Minggu, 16 Februari 2020

Reflektif, Kreativitas, Komunikasi dan Kolaborasi


*JAM 6 TENG*



Awal 1990-an, LEGO –pemain industry mainan - menghadapi masalah karena penjualan dan pendapatannya yang turun drastis. Mempelajari situasi tersebut, akhirnya menajamen memutuskan untuk melakukan perubahan strategis dengan mendorong perusahaan ke jalur yang lebih inovatif daripada sebelumnya.

Strategi LEGO baru bertujuan untuk fokus pada konsumen dengan menghubungkan bisnis dan kreativitas. Strategi ini dikenal sebagai LEGO’s Shared Vision. Untuk menetapkan seperangkat LEGO baru yang inovatif dan sukses di pasar, LEGO memulai dengan LEGO Ideas, sebuah inisiatif yang didasarkan pada model inovasi terbuka yang diciptakan bersama.

Di situs web online LEGO, konsumen LEGO dapat merancang set LEGO mereka sendiri dengan  menggunakan balok LEGO atau aplikasi 3D komputer. Pengguna lain pun mulai mendiskusikan ide dan memilih LEGO sebagai permainan. Setelah ide mencapai suara yang ditargetkan, LEGO memutuskan  sebagai produk baru dengan memberikan sebagian kecil dari pendapatannya kepada pencipta perangkat LEGO. "Orang-orang tidak perlu bekerja untuk kami, tetapi bekerja dengan kami" itu semboyan LEGO.

Model ini berkontribusi menempatkan konsumen di jantung proses inovasi dan membantu tim untuk menargetkan set yang dapat mencapai kesuksesan berdasarkan suara dan komentar yang ada di Ide LEGO. Platform co-create ini juga dapat berkontribusi mengurangi risiko kegagalan inovasi karena umpan balik dari situs web ini dapat memberikan gagasan analis bisnis tentang kelayakan produk baru. Sampai saat itu Lego selamat.

Tahun 2003, LEGO - produsen mainan bongkar pasang legendaris -- nyaris bangkrut lagi. Mereka didera kerugian bertubi-tubi. Penjualan anjlok dan biaya operasional melonjak besar, sementara pendapatannya hampir tidak mampu menutup biaya operasionalnya.



Banyak dari upaya inovasinya — taman hiburan, Clikits (mainan yang mentarget anak perempuan),  mainan denagn tokoh Galidor yang didukung oleh acara televisi — tidak menguntungkan atau gagal total. Lalu diundanglah Jorgen Vig Knudstorp yang saat itu bekerja sebagai konsultan di McKinsey & Company.

Ketika Knudstorp masuk sebagai CEO Lego pada tahun 2004, tugasnya langsung dobel. Menyusun strategi agar perusahaan bisa memenuhi kebutuhan konsumen, dan mengelola biaya secara efektif. "Fondasi bisnis kami terbakar, kehilangan uang karena arus kas negatif, dan risiko gagal bayar. Ini dapat menyebabkan perusahaan bubar,” kata Knudstorp seperti dikutip Business Insider.  

Seperti perusahaan lain, pesaing baru dan inovasi di pasar mainan mengancam Lego yang telah bertahun-tahun menjadi bagian standar dari permainan masa kecil. Legenda Lego memiliki sejarah yang stabil dan sukses. Sekarang menghadapi kerugian besar.

Langkah pertama yang dilakuan Knudstorpuntuk memebahi Lego adalah memangkas biaya. Ini karena dia melihat banyaknya dana yang dihabiskan untuk membiayai usaha-uasaha yang tidak menguntungkan seperti taman hiburan Legoland.

Dana yang diinvestasi untuk usaha-usaha itu menguras cadangan uang Lego dan mengalihkan perhatian untuk terus berinovasi produk. Dia juga membawa pakar perhotelan untuk mendorong agar bisnis taman hiburan itu menguntungkan.

Knudstorp juga mendapati bahwa lini produknya terlalu rumit dengan lebih dari 12.500 komponen yang berbeda-beda, ratusan warna  dan melibatkan 11.000 pemasok. Ini benar-benar menyedot anggaran yang besar dan tidak efisien.

Kedua, mencari tahu bagaimana anak-anak bermain. Untuk itu mereka melakukan penelitian dan menemukan adanya perbedaan kebiasaan anak-anak Amerika dan Eropa bermain. "Orang tua di Amerika tidak suka pengalaman bermain.

Mereka tidak ingin turun tangan dan banyak membantu anak-anak mereka. Mereka ingin anak-anak mereka dapat bermain sendiri," kata pemimpin Future Lab Anne Flemmert-Jensen kepada Fast Company.

Sementara itu, orang tua Eropa lebih banyak terlibat. "Kami melihat di antara orang tua Eropa, tidak keberatan bahkan ingin ikut duduk di lantai dan menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka," katanya.

Knudstorp lalu mencoba sesuatu yang baru dengan mengarahkan produk kreatif kepada penggemar inti merek. Dia merekrut  Mark Stafford, seorang penggemar Lego, untuk membantu memikirkan kembali produk-produknya.

Ketiga, Lego mamanfaatan pentingnya citra pendidikan. Lego mengubah strategi komunikasi pemasarannya dengan membangun citra bahwa Lego bukan sekadar mainan, tapi juga alat pendidikan. Strategi ini ternyata efektif.

Para orang tua, baik di Amerika maupun Eropa, merasa bahwa membeli mainan Lego adalah investasi bagi perkembangan anak mereka.  "Kami menganggap Lego sebagai contoh perusahaan yang menarik nilai milenium untuk pengembangan anak dan permainan kreatif," tulis analis Goldman Sach.

Knudstorp membangun tim yang terdiri dari beragam spesialis internal dan eksternal untuk berkolaborasi.  Para kolaborator memikirkan semua aspek organisasi mulai dari rantai pasokan hingga pengiriman dan kepuasan pelanggan.

Pada 2005 tim menciptakan 'ruang perang' untuk memberlakukan strategi 'visi bersama.'  Perusahaan mengurangi variasi warna menjadi setengahnya, dan unit stok dari 12.500 menjadi 6.500. Perusahaan juga berkomunikasi langsung dengan pelanggan dan distributornya.

Diskusi dengan dua puluh klien teratas mengungkapkan bahwa pengiriman 24 jam tidak penting, yang penting adalah ketepatan waktu. Masalah ini yang kemudian dibenahi. Pada tahun 2015, meskipun beberapa opsi produk berkurang, pelanggan melihat tepat waktu pengiriman meningkat secara nyata.

Karena perubahan-perubahan ini antara 2005 dan 2008, penjualan Lego meningkat 35 persen dan biaya tetap berkurang dari 75 persen menjadi 33 persen. Pada tahun 2014, Lego merilis The LEGO Movie, yang menghasilkan pendapatan sebesar $ 500 juta.

Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menenangkan target audiens yang semakin online dan berfokus pada elektronik. Pada tahun 2016, perusahaan melaporkan rekor pendapatan sebagian besar karena investasi mereka dalam produk-produk digital dan inovasi.

Di bawah kepemimpinan Knudstorp, pendapatan tahunan Grup LEGO berubah dari kerugian menjadi laba.  Omsetnya meningkat 600% dari 6,3 miliar dolar menjadi 37,9 miliar dolar pada 2016. Pada Desember 2016, Knudstorp mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO LEGO. January 2017Starbucks menominasikan Knudstorp sebagai direktur.

Pengalaman Lego menunjukkan peran penting dari refleksi kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Refleksi kritis adalah kemampuan untuk memahami dan menganalisis situasi dan kemudian merumuskan respons yang bijak terhadap masalah-masalah kompleks.

Yang melekat pada refleksi kritis adalah analisis terhadap kemampuan masing-masing individu untuk mengembangkan wawasan dan melakukan kontrol dalam konteks, situasi, atau organisasi.

Dalam kasus Lego, refleksi kritis membantu mereka untuk memahami bagaimana struktur manajemen mereka yang kompleks dan proses pengambilan keputusan yang kadang-kadang membingungkan menyebabkan kelambatan dan kemunduran organisasi. Mereka kemudian bertindak secara kreatif menyusun strategi transformasi.

Kretivitas. Sering kali ketika masalah muncul, organisasi cenderung memotong inovasi dan kreativitas daripada berinvestasi lebih banyak di dalamnya. Dalam kasus Lego, yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berinovasi mencari jalan keluar dari masalah, mengandalkan kapasitas (kreativitas dan inovasi) untuk mengidentifikasi produk dan pasar baru yang mengarah pada peningkatan pendapatan.

Komunikasi. Naluri pertama dalam kasus Lego adalah bukan untuk berbicara tetapi untuk mendengarkan. Wawancara kliennya dan mencermatisetiap pesan yang disampaikan pelanggan mereka tentang pengiriman misalnya, memberi mereka bukti bahwa perlunya merampingkan proses mereka.

Perusahaan mendengarkannya berbagi visi dan melibatkan komunitas mereka dalam diskusi. Ini mungkin tampak sederhana tetapi terdapat banyak contoh organisasi di mana komunikasi disalahpahami sebagai proses satu arah.

Kolaborasi. Alih-alih menunjuk seorang pemimpin yang menyapu dan memotong organisasi, Lego lebih mempercayai proses kolaboratif. Mereka mengembangkan tim yang memiliki keahlian luas dalam organisasi dan bekerja bersama untuk membuat perubahan. Pembentukan 'ruang perang' dan Strategi 'berbagi visi' menempatkan masalah di Lego sebagai masalah bersama dengan solusi bersama.

Ketika mengimplementasi solusi, divisi-divisi dalam Lego berkolaborasi lintas area fungsional untuk membuat sistem dan pendekatan lebih efisien. Mereka juga bekerja dengan pemasok, pengecer dan pelanggan untuk memahaminya secara lebih komprehensif. Ini memberikan isyarat bahwa transformasi butuh kolaborasi. Tanpa kolaborasi, transformasi tidak akan berjalan.

Referensi:


Anderson M, Jefferson M. 2018. Transforming Organizations: Engaging the 4Cs for powerful organizational learning and change. New York: Bloomsbury Business.
Robertson D, Hjuler P. 2019. Innovating a Turnaround at LEGO. Harvard Business Review, September

Tidak ada komentar:

Posting Komentar