Selasa, 11 September 2018

Sekadar Dimuat, Dibaca, atau Mempengaruhi Persepsi dan Sikap Pembaca?



Bulan lalu, saya kebetulan diminta teman-teman untuk menjadi juri Best Corporate Initiative oleh teman-teman di Majalah Mix. Ada puluhan kegiatan yang masuk dan umumnya harus saya akui bagus-bagus. Kebetulan saya – bersama sahabat-sahabat dari Telkom University -- juga diminta teman-eman di SWA untuk menjadi juri Best e-Marketing. Ini juga bagus-bagus.

Namun demikian, ada yang mengganggu pikiran saya tentang bagaimana teman-teman praktisi public relations (PR) dan marketing menggunakan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan mereka. Dari laporan kegiatan yang masuk atau dipresentasikan, saya menjumpai banyak laporan yang menyertakan pencapaian dengan menampilkan liputan media atau publisitas.  

Unsur utama public relations adalah publisitas. Ini menyiratkan komunikasi tentang produk atau organisasi dengan menempatkan informasi tentang hal perusahaan atau produk di media tanpa membayar waktu dan ruang secara langsung. Publisitas dalam bentuk yang paling sederhana adalah sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat umum melalui media.

Kemampuan untuk menciptakan publisitas inilah yang membedakan antara seorang praktisi public reations dan periklanan. Ini berarti salah satu tugas penting dari praktisi PR adalah mendorong  pergerakan informasi ke masyarakat umum melalui media. Informasi yang dipublikasikan dapat berupa berita, kesadaran tentang produk dan layanan, dan lain-lain. Ini adalah proses menciptakan kesadaran produk dan layanan baru.

Selama bertahun-tahun – bahkan mungkin sampai sekarang -- praktik menggunakan harga kesetaraan tarif iklan yang ditawarkan penerbit (diukur dalam biaya per kolom) sering berlangsung. Kesetaraan ini digunakan dengan asumsi artikel yang dipublikasikan media memberikan ukuran nilai dari sentimeter kolom editorial. Padahal, penggunaan nilai kesetaraan iklan (AVE) ini menyesatkan.

Gagasan ini merupakan implikasi dari pemikiran yang pada intinya menyamakan pengiriman pesan dengan mengkomunikasikan pesan, atau penyebaran informasi disamakan dengan komunikasi. Disini praktisi public relations, terutama media relations, menggunakan penempatan media, semisal guntingan atau kliping berita) sebagai bukti telah terjadnya komunikasi.  

Dari sini muncul pertanyaan, dalam konteks media relations, apakah press release misalnya ukuran keberhasilannya sekadar dimuat, dibaca pembaca, kontennya positif atau mengubah persepsi pembaca pada perusahaan atau pemberi release?

Kiliping telah lama digunakan sebagai dasar analisis isi. Analisis isi hanya mengindikasikan apa yang tercetak dan disiarkan, bukan apa yang dibaca atau didengar. Analisis isi juga tidak mengukur apakah khalayak menerima dan percaya atas isi pesan. Dengan kalimat lain, analisis isi kliping surat kabar memberi ukuran yang berguna dari pesan yang sedang ditayangkan media, tetapi tidak mengindikasikan jumlah pembaca dan dampaknya.

Editorial juga bukan iklan yang kontennya bisa diatur orang lain sebagaimana iklan. Editorial adalah kewenangan redaksi. Informasi yang diberikan praktisi PR bisa diolah lagi oleh redaksi agar sesuai dengan kepentingan pembacanya. Itu sebabnya, kontennya bisa positif atau negatif buat perusahaan.

Karenanya, mempersamakan atau memperbandingkan editorial dan iklan dianggap menyesatkan. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk. Editorial hadir dalam berbagai bentuk dan kisarannya mulai dari berita hingga komentar pembaca.

Di sisi lain, iklan dapat berupa tampilan, diklasifikasikan atau advertorial dan banyak variasi di antaranya. Dinilai menyesatkan karena beberapa orang memiliki ukuran nilai iklan yang akurat mungkin juga tidak, meskipun mereka sebenarnya memiliki pandangan yang jelas tentang biayanya.

Para penggiat PR melihat penggunaan AVEs menarik karena di pasar industi periklanan yang terbuka, tarif iklan pada dasarnya bisa dinegosiasikan, kompetitif dan didominasi oleh pendanaan yang lebih baik dan karena ketiadaan alternatif kuantitatif lainnya, maka pengukuran prestasi public relations dianggap cocok bila menggunakan kesetaraan dengan nilai editorial.

Logika ini semakin diperparah oleh fakta bahwa, terlepas dari isi, biaya atau nilai dari beberapa artikel sangatlah bervariasi. Beberapa editorial bisa diperoleh dengan biaya yang tinggi (misalnya, jurnalisme investigatif). Di sisi lain, beberapa editorial – kalau dinilai atau dilihat dari biaya untuk mendapatkan bahan  editorial itu – biasanya berbiaya rendah karena bahannya mungkin siaran pers yang ditulis dengan baik, informatif dan mempunyai nilai berita.

Dengan semakin banyaknya pekerjaan PR terfokus pada hubungan media, perlu untuk dapat memahami bagaimana editorial mempengaruhi orang. Langkah-langkah yang sesuai kemudian dapat diterapkan adalah dengan mengetahui seberapa efektif praktisi melakukan kegiatannya dan nilai dari apa yang telah dicapai.

Dalam memahami konten -- baik dalam konteks editorial dan sosialnya – praktisi PR dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang nilai dan efek sebenarnya dari editorial dan menjadikannya sebagai tolok ukur keberhasilan.

Pengalaman-pengalaman sebelumnya, seseorang dapat dimaafkan karena percaya bahwa penggunaan nilai kesetaraan iklan sebagai tolok ukur keberhasilan tidak hanya menyesatkan, tetapi juga dapat benar-benar merusak ketika hal itu digunakan untuk mengevaluasi efek dan efektivitas sebuah liputan editorial.

Namun demikian, harus diakui bahwa publisitas penting karena tak ada persepsi bila tak ada stimulus.  Stimulus yang saya maksud disini bisa berarti informasi yang dimuat di media. Namun demikian, pemuatan di media idealnya tidak dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu kegiatan. Pemuatan informasi yang dikirimkan praktisi hendaknya dilihat sebagai tolok ukur keberhasilan awal, yakni menciptakan stimulus.

Tugas komunikasi PR selanjutnya adalah bagaimana memperoleh perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan, membangun hasrat dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan tindakan yang diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan, serta membuat khalayak sasaran selalu ingat akan pesan dan pengalamannya setelah mereka melakukan tindakan itu. Tak mudah memang, namun demikian itulah tantangan sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar