Jumat, 07 September 2018

HARI-HARI MENEGANGKAN SJAMSUL NURSALIM (1)




Rabu malam, 19 Agustus 1998, Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), kelihatan cerah. Juga tampak tenang dan acap kali tersenyum. Bahkan sesekali dia tertawa lepas. Bicaranya agak emosi, terkadang. 

Itu wajar. Sebab, saat ini dia menghadapi berbagai tekanan yang mungkin terberat dalam hidupnya. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf misalnya, mengultimatum BDNI untuk mengembalikan bantuan likuiditas yang dikucurkan Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 27,6 triliun, akhir Agustus ini.

Sjamsul kini seakan memang menjadi terhukum. Beberapa orang menyebutnya sebagai koruptor. Bahkan pertengahan bulan ini, rumahnya di kawasan elite Simpruk, Jakarta Selatan, sempat dikepung 60-an demonstran dari Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia. Mereka menuntut aparat menangkap Sjamsul dan mempertanggungjawabkan BLBI yang disalurkan ke BDNI. Dia dikabarkan sudah melarikan diri ke luar negeri meski Ditjen Imigrasi secara resmi telah melakukan pencekalan. Juga ada kabar dia melarikan kekayaannya keluar negeri.

Sebelumnya, dalam tulisannya di Kompas, Kwik Kian Gie membeberkan praktek tak wajar Sjamsul. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa kelompok bisnis Sjamsul telah memakai Rp 24,4 triliun atau 90,7% dari Rp 27,6 triliun BLBI yang disalurkan ke BDNI. 

Bahkan BDNI yang masuk perawatan BPPN sejak April lalu, antara Mei dan Oktober 1997, memberikan pinjaman baru kepada grup terkait sejumlah US$ 600 juta. Ada saran agar pemilik BDNI diseret di meja hijau mengingat dokumentasi dari pinjaman terafiliasi sangat lemah.

Benarkah? Di salah satu ruang rapat lantai XIV Gedung BDNI, Jakarta, sekitar dua setengah jam lulusan Watford College of Technology, London, itu bicara blak-blakan kepada wartawan SWA Aruman, Danang K. Jati, Joko Sugiarsono, Endang Kamajaya, Teguh S. Pambudi, Nur Iswan, dan Kemal E. Gani - setelah sebelumnya menolak beberapa kali untuk diwawancarai. 

Didampingi Itjih Nursalim, istrinya, Laksamana Purn. Rudolf Kasenda, Komisaris BDNI, dan Sri Mulyati, Ekskutif Gajah Tunggal, bapak lima orang anak itu bicara blak-blakan kepada SWA soal pencekalannya, kredit BDNI, pertemanannya dengan keluarga Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menko Polkam Feisal Tanjung. "Saya kenal baik dengan orang tua Pak Ginandjar (Husein Kartasasmita, red) di asosiasi perkaretan," kata lelaki kelahiran Lampung, 19 Januari 1942 lalu itu.

Beberapa kali isterinya ikut memberikan penjelasan. Dengan lancar -- ibarat komputer berjalan -- Ny. Itjih menjelaskan asal muasal terjadinya pembengkakan aset BDNI. Juga sekitar sekitar kucuran pinjaman US$ 600 juta yang disebut-sebut berbagai kalangan sebagai pinjaman baru BDNI padahal BDNI mulai bermasalah. 

Menurut Itjih, angka itu benar. "Sebagian adalah pinjaman lama yang diperpanjang," kata Itjih. "Sisanya merupakan pinjaman lama dalam rupiah yang dikonversi menjadi dolar, yang merupakan praktek wajar di perbankan."

Pengusaha yang tahun lalu pernah diculik ini termasuk salah satu konglomerat papan atas Indonesia. Selain di BDNI, Sjamsul tercatat sebagai pemilik saham sejumlah bank. Di antaranya Bank SGP, berkongsi dengan pengusaha hotel Sukamdani Sahid Gitosardjono, dan di Bank Ganesha serta Bank Dewa Rutji. Di bisnis manufaktur, Sjamsul terkenal sebagai raja ban - bisnis yang ditekuninya sejak 1969. Bersama istrinya, Itjih, ia adalah pemilik mayoritas PT Gajah Tunggal, produsen ban yang katanya termasuk terbesar di Asia Pasifif.

Sjamsul juga raja udang karena dia memiliki tambak udang terluas di Indonesia, bahkan di dunia, yang berlokasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Masih ada sederet perusahaan lagi. Ada pertokoan Sogo, tambang batubara hingga pabrik pembalut wanita Softex. 

Dari semua bisnisnya, tahun lalu kelompok bisnis Sjamsul meraup devisa sekitar US$ 400 juta. Tahun ini, mereka menargetkan bisa mendapatkan sekitar US$ 500 juta. Bisnis udang dan ban, menurut Sjamsul, merupakan penyumbang devisa terbesar.

Berikut perbincangan SWA dan Sjamsul Nursalim.

Anda dikabarkan lari ke luar negeri. Bagaimana ini?

Dalam beberapa bulan terakhir ini saya malah tidak pernah ke luar negeri. Mungkin sejak akhir tahun 97 lalu. Seharusnya saya berangkat ke luar negeri. Dengan demikian mungkin saya bisa melupakan sejenak masalah ini, dan bisa terus mengikuti perkembangan yang terjadi di luar negeri.

Tapi Anda sekarang menjadi sorotan masyarakat?

Menghadapi situasi ini, boleh dikatakan saya sudah pasrah. Yang penting saya lihat yang baiknya saja. Kalau memang Tuhan masih memberikan kesempatan dan kemudian masih memberikan jalan dan Pemerintah juga masih memberikan jalan serta kesempatan untuk berusaha, kami akan tetap berusaha. (SWA, No. 17 / 1998, Tanggal 20 Aug 1998)

Bersambung...... HARI-HARI MENEGANGKAN SJAMSUL NURSALIM (2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar