kota Jerman sudah melakukan pemasaran tempat. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir kota-kota seperti Bangkok, Lagos (Nigeria), Rio de Janeiro dan Beijing telah merebranding.

Meskipun sejumlah besar uang diinvestasikan pengelola kota untuk proses perencanaan dan implementasi rebranding, uang itu dihabiskan dengan baik asalkan ada strategi yang mendasarinya. Strategi yang berhasil dapat dilihat dari kota-kota yang telah mengubah citranya. Mereka  berhasil menciptakan keunggulan kompetitif dibandingkan kota-kota lain yang citranya kabur dan merasa lebih mudah bersaing untuk pangsa konsumen, turis, bisnis, investasi, pekerja terampil dan perhatian media.

Secara umum, setiap proses rebranding kota harus relevan dengan empat khalayak. Pertama, pengunjung.  Mereka bisa turis asing dan  atau domestik. Sebagian besar strategi rebranding kota bertujuan untuk menarik wisatawan dari segala daerah. Beberapa kota seperti Dubrovnik, Barcelona, Venesia dan Bangkok mendasarkan ekonomi mereka terutama pada wisatawan asing. Kota lain menarik wisatawan domestik. Selama periode “perang”, Yerusalem dan New Delhi  melakukan branding terutama untuk menarik wisatawan lokal (Mitki et al., 2011).

Kedua, warga. Warga termasuk penghuni lama dan baru. New Castle adalah contoh sebuah kota yang berhasil meningkatkan citra dan membuat penduduknya tidak meninggalkan kota itu. Sebaliknya Holon, sebuah kota di Israel, kehilangan 50 persen penduduknya. Mereka pindah ke kota lain, dan kemudian, setelah proses rebranding, kota itu menjadi perhatian. Banyak pasangan muda dan keluarga berbondong-bondong pindah ke kota itu.

Ketiga adalah pebisnis dan industri. Segmen bisnis dan industri mencakup perusahaan asing dan domestik, investor dan pegawai negeri. Melbourne dan Sydney, misalnya, bekerja keras untuk menarik pekerja terampil seperti dokter, insinyur dan analis komputer untuk menjadikan dirinya sebagai kota yang lebih menarik bagi bisnis dan industri.

Keempat pasar ekspor. Pasar ekspor terdiri dari perusahaan asing dan konsumen dari seluruh dunia yang membeli produk yang diproduksi di kota-kota tertentu. Produk meliputi barang fashion seperti i Milan (Italia), parfum dari Grasse (Prancis) dan jeruk dari Jaffa (Israel). Saat ini, bisnis yang di kota-kota di negara berkembang seperti China menghabiskan jutaan dolar untuk mengubah citra diri mereka dan membuat diri mereka trendi dan akrab bagi konsumen di seluruh dunia. Beberapa kota di pasar negara berkembang, misalnya, mencoba memberi merek pada diri mereka sendiri sebagai pusat anggur (Herstein, 2012), bersaing melawan perkebunan anggur asing, termasuk yang berasal dari negara maju.

Para perencanaa kota melihat olahraga sebagai salah satu strategi untuk merebranding kota. Kota-kota global dengan sumber daya ekstensif yang merencanakan untuk jangka panjang biasanya menggunakan strategi ini. Beijing, Athena, London, Seoul dan Barcelona telah memposisikan diri sebagai kota kota yang mampu menyelenggarakan Olimpiade, membangun kembali dan merancang ulang kota mereka.

Pembangunan infrastruktur baru mereka, stadion olahraga, bandara, sistem transportasi, jalan raya, jalan raya, dan pembangunan tempat pertunjukan atau arena baru seperti taman hiburan dan pusat perbelanjaan modern berhasil mengubah image mereka. Bahkan Olimpiade Beijing berhasil menghapus ingatan banyak orang tentang tragedi Tiananmen yang sempat mencoreng image China.

Kota-kota ini memobilisasi sejumlah besar dana untuk merenovasi area yang luas dalam pencarian citra kota baru. Keberhasilan mereka didukung dengan memanfaatkan media global dan sponsor dari merek global terkemuka. Kedua, agar mendapat dukungan publik internal,  perencana kota yang menerapkan strategi olahraga mega harus memastikan adanya tiga kondisi.

Pertama, peristiwa olahraga tersebut harus menghasilkan aktivitas ekonomi yang signifikan, termasuk pembangunan kembali kota. Kedua, acara tersebut harus mencerminkan dan memproyeksikan, terutama di kota-kota deindustrialisasi, sebuah pergantian secara luas ke sektor jasa ekonomi. Ketiga, acara tersebut harus berfungsi sebagai lokus upaya dan identitas masyarakat yang bisa memperkokoh kesatuan bangsa.

Banyak turis, misalnya, mengaitkan London dengan Kejuaraan Tenis Wimbledon. Turnamen ini membantu memanfaatkan citra kota dan setiap tahun menciptakan ketertarikan dan kesadaran seputar acara olahraga ini. Bila Anda mengetik kata Barcelona di Google Images, akan muncul  banyak gambar dari tim kota dan pemain topnya. Perencana kota yang ingin menerapkan strategi ini telah berhasil menciptakan suasana unik yang membuat para wisatawan / penggemar olahraga merasa seperti pulang ke rumah setiap kali mereka melihat tim kota asal mereka misalnya.


Beberapa kota telah berhasil menciptakan perasaan tersebut. Museum FC Barcelona, bagian dari Stadion Barcelona, adalah museum yang paling banyak dikunjungi di Catalonia, dengan lebih dari 1,2 juta pengunjung setiap tahunnya. Perencana kota juga perlu menciptakan atraksi yang bervariasi bagi penggemar yang sering berkunjung ke kota sehingga mereka memiliki aktivitas dan atraksi baru untuk berpartisipasi.