Rabu, 15 Agustus 2018

CHURNALISM




Tahun 2016, Zara -- rantai industri fashion global ternama -- dituduh mencuri ide dari 12 desainer indie. Salah satu desainer, Tuesday Bassen, mengajukan keluhan resmi kepada perusahaan.

Ilustrator berusia 27 tahun, yang sebelumnya bekerja untuk merek seperti Urban Outfitters dan Nike, menuduh Zara menggunakan empat bagian dari karya aslinya tanpa izin atau kompensasi.

Bassen mengetahui kalau karyanya itu mirip dengan yang dibuat Zara setelah ratusan penggemarnya menanyakan, apakah dia berkolaborasi dengan Zara atau perusahaan itu menjiplak karyanya.

Ketika dia menghubungi Zara melalui seorang pengacara, dia mendapat jawaban, bahwa klaim kemiripan Bassen tidak memiliki dasar. Lagi pula, jawab Zara, jumlah keluhan yang mereka terima tidak signifikan dibandingkan dengan banyaknya trafik pesanan yang datang ke situs mereka.

Kasus ini Zara ini seakan menyampaikan pesan, Zara adalah perusahaan besar dan popular, sementara Bessen adalah artis yang kurang terkenal. Karena itu keluhan tidak diperhitungkan.

Saya sengaja memulai dengan kasus Zara itu sebagai ilustrasi pembuka karena pada dasarnya hal itu juga bisa terjadi dimana-mana dengan versi yang berbeda. Meminjam istilah Rocky Gerung, karena demokrasi dikuantitatifkan maka suara mayoritas mengalahkan suara minoritas.

Suatu praktek yang dilakukan banyak orang dianggap sebagai suatu kewajaran meski hal itu belum tentu benar.
Tahun lalu, mahasiswa saya melakukan penelitian tentang media relations pada sebuah perusahaan. Penelitian itu mendapati, sebagian besar cerita atau informasi yang perusahaan sampaikan kepada media online, langsung dimuat tanpa perubahan atau pengembangan cerita. 

Di satu sisi, fenomena itu bisa jadi menunjukkan adanya hubungan yang bagus antara perusahaan dan media atau awak media. Betapa tidak, media atau awak media begitu percayanya kepada perusahaan sehingga rilis yang disampaikan oleh public relations officer perusahaan itu langsung dimuat tanpa editing.

Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Kenapa? Tahun 2008, Nick Davies menulis buku Flat Earth News: An Award-winning Reporter Exposes Falsehood, Distortion and Propaganda in the Global Media. Di buku itu, Davies mengutip hasil penelitian seorang professor dari Cardiff University, Justin Lewis, dan Tim-nya, yang mempelajari lebih dari 2.000 berita yang diterbitkan oleh empat harian berkualitas di Inggris (Times, Telegraph, Guardian, Independent) dan Daily Mail.

Hasil penelitian Lewis membuat Davies terpengarah. Kenapa? Ketika menelusuri asal-usul "fakta-fakta" dalam berita mereka, Lewis menemukan hanya 12% berita yang ceritanya berasal dari bahan yang telah diteliti secara mendalam oleh para wartawan.

Berita lainnya, atau yang 8 %, Lewis tidak yakin atau ragu-ragu bahwa bahan yang digunakan dalam berita dicek dulu oleh reporternya. Sisanya, atau yang 80%, sebagian besar atau sebagian berita yang disajikan dibuat dari bahan yang disediakan oleh kantor berita dan oleh industri hubungan masyarakat.

Penelitian ini, Lewis mengatakan, membuktikan bahwa praktek sehari-hari dari penilaian berita, pengecekan fakta, keseimbangan, mengkritik dan menginterogasi sumber yang, secara teori, penting sebagai rutinitas yang harus dipraktek dalam kerja sehari-hari jurnalisme, telah terkikis.

Beberapa tahun lalu, wartawan BBC Waseem Zakir mempopulerkan bentuk jurnalisme yang disebut dengan Churnalism. Praktek jurnalistik ini sekarang semakin sering dijumpai. Churnalism adalah  jurnalisme yang hanya mengandalkan siaran pers, cerita yang disediakan oleh kantor berita, dan bentuk lain dari materi pra-paket, bahan berita untuk dilaporkan, untuk digunakan dalam menuliskan artikel di koran dan media berita lainnya.

Tidak seperti jurnalisme pada umumnya yang selalu melakukan cek dan pengecekan ulang, dan mengembangkan informasi yang masuk kepada media, dalam churnalism penulisan berita menggunakan bahan tanpa penulisan ulang yang disertai dengan pengayaan informasi di dalamnya. Istilah sekarang, tinggal copy paste.

Bagi media, bentuk jurnalisme ini di satu sisi menguntungkan karena bisa mengurangi biaya dengan mengurangi wawancara atau riset atas sumber pengumpulan berita dan pengecekan ke sumber pertama. Seperti diketahui, setelah transformasi dari media cetak ke online, beban biaya kerja bila selama ini lebih besar pada biaya produksi cetak, kini meski biaya cetak hampir tidak ada. Biaya itu kini bergeser ke biaya peliputan yang membengkak karena peningkatan kuantitas jumlah peliputnya.

Yang kedua, untuk menutup pendapatan yang hilang. Harus diakui bahwa kemunculan berita Internet berakibat penurunan dalam periklanan karena bagaimana pun pertumbuhan jumlah media berita internet kini makin banyak. Di sisilah lain kue iklan yang harus dibagi tidak sepadan dengan peningkatan media berita tersebut. Itu tidak memperhitungkan turunnya belanja iklan perusahaan secara global. Seperti halnya dengan media cetak, kue iklan biasanya jatuh ke media-media internet yang besar.

Yang ketiga, sebelum perusahaan pers mulai memasukkan konten mereka secara online, orang mendapatkan berita di media cetak atau di TV, dan hampir selalu berada di luar tempat kerja. Tapi saat ini, sebagian besar masyarakat memperhatikan berita utama dari meja di tempat mereka bekerja. Publik sekarang sudah terbiasa dengan akses instan ke situs berita internet yang menyajikan banyak berita yang terus-menerus diperbarui.

Perubahan dalam jumlah berita yang disajikan serta bagaimana audience mengkonsumsinya memaksa pekerja media mentransformasi kerja editorialnya. Persaingan diantara perusahaan pers dan perusahaan media di jalur online yang real-time melahirkan gagasan pentingnya kecepatan dalam penyampian informasi atau berita. 

Akibatnya, muncul gejala peniruan berita yang selanjutnya berakibat pada penurunan keragaman berita.
Sejatinya, ini bertentangan dengan spirit para jurnalis. Persoalannya adalah, seperrti yang ditulis Pablo J. Boczkowski dalam News at Work: Imitation in an Age of Information Abundance (University of Chicago Press, 2010), audience seakan menyetujui praktek tersebut. Mereka seakan tidak peduli pada dari mana dan bagaimana media menyajikan berita.

Yang lebih dipentingkan adalah informasi sampai ke mereka dan mereka mendapatkan hal-hal baru.  Namun, diakui atau tidak, artikel yang muncul dari praktek jurnalisme seperti itu rawan atau terbuka terjadinya  manipulasi dan distorsi.

Ini adalah ilustrasi kecil dari apa yang disebut Davies sebagai Flat Earth News.  Pada bulan Juni 2005, seperti yang ditulis Davies, Fleet Street memberitakan tentang sekelompok anak pengganggu yang berusaha membunuh seorang bocah lima tahun dengan menggantungnya di pohon.

Yang menarik dari berita itu adalah tentang keberhasilan bocah itu membebaskan dirinya tanpa bantuan orang lain. Cerita ini, menurut Davies, jelas bukanlah kejadian sebenarnya karena ada beberapa hal yang tidak masuk dalam logika biasa.

Dengan kata lain, ada masalah logika di berita itu. Bagaimana tidak, seorang pria dewasa dengan 10 tahun pelatihan SAS pun, sulit membebaskan dirinya dari tali gantungan yang mengikat lehernya. Jadi bagaimana dia bisa mengangkat dirinya tubuhnya yang berat itu sendiri hanya dengan satu tangan? Bukankah ketika dia berusaha melepaskan diri, satu tangan untuk mengangakt dirinya sendiri satu lainnya untuk melepaskan ikatan. Lalu apakah itu bisa dilakukan oleh seorang anak berusia 5 tahun?

Bukti bagaimana ketidakmasukakalan lainnya dari berita itu adalah, sejak awal polisi menolak mengatakan bahwa anak itu telah digantung. Orang tua dan tetangga, yang mengatakan kepada pers betapa terkejutnya mereka, tidak pernah mengaku bahwa mereka mengetahui kejadian itu.

Satu-satunya cerita yang menjadi bangunan dari berita itu adalah kutipan dari sepupu laki-laki dewasa itu, yang mengatakan bahwa dia mendapat cerita dari bocah yang mengatakan, ‘Beberapa anak laki-laki dan perempuan mengikat tali di leherku dan mencoba mengikatku ke pohon." Kalimat, "…mengikatku ke pohon", bukan "…menggantungku di pohon" itulah masalahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar