Sabtu, 05 Januari 2019

Public Relations Berubah, Bagaimana dengan Anda?




Sejak akhir 1980-an, kemajuan dramatis terutama di bidang teknologi informasi telah menghasilkan cara baru masyarakat untuk berinteraksi, berbagi, belajar, dan berbisnis. Perubahan tanpa henti telah menjadi norma bagipraktisi public relations yang berusaha untuk tetap berada di posisi terdepan.

Banyak gagasan yang menggelitik di buku Public Relations in The Age of Disruption ini. Misalnya, semua orang bisa menjadi public relations (PR) sehingga seorang dokter, insinyur, dan sebagainya bisa menjadi PR, meski tidak sebaliknya. Gagasan lainnya adalah seorang PR haruslah memiliki ketrampilan menulis, menjadi PR itu lebih dari sekadar gelar sarjana komunikasi, dan sebagainya.

Buku ini dibuka dengan penyataan menarik dari sang penulis, “Selama bertahun-tahun berkarier di bidang PR, saya merasa dunia humas terus berevolusi. Dunia humas terus berubah, ilmunya semakin kompleks, ekspektasi atas profesi ini semakin tinggi, dan tren lainnya: semua orang bisa menjadi PR…..”

Dalam artikelnya di Journal of Advertising Education, 2016 lalu, Keith A Quesenberry menulis bahwa saat ini praktisi pemasaran, periklanan dan public relations menghadapi tantangan akibat perubahan radikal. 

Bagaimana para praktisi public relations dan sebagainya menghadapi atau beradaptasi dengan perubahan itu membutuhkan integrasi disiplin yang bermuara pada marketing communications dengan segala ragamnya seperti integrated strategic communication, integrated marketing communication, marketing communication, departemen advertising, direct marketing dan public relations.

Para pemuka bisnis, akademisi, dan penggiat marketing lainnya termasuk mahasiswa marketing dan marketing communication sepakat bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah keahlian fungsional (pengetahuan khusus) lebih penting ketimbang generalis (Schelfhaudt & Crittenden, 2005). Karena itu,  pendidikan profesi marketing membutuhkan kurikulum dengan struktur yang lebih fleksibel dan memberi ruang untuk pengetahuan yang lebih bersifat spesialisasi, termasuk public relations.

Yang menarik, beberapa pihak merasakan bahwa untuk menjadi seorang eksekutif public relations yang berperan strategic di dalam perusahaan, dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan di luar kompetenssi seperti masalah makro ekonomi dan sebagainya. Sebab bagaimanapun, menjadi seorang strategic planner dibutuhkan pengetahuan dan ketampilan dalam mengelola informasi  di sekitar perusahaan, termasuk isu-isu tentang politik.

Professional di bidang komunikasi saat ini harus mampu berbicara dalam berbagai bahasa (bilingual). Mereka harus lancar berbicara dengan bahasa public relations, idiom bisnis dan top eksekutif (C-suite). professional di bidang komunikasi haruslah mampu berbicara dalam berbagai bahasa (bilingual). Mereka harus lancar berbicara dengan bahasa public relations, idiom bisnis dan top eksekutif (C-suite).



Judul BukU         : Public Relations in the Age of Disruption: 17 Pengakuan Professional PR &                                        Kunci Sukses Membangun Karier pada Era Disrupsi
Penulis                : Agung Laksamana
Penerbit               : PT Bentang Pustaka, 2018
Tebal Buku              : 240 halaman

Mengapa?  Menurut Adita Irawati -- mantan Vice President Corporate Communications PT Telkomsel yang kini menjabat Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi , para top eksekutif perusahaan saat ini semakin membutuhkan professional public relations (PR) yang bisa menjadi mitra berdiskusi, terutama untuk mengembangkan agenda setting perusahaan maupun mensikapi berbagai isu yang berpotensi mengancam perusahaan (https://mix.co.id/corcomm-pr/evolusi-profesi-mengapa-profesional-pr-kini-harus-memiliki-ketajaman-bisnis).

Inilah yang disebut Matt Ragas, Ph.D., dan Ron Culp, Fellow PRSA dalam Mastering Business for Strategic Communicators: Insights and Advice from the C-suite of Leading Brands (Emerald Publishing Limited, 2018) sebagai evolusi profesional PR, perubahan peran professional PR dari hanya sebagai seseorang yang mengkomunikasikan pesan setelah keputusan dibuat, menjadi berperan sebagai penasihat bisnis. Disini tantangannya adalah bagaimana professional komunikasi mengasah ketajaman bisnisnya.

Survei yang dilakukan Marlene Neill dan Erin Schauster (2015) terhadap para profesional di berbagai industri untuk mengetahui keterampilan inti yang dibutuhkan untuk praktik PR dan periklanan, menunjukkan bahwa saat ini yang dirasakan para eksekutif adalah kesenjangan dalam pendidikan. Ada beberapa ketrampilan khusus yang sebenarnya mereka butuhkan untuk memperkuat kampanye mereka yang belum dimiliki para karyawan pemula mereka.

Keterampilan paling umum yang mereka rasakan kurang tersebut misalnya ketrampilan storytelling, bisnis, perencanaan strategis, presentasi, matematika dan hubungan dengan klien. Satu spesialisasi baru yang umum dibutuhkan oleh kedua bidang tersebut adalah pendidikan tentang peran yang lagi berkembang saat ini, yakni social listening dan community management.

Neill dan Schauster (2015) menemukan bahwa baik eksekutif periklanan maupun eksekutif public relations sepakat bahwa para mahasiswa saat ini perlu memahami praktik dari kedua industri ini, namun juga menunjukkan adanya kebutuhan yang semakin besar akan keterampilan bisnis yang biasanya terkait dengan program pemasaran. Misalnya, untuk praktisi periklanan dan PR pemula, mereka harus memahami statistik, dokumen keuangan dan penganggaran, ditambah pemahaman tentang kosakata bisnis dan tantangan bisnis.

Para profesional industri ini mencoba mengidentifikasi kesenjangan spesialisasi dan mengatakan bahwa mahasiswa saat ini kurang mendapatkan pelatihan teknis secara real-time, meski harus diakui bahwa ada kebutuhan akan pemikir strategis. 

Pesannya di sini bukan untuk membuang integrasi dengan pelatihan teknis, tapi untuk mengintegrasikan kurikulum yang mengajarkan pemecahan masalah melalui kursus teori dan pembelajaran kritis dengan kursus spesialisasi taktis. Neill dan Schauster (2015) mengamati bahwa banyak institusi yang menawarkan kursus di area khusus yang dibutuhkan ini, namun pelatihan itu masih dianggap sebagai pilihan tambahan.

Beradaptasi dengan perubahan memang tidak mudah. Tetapi, bagaimana jika orang lain berubah sementara Anda tidak? Jadi langkah bijaknya adalah Anda merevisi kurikulum dan kursus yang ada beberapa dekade yang lalu, dan mungkin layak untuk mengevaluasi kembali semuanya.

Saat ini hampir semuanya berubah. Pertama, harus diakui bahwa nama 'iklan' misalnya saat ini sedang berubah. Dalam artikelnya yang berjudul Where Shall I Go to Study Advertising and Public Relations? Billy I. Ross dan Jef. I. Richards (2015) menulis, berdasarkan pengamatannya, dalam 50 tahun terakhir, dari 110 program studi periklanan di perguruan tinggi atau universitas, hampir 50 nama program atau departemen tersebut berbeda namanya.

Benar masih banyak perguruan tinggi yang memiliki departemen periklanan dan PR. Namun banyak program yang telah berubah namanya. Kata-kata yang spesifik tetap ada, namun beragam kata digunakan untuk menggambarkan program marketing, advertising, PR atau media. Ada yang menggunakan nama communication arts, communication studies, communication information, communication design, mass communications, mass media, media and culture, and strategic communication.

Perubahan di bidang pendidikan itu mengikuti tren di industri advertising dan PR. Saat ini agency sudah jarang yang menggunakan kata 'periklanan', karena mereka memiliki disiplin yang terintegrasi dan pindah ke media digital dan sosial. Banyak agensi iklan telah mengubah citra diri mereka sendiri, dengan menggunakan istilah seperti digital, terintegrasi , merek , komunikasi, engagement, consumer connection dan experience.

Kata-kata baru ini bukan tidak memiliki makna. Mereka justru senagaja menggunakan kata-kata itu untuk menunjukkan kemampuan yang lebih luas di luar periklanan dan media massa tradisional, dengan integrasi strategi merek dan spesialisasi baru di media digital. Ini sekaligus menjadi pembeda mereka.

Banyak program periklanan dan agensi telah mengubah nama mereka, karena praktieknya sendiri juga berubah. Dalam dua dekade terakhir, komunikasi pemasaran telah mengalami perubahan signifikan di lapangan. Ini terutama didorong oleh perubahan media. Social media kini mewabah dan penetrasinya dari tahun ke tahun meningkat luar biasa.

Perubahan teknologi ini sangat berpengaruh dan mendisrupt (mengganggu) praktik pemasaran, periklanan dan hubungan masyarakat tradisional. Profesional komunikasi yang bertugas menciptakan dan mengendalikan citra merek kini banyak yang merasa kehilangan kendali dan pengaruh konsumen.

Prubahan tersebut meupakan tantangan baru bagi praktisi komunikasi. Sebab bagaimanpun menurut penelitian, para profesional komunikasi yang paling sukses tidak lagi hanya ahli komunikasi. Mereka yang berhasil adalah professional komunikasi yang juga ahli dalam bisnis.  Kenapa? Tuntutan dari orang yang dilayani kini meningkat. Untuk bisa melayani sebagai penasihat terpercaya bagi kalangan C-suite misalnya dan berkolaborasi dengan para ekskutif selevelnya di seluruh perusahaan kini dibutuhkan ketajaman bisnis.

Bagi saya, ini mirip dengan seperti yang digambarkan Tom Nichols dalam The Death of Expertise, hari-hari ini, semua orang menjadi tahu segalanya. Diakui atau tidak, Web, Wikipedia, atau Google Search Engines – bahkan sekarang banyak web yang menyediakan literatur klasik yang gampang diakses dan gratis -- warga grup atau kelompok diskusi lainnya makin percaya diri bahwa mereka berada pada posisi intelektual yang setara dengan para politisi, lawyer, dokter atau diplomat.

Sampai pada tahap tertentu, mungkin benar yang ditulis di buku ini bahwa siapa saja bisa menjadi humas. “Apakah ini disrupsi dalam profesi? Bisa jadi. Faktanya, humas tidak harus sarjana komunikasi. Saya ingatkan lagi hal ini kepada para mahasiswa komunikasi di berbagai kampus,”  tulis Laksamana (halaman 6).

Namun demikian, seperti yang ditulis Nichols, fenomena ini meningkatkan jumlah orang awam yang tidak memiliki pengetahuan dasar, menolak aturan dasar pembuktian dan menolak untuk belajar bagaimana membuat argumen yang logis. Di sisi lain, seperti halnya alat komunikasi lainnya, PR adalah persuasi dan kekuatan seseorang dalam mempersuasi orang lain terletak pada kemampuannya untuk beragumentasi secara logis.

Di bagian lain buku ini disebutkan seorang PR dituntut memiliki ketrampilan menulis (halaman 30). Dalam buku ini diilustrasikan bahwa seorang PR misalnya harus trampil dalam bertwitter yang hanya membatasi karakter pesannya hanya 140 karakter.

Dalam keterbatasan itu, pengetahuan teori tentang agenda setting dan framing menjadi sangat penting.  Bagaimanapun, PR selalu berkaitan dengan kegiatan komunikasi yang dirancang untuk menciptakan dan mempertahankan citra, dan hubungan organisasi dengan publiknya. Lingkungan bisnis saat ini dicirikan oleh sinisme konsumen dan hilangnya kepercayaan dan kepercayaan konsumen (Moxham, 2008).

Di sisi lain, tugas komunikasi PR adalah bagaimana memperoleh perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan, membangun hasrat dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan tindakan yang diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan. Tak mudah memang, namun demikian itulah tantangan sebenarnya.

Dalam situasi seperti itu, konsep dan praktik keaslian (authenticity) dalam bisnis menjadi semakin penting. Menurut Hynes (2009), keaslian untuk meningkatkan kepercayaan terhadap merek atau perusahaan harus muncul dari PR. Gagasan ini mengimplementasikan pentingnya seorang PR memiliki ketrampilan bercerita.

Allen (2005) menunjukkan adanya hubungan antara keaslian dan storytelling. Kenapa? Bercerita memiliki peran di hampir setiap aspek organisasi dan ― penelitian menunjukkan pentingnya narasi dalam branding.

Bagaimana cara untuk mendapatkan perhatian, dalam konteks ini membingkai pesan merupakan kegiatan penting dalam konstruksi realitas sosial karena membantu membentuk perspektif orang dalam melihat dunianya. Framing memberikan landasan teoritis yang dapat digunakan penulis untuk mempengaruhi cara audiens menafsirkan teks yang mereka baca sehingga sejalan dengan tujuan manajemen.

Siaran pers misalnya adalah alat strategis yang penting bagi organisasi untuk mempengaruhi hubungan pemangku kepentingan dengan cara mempromosikan versi realitas perusahaan melalui pelaporan media berita. Dengan memberikan informasi yang cepat dan murah kepada wartawan, siaran pers berfungsi sebagai subsidi informasi yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa informasi tersebut akan menjadi berita (Gandy, 1982).

Tujuan siaran pers bisa jadi bertentangan dengan tujuan pelaporan berita. Itu sebabnya ada jurnalis yang mengabaikan, menulis ulang, atau menyusun ulang salinan siaran pers (Pander Maat, 2008). Bisa juga siaran pers yang dikirimkan tidak sesuai atau menyimpang dari agenda media. Disinilah pentingnya pemahaman praktisi PR tentang bagaimana informasi yang disampaikan perusahaan melalui siaran pers mengubah atau melengkapi agenda media.
    
Disini terkait dengan proses agenda building. Sebab seperti diketahui, proses pertama dalam agenda building yang dilakukan wartawan adalah mengidentifikasi, memilih, dan mengembangkan ide cerita, dan menilai pentingnya menggunakan fakta, sumber, dan penelitian latar belakang dalam cerita.
Disinilah pentingnya praktisi PR terlibat dalam proses tersebut. 

Namun demikian, hal itu bukan berarti ikut dalam proses perencanaan, melainkan bagaimana caranya praktisi public relations mempengaruhi proses agenda building sebelum perencanaan dan selama proses perencanaan berlangsung dengan memasok informasi penting dan akurat serta membantu menentukan sudut pandang (enggel) dalam penulisannya.

Secara umum buku ini membuka wawasan tentang bagaimana praktisi PR di masa depan dengan segala tantangannya. Seperti yang dikatakan Prita Kemal Gani, founder & Direktur LSPR, dalam testimoninya, buku ini memberikan jawaban atas tantangan PR saat ini. Ini seakan memberikan pelita bagi pembaca tentang pentingnya adaptasi, progresif, dan kreatif. Thinking outside the box!. Karena itulah buku ini sangat cocok bagi mereka yang ingin mengetahui dan memperluas wawasan tentang dunia PR saat ini dan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, K. (2005). Organizational storytelling: Are you missing an opportunity to distinguish your goods  and services in a crowded marketplace? Franchising World, 37(11): 63-64.
Gandy, O. (1982). Beyond Agenda-Setting: Information Subsidies and Public Policy. Norwood, NJ.: Ablex      Publishing.
Hynes, A. (2009). Bridging the trust gap. The Public Relations Strategist, 15(4): 22.
Moxham, A. (2008). Tell the story without spin. Marketing: PR Essays, 7
Neill, Marlene and Schauster, Erin. (2015). Gaps in Advertising and Public Relations Education:      Perspectives of Agency Leaders. Journal of Advertising Education, 19: 5-17.
Pander Maat, H. and de Jong, C. (2012). How newspaper journalists reframe product press release    information.  Journalism, 14(3): 348-371.
Schelfhaudt, Kristin & Crittenden, Victoria. (2005). Specialist or generalist: Views from academia and        industry. Journal of Business Research, 58: 946-954.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar