Sabtu, 02 Februari 2019

Webrooming dan Showrooming




Munculnya ritel online dan penetrasi internet memicu peralihan ke perilaku yang tidak konvensional atau yang dulu dikenal sebagai  free riding behavior atau fenomena penelitian oleh pembelanja dan perilaku belanja hybrid. Apa lagi?

Karena tekanan persaingan dan makin tingginya kualitas permintaan pelanggan, mau tak mau peritel  menambahkan saluran baru untuk melayani pelanggannya. Makin luas dan beragamnya saluran pemasaran ini makin memberikan banyak kenyamanan, kemudahan dan fleksibilitas kepada pelanggan. Namun di sisi lainnya, memunculkan tantangan bagi pengecer.

Bagaimana tidak, konsumen mungkin hanya membeli sebuah handphone misalnya, namun porsesnya melibatkan lebih dari satu bahkan dua saluran yang berbeda. Perilaku ini mencerminkan kebutuhan konsumen memaksimalkan manfaat dari berbelanja. Ini yang membedakan antara belanja era lima tahun lalu dan sekarang. Perilaku pilihan saluran konsumen menjadi semakin kompleks dan semakin sulit diprediksi.

Pelanggan baru makin berdaya. Pemanfaatan saluran tertentu di berbagai tahap proses pembelian memunculkan fenomena showrooming dan webrooming. Pembeli online semakin mengejar perilaku webrooming yang menyiratkan penggunaan saluran online sebelum membeli di toko fisik, dan atau  showrooming yang menggambarkan fenomena konsumen secara sengaja mengunjungi toko fisik sebelum membeli online.

Bagi sebagian orang, makin banyaknya konsumen yang semakin diberdayakan terasa seperti ancaman. Ini terutama dirasakan oleh perusahaan-perusahaan yang masih menerapkan model bisnis tradisional. Padahal, hal itu bisa diterjemahkan sebagai kesempatan bagi mereka yang memilih untuk mendengarkan. Setiap hari jutaan orang menggunakan media sosial untuk memberi tahu dunia tentang pengalaman, pemikiran dan pendapat mereka.

Efek akumulatif dari semua obrolan sosial ini telah menciptakan kumpulan data konsumen terbesar yang pernah ada. Triliunan percakapan konsumen tersebar di seluruh web pada topik yang dibayangkan. Bagi industri yang penuh dengan konsumen bergairah seperti industri otomotif, peluang yang dihadirkan dengan mendengarkan di media sosial sangat besar.

Faktanya, 38% konsumen berkonsultasi dengan media sosial sebelum melakukan pembelian mobil. Sinyal pembeli sudah ada di sana, sekarang tinggal apakah merek mau atau bisa menangkap sinyal itu.

Munculnya ritel online dan penetrasi internet memicu peralihan ke perilaku yang tidak konvensional atau yang dulu dikenal sebagai free-riding behavior atau fenomena penelitian oleh pembelanja dan perilaku belanja hybrid. Free-riding behavior yang banyak dibahas pada tahun 1960 oleh Telser menyiratkan penggunaan layanan dari pengecer layanan secara penuh sebelum membeli dari pengecer dengan harga lebih rendah.

Survei tahunan Global Total Retail Consumer yang dilakukan PwC (2015) mendapati bahwa 70 persen konsumen sengaja mengumpulkan informasi secara online dan kemudian membeli produk secara offline. 

Sementara itu, The Forrester Research (2014) dalam sebuah laporan yang berfokus pada prediksi penjualan lintas-saluran di Eropa dari 2013 hingga 2018 menemukan perilaku webrooming menjadi pola umum di antara pembelanja lintas-saluran yang suka mengganti saluran untuk memaksimalkan manfaat berbelanja.

Diakui atau tidak, ada trend bahwa para showroomer mengunjungi toko fisik untuk mengetahui secara detail produk dan layanannya, tujuannya adalah untuk mendapatkan sesuatu yang tidak didapat dari e-commerce, mencoba sepatu, misalnya. Akan tetapi, mereka melakukan pembelian melalui Internet.

Perilaku belanja ini banyak merugikan pengecer kecil yang belum mengetahui cara melakukan terobosan  digital. Yang banyak diuntungkan dari praktek belanja seperti ini adalah raksasa e-commerce seperti Amazon, AliExpress atau eBay, dan sebagainya.

Beberapa perusahaan menyadari tren ini dan tidak menjadikannya sebagai musuh. Mereka justru beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sephora, misalnya, beradaptasi dengan memberikan kemudahan kepada pelanggannya untuk bernavigasi melalui ponsel dan tablet saat mereka berada di cabang toko fisik mereka. 

Ini berarti mereka memenggunakan strategi saluran online dan offline. Ada juga perusahaan yang mendorong pelanggan mereka untuk membeli produk di toko fisik dengan menawarkan biaya pengiriman gratis misalnya.

Menurut statistik terbaru, 78% konsumen mengklaim mencari produk secara online setidaknya sekali dalam 12 bulan terakhir. Selain itu, menurut survei yang dilakukan Merchant Warehouse (sekarang Cayan), 80% pencarian seluler berakhir dengan penjualan, dan sekitar 75% dari penjualan tersebut dilakukan di toko fisik, kadang-kadang pada hari yang sama.

Pelanggan abad ke-21 adalah warga asli digital. Ini berarti mereka menggunakan saluran digital untuk berbelanja. Berbeda dengan pendapat umum, webrooming lebih umum dan telah berkembang lebih cepat daripada showrooming.

Laporan tersebut mengklaim bahwa penjualan webrooming meningkat 500 persen dan 44 persen dari semua pembelian di dalam toko dipengaruhi oleh “belanja” dulu di web. Itu sebabnya, ke depan pemasar harus memahami dan memanfaatkan tren ini karena hal itu secara signifikan mempengaruhi laba online.

Pelanggan webroom adalah mereka yang mengunjungi toko virtual terlebih dahulu untuk mengetahui produk dan spesifikasi produk dan layanan yang diinginkan, mendapat manfaat dari keunggulan saluran ini -- misalnya membandingkan harga dengan cepat -- tetapi  mereka membeli barang itu di toko fisik.

Webrooming disebut-sebut sebagai pola belanja yang bertanggung jawab atas hilangnya pelanggan dan penjualan di AliExpress, Amazon, dan e-commerces lainnya. Namun, banyak dari pemain bisnis e-commerce yang mampu mengejar ketinggalan dengan meminimalkan dampak webroomers pada mereka.

Cara yang paling umum untuk melawan tren ini adalah dengan mengimplementasikan program loyalitas melalui aplikasi seluler atau menawarkan kupon online, yang hanya dapat menguntungkan cabang fisik dari perusahaan yang sama.

Atau seperti yang dilakukan Amazon membeli Whole Foods, jaringan supermarket Amerika yang secara eksklusif menjual produk-produk bebas pewarna buatan, perasa buatan, pengawet, pemanis dan lemak terhidrogenasi. Amazon juga bereksperimen dengan toko Amazon Go. Singkatnya, strategi ini bermuara pada satu ide: facetime.

Namun, menurut survei CMO dari Duke University, yang disponsori oleh Deloitte LLP dan American Marketing Association, melaporkan bahwa perusahaan rata-rata hanya 12,2% dari penjualan melalui Internet, naik dari 8,9% dari penjualan pada 2013 ketika mereka hanya mewakili 8,9% dari penjualan. Amazon yang mendominasi pasar Amerika Serikat dengan 49% dari seluruh penjualan ecommerce, hanya memiliki 5% dari total belanja ritel.

Ini adalah dunia ritel yang sepenuhnya baru. Lupakan showrooming (tempat konsumen mencoba, tetapi tidak membeli) atau webrooming (tempat mereka melakukan riset online dan kemudian membeli secara offline). Para pelaku industri ritel kini berbicara tentang "blended retail." Disini ritel online dan fisik bekerja bersama secara sinergis dan keberhasilannya diukur dari keberhasilannya memberikan  pengalaman pada setiap satuan luas per meter persegi.

Pelanggan melakukan riset online (baik di rumah maupun melalui perangkat seluler di toko). Tetapi, pada kenyataannya mereka sering berpindah dari satu saluran ke saluran lainnya dan kembali lagi sebelum melakukan dan menerima pembelian. Ini menunjukkan adanya trend baru dalam pola berbelanja yang muncul belakangan, yakni memesan secara online dan mengambil di toko.

Kedua, penetrasi e-commerce bervariasi antar sektor. Survei CMO menemukan bahwa penjualan produk B2C (15,6%) dan layanan (14,2%) melebihi produk B2B (9,7%) dan layanan (11,5%). Itu tidak mengherankan, mengingat bahwa penjualan B2B seringkali lebih kompleks, melibatkan banyak pembuat keputusan, dan seringkali erat kaitannya dengan investasi.  

Demikian pula, penetrasi e-niaga bervariasi menurut geografi. Sementara pasar relatif berkembang di negara-negara Barat, Amazon, Walmart, dan lainnya berusaha masuk ke India dan pasar lain, mengadaptasi strategi penjualan dan penjualan mereka untuk menjangkau 800 juta pelanggan baru yang tidak memiliki kemudahan akses ke toko online atau internet.

Diakui atau tidak, showrooming dan webrooming adalah tren yang tengah berkembang pesat di konsumen. Statistik menunjukkan bahwa kaum muda lebih banyak ber-wbrooming. Survei Urban Land Institute menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari milenium biasanya mendapatkan informasi di Internet sebelum pergi ke toko fisik dan membeli produk atau layanan yang diinginkan, dibandingkan dengan 11% dari publik ini yang memilih untuk showrooming.

Namun segmen usia lain menyukai showrooming. Ini mengindikasikan bahwa showrooming dan webrooming mewabah di semua usia, jenis kelamin dan daya beli.  Survey yang dilakukan oleh NPD Group, menemukan bahwa generasi Y pergi makan siang atau makan malam satu hari lebih sedikit per minggu daripada rekan-rekan mereka pada tahun 2007. Ini memberikan gambaran bahwa apakah showrooming atau webrooming tergantung pada produk dan target marketnya.

Tetapi target market bukan satu-satunya pembeda showrooming dan webrooming. Kalender juga sangat berpengaruh.  Sebagai contoh, di Amerika Serikat, penjualan pada Black Friday di bulan penjualan Januari dan tanggal lainnya mengindikasikan penyebab ketidakseimbangan dalam adopsi tren ini. Laporan TC Group Solutinos menyebutkan bahwa webrooming umum terjadi pada Black Friday, dan belanja Natal. Selama Natal, showroom kehilangan dukungan dalam webrooming.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar