Sabtu, 07 Maret 2020

Model Komunikasi untuk Membangun Kesiapan Perubahan Pedagang Pasar di Kota Bogor.



Pasar tradisional yang memiliki peran strategis tersaingi oleh kehadiran pasar modern yang semakin menjamur di kota-kota besar dan kota-kota kabupaten. Ada kekhawatiran bahwa bila dinamika ini tidak ditangani secara serius pasar tradsional kalah bersaing. Karena itulah pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kembali (revitalisasi) peran pasar tradisional. Ini ditunjukkan dengan adanya Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 tentang Pengaturan dan Pengembangan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, yang bertujuan melindungi pasar tradisional. 

Peraturan Presiden nomor 112 menyatakan bahwa pasar tradisional adalah pasar yang dibangun oleh pemerintah, swasta, koperasi atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil dan menengah atau koperasi dengan usaha skala kecil dan modal kecil dengan proses jual beli melalui tawar menawar. 

Pada tahun 2016, di seluruh Indonesia terdapat 13.450 pasar tradisional yang menampung 12.6 juta pedagang. Dalam Visi, Misi dan Program Aksi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, disebutkan kebijakan renovasi dan revitalisasi terhadap 5000 pasar tradisional yang berumur lebih dari 25 tahun. Pada kenyataannya, sebagian besar pasar yang dibangun melalui program revitalisasi belum sepenuhnya berfungsi optimal. 

Melihat realitas tersebut, dalam beberapa kasus revitalisasi, pedagang memprotes revitalisasi pasar. Hal tersebut juga terjadi ketika rencana revitalisasi beberapa pasar di kota Bogor. Kecenderungan sosiologis pedagang pasar tradisional adalah menempatkan kecurigaan berlebihan (over curiousity) terhadap segala bentuk pembangunan. 

Mereka sering menyalahartikan dengan menganggap pembangunan dan penataan identik dengan penggusuran akibat ketidakmampuan membayar kios pasca penataan. Prasangka yang berkembang, setiap ada pembangunan berarti sewa atau pembelian kios menjadi barang mahal. Itu dipandang merugikan pedagang yang telah menempati kios sebelumnya.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang pendekatan komunikasi yang dilakukan. Penelitian ini berawal dari dugaan bahwa komunikasi yang dilakukan selama rencana revitalisasi cenderung satu arah. Padahal dalam kegiatan perubahan dibutuhkan keterlibatan semua stakeholders. Penelitian bertujuan untuk (1) menganalisis proses komunikasi yang berlangsung selama perubahan di pasar Kota Bogor, (2) menganalisis pengaruhpengaruh dari faktor karakteristik pedagang, komunikasi, dan dukungan lingkungan terhadap kesiapan pedagang untuk berubah dan hal-hal yang dapat menimbulkan kecenderungan untuk menolak perubahan, (3) merumuskan model yang tepat untuk meningkatkan kesiapan perubahan pada perusahaan pasar dan pedagang pasar di Kota Bogor. 

Penelitian lapang berlangsung Februari – September 2016 dengan responden sebanyak 559 pedagang pasar yang tersebar di empat pasar, yakni Pasar Bogor, Pasar Gunung Batu, Pasar Blok B Kebon Kembang dan Pasar Blok F Kebon Kembang Bogor. Penentuan pasar dilakukan dengan kriteria pasar yang direncanakan direvitalisasi (Pasar Bogor dan Pasar Blok F Kebon Kembang) dan sudah direvitalisasi (Pasar Gunung Batu dan Pasar Blok B). 

Penentuan responden dilakukan secara acak berjenjang (stratified random sampling). Pengolahan data menggunakan analisis kuantitatif yang dilengkapi dengan data kualitatif. Penjelasan karakteristik pedagang dianalisis secara deskriptif. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah, sedangkan analisis Structural Equation Modelling (SEM) digunakan untuk menganalisis faktor dominan yang memengaruhi kesiapan pedagang untuk berubah. 

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa penyebarluasan informasi mengenai rencana revitalisasi pasar dilakukan melalui selebaran, spanduk, papan pengumuman di pasar dan dialog. Penggunaan media selebaran, papan pengumuman dan spanduk menunjukkan bahwa komunikasi dilakukan dengan model satu arah. Dialog dilakukan tiga kali dalam satu tahun namun tidak berlangsung secara memuaskan sehingga berakibat masih lemahnya kesiapan pedagang menghadapi revitalisasi pasar. 

Hasil analisis lainnya menunjukkan bahwa lemahnya kesiapan pedagang tersebut dapat dilihat dari optimisme pedagang pasar. Dalam hal ini, pedagang tidak yakin bahwa revitalisasi pasar perlu dilakukan, pengunjung pasar bertambah, memberi peluang yang lebih baik, dan pedagang memiliki persepsi bahwa pengelola pasar lebih mengutamakan kepentingan sendiri. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran seluruh unsur komunikasi mulai dari karakteristik pedagang, sumber pesan, pesan, dan komunikasi partisipatif memberikan dampak positif terhadap kesiapan pedagang terkait dengan revitalisasi pada kondisi kapasitas kewirausahaan pedagang rendah. Karenanya, untuk membangun kesiapan pedagang, hal utama yang perlu dilakukan adalah membangun kapasitas kewirausahaan pedagang. 

Kekurangberhasilan membangun kapasitas kewirausahaan berdampak pada ketidaksiapan pedagang untuk berubah. Model komunikasi yang dinilai tepat adalah melibatkan pengelola pasar sebagai sumber pesan yang kredibel, dengan muatan pesan tentang manfaat dan risiko revitalisasi ternyata efektif bila melalui pengembangan motivasi pedagang untuk berubah, dan media yang memungkinkan terjadinya tanggapan langsung dari pelaku komunikasi. 

Atas dasar itu disusun strategi yang terdiri atas strategi perubahan dan strategi komunikasi. Strategi perubahan dibuat dengan menekankan pentingnya penguatan kapasitas pengelola pasar terutama dalam hal berkomunikasi. Hal kedua adalah penguatan kapasitas kewirausahaan pedagang. Strategi komunikasi menekankan pada pengembangan pesan-pesan perubahan, terutama dalam hal penekanan pada pesan pentingnya revitalisasi, motivasi dan risiko.

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88643

Tidak ada komentar:

Posting Komentar