Jumat, 27 Desember 2019

Asam Hitam dan Coklat di Pasar Bintaro 2



Pukul 09.00 belanja di Pasar Bintaro 2 hampir selesai. Di tas bawaan sudah ada paha ayam potong, ati nggak pakai ampela, tempe, telur, ikan bawal, jeruk lemon lokal, bumbu-bumbu seperti ketumbar, cabe rawit merah yang kini lagi murah, daun sereh, jahe, lengkuas. Beli jahenya lumayan banyak – sekilo.

Biasanya beli tahu, tapi setiap Selasa dan Jum’at ada penjual tahu yang lewat depan rumah pakai motor. Alhamdulillah, terbeli karena biasanya, penjual tahu bermotor itu suka agak “balap” jalannya. Isteri saya komplain, “Abang bilang tahu-tahu kencang, tapi pas buka pintu, abang sudah nggak kelihatan karena cepet jalannya.” Hari ini dia jalan agak lambat karena di depan motor ada anaknya usia 5 tahun ikut ngebonceng keliling. “Lagi liburan sekolah. Jadi ikutan sekalian jalan-jalan,” kata penjual tahu itu.

Balik lagi ke cerita di Pasar Bintaro, pas mau keluar, dia warung sebelah kanan arah keluar saya lihat ada asam Madura.  Wah, kata orang ini yang disebut impuls. Dari rumah tak ada niatan untuk beli asam, tapi pas lihat asam, jadi pingin beli. Pedagang warung yang lokasinya pas dekat pintu itu pintar menata. Barang dagangannya ditata apik sehingga kelihatan semua. Ada emping, kacang ijo, gula merah, minyak goreng, dsb diatur sedemikian rupa sehingga seakan warna-warna menarik dipandang.

Penataan dengan penonjolan produk-produk tertentu yang pembeliannya tak sering itu yang membuat saya kagum. Pengaturan barang dagangan itu yang membuat saya berhenti di warung itu. Karena melihat asam, saya jadi berubah pikiran, ayam yang rencana semula mau saya goreng, saya berubah pikiran jadi ingin saya bacem. Demikian pula tempe. Dari mau bikin tempe tepung, jadi bacem tempe yang membutuhkan asam.

Pengalaman beli di warung itu, harganya memang agak miring. Gula aren misalnya kalau di warung lainnya harganya bisa Rp 40 ribu sebungkus isi 1 kilo lebih, di warung itu bisa didapat dengan harga Rp 30 ribu. Harganya nggak naik-nari dari empat tahun lalu. Lima tahun lalu harganya sempat Rp 28 ribu, kemudian naik jadi Rp 30 ribu. Juga ada monyak goreng kelapa yang di warung lain harganya Rp 60 ribuan per 2 liter, di warung itu Cuma Rp 52 ribu per dua liter.

Saya lihat pembeli di warung itu banyak. Mungkin karena harganya murah itu. Tapi justru itu saya jadi bertanya-tanya, kalau fenomenanya seperti itu apakah teori sliding price- di pasar tradisional yang dikemukakan Clifford Geertz masih berlaku ya?  Apakah di konsep itu kini tengah bergeser ke arus konsep ekonomi firma?

Dalam lingkungan pasar tadisional, persaingan yang terjadi bukan antara penjual dengan penjual sebagaimana dalam perekonomian firma, melainkan antara pembeli dan penjual. Menurut Geertz (1992:33) di pasar tradisional berlaku sistem harga luncur (sliding price system) untuk membedakan antara ekonomi pasar dan ekonomi firma.

Konsep firma dalam Geertz ditandai dengan tempat permanen, hari kerja yang penuh, harga yang agak lebih pasti sehingga jarang terjadi tawar menawar, penyesuaian barang dengan selera kekotaan, pegawai toko yang tetap, perencanaan berdasarkan tata buku yang sistematis dan semuanya ditujukan untuk mencapai tujuan jangka panjang, agresif mencari pelanggan, dan sebagainya.

Dengan sistem harga luncur, persaingan bukan antara pedagang dengan pedagang melainkan antara pedagang yang ingin mendapat keuntungan yang besar dengan pembeli yang ingin mendapatkan harga murah. Prosesnya adalah melalui tawar menawar harga. Pembeli mencoba menawar harga yang dipatok penjual menjadi lebih murah.

Itu yang menjadi kekhasan dari pasar tradisional yang tidak dijumpai di retail modern yang harganya sudah dipatok. Di pasar tradisional tak ada upaya pedagang pasar untuk “menarik” pengunjung pasar untuk mampir ke tokonya. Di sisi lain tak ada upaya menata barang sedemikian sehingga membuat pengunjung pasar menghampiri kios atau lapaknya.  Sekarang, yang saya jumpai di warung dekat pintu itu mirip ciri-ciri firma yang saya gambarkan itu.

Kekaguman saya belum berhenti disitu. Di warung tadi saya lihat ada dua macam asam Madura, satu berwarna coklat yang satunya lagi hitam. Jadi apa bedanya? Tanya saya,. “Yang hitam sudah lama, yang coklat masih baru. ” Saya percaya dengan jawaban itu. Dua-duanya saya pegang, dan memang beda. Yang item agak keras, yang coklat masih empuk, lunak. “Wah kalau begitu saya beli yang empuk saja,” kataku.

“Tapi Pak, kalau untuk jamu atau obat, lebih bagus yang item Pak,” kata pedagang itu tadi.
“Kok…kenapa larinya ke obat,” kataku dalam hati.

“Oh…mungkin dia lihat uban saya,” pikirku. Uban menunjukkan umur dan umur menyiratkan kebutuhan seseorang. Lagi-lagi saya kagum sama pedagang itu karena bisa membaca kebutuhan pelanggan atau konsumennya yang tidak diungkapkan atau latent needs itu.

Lalu apakah saya beli asam yang item? Tidak. Saya memang sering membuat jamu asam kunyit rebusan. Tapi kali ini saya ingin buat bacem temped an bacem ayam. Jadi yang beli asam yang berwarna coklat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar