Minggu, 27 Januari 2019

Buatlah Siaran Pers yang Mudah Di-share (Shareable)



Pada awalnya, siaran pers dimaksudkan untuk memberikan berita atau informasi kepada media massa agar mempublikasinya. Mereka biasanya dibagikan secara massal, melalui surat, telepon, faks, dan melalui email.

Sekarang wartawan atau siapa saja termasuk buzzer, bahkan warga biasa, bisa menjadi media yag juga ingin menyebarkan informasi terkini sehingga membutuhkan pasokan informasi akurat dan terbaru bahkan secara realtime. Wartawan atau siapa siapa saja memiliki akun media sosial dan aplikasi pengiriman pesan langsung seperti WhatsApp. Line, Instagram dan sebagainya.

Wartawan atau siapa saja yang menerima informasi yang disebarkan melalui WhatsApp misalnya menyebarkannya kepada orang lain setelah atau bahkan sebelum menuliskannya dalam bentuk berita untuk media tempatnya bekerja. Selanjutnya, orang lain menyebarkan informasi atau pesan tersebut sehingga terjadilah viral.

Di bagian lain, media “menggunakan” siaran pers sebagai bahan penulisan baik secara keseluruhan  -- mungkin juga tidak ditulis ulang – atau memodifikasinya menjadi cerita yang seakan-akan asli dibuat oleh media. Jadi siaran pers berfungsi dengan baik bila informasi yang disediakan atau yang ada di dalam siaran pers itu memberikan sesuatu yang mempunyai nilai berita, setidaknya kebaruan. 

Inipun harus dilihat kepada siapa siaran pers itu dikirimkan. Bisa saja seseorang menganggap baru namun orang lain tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang baru. Jadi pelajari dulu mereka sebelum menulis dan mengirimkannya. 

Sebelum Anda menulis dan mengeluarkan siaran pers, tanyakan "Apakah ada nilai berita dalam cerita ini?" Terlalu sering perusahaan menulis siaran pers tentang topik yang tidak layak diberitakan. Banyak fakta menunjukkan bahwa jika jurnalis menilai informasi yang Anda sampaikan tidak layak diberitakan dan menarik, maka informasi tersebut tidak akan mendapat peliputan. 

Sekarang, wartawan memiliki akses ke saluran informasi, termasuk sosial media dan instant messenger yang begitu banyak dan beragam. Karena banyaknya saluran informasi tersebut, bisa jadi wartawan tidak memiliki cukup waktu mengakses semua media itu. Karena itu, menempatkan berita dalam siaran pers, mengunggahnya ke layanan online, dan Anda berharap akan mendapatkan liputan pers sama seperti melempar kerikil ke laut. Tidak seorang pun akan menemukannya.

Diakui atau tidak, siaran pers belum sepenuhnya mampu menghasilkan pemberitaan (earned media), namun demikian mereka sangat popular dan efektif sebagai sarrana yang berguna dalam pemanfaatan search engine optimization (SEO).

Siaran pers yang memuat kata kunci yang tepat dapat mendorong peringkat pencarian, sekalipun siaran per situ tidak pernah diambil oleh suatu media. Bisa saja yang meanfaatkannya adalah orang yang buakan pekerja media seperti buzzer, peneliti dan penulis lainnya.

Jadi, apakah itu berarti Anda dapat mengeluarkan siaran pers dari daftar tugas Anda? Nggak juga. Mereka masih dapat memenuhi beberapa tujuan yang bermanfaat, seperti membantu membantu mereka meluruskan cerita, membuat lini waktu (time line) sejarah organisasi dan menunntuk serta memberi petunjuk moment-moment tertentu, dan sebagai aset yang bagus untuk dibagikan sebagai bagian dari promosi media yang ditargetkan.

Intinya, siaran pers memang tidak seperti apa yang diharapkan, namun demikian siaran pers masih merupakan alat penting penyebarluasan informasi. Mungkin saja tidak seperti yang diharapkan, tetap siaran pers setidaknya memberikan gambaran tentang tentang bagaimana dan mengapa.
Berikut beberapa tips membuat siaran pers:

Buatlah siaran pers yang mempunyai nilai berita dan menarik - Beberapa tahun yang lalu, siaran pers merupakan salah satu alat terbaik untuk meningkatkan peringkat pencarian. Orang-orang lalu  menyalahgunakan fakta ini dengan mengeluaran siaran pers berkualitas rendah dan tidak mempunyai nilai di dalam direktori web. Google melihat kelemahan ini sehingga mereka berusaha memecahkan dan memerangi praktek-praktek manipulatif ini. Sekarang, siaran pers tidak hanya mempertimbangkan SEO, siaran pers dibuat sedemikian rupa sehingga ayak diberitakan dan memberikan pengalaman yang luar biasa bagi penggunanya.

Buatlah struktur ceritanya sebagaimana wartawan menulis berita - tradisi wartawan dalam menulis berita adalah menggunakan struktur piramida terbalik, Disini informasi yang paling penting ditempatkan di bagian paling atas struktur cerita atau berita. Dengan demikian, bila ada pengurangan teks misalnya, pengguna bisa memenggalnya di bagian bawah yang dianggap tidak penting.

Jangan lupa menggunakan kata kunci – Memasukkan kata kunci ke dalam siaran pers bertujuan  mendorong peringkat. Dengan integrasi terbaru dari algoritmanya,  Google semakin peduli dengan percakapan pencari dan niat pengguna daripada sekadar kata kunci. Fokuslah pada upaya membuat konten yang diinginkan dan dibutuhkan audiens.

Gunakan link untuk memberikan informasi, bukan hanya untuk tujuan SEO. Siaran pers yang besar adalah untuk membangun inbound link ke website Anda. Tapi sekarang, link press release tidak selalu membawa arti bagi  SEO. Bahkan, ada tuntutan dari Google agar Anda menggunakan link no follow dalam siaran pers Anda, dan memperlakukan mereka seperti link berbayar dalam iklan. Itu berarti tidak ada lagi penggunaan kata kunci kaya jangkar teks dalam link press release Anda. Namun demikian, menyertakan link informasi akan menambah pengalaman pengguna.

Harus tetap ketat dan langsung ke tujuan - Tidak ada orang yang ingin membaca siaran pers berkelok-kelok panjang. Usahakan rilis Anda itu ringkas dan ramping , termasuk hanya informasi yang paling penting . Satu hal yang dapat Anda lakukan adalah dengan menggunakan nomor daftar atau poin-poin untuk menyorot informasi penting dalam siaran pers Anda , sehingga lebih mudah untuk cepat memindai melalui.

Buatlah siaran press Anda mudah dibagi atau untuk berbagi (sharable) - Jika Anda ingin berita Anda  benar-benar diperhatikan, Anda perlu mengembangkan strategi berbagi sosial . Anda ingin siaran pers Anda menyebar di seluruh Twitter, Facebook, LinkedIn, bahkan WhatsApp, dll. Jadi buatlah siaran pers Anda mudah untuk berbagi. Karaena, membuat siaran pers dalam dua format semisal pdf dan word sangatlah membantu. Sertakan tombol berbagi sosial dalam siaran pers Anda . Gunakan judul yang pendek dan tweetable. Tambahkan visual yang juga memudahkan bagi orang-orang yang  ingin berbagi.

Buat  visual - Sertakan alat bantu visual bila memungkinkan dalam siaran pers Anda. Hal-hal seperti infographics, video, dan foto dapat membuat siaran pers Anda lebih eye-catching dan lebih menarik. Ini semua tentang dandanan  siaran pers Anda agar menjadi lebih semenarik mungkin.
Ciptakan sebuah cerita-cerita - Memasukkan cerita ke dalam siaran pers membuat mereka lebih menarik, mudah diingat, shareable, dan diceritakan ulang. Ini adalah posting benar-benar hebat dengan tips untuk menggunakan cerita dalam siaran pers Anda.

Perluas distribusi  - Ini adalah tentang upaya meningkatkan visibilitas siaran pers Anda. Anda perlu untuk memperluas distribusi Anda, termasuk jejaring grup WhatsApp, Line, bahkan Instagram. Gunakan jaringan sosial itu untuk melaporkan berita penting. Gunakan blog Anda sebagai saluran distribusi berita . Lakukan apapun yang Anda bisa untuk mendapatkan berita Anda perhatikan !

Jangan gunakan kutipan basi - Kutipan adalah salah satu bagian yang paling sering diabaikan dari siaran pers. Kenapa? Sebab selama ini terlalu banyak kutipan generik ditempatkan dalam rilis sebagai renungan belaka. Apa yang banyak orang tidak menyadari adalah bahwa kutipan dapat menjadi alat yang hebat untuk spicing cerita Anda. Mereka dapat menambahkan lapisan baru untuk cerita Anda. Jadi gunakan dengan bijaksana.

Fokus pada membangun hubungan - PR masih benar-benar bermuara pada hubungan . Anda perlu membangun hubungan dengan wartawan, blogger , dan pelanggan Anda. Itulah cara Anda mendapatkan orang-orang untuk melihat dan peduli tentang berita Anda.

Selasa, 15 Januari 2019

City Branding Berbasis Budaya




Dalam branding sebuah kota (city branding) terdapat beberapa hal yang membuat strategi tersebut berhasil. Pertama, branding adalah emosional. Setiap orang pada dasarnya adalah seorang yang ahli dalam bidang yang mereka suka dan penjelasan meyakinkan dari pendapat pribadi pada suatu merek jarang menjadi prasyarat ketika seseorang mengekspresikan opininya.

Untuk itu, ada sesuatu yang harus ditampilkan dalam merek sebuah kota. Dalam konteks ini, identitas merek - identifikasi dasar organisasi; pesan promosi visual, kepribadian merek dan karakteristik emosional kota menciptakan image. Visual merek yang meliputi warna dan grafis juga merupakan identitas merek, bahkan pemerintahan kota merupakan identitas dari sebuah kota.

Sebuah bangunan pun bisa menjadi daya tarik. Hilton Hotel di Sydney dikenal sebagai landmark  kota sebagai pernyataan kepercayaan diri warga di kawasan bisnis utama yang sedang booming itu. Hotel itu juga dijadikan sebagai komponen strategi pembaharuan perkotaan, dengan desain sebagai ikon untuk industri konvensi bisnis dan destinasi.

Bentuk bangunan menunjukkan selera eksterior dan interior yang sangat terapeutik. Para perancangnya seakan dengan hati-hati mempertimbangkan harmonisasi antara sifat publik dan pribadi warganya. Ruang hotel juga ekspresif dengan ritual konsumsi, status, dan menarik selera.

Kota Seoul misalnya mengalami beberapa kali transformasi. Pemerintah kota Seoul secara konsisten terus menambah nilai kota dengan menekankan pada kebijakan berbasis budaya, dengan menggunakan berbagai media dan kegiatan kreatif untuk merangsang pertumbuhan sosial dan ekonomi.

Paska krisis ekonomi 1996, Seoul memperbaiki 'citra merek'nya dan strategi pemasarannya dengan fokus pada event dan transformasi fisik. Kebijakan budaya dan acara kreatif tersebut menjadi kekuatan pendorong di balik perubahan kota Seoul. Secara khusus, di bawah Walikota Oh Se-hoon, kota tersebut meningkatkan dirinya sendiri melalui kebijakan budaya dengan menggunakan desain sebagai konsep utamanya, menciptakan 'kota desain' dan serangkaian kegiatan acara budaya.

Konteks budaya ini bahkan ditingkatkan menjadi diplomasi budaya. Pentingnya budaya dalam city atau place branding makin penting dalam konteks ekonomi global karena budaya dapat menyatukan produk dan memberikan nilai yang lebih besar bagi sebuah kota. 

Ini karena budaya itu sendiri membedakan antara satu negara dengan negara lain. Implikasinya, dalam city branding, karena kemungkinan ada kemiripan antara satu kota dengan lainnya, maka kota harus menampilkan sesuatu yang berbeda dala budaya itu.

Kedua, merek memiliki sudut pandang ganda, yang mewakili siapa pengelolanya yang visioner. Pengelola kota yang sukses pada umumnya yang memiliki visi ke depan yang didasarkan pada masa lalu.

Ketiga, kota harus memiliki tagline seperti Michigan, taglinenya adalah Pure Michigan. Meskipun tidak penting, tagline dapat membantu dalam menyampaikan makna kognitif suatu simbol visual. Hal ini dapat menjadi sarana utama untuk menyampaikan pesan, yang memungkinkan seseorang membagun interpretasi lebih simbolis untuk sebuah visual. Slogan yang terbaik lebihb banik kurang dari tiga kata yang menyiratkan arti.

Akhirnya, merek tidak bisa menjadi segalanya bagi semua orang. Ada segmen tertentu yang membutuhkan kebutuhan tertentu. Karena itu, sebuah kota dianjurkan fokus pada keunggulan tertentu seperti alam, sungai, menara jam, kerajinan, adat istiadat masyarakat, tempat untuk sekolah, bisnis, pertemuan, warisan budaya dan sebagainya.

Setiap yang ditampilkan harus memberikan ruang bagi pesan tunggal dengan dampak terbesar pada audience terbesar, baik penduduk dan pengunjug. Pada gilirannya, bahwa pesan tunggal harus dibuat sehingga memungkinkan interpretasi yang bermakna. Ini memang bukan pekerjaan mudah, tapi itu layak diusahakan.


Jumat, 11 Januari 2019

Praktek PR Lama Ditinggalkan, Kini Muncul PR Big Data






Praktek public relations pada dasarnya adalah membangun hubungan yang dilakukan secara kreatif, memanfaatkan jejaring dan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif melalui konten yang menarik. Yang jadi persoalan konten yang menarik bagi seseorang, belum tentu menarik bagi orang lain. Ini karena masing-masing orang atau audience memiliki karakteristik yang berbeda.

Disini pentingnya riset untuk mengetahui karakteristik audience sehingga dalam menginformasikan konten, praktisi PR dapat menentukan target audience dan penentuan posisi yang lebih baik, dan meningkatkan cara untuk mengevaluasi kinerjanya.

Sekarang, melalui kemunculan metode penelitian baru dan teknologi canggih, ditambah dengan tuntutan laju bisnis yang semakin cepat, suatu bentuk PR baru muncul. Kreativitas PR baru itu didrive oleh data statistic. Artinya, data mendorong pengambilan keputusan komunikasi yang lebih terintegrasi; dan alat memungkinkan orang untuk bertindak lebih cepat dan dengan kecerdasan yang lebih besar.

Dalam bisnis global, termasuk juga dalam praktek PR, kekuatan pendorong dikenal secara kolektif ini dikenal sebagai Big Data. Dalam lanskap baru yang didrive oleh big data ini, praktisi komunikasi harus berevolusi dalam arti beradaptasi dengan lingkungan, asumsi dan cara yang berubah tersebut.

Data memang bukan sesuatu yang baru bagi praktisi PR. Namun data yang biasa digunakan dalam praktek bisnis terbatas pada spreadsheet dan database terstruktur. Apa pun yang tidak diformat secara terpadu dianggap sulit untuk diajak bekerja sama dan sering diabaikan.

Yang berubah sekarang adalah arus data yang datangnya bak tsunami. Data sekarang sekarang tersedia dalam bentuk yang volumenya  sangat besar, berkembang dengan cepat dan pesat, beragam, dan seringkali tidak terstruktur yang muncul setiap hari. Dari tweet, like, komentar, blog, video, dan gambar yang beredar di media maya pelanggan, Netflix misalnya menjaring  2,5 quintillion byte data per hari.

Karena kecepatan yang luar biasa, volume yang besar dan value luar biasa besar yang ada di dalamnya, tantangan perusahaan atau organisasi sekarang adalah bagaimana mengelolanya. Kumpulan data seperti transaksi pelanggan yang kini masuk pada tingkatan mega-pengecer, pola cuaca yang dipantau oleh ahli meteorologi, dan aktivitas jejaring sosial yang dapat dengan cepat melebihi kapasitas alat manajemen data tradisional.

Banyak pelaku bisnis menangkap, menyimpan, dan menilai berbagai jenis data, termasuk apa pun dari foto, video, rekaman suara, teks tertulis, dan data sensor. Proyek big data sering menggunakan teknologi mutakhir lainnya, seperti kecerdasan buatan dan mesin pembelajaran, yang dapat dengan cepat mengidentifikasi tren dan pola dalam set data yang besar.

Hari-hari ini semakin banyak perusahaan, organisasi baik kalangan swasta maupun pemerintahan serta  individu yang berusaha menemukan cara agar bagaimana data yang volume besar ini dapat digunakan secara bermanfaat untuk menciptakan dan menangkap value bagi individu, bisnis, komunitas, dan pemerintah (McKinsey Global Institute, 2011).

Big data memberikan wawasan tentang para pemangku kepentingan, siapa mereka, apa keyakinan mereka dan dari mana mereka berasal. Informasi ini dapat digunakan untuk mengembangkan pesan yang disesuaikan dengan karakteristik berbagai pemangku kepentingan. Salah satu pemangku kepentingan adalah pelanggan, influencer, dan biasa jadi pelanggan yang menjadi influencer.

Mengetahui dan mengenali influencer -- yang paling berpengaruh -- membantu perusahaan atau organisasi menyebarkan pesan. Mengetahui siapa pelanggan Anda, akan membantu Anda menyusun pesan yang tepat untuk kelompok sasaran yang tepat.

Dengan big data, Anda dapat memahami siapa pelanggan Anda. Ketika berbagai sumber data seperti data program loyalitas, sistem CRM, ulasan, dan data sosial saling terhubung satu sama lain, tampilan pelanggan 360 derajat yang sesungguhnya akan muncul. Informasi berharga ini akan membantu membuat pesan yang menarik bagi pelanggan Anda.

Dalam marketing, big data telah membantu Netflix misalnya memutuskan program mana yang menarik bagi pelanggannya  dan sistem rekomendasi Netflix memengaruhi 80% konten yang ditonton di platform. Algoritma membantu Netflix menghemat $ 1 miliar setahun dalam nilai dari retensi pelanggan.

Menyadari pentingnya data ini, pada 2009 lalu, Netflix pernah menawarkan hadiah $ 1 juta kepada kelompok yang menghasilkan algoritma terbaik untuk memprediksi bagaimana pelanggan menginginkan film yang ditontonnya dengan tidak sekadar mengandalkan data peringkat seperti yang sebelumnya dilakukan.

Mereka telah melihat peluang bahwa big data telah dengan cepat menjadi alat yang tidak hanya menganalisis sebuah pola, tetapi juga dapat memberikan kemungkinan prediktif suatu peristiwa.Mereka menggunakannya untuk memprediksi tindakan individu, pilihan konsumen, perilaku pencarian, pola lalu lintas, atau wabah penyakit.

Saat ini, pekerjaan PR tidak bisa lagi dengan hanya mengandalkan pada intuisi. Kenapa mengandalkan intuisi, bisa jadi karena pada praktek sebelumnya peluang untuk mendapatkan wawasan dengan fakta dan data masih sulit. Kini, data tersedia dalam jumlah yang besar dan cepat. 

Dengan menggunakan alat bantu dengar sosial yang menyediakan big data, mereka dapat menggunakan informasi ini untuk membantu membuat keputusan berdasarkan fakta dan juga penilaian yang baik.

Data ini dapat membantu profesional mengidentifikasi komunitas pada tingkatan ceruk (niche communities) seperti komunitas bisnis atau teknologi sekalipun secara lebih baik untuk kampanye PR tertentu. Misalnya, jika agensi PR mengumpulkan data secara online dengan cara mendengarkan dan menjaring percakapan sosial, mereka dapat mempelajari lebih banyak informasi tentang sentimen klien mereka di komunitas niche tertentu.

Dari sana, mereka dapat menyesuaikan kampanye dan mengidentifikasi influencer dan jurnalis tertentu untuk menjangkau mereka. Ini mengubah permainan public relations online karena memungkinkan para profesional untuk memiliki data dan bukti yang kuat untuk inisiatif mereka sehingga peluang keberhasilan insiatif tersebut semakin besar.

Promosi Penjualan Era Big Data



Tahun 2002, Andrew Pole – seorang ahli statistik -- dipekerjakan oleh Target untuk memanfaatkan insight kebiasaan konsumen guna meningkatkan dan memperluas penjualan Target. Tugasnya adalah untuk menganalisis semua siklus pemberian-imbalan-rutinitas pembeli dan membantu perusahaan mencari cara untuk mengeksploitasinya.

Sebagian besar pekerjaannya sangatlah mudah, yakni menemukan pelanggan yang memiliki anak dan mengirimi mereka katalog yang menampilkan mainan sebelum Natal. Juga mencari pembeli yang terbiasa membeli pakaian renang pada bulan April dan mengirimi mereka kupon untuk produk atau merek tabir surya pada bulan Juli dan buku diet pada bulan Desember.

Namun tugas terpenting Pole adalah mengidentifikasi momen unik dalam kehidupan konsumen ketika kebiasaan belanja mereka menjadi sangat fleksibel dan iklan atau kupon yang tepat akan menyebabkan mereka mulai menghabiskan dengan cara baru.

Di antara peristiwa kehidupan itu, tidak ada yang lebih penting daripada kedatangan bayi. Pada saat itu, kebiasaan orang tua baru lebih fleksibel daripada hampir setiap saat dalam kehidupan dewasa mereka. Jika perusahaan dapat mengidentifikasi pembeli yang sedang hamil, mereka dapat menghasilkan jutaan.

Satu-satunya masalah adalah bahwa mengidentifikasi pelanggan yang hamil lebih sulit daripada kedengarannya. Target memiliki registrasi untuk produk baby-shower. Pole memulai penelitiannya dari data pembelian produk baby-shower tadi. Dia mengamati bagaimana kebiasaan belanja berubah ketika seorang wanita mendekati tanggal dekat-dekat saat melahirkan. Disini biasanya wanita bersedia mengungkapkannya saat  di register.

Dia menjalankan tes demi tes, menganalisis data, dan tak lama kemudian beberapa pola muncul. Lotion, misalnya. Banyak orang membeli lotion, tetapi salah satu rekan Pole memperhatikan bahwa para wanita di registri bayi membeli lotion tanpa wewangian dalam jumlah besar di sekitar awal trimester kedua masa kehamilan mereka.

Analis lain mencatat bahwa kadang-kadang dalam 20 minggu pertama, wanita hamil mengonsumsi suplemen seperti kalsium, magnesium, dan seng. Banyak pembeli membeli sabun dan bola kapas, tetapi ketika seseorang tiba-tiba mulai membeli banyak sabun bebas aroma dan kantong bola kapas ekstra besar, selain pembersih tangan dan lap mandi, itu menandakan mereka bisa semakin dekat dengan tanggal mereka melahirkan.

Ketika Pole mempelajari data di komputernya, dia dapat mengidentifikasi sekitar 25 produk yang --  ketika dianalisis bersama-sama -- memungkinkan dia untuk menetapkan setiap pembelanja skor "prediksi kehamilan". Lebih penting lagi, dia juga bisa memperkirakan tanggal kelahirannya ke dalam  kecil sebagai target market atau promosinya, sehingga Target dapat mengirimkan kupon waktunya untuk tahapan yang sangat spesifik dari kehamilannya.

Dalam tulisannya di the New York Times, Charles Duhigg menceritakan percakapannya dengan salah seorang staf Target. Staf tadi menjelaskan bagaimana model prediksi perempuan hamil bekerja. Menurut staf tadi, seorang pembeli Target  -- katakanlah bernama Jenny Ward -- usia 23 tahun, tinggal di Atlanta dan pada bulan Maret membeli lotion cocoa-butter, sebuah dompet yang cukup besar untuk digandakan menjadi sebuah tas popok, suplemen zinc dan magnesium dan karpet biru cerah.

Dari pola dan macam produk yang dibeli tersebut, staf tadi memperkirakan kemungkinan 87 persen Jenny hamil dan tanggal persalinannya jatuh pada akhir Agustus. Terlebih lagi, dari data yang dilampirkan ke nomor ID Tamu, Target bisa melakukan kegiatan yang memicu kebiasaan Jenny.

Mereka mengetahui bahwa jika dia menerima kupon melalui e-mail, kemungkinan besar dia akan membeli online. Mereka tahu bahwa jika dia menerima iklan di surat pada hari Jumat, dia sering menggunakannya pada perjalanan akhir pekan ke toko. Mereka juga tahu bahwa jika mereka menghadiahinya dengan tanda terima tercetak yang memberinya hak untuk secangkir kopi Starbucks gratis, dia akan menggunakannya ketika dia kembali lagi.

Di masa lalu, pengetahuan itu memiliki nilai terbatas. Lagi pula, Jenny hanya membeli persediaan pembersih di Target, dan terdapat begitu banyak tombol psikologis yang bisa didorong oleh perusahaan. Tapi sekarang Jenny hamil, semuanya diperebutkan. Selain memicu kebiasaan Jenny untuk membeli lebih banyak produk pembersih, mereka juga dapat mulai memasukkan penawaran untuk berbagai produk  yang mungkin diperlukan oleh seorang wanita pada tahap kehamilannya.

Setahun setelah Pole menciptakan model prediksi kehamilannya, seorang pria masuk ke salah satu gerai Target di Minnesota dan meminta bertemu manajernya. Tangannya memegang memegang iklan. Dia sangat marah.

“Anak perempuan saya menerima ini melalui pos!” Katanya. “Dia masih di sekolah menengah, dan Anda mengirim kupon untuk pakaian bayi dan boks bayi? Apakah kamu mencoba mendorongnya untuk hamil? ”

Manajer tidak tahu apa yang dibicarakan lelaki itu. Dia melihat surat itu. Benar saja, surat itu ditujukan kepada putri pria itu dan berisi iklan untuk pakaian hamil, furnitur anak-anak, dan foto-foto bayi yang tersenyum menatap mata ibu mereka.

Manajer meminta maaf dan berjanji meneleponnya. Beberapa hari kemudian, manajer tadi menelpon lelaki tersebut untuk meminta maaf lagi.

Namun dia mendapati sang ayah agak canggung. "Saya sudah bicara dengan putri saya," kata sang ayah. “Ternyata ada beberapa kegiatan di rumah saya yang belum saya sadari sepenuhnya.” Dia menarik napas dalam-dalam dan mengatakan, “…dia akan melahirkan pada bulan Agustus. Aku berhutang maaf padamu. "

Target bukanlah satu-satunya perusahaan yang telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan konsumen. Perusahaan-perusahaan lain juga dikritik habis karena menggunakan data meski dengan cara yang jauh lebih tidak mengganggu.

Pada tahun 2011, misalnya, penduduk New York menggugat McDonald's, CBS, Mazda, dan Microsoft. Mereka menuduh biro iklan perusahaan tersebut memonitor penggunaan internet untuk membuat profil kebiasaan membeli mereka. 

Ada gugatan class-action yang sedang berlangsung di California terhadap Target, Walmart, Victoria's Secret, dan rantai ritel lainnya karena meminta pelanggan memberikan kode pos mereka ketika mereka menggunakan kartu kredit, dan kemudian menggunakan informasi itu untuk menemukan alamat surat mereka.

Brand activation adalah cabang dari disiplin relationship marketing untuk meningkatkan retensi konsumen (Jackson, 2013). Sebagian besar merek global menggunakan brand activation sebagai mekanisme komunikasi atas pengubahan karena pengaruh langsung dan interaktifnya. Biasanya, peserta program brand activation dapat ditentukan sebelumnya. Disinilah consumer insight menjadi sangat penting.

Di era big data seperti ini – seperti yang pernah disampaikan sahabat saya ketika teman-teman presentasi hasil riset di sebuah kementrian – riset konvensioanl mungkin sudah ketinggalan. Publik masuk ke era big data. Dalam beberapa tahun terakhir, big data memainkan peran penting dalam dunia digital.

Sangat mudah untuk menyimpulkan bahwa big data menarik karena data pada skala yang lebih kecil tidak menarik, tidak penting, atau kemampuannya dalam memberikan kontribusi pada pemecahan masalah. 

Bila gagasan itu diterima, konsep big data melibatkan hubungan antara seperangkat data, kompleksitas hubungan, tingkat perubahan data, dan kapasitas teknologi untuk memprosesnya secara tepat waktu. Ini memberikan gambaran bahwa sejatinya big data dan teknologi big data, memberikan peluang baru untuk menciptakan nilai dari data pada skala dan kedalaman dan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya (Lazer et al. 2009).

Dalam konteks itulah ada gagasan bahwa dalam brand activation  tidak semua orang perlu memiliki pengalaman agar aktivitas tersebut efektif. Bisa jadi suatu kegiatan malah menjadi kurang praktis bila melibatkan semua orang mengambil bagian dalam suatu experiential marketing dalam suatu tempat atau waktu tertentu.

Lalu bagaimana agar efisien? Salah satu teknik agar lebih banyak audiens adalah dengan memanfaatkan experiential marketing itu sendiri pada waktu yang sama di tempat berbeda atau pada waktu yang berbeda dan tempat berbeda pula.

Gagasan ini bisa diwujudkan dengan menggabungkan experiential marketing dengan marketing communications, baik melalui periklanan atau metode lainnya, terutama dengan menggunakan media sosial. Misalnya, sekelompok orang melakukan uji produk dengan cara mencicipi makanan baru dan membandingkannya dengan merek pesaing, tidaklah praktis menyertakan terlalu banyak orang dalam acara ini.

Aktivitas ini lebih praktis bila melibatkan kelompok kecil tetapi didokumentasikan dan dokumentasi itu disebarkan melalui media sosial.  Dengan cara ini, merek bisa menjangkau khalayak yang lebih luas. Publik atau target matket yang melihat dokumentasi tersebut tidak akan memiliki pengalaman langsung yang sama dengan kelompok yang melaukan uji produk tadi, tetapi mereka tetap akan melihat dokumentasi – semisal video -- dan membentuk kesan merek tersebut.

Cara terbaik untuk melengkapi acara aktivasi merek Anda adalah dengan kehadiran media sosial yang kuat. Cara terbaik kedua adalah dengan menerapkan kampanye PR yang kuat untuk mendukungnya. Apakah Anda akan membiarkan orang mencoba sampel gratis dari produk Anda? Apakah Anda menjalankan acara di dalam toko? Kalau itu terjadi bertapa mahalnya, kampanye Anda. Karena itu,  saatnya untuk memberi tahu dunia tentang hal itu.

Hubungi koran lokal atau stasiun TV Anda. Ramaikan dunia maya dengan twit, cerita dan video di instagram, Line, Facebook dan sebagainya. Bujuk teman-teman Anda di media social dan konvensional untuk membuat cerita tentang itu.

Dengan melakukan ini, Anda memastikan bahwa Anda akan menjangkau lebih banyak orang daripada mereka yang menghadiri acara Anda. Anda juga akan menjangkau siapa saja yang membuka twitter, instagram, Facebook, membaca koran,  atau menyalakan berita malam baik di radio maupun televisi.

Data-Driven Brand Activation






Di masa lalu, pengetahuan tentang konsumen karena terlalu luasnya memiliki nilai terbatas. Tapi sekarang pengetahuan konsumen bisa diketahui per kesempatan dalam satuan ruang dan waktu. Ini membuka peluang bagi brand untuk mengaktivasi dirinya secara terfokus dengan hasil yang maksimal.



Pada tahun 1996, Procter & Gamble  – perusahaan yang dikenal sebagai pengadopsi awal tentang pentingnya memahami kebiasaan konsumen -- meluncurkan produk pewangi, Febreze. Merek yang dikomunikasikan dengan positioning sebagai 'cleans odours away’ itu gagal di pasar. 

Procter & Gamble (P&G) mengkaji kegagalan itu dengan melihat mengapa produk yang tampaknya inovatif itu gagal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki rumah bau terbiasa dengan bau binatang atau asap rokok dan menjadi kebal terhadap bau-bauan yang mungkin bagi sebagian orang lainya tidak mengenakkan itu.

Bagi sebagian orang, sulit untuk mengubah kebiasaan seseorang. Namun selama penelitian lapangan, Tim P & G mendapati seorang pelanggan yang menggunakan Febreze. Dia menggunakan Febreze setelah rumahnya dibersihkan dan sangat menyukai aromanya.  Tim P&G berkesimpulan bahwa konsumen tidak benar-benar menginginkan tanpa aroma setelah bersih. Mereka menginginkan bau segar setelah menghabiskan 30 menit bekerja keras di rumah mereka.

P & G lalu merombak materi pemasarannya dengan menekankan aroma segar yang diberikan Febreze ke rumah yang bersih. Dua bulan kemudian penjualan naik dua kali lipat. Febreze melanjutkan kampanye itu dan menghasilkan satu miliar dolar setahun.

Tahun 2011, Febreze meluncurkan kampanye baru dengan tagline, Breathe Happy, yang mempromosikan gagasan yang seakan-akan menjungkirbalikkan paradigm lama. Dalam kampanye disertakan penjelasan bahwa aromaterapi bukan sesuatu yang datang dalam stoples yang orang beli di toko kristal di samping CD Mannheim Steamroller dan putaran tak berujung air menetes di sungai .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen "sangat dipengaruhi oleh bau," termasuk aroma kesegaran. Perusahaan melakukan survei nasional "Scentsus", yang menemukan bahwa aroma dan bau adalah hal pertama yang kebanyakan orang Amerika perhatikan ketika mereka mengunjungi rumah seseorang untuk pertama kalinya.

P&G lalu melancarkan kampanye yang berpusat pada eksperimen aroma langsung. Iklan TV-nya menunjukkan Febreze digunakan di lingkungan publik seperti hotel dan restoran untuk mendapatkan reaksi nyata terhadap bau, dan mengungkapkan bagaimana Febreze memperbaiki lingkungan penciuman.

Kampanye, yang mencakup aktivasi di berbagai acara di seluruh negeri yang menampilkan eksperimen kesegaran langsung, bagi-bagi hadiah untuk pengguna yang beruntung, dan pembagian produk. Event itu dimulai dengan "oasis aroma" pada acara yoga Summer Solstice, Juni di Times Square, yang mendatangkan sekitar 8.000 orang. peserta.

Tahun itu, Febreze memimpin pasar untuk segmen aromaterapi rumah.  Ini dicapai di tengah-tegah  pasar berada di bawah tekanan dari produk private-label dan juga dari lemahnya pasar, menurut sebuah studi yang dilakukan Mintel pada November 2011. Menurut studi tersebut, pada 2009 dan 2010, pasar pengharum ruangan digelontor merek private yang saat itu meningkat 9 persen.

Beberapa diantaranya dari merek-merek berbasis isi ulang seperti Dollar General dengan merek DG Home Lavender Automatic Spray Refill dan Air Wick Freshmatic yang menawarkan alternative harga lebih murah. Namun saat itu P&G dan Henkel berhasil mendapatkan penjualan.

Keberhasilan kampanye brand activation P&G tersebut tidak lepas dari kontribusi hasil riset yang mereka lakukan. Brand activation mengacu pada kampanye terbatas tertentu yang terjadi saat bisnis baru saja dimulai, atau ketika bisnis sedang mencoba untuk memulai identitas baru.

Event dan pembagian sampel produk merupakan acara yang memungkinkan sekelompok orang mencoba sedikit contoh merek atau produk  secara gratis. Harapannya adalah orang-orang akan menggunakan atau mencicipi produk dan menikmatinya sehingga akan mengingat, membelinya lagi di masa berikutnya dan memberi tahu teman-teman mereka tentang hal itu.

Ini bisa berjalan dengan baik karena tidak hanya memungkinkan orang untuk mencoba hal-hal gratis tetapi juga menciptakan hubungan positif orang-orang tersebut dengan merek. Ini menunjukkan kepada orang-orang bahwa merek tersebut adalah organisasi yang peduli terhadap orang. Ini menunjukkan bahwa merek tersebut peduli pada kebutuhan yang dipikirkan audiensnya, dan benar-benar ingin memberi mereka penawaran yang bagus.

Sabtu, 05 Januari 2019

KOPI KOPI LOMBOK

PASAR JAMU NGUTER

Public Relations Berubah, Bagaimana dengan Anda?




Sejak akhir 1980-an, kemajuan dramatis terutama di bidang teknologi informasi telah menghasilkan cara baru masyarakat untuk berinteraksi, berbagi, belajar, dan berbisnis. Perubahan tanpa henti telah menjadi norma bagipraktisi public relations yang berusaha untuk tetap berada di posisi terdepan.

Banyak gagasan yang menggelitik di buku Public Relations in The Age of Disruption ini. Misalnya, semua orang bisa menjadi public relations (PR) sehingga seorang dokter, insinyur, dan sebagainya bisa menjadi PR, meski tidak sebaliknya. Gagasan lainnya adalah seorang PR haruslah memiliki ketrampilan menulis, menjadi PR itu lebih dari sekadar gelar sarjana komunikasi, dan sebagainya.

Buku ini dibuka dengan penyataan menarik dari sang penulis, “Selama bertahun-tahun berkarier di bidang PR, saya merasa dunia humas terus berevolusi. Dunia humas terus berubah, ilmunya semakin kompleks, ekspektasi atas profesi ini semakin tinggi, dan tren lainnya: semua orang bisa menjadi PR…..”

Dalam artikelnya di Journal of Advertising Education, 2016 lalu, Keith A Quesenberry menulis bahwa saat ini praktisi pemasaran, periklanan dan public relations menghadapi tantangan akibat perubahan radikal. 

Bagaimana para praktisi public relations dan sebagainya menghadapi atau beradaptasi dengan perubahan itu membutuhkan integrasi disiplin yang bermuara pada marketing communications dengan segala ragamnya seperti integrated strategic communication, integrated marketing communication, marketing communication, departemen advertising, direct marketing dan public relations.

Para pemuka bisnis, akademisi, dan penggiat marketing lainnya termasuk mahasiswa marketing dan marketing communication sepakat bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah keahlian fungsional (pengetahuan khusus) lebih penting ketimbang generalis (Schelfhaudt & Crittenden, 2005). Karena itu,  pendidikan profesi marketing membutuhkan kurikulum dengan struktur yang lebih fleksibel dan memberi ruang untuk pengetahuan yang lebih bersifat spesialisasi, termasuk public relations.

Yang menarik, beberapa pihak merasakan bahwa untuk menjadi seorang eksekutif public relations yang berperan strategic di dalam perusahaan, dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan di luar kompetenssi seperti masalah makro ekonomi dan sebagainya. Sebab bagaimanapun, menjadi seorang strategic planner dibutuhkan pengetahuan dan ketampilan dalam mengelola informasi  di sekitar perusahaan, termasuk isu-isu tentang politik.

Professional di bidang komunikasi saat ini harus mampu berbicara dalam berbagai bahasa (bilingual). Mereka harus lancar berbicara dengan bahasa public relations, idiom bisnis dan top eksekutif (C-suite). professional di bidang komunikasi haruslah mampu berbicara dalam berbagai bahasa (bilingual). Mereka harus lancar berbicara dengan bahasa public relations, idiom bisnis dan top eksekutif (C-suite).



Judul BukU         : Public Relations in the Age of Disruption: 17 Pengakuan Professional PR &                                        Kunci Sukses Membangun Karier pada Era Disrupsi
Penulis                : Agung Laksamana
Penerbit               : PT Bentang Pustaka, 2018
Tebal Buku              : 240 halaman

Mengapa?  Menurut Adita Irawati -- mantan Vice President Corporate Communications PT Telkomsel yang kini menjabat Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi , para top eksekutif perusahaan saat ini semakin membutuhkan professional public relations (PR) yang bisa menjadi mitra berdiskusi, terutama untuk mengembangkan agenda setting perusahaan maupun mensikapi berbagai isu yang berpotensi mengancam perusahaan (https://mix.co.id/corcomm-pr/evolusi-profesi-mengapa-profesional-pr-kini-harus-memiliki-ketajaman-bisnis).

Inilah yang disebut Matt Ragas, Ph.D., dan Ron Culp, Fellow PRSA dalam Mastering Business for Strategic Communicators: Insights and Advice from the C-suite of Leading Brands (Emerald Publishing Limited, 2018) sebagai evolusi profesional PR, perubahan peran professional PR dari hanya sebagai seseorang yang mengkomunikasikan pesan setelah keputusan dibuat, menjadi berperan sebagai penasihat bisnis. Disini tantangannya adalah bagaimana professional komunikasi mengasah ketajaman bisnisnya.

Survei yang dilakukan Marlene Neill dan Erin Schauster (2015) terhadap para profesional di berbagai industri untuk mengetahui keterampilan inti yang dibutuhkan untuk praktik PR dan periklanan, menunjukkan bahwa saat ini yang dirasakan para eksekutif adalah kesenjangan dalam pendidikan. Ada beberapa ketrampilan khusus yang sebenarnya mereka butuhkan untuk memperkuat kampanye mereka yang belum dimiliki para karyawan pemula mereka.

Keterampilan paling umum yang mereka rasakan kurang tersebut misalnya ketrampilan storytelling, bisnis, perencanaan strategis, presentasi, matematika dan hubungan dengan klien. Satu spesialisasi baru yang umum dibutuhkan oleh kedua bidang tersebut adalah pendidikan tentang peran yang lagi berkembang saat ini, yakni social listening dan community management.

Neill dan Schauster (2015) menemukan bahwa baik eksekutif periklanan maupun eksekutif public relations sepakat bahwa para mahasiswa saat ini perlu memahami praktik dari kedua industri ini, namun juga menunjukkan adanya kebutuhan yang semakin besar akan keterampilan bisnis yang biasanya terkait dengan program pemasaran. Misalnya, untuk praktisi periklanan dan PR pemula, mereka harus memahami statistik, dokumen keuangan dan penganggaran, ditambah pemahaman tentang kosakata bisnis dan tantangan bisnis.

Para profesional industri ini mencoba mengidentifikasi kesenjangan spesialisasi dan mengatakan bahwa mahasiswa saat ini kurang mendapatkan pelatihan teknis secara real-time, meski harus diakui bahwa ada kebutuhan akan pemikir strategis. 

Pesannya di sini bukan untuk membuang integrasi dengan pelatihan teknis, tapi untuk mengintegrasikan kurikulum yang mengajarkan pemecahan masalah melalui kursus teori dan pembelajaran kritis dengan kursus spesialisasi taktis. Neill dan Schauster (2015) mengamati bahwa banyak institusi yang menawarkan kursus di area khusus yang dibutuhkan ini, namun pelatihan itu masih dianggap sebagai pilihan tambahan.

Beradaptasi dengan perubahan memang tidak mudah. Tetapi, bagaimana jika orang lain berubah sementara Anda tidak? Jadi langkah bijaknya adalah Anda merevisi kurikulum dan kursus yang ada beberapa dekade yang lalu, dan mungkin layak untuk mengevaluasi kembali semuanya.

Saat ini hampir semuanya berubah. Pertama, harus diakui bahwa nama 'iklan' misalnya saat ini sedang berubah. Dalam artikelnya yang berjudul Where Shall I Go to Study Advertising and Public Relations? Billy I. Ross dan Jef. I. Richards (2015) menulis, berdasarkan pengamatannya, dalam 50 tahun terakhir, dari 110 program studi periklanan di perguruan tinggi atau universitas, hampir 50 nama program atau departemen tersebut berbeda namanya.

Benar masih banyak perguruan tinggi yang memiliki departemen periklanan dan PR. Namun banyak program yang telah berubah namanya. Kata-kata yang spesifik tetap ada, namun beragam kata digunakan untuk menggambarkan program marketing, advertising, PR atau media. Ada yang menggunakan nama communication arts, communication studies, communication information, communication design, mass communications, mass media, media and culture, and strategic communication.

Perubahan di bidang pendidikan itu mengikuti tren di industri advertising dan PR. Saat ini agency sudah jarang yang menggunakan kata 'periklanan', karena mereka memiliki disiplin yang terintegrasi dan pindah ke media digital dan sosial. Banyak agensi iklan telah mengubah citra diri mereka sendiri, dengan menggunakan istilah seperti digital, terintegrasi , merek , komunikasi, engagement, consumer connection dan experience.

Kata-kata baru ini bukan tidak memiliki makna. Mereka justru senagaja menggunakan kata-kata itu untuk menunjukkan kemampuan yang lebih luas di luar periklanan dan media massa tradisional, dengan integrasi strategi merek dan spesialisasi baru di media digital. Ini sekaligus menjadi pembeda mereka.

Banyak program periklanan dan agensi telah mengubah nama mereka, karena praktieknya sendiri juga berubah. Dalam dua dekade terakhir, komunikasi pemasaran telah mengalami perubahan signifikan di lapangan. Ini terutama didorong oleh perubahan media. Social media kini mewabah dan penetrasinya dari tahun ke tahun meningkat luar biasa.

Perubahan teknologi ini sangat berpengaruh dan mendisrupt (mengganggu) praktik pemasaran, periklanan dan hubungan masyarakat tradisional. Profesional komunikasi yang bertugas menciptakan dan mengendalikan citra merek kini banyak yang merasa kehilangan kendali dan pengaruh konsumen.

Prubahan tersebut meupakan tantangan baru bagi praktisi komunikasi. Sebab bagaimanpun menurut penelitian, para profesional komunikasi yang paling sukses tidak lagi hanya ahli komunikasi. Mereka yang berhasil adalah professional komunikasi yang juga ahli dalam bisnis.  Kenapa? Tuntutan dari orang yang dilayani kini meningkat. Untuk bisa melayani sebagai penasihat terpercaya bagi kalangan C-suite misalnya dan berkolaborasi dengan para ekskutif selevelnya di seluruh perusahaan kini dibutuhkan ketajaman bisnis.

Bagi saya, ini mirip dengan seperti yang digambarkan Tom Nichols dalam The Death of Expertise, hari-hari ini, semua orang menjadi tahu segalanya. Diakui atau tidak, Web, Wikipedia, atau Google Search Engines – bahkan sekarang banyak web yang menyediakan literatur klasik yang gampang diakses dan gratis -- warga grup atau kelompok diskusi lainnya makin percaya diri bahwa mereka berada pada posisi intelektual yang setara dengan para politisi, lawyer, dokter atau diplomat.

Sampai pada tahap tertentu, mungkin benar yang ditulis di buku ini bahwa siapa saja bisa menjadi humas. “Apakah ini disrupsi dalam profesi? Bisa jadi. Faktanya, humas tidak harus sarjana komunikasi. Saya ingatkan lagi hal ini kepada para mahasiswa komunikasi di berbagai kampus,”  tulis Laksamana (halaman 6).

Namun demikian, seperti yang ditulis Nichols, fenomena ini meningkatkan jumlah orang awam yang tidak memiliki pengetahuan dasar, menolak aturan dasar pembuktian dan menolak untuk belajar bagaimana membuat argumen yang logis. Di sisi lain, seperti halnya alat komunikasi lainnya, PR adalah persuasi dan kekuatan seseorang dalam mempersuasi orang lain terletak pada kemampuannya untuk beragumentasi secara logis.

Di bagian lain buku ini disebutkan seorang PR dituntut memiliki ketrampilan menulis (halaman 30). Dalam buku ini diilustrasikan bahwa seorang PR misalnya harus trampil dalam bertwitter yang hanya membatasi karakter pesannya hanya 140 karakter.

Dalam keterbatasan itu, pengetahuan teori tentang agenda setting dan framing menjadi sangat penting.  Bagaimanapun, PR selalu berkaitan dengan kegiatan komunikasi yang dirancang untuk menciptakan dan mempertahankan citra, dan hubungan organisasi dengan publiknya. Lingkungan bisnis saat ini dicirikan oleh sinisme konsumen dan hilangnya kepercayaan dan kepercayaan konsumen (Moxham, 2008).

Di sisi lain, tugas komunikasi PR adalah bagaimana memperoleh perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan, membangun hasrat dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan tindakan yang diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan. Tak mudah memang, namun demikian itulah tantangan sebenarnya.

Dalam situasi seperti itu, konsep dan praktik keaslian (authenticity) dalam bisnis menjadi semakin penting. Menurut Hynes (2009), keaslian untuk meningkatkan kepercayaan terhadap merek atau perusahaan harus muncul dari PR. Gagasan ini mengimplementasikan pentingnya seorang PR memiliki ketrampilan bercerita.

Allen (2005) menunjukkan adanya hubungan antara keaslian dan storytelling. Kenapa? Bercerita memiliki peran di hampir setiap aspek organisasi dan ― penelitian menunjukkan pentingnya narasi dalam branding.

Bagaimana cara untuk mendapatkan perhatian, dalam konteks ini membingkai pesan merupakan kegiatan penting dalam konstruksi realitas sosial karena membantu membentuk perspektif orang dalam melihat dunianya. Framing memberikan landasan teoritis yang dapat digunakan penulis untuk mempengaruhi cara audiens menafsirkan teks yang mereka baca sehingga sejalan dengan tujuan manajemen.

Siaran pers misalnya adalah alat strategis yang penting bagi organisasi untuk mempengaruhi hubungan pemangku kepentingan dengan cara mempromosikan versi realitas perusahaan melalui pelaporan media berita. Dengan memberikan informasi yang cepat dan murah kepada wartawan, siaran pers berfungsi sebagai subsidi informasi yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa informasi tersebut akan menjadi berita (Gandy, 1982).

Tujuan siaran pers bisa jadi bertentangan dengan tujuan pelaporan berita. Itu sebabnya ada jurnalis yang mengabaikan, menulis ulang, atau menyusun ulang salinan siaran pers (Pander Maat, 2008). Bisa juga siaran pers yang dikirimkan tidak sesuai atau menyimpang dari agenda media. Disinilah pentingnya pemahaman praktisi PR tentang bagaimana informasi yang disampaikan perusahaan melalui siaran pers mengubah atau melengkapi agenda media.
    
Disini terkait dengan proses agenda building. Sebab seperti diketahui, proses pertama dalam agenda building yang dilakukan wartawan adalah mengidentifikasi, memilih, dan mengembangkan ide cerita, dan menilai pentingnya menggunakan fakta, sumber, dan penelitian latar belakang dalam cerita.
Disinilah pentingnya praktisi PR terlibat dalam proses tersebut. 

Namun demikian, hal itu bukan berarti ikut dalam proses perencanaan, melainkan bagaimana caranya praktisi public relations mempengaruhi proses agenda building sebelum perencanaan dan selama proses perencanaan berlangsung dengan memasok informasi penting dan akurat serta membantu menentukan sudut pandang (enggel) dalam penulisannya.

Secara umum buku ini membuka wawasan tentang bagaimana praktisi PR di masa depan dengan segala tantangannya. Seperti yang dikatakan Prita Kemal Gani, founder & Direktur LSPR, dalam testimoninya, buku ini memberikan jawaban atas tantangan PR saat ini. Ini seakan memberikan pelita bagi pembaca tentang pentingnya adaptasi, progresif, dan kreatif. Thinking outside the box!. Karena itulah buku ini sangat cocok bagi mereka yang ingin mengetahui dan memperluas wawasan tentang dunia PR saat ini dan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, K. (2005). Organizational storytelling: Are you missing an opportunity to distinguish your goods  and services in a crowded marketplace? Franchising World, 37(11): 63-64.
Gandy, O. (1982). Beyond Agenda-Setting: Information Subsidies and Public Policy. Norwood, NJ.: Ablex      Publishing.
Hynes, A. (2009). Bridging the trust gap. The Public Relations Strategist, 15(4): 22.
Moxham, A. (2008). Tell the story without spin. Marketing: PR Essays, 7
Neill, Marlene and Schauster, Erin. (2015). Gaps in Advertising and Public Relations Education:      Perspectives of Agency Leaders. Journal of Advertising Education, 19: 5-17.
Pander Maat, H. and de Jong, C. (2012). How newspaper journalists reframe product press release    information.  Journalism, 14(3): 348-371.
Schelfhaudt, Kristin & Crittenden, Victoria. (2005). Specialist or generalist: Views from academia and        industry. Journal of Business Research, 58: 946-954.

Akankah Perbankan Kalah oleh Fintech Non-bank?




Go-Jek, Ovo dan pemain bisnis pembayaran non tunai lainnya yang bukan bank,  bisa jadi salah satu “ancaman” bagi industri perbankan Indonesia. Survei yang dilakukan oleh PwC Indonesia menunjukkan, sekitar 72% responden yang terdiri para bankir senior, menganggap Go-Jek sebagai pesaing baru dengan fasilitas Go-Pay dan lainnya.

Dalam beberapa tahun ke depan, industri perbankan digital Indonesia yang sebagian besar berada di segmen pasar retail hanya tumbuh bila mampu bersaing vendor pembayaran seperti  GoJek. Saat ini, terdapat lebih dari 100 aplikasi seperti GoJek di pasar. Namun bukan berarti tertutup peluang bagi perbankan untuk menggarap mereka.

Sebab bagaimanapun harus diakui bahwa rata-rata konsumen tidak dapat mengingat lebih dari dua aplikasi spesifik. Dengan begitu sedikit merek yang menonjol di pasar uang elektronik Indonesia yang siap untuk diambil.

Kajian yang dilakukan Tim Mckinsey menunjukkan bahwa satu dari tiga orang di pasar negara maju sekarang membawa smartphone. Tak banyak yang meragukan bahwa bank semakin bergantung pada saluran digital untuk melayani konsumen yang jumlahnya tumbuh pesat dan mengandalkan perangkat teknologi komunikasi untuk melakukan bisnis online harian.

 Di Amerika Serikat akun ponsel cerdas mencapai lebih dari setengah langganan seluler.  Sepertiga konsumen menggunakan ponsel mereka untuk melakukan pembayaran. Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia.  Sayangnya, banyak  pembayaran yang ditransaksikan melalui aplikasi seluler ini dikontrol oleh para perusahaan spesialis di pembayaran online dan pedagang digital.

Pembayaran merupakan landasan bagi seluruh hubungan perbankan. Kini bidang bisnis perbankan itu dikepung dan diserang oleh pemain bukan perbankan.  Bisa jadi fenomena ini karena perbankan juga kurang serius menggarap segmen yang seharusnya mereka masuki dengan menawarkan alat-alat pembayaran yang lebih mudah dan sederhana.

Data McKinsey menunjukkan hanya 49 persen orang Indonesia memiliki akses ke layanan keuangan, jauh di bawah Negara-negara seperti Malaysia (85 persen) dan Thailand (82 persen). Segmen yang belum dimasukin oleh erbankan inilah yang kemudian digarap oleh pebinis fintech non-perbankan.
Karena itu, agar bisa bertahan dari serangan itu, perbankan harus menawarkan model pembayaran yang kuat sebagai bagian dari strategi komprehensif untuk perbankan digital. Sebab bagaimanapun, bisnis pembayaran merupakan keharusan bagi bank.

Tetapi untuk bersaing dalam arena yang baru ini, bank harus memenuhi harapan penduduk asli digital, memberikan beragam alat untuk membantu pelanggan membuat keputusan cerdas di berbagai layanan keuangan. Mereka harus mulai dengan menangkap transaksi paling sering pelanggan mereka dengan saluran seluler baru dan kemudian melanjutkan menuju hubungan digital sepenuhnya.

Penantang non-bank secara operasional dibangun untuk inovasi berkelanjutan, dan sering meningkatkan “persenjataan” mereka. Mereka memanfaatkan infrastruktur perbankan dan pembayaran yang ada dan dapat mempertahankan fokus sempit pada penawaran nilai tambah mereka. Dasarnya adalah peran marjinal yang mereka mainkan dalam infrastruktur ini.

Dengan demikian mereka sering lebih gesit dan efisien, meluncurkan pembaruan dengan kecepatan luar biasa. Adyen, misalnya, merilis perangkat lunak pembayaran yang diperbarui setiap dua hingga tiga minggu. Penantang nonbank juga melayani pelanggan mereka lebih cepat; misalnya, Square dan PayPal memungkinkan pedagang untuk menerima pembayaran dalam satu hari, hampir satu minggu lebih cepat daripada kebanyakan bank.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, tingkat adopsi adopsi layanan pembayaran mobile berbasis aplikasi melampaui layanan pembayaran mobile tradisional. GoPay dari GoJek, misalnya, baru diluncurkan pada tahun 2016.

Akan tetapi, posisinya sekarang mengarah pada Volume Transaksi Bruto (GTV) bila dibandingkan dengan layanan sejenis yang lahir sebelumnya, seperti Telkomsel T-Cash dan Mandiri e-Cash. Bundling antara layanan pembayaran seluler GoJek dan layanan go-ride (bersama dengan layanan gaya hidup lainnya) telah menjadi kombinasi yang kuat dan menawarkan kasus penggunaan harian yang relevan.

Dengan kata lain, strategi mereka untuk meningkatkan penggunaan aplikasi adalah dengan cara memberi peluang kepada konsumen untuk memanfaatkan aplikasinya untuk memuaskan kebutuhan mereka sehari-hari.  Sebuah studi menunjukkan tiga aplikasi — GoPay, TokoCash, dan GrabPay — lebih dari 40% fitur ditawarkan untuk digunakan setiap hari.

Fitur tersebut didukung melalui berbagai kemitraan pemasaran offline dan online, berbagai produk dan layanan  seperti pengantaran (ojek), pengiriman makanan dari restoran ke rumah, atau pengisian pulsa instan untuk tagihan dan utilitas, dan kemampuan untuk mentransfer uang secara elektronik ke pengguna lain.

Mereka juga fokus dan terus meningkatkan kesadaran dan mempromosikan manfaat utama platform kepada audiens targetnya. Berbagai kemitraan dengan pedagang online dan offline membantu mereka mendorong penggunaan uang elektronik untuk pembelian rutin kebutuhan harian. Itu terjadi karena wanita Indonesia memiliki kesempatan untuk menggunakan e-uang untuk berbelanja di toko, termasuk untuk hal-hal seperti hijab fashion atau kecantikan dan kosmetik.

Dari fenomena itu, sebagian besar layanan pembayaran seluler tradisional telah berubah menjadi layanan pembayaran seluler berbasis aplikasi. Akan tetapi sangat sedikit yang berhasil dalam membangun platform yang relevan untuk penggunaan sehari-hari dan sampai saat ini masih tetap lengket.

Layanan pembayaran seluler yang berbeda berhasil membangun skala dan kepemimpinan dalam  mengatasi masalah pembayaran di segmen pembayaran tertentu. Jejak reseller prabayar nasional memungkinkan layanan pembayaran seluler telcos untuk mendapatkan skala dari penyediaan layanan pembayaran tagihan telekomunikasi dan utilitas, terutama di daerah pinggiran kota di mana opsi pembayaran untuk pembayaran tagihan utilitas agak terbatas dan rumit.

Dalam konteks tersebut, GoPay berhasil memberikan alternative pembayaran di layanan pengiriman transportasi dan pengiriman makanan dengan menggunakan pengendara GoJek sebagai agen ‘cash-out’-nya. Bahkan GoJek kini memperluas penerimaan solusi pembayarannya di antara mitra F & B dan pedagang gaya hidup.

Akuisisi Midtrans dan Mapan baru-baru ini oleh GoJek berpotensi memperbesar dan menjadikan GoPay sebagai platform e-commerce dan platform keuangan mikro terbesar di Indonesia.  Ovo yang muncul belakangan memanfaatkan jejak ritel nasional sponsornya untuk mendorong F & B dan layanan pembayaran seluler dan juga berfokus pada gaya hidup.

Meskipun saat ini telah banyak bermunculan platform e-commerce dan pembayaran masih banyak segmen pembayaran yang belum digarap oleh oemain yang ada. Segmen yang belum tersentuh ini termasuk makanan & ritel seperti pembayaran pajak pribadi, transportasi umum (bus / kereta api), jalan tol, stasiun pengisian bahan bakar, dan sebagainya.

Selain itu, menambahkan simpanan pribadi dan fitur investasi ke layanan pembayaran seluler yang ada (tergantung pada persetujuan peraturan) dapat membantu mendorong lompatan adopsi, terutama di daerah yang memiliki akses ke layanan keuangan formal terbatas.

Perkembangan teknologi keuangan yang terjadi akhir-akhirnya idealnya memiliki dampak yang sangat positif terhadap perekonomian Indonesia, seperti mendorong pemerataan distribusi kesejahteraan penduduk; membantu kebutuhan pembiayaan domestik; mendorong distribusi pembiayaan nasional; meningkatkan inklusi keuangan nasional; dan mendorong kemampuan UMKM yang masih dianggap rendah. Namun demikian, agenda yang tetap harus dikerjakan adalah bagaimana menyiapkan UMKM untuk masuk ke perkembangan ini.


Cashless Society


Image result for GoPay Cashless Society

Jika abad ke-20 merupakan era uang tunai, cek, dan kartu kredit plastik, masuk era abad ke 21 ditandai dengan perkembangan sistem transfer elektronik yang pesat. Masing-masing berjalan pada platform yang berbeda dan menggunakan protokol serta infrastruktur jaringan yang berbeda. Kini transaksi pembayaran bisa dilakukan dimanapun, kapan saja melalui aplikasi di handphone atau gadjet lainnya.

Ketika saya pertama kali masuk ke dunia kerja pada tahun 1985, ATM adalah sebuah keajaiban bagi saya. Itupun saya jumpai di Sidney. Bersamaan dengan itu, masuklah kartu plastic dan hanya sebagian kecil meninggalkan uang tunai! Di beberapa lokasi di Sidney, orang kadang-kadang harus antri selama minimal 10 menit untuk menggunakannya, lebih cepat daripada layanan manual.

Konsep masyarakat tanpa uang tunai (cashless society) bukanlah hal baru. Konsep masyarakat tanpa uang didasarkan pada transaksi elektronik (e-transaction). Umumnya, transaksi tanpa uang tunai ini terkait dengan bank dan bank memiliki kontrol yang memadai atas transaksi. Dalam masyarakat di mana banyak orang tidak suka membawa mata uang dalam dompet mereka, orang-orang berpikir serius tentang pembayaran elektronik (pembayaran elektronik) melalui uang elektronik (e-money) dengan bantuan kartu elektronik (e-card) dan perbankan elektronik (e-banking).

Tahun 1961, seorang insinyur aerospace Simon Ramo memberi ceramah yang mendorong manfaat menjadi tidak punya uang tunai. Dia dapat melihat bagaimana informasi dapat mengubah cara orang menjalani hidup mereka dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pola pembayaran dan kelayakan kredit.

Tahun 1990an, bagi kebanyakan pelancong internasional dan peserta konferensi, kehidupannya bisa menjadi jauh lebih sulit bila tidak memiliki kemampuan membayar dengan kartu plastik untuk barang dan jasa yang dikonsumsi. Bagaimana tidak, sebagian besar maskapai penerbangan, jaringan kereta api, perusahaan penyewaan mobil, hotel dan restoran sudah terbiasa menerima pembayaran dengan kartu plastik, seperti halnya banyak pengecer dan outlet pedagang lainnya. Dengan melakukan itu mereka mengurangi kebutuhan konsumen untuk membawa uang tunai dalam mata uang lokal atau cek perjalanan.

Kartu internasional utama seperti Visa, Europay / MasterCard, American Express, Diners Club, dan JCB semuanya berusaha agar kartu pembayaran mereka diterima di berbagai gerai pedagang seluas mungkin. Meski harus diakui bahwa hanya Visa dan MasterCard, dua asosiasi kartu utama, yang pada tahun 1995, memiliki lebih dari 12 juta lokasi penerimaan di seluruh dunia, yang menerima pembayaran dengan kartu kredit dan debit yang meeka keluarkan. American Express memiliki 3,6 juta akseptor pedagang di seluruh dunia.

Meskipun kartu plastik diterima secara luas di seluruh dunia, pada tahun 1995, terdapat disparitas diantara negara-negara dalam memegang dan penggunaan kartu pembayaran plastic. Di Eropa misalnya, rata-rata setiap 100 orang dewasa, satu diantaranya memiliki kartu kredit. Sementara Inggris memiliki jumlah kartu terbanyak yang dikeluarkan, diikuti oleh Spanyol, negara-negara lain seperti Italia, Irlandia dan Yunani memiliki relatif sedikit kartu yang dikeluarkan.

Selain itu, setiap pasar juga memiliki variasi yang tinggi dalam jenis kartu yang paling dikeluarkan. Di sebagian besar Eropa, kartu debit adalah jenis kartu pembayaran utama yang digunakan. Namun, di Inggris, Prancis, Irlandia dan Yunani kartu kredit yang paling umum. Kartu charge, ketika ditemukan di setiap pasar, bukan yang paling banyak di negara mana pun, tetapi mereka menjadi alternatif pembayaran utama di sebagian besar Eropa.

Perbedaan signifikan juga ada pada frekuensi penggunaan dan nilai transaksi rata-rata pembayaran kartu plastic. Di Prancis dan Inggris, kartu plastik menjadi metode pembayaran yang umum untuk sebagian besar konsumen, sedangkan di tempat lain masyarakatnya menggunakan bentuk pembayaran yang lain, termasuk cek dan uang tunai. Pembayaran dengan kartu plastik jauh lebih jarang.

Fenomena itu menunjukkan bahwa pada tahun 1995 masih terdapat kesenjangan yang masih cukup besar dalam nilai rata-rata transaksi kartu antar Negara. Di sini banyak faktor ikut bermain, termasuk jumlah dan jenis kartu yang dipegang dan sifat jaringan pedagang penerimaan kartu lokal.

Misalnya, di banyak negara Eropa, penerimaan kartu saat itu tidak meluas ke outlet yang melayani transaksi bernilai relatif rendah, meski outlet itu sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Outlet itu terutama adalah toko kelontong. Kombinasi dari faktor-faktor seperti ini yang menempatkan Swiss dan Italiaberada di posisi teratas daftar nilai transaksi rata-rata, sementara Perancis dan Inggris berada di ujung skala yang berlawanan.

Hari ini mahasiswa saya dapat mengakses dan berpisah dengan uang kontan mereka melalui GOPay, Flash, Brizzi, e-Money, GoPay, dan sebagainya. Mereka menggunakan aplikasi seluler dan layanan berbasis web yang memungkinkan pembayaran orang ke orang. Untuk membayar atas pembelian sesuatumereka tinggal mengetuk ponsel yang dilengkapi komunikasi ke terminal tempat penjualan. Mereka menggunakan lapak elektronik untuk membeli atau memesan sesuatu dan metode pembayaran satu klik ke pedagang online lainnya untuk melakukan pembelian secara daring.

Lusinan teknologi komunikasi tertanam untuk memfasilitasi transfer uang . Ada yang menggunakan teknologi komunikasi jarak dekat, identifikasi frekuensi radio (RFID), gelombang radio bluetooth,  magnetik, sinyal radio nirkabel (Wi-Fi), gelombang suara supersonik, barcode, QR code, dan representasi grafis lainnya yang dapat dipindai secara elektronik dengan menggunakan pemindai optik. Semua ini untuk memfasilitasi pembayaran yang efisien, tanpa gesekan, transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain dan pembukaan dan penyelesaian transaksi-transaksi tersebut dengan cara cepat, aman, dan dapat diverifikasi.

Sekarang generasi cashless society masuk ke era yang lebih kompleks sekaligus sederhana.  
Kini jutaan penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki smartphone, namun masih belum memiliki rekening bank. Sebanyak 33% mengaku terkendala oleh jarak dari lembaga keuangan modern. Padahal 69% dari populasi tersebut memiliki ponsel. Kondisi ini lah yang melatari lahirnya beberapa aplikasi pembayaran non tunai dalam bentuk app-based mobile payment platform.

Diakui atau tidak masyarakat Indonesia memang masih awam dalam aplikasi pembayaran non-tunai.  Penelitian Ipsos Indonesia, perusahaan riset pemasaran independen, terhadap 400 responden secara online panel pada 20-26 Agustus 2018, menunjukkan sebagian besar konsumen e-commerce adalah millenials (64%), orang-orang yang sudah menikah (62%), dan mereka yang aktif bekerja (86%).

Lebih dari setengahnya adalah lulusan universitas. Secara gender mereka seimbang, baik laki-laki ataupun perempuan, dan sebagian besar dari mereka tinggal di Jakarta (25%), Jakarta Pusat (17%), dan di Pulau Jawa (37%). Sebagian besar pembelanja e-commerce adalah dari kalangan ekonomi ke atas (81%)  dengan rata-rata pendapatan Rp3,3 juta per bulan. Perilaku belanja millenials (43%) maupun non-millenials (44%) sama-sama melakukan belanja di e-commerce minimal satu kali dalam sebulan.

Yang menarik adalah, dalam hal pembayaran mereka, transfer lewat ATM atau internet banking adalah pembayaran yang paling umum mereka gunakan saat bertransaksi online. Milenials biasa berbelanja saat siang menuju sore yaitu pukul 12.00-15.00, dan memilih berbelanja dari rumah (72%). Sedangkan non-Milenials rata-rata belanja mulai dari pukul 15.00 sampai malam.

Mengubah budaya uang tunai dan cek ke salah satu pembayaran Internet dan seluler adalah langkah besar. Persyaratan pertama adalah penjelasan tercetak yang sederhana, jelas, dan multi-bahasa tentang bagaimana teknologi akan digunakan. Kedua adalah komunikasi dan akses yang cepat, meski butuh sabar dan kejelasan, dan mudah dihubungkan. Ketiga adalah pernyataan online mingguan yang sederhana dari posisi akun sehingga pemegang atau pengguna bisa mengontrol penggunaannya. Jangan sampai misalnya, mereka merasa malu hgara-gara saldo mereka tidak mencukupi. Ini yang sering dijumpai di pintu tol pembayaran.

TCash misalnya, pertama kali diperkenalkan ke konsumen sebagai brand electronic money di tahun 2007 atau sekitar 11 tahun lalu di mana produk e-money masih belum awam di kalangan konsumen. Tantangan terbesar saat itu adalah produk TCash sendiri, yaitu bagaimana mengomunikannya supaya bisa diterima, dipercaya, dan digunakan user dengan aman, nyaman, dan mudah.

“Sebagai kategori produk baru saat itu, tantangan memperkenalkan TCash sangat besar. Selama enam tahun pertama TCash hadir sebenarnya kurang berkembang signifikan. Karena TCash muncul sebagai alat pembayaran elektronik tapi tanpa physical aspect yang bisa 'dipegang' oleh pelanggan. Itu kelemahan TCash saat itu,” ungkap  Puput Hidayat, Head of TCash Lifestyle Marketing & Customer Engagement TCash.

Sekarang tedapat banyak pilihan pembayaran tanpa uang tunai, dan kecepatan adopsi juga meningkat. Namun, beberapa tantangan yang ada termasuk masalah interoperabilitas di antara platform tertentu, biaya kartu dan biaya transaksi platform terkait terutama untuk UKM, dan masalah keamanan dan perlindungan data. Ada kebutuhan yang meningkat untuk membangun ekosistem dan platform tepercaya guna membangun kepercayaan konsumen untuk lebih mempercepat adopsi pembayaran digital.

Ini juga akan menjadi penting untuk menetapkan standardisasi lebih lanjut untuk meningkatkan kemudahan penggunaan bagi konsumen. Meskipun jelas ada banyak manfaat dalam menghasilkan uang tunai, akan ada kebutuhan untuk memelihara infrastruktur transaksi tunai untuk beberapa waktu untuk mendukung mereka yang berada dalam masyarakat yang mungkin perlu bergantung pada uang tunai sebagai cara pembayaran.

Di Singapura, menurut Philip Yuen, Chief Executive Officer Deloitte Southeast Asia and Singapore, adopsi  pembayaran tanpa uang relative lambat. Ini karena populasi Singapura yang menua, dengan mayoritas belum terekspos atau cukup pintar untuk menavigasi dunia digital.

Salah satu cara untuk mendorong penggunaan adalah dengan menggabung platform pembayaran dan  platform keterlibatan. Saat ini, Singapura memiliki beberapa platform pembayaran yang tidak banyak berhubungan dengan pengguna. Untuk mengatasi hal ini, Singapura melihat negara-negara seperti China dan Korea Selatan yang telah berhasil mengintegrasikan keduanya untuk mengembangkan satu platform di mana pengguna dapat memenuhi keterlibatan mereka (misalnya, berita, sosial dan mobilitas) dan kebutuhan pembayaran.

Pada akhirnya, untuk mencapai adopsi secara nasional, teknologi harus dikembangkan untuk memberi manfaat bagi masyarakat umum dalam hal kemudahan, kenyamanan dan keamanan, dan teknologi ini harus berevolusi untuk mengikuti perubahan sosio-ekonomi dan demografi. Ini adalah tentang menyerang keseimbangan yang tepat dan mengelola risiko yang terkait untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam masyarakat tanpa uang tunai.