Rabu, 23 September 2020

Mengapa Orang Masih Enggan Mencuci Tangan?

 


Tahun 1999 - dalam buku best sellernya, Why Men Don't Listen & Women Can't Read Maps  -- Barbara dan Allan Pease menulis, pria dan wanita berbeda. Tapi bukan berarti pria lebih baik dari wanita atau sebaliknya. Seperti bilangan data nominal, mereka berbeda saja, tidak lebih baik atau lebih buruk.

Satu-satunya kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa mereka termasuk spesies yang sama. Mereka hidup di dunia yang berbeda, dengan nilai yang berbeda dan mengikuti seperangkat aturan yang sangat berbeda.

Semua orang tahu ini, meski sangat sedikit orang, terutama pria, yang mau mengakuinya. Namun, kebenarannya ada. Lihatlah buktinya. Di negara-negara Barat, sekitar 50% pernikahan berakhir dengan perceraian. Sementara hubungan paling serius berhenti menjadi jangka panjang.

Pria dan wanita dari setiap budaya, keyakinan dan warna kulit terus-menerus berdebat tentang pendapat, perilaku, sikap, dan kepercayaan pasangan mereka. Tidak percaya? Coba kalau ada lelaki yang ditanya pasangan lawan jenis, “apakah menurutmu saya cantik?” Dijamin kaum lelaki bingung menjawabnya.

Produsen produk higienis kamar kecil dari Eropa – masih menurut buku itu -- melakukan survei terhadap 100.000 (bukan salah ketik) pria dan wanita. Dalam survey itu ditanyakan tentang apakah mereka mencuci tangan setelah menggunakan kamar mandi.

Studi ini menemukan bahwa 60 persen wanita dan 38 persen pria mencuci tangan setelah menggunakan kamar kecil. Untuk sesi ini, secara keseluruhan wanita jauh lebih baik. Sebuah survei yang dilakukan Tim dari Michigan State University 2013 juga mengungkapkan temuan serupa: Persentase perempuan yang mencuci tangan lebih tinggi.

Selesai? Belum karena masih ada ruang untuk melihat kegiatan mencuci tangan di toilet tersebut dan ini bisa jadi merupakan berita bagus bagi germophobes. Beberapa waktu kemudian, American Society for Microbiology melakukan penelitian di empat kota besar di enam tempat wisata. Masih tentang kegiatan mencuci tangan di toilet.

Hasil penelitian itu memberikan gambaran yang menarik. Rupanya, kegiatan mencuci tangan di toilet itu bukan karena mereka memang merasa harus mencuci tangan. Mereka terdorong untuk mencuci tangan karena kehadiran orang di toilet itu.

Dengan kata kalau tidak ada orang lain di dalam toilet umum itu, mereka jarang mencuci tangan. Penelitian yang dilakukan dengan pengamatan rahasia itu mendapati, 90 persen wanita dan 75 persen pria mencuci tangan ketika orang lain berada di dekat mereka di toilet umum.

Pada tahun 2009, sebuah Tim dari Macquarie University, Australia, meneliti kegiatan mencuci tangan di toilet pada beberapa siswa. Setelah menanyakan mereka tentang kebiasaan mencuci tangan saat ini dan kepekaan terhadap rasa jijik, mereka diminta untuk menonton salah satu dari tiga video: video pendidikan biasa (maksudnya tidak ada visual yang menjijikan),  satu dengan visual yang menjijikkan dan kontrol - klip dari dokumentasi lain tentang alam yang tidak relevan.

Sekitar seminggu kemudian, para siswa diundang kembali, dan duduk di meja. Di dekat mereka diletakkan tisu antibakteri dan gel tangan alkohol. Sementara di depannya, digelar beberapa benda yang sangat tidak higienis -- mulai dari pemukul lalat kotor hingga sikat toilet bekas. Usai memegang setiap benda, mereka diminta untuk makan kerupuk dari piring. Apakah mereka menggunakan disinfektan  untuk mencuci tangan mereka sebelum menyentuh makanan?

Seperti yang diperkirakan, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang telah menonton video dan merasa jijik jauh lebih mungkin untuk membersihkan tangan mereka daripada orang-orang dari kelompok lain yang tidak menonton video tentang kejijikan. Mereka yang menggunakan disinfektan sebelum makan, jumlahnya lebih banyak dari yang tidak menggunakan.

Masih belum puas, tim yang sama melakukan studi lanjutan. Mereka mengadakan penelitian lain.  Dengan diam-diam memantau pencucian tangan orang-orang di beberapa kamar mandi. Mereka menemukan bahwa orang-orang secara signifikan lebih termotivasi untuk melakukannya ketika mereka diingatkan oleh poster-poster yang menggambarkan feses di atas roti gulungnya. Tujuan poster itu - untuk menunjukkan bagaimana kuman menyebar jika Anda tidak mencuci tangan - sebagai kebalikannya. untuk yang murni mendidik.

Apa implikasi dari hasil penelitin-penelitian ini? Dalam komunikasi, untuk membujuk orang mengubah perilakunya, mereka harus diubah dulu persepsi dan sikapnya. Dalam konteks mencuci tangan, yang diubah adalah pandangannya terhadap pentingnya mencuci tangan.

Bagaimana caranya? Ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama adalah menakut-nakuti mereka bila tidak mencuci tangan. Yang kedua, adalah menggunakan pihak ketiga untuk membujuknya. Dua pemikiran itu lalu digunakan oleh beberapa lembaga untuk kampanye pencegahan penyebaran virus dengan menempel poster-poster di beberapa sudut, terutama di toilet.

      



Kamis, 17 September 2020

SLIDING PRICE SYSTEM

 


Pak Tantra, 59 Tahun, sudah sekitar 20 tahun berdagang sayuran dan bumbu di kios lantai dasar Pasar Bogor. Dua hari sekali atau tiga sampai empat kali seminggu Pak Tantra berbelanja (kulakan) barang dagangannya.

Biasanya Pak Trantra kulakan sayuran, cabe, bawang, tomat, kentang dan sebagainya di Pasar Induk Kemang Bogor. Volume belanjaannya yang besar membuat Pak Tantra menggunakan mobil pick-up bila kulakan.

Selain itu, Pak Tantra juga membeli barang untuk dijual lagi pada pedagang grosir yang biasa datang atau jualan di Pasar Bogor. Barang yang dibeli dari pedagang grosir ini biasanya cuma satu macam karena untuk memenuhi permintaan dari pembeli yang kebetulan saat itu Pak Tantra kehabisan barang. Misalnya bila ada pembeli yang membutuhkan sayur bayam, 

Pak Tantra membeli sayur bayam tadi ke pedagang grosir sebanyak 20-30 kg. Para pedagang grosir ini iasanya menggunakan mobil pick-up juga. “Jadi biasanya dia juga jualan disini dan pedagang lain beli dari dia. Jadi dianggap sebagai grosir nya gitu,” kata Pak Tantra.

Untuk kulakan tadi, rata-rata dalam seminggu Pak Tantra menghabiskan dana antara Rp 7,5-Rp 10 juta. Jumlahnya tergantung pada stok dan harga. Menurut Pak Tantra, karena harga sayuran itu tidak menentu, jumlah uang yang dibelanjakan juga beragam. 

Misalnya, lima hari lalu Pak Tantra bisa menjual tomat dengan harga Rp 5.000/Kg, sekarang (saat wawancara dilakukan, 5 November 2016) harga beli dari pedagang di Pasar Induk Rp 12.000/Kg. Jadi uang yang dibelanjakan juga berbeda dari minggu sebelumnya.

Demikian pula, bila pada tiga hari sebelumnya harga cabe dar ipedagang grosir Rp 28.000/kg, tiga hari berikutnya menjadi Rp 55.000/kg. Jadi modal kerja bervariasi antara Rp 7,5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung harga barang. “Karena biasanya nyetok seperti bawang untuk 2 hari. 

Namun ya itu biasanya emang sengaja beli barang yang biar 2 hari habis, karena kan liat ketahanan barang juga ya, biasanya emang mau nya yang habis dalam jangka pendek, biar gausah mikir apa-apa lagi. Dan kalau harga nya lagi mahal gini, walaupun jualnya kuantatifnya lebih sedikit, tapi omsetnya lebih besar karena harganya lebih mahal.”

Jadi apa yang ingin dicapai Pak Tantra? “Jangan sampai pelanggan saya kecewa karena barang yang mereka butuhkan tidak tersedia. Mereka datang ke tempat saya dari rumahnya dengan harapan barang yang mereka butuhkan ada di tempat saya. Alangkah kecewanya bila mereka mendapati barang yang mereka butuhkan itu tidak ada. Mereka kecewa dan berusaha lagi yang mungkin tidak bisa didapatkan saat mereka berjalan dua atau lima meter dari tempat saya.”

“Kalau mereka kecewa saya berdosa. Karenanya saya berusaha mencarikan baran yang dibutuhkannya, meski keuntungan yang saya dapatkan tipis atau tidak ada sekali karna saya mendapatkannya dari orang lain yang juga ingin mengambil untung. Biarlah keuntungan didapat dari pembeli lainnya. Toh, rezeki sudah digariskan oleh yang diatas.”

Dalam lingungan pasar tadisional, persaingan yang terjadi bukan antara penjual dengan penjual sebagaimana dalam perekonomian firma, melainkan antara pembeli dan penjual. Menurut Geertz (1992:33) di pasar tradisional berlaku sistem harga luncur (sliding price system) untuk membedakan antara ekonomi pasar dan ekonomi firma.

Konsep firma dalam Geertz ditandai dengan tempat permanen, hari kerja yang penuh, harga yang agak lebih pasti sehingga jarang terjadi tawar menawar, penyesuaian barang dengan selera kekotaan, pegawai toko yang tetap, perencanaan berdasarkan tata buku yang sistematis dan semuanya ditujukan untuk mencapai tujuan jangka panjang, agresif mencari pelanggan, dan sebagainya.

Dengan sistem harga luncur, persaingan bukan antara pedagang dengan pedagang melainkan antara pedagang yang ingin mendapat keuntungan yang besar dengan pembeli yang ingin mendapatkan harga murah. Tak ada upaya pedagang pasar untuk “menarik” pengunjung pasar untuk mampir ke tokonya. Di sisi lain tak ada upaya menata barang sedemikian sehingga membuat pengunjung pasar menghampiri kios atau lapaknya.

Dalam berbisnis ada dua prinsip yang dipegang pedagang. Pertama, pedagang berkeyakinan bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, berserah saja sama yang di atas. Kedua, pedagang tidak terlalu memikirkan soal bersaing dengan sesame pedagang. Yang berjualan sayur misalnya, jumlahnya banyak. Tetapi, dalam pandangan pedagang, semua pedagang di pasar tersebut adalah kawan dan teman dekat.

Yang pedagang pasar lakukan untuk menarik pengunjung hanya menyebut barang yang dia jual. Atau sekadar menanyakan kebutuhan mereka. Pedagang tidak terlalu berfokus dalam menarik pelanggan. Ketika ada pelanggan yang datang menghampiri lapak atau kiosnya, pedagang bersikap ramah dalam memperlakukan pelanggannya. Apabila pembeli datang mencari sayuran misalnya, pedagang langsung melayani.

Agar pembeli senang, pedagang sesekali menurunkan harga sedikit dan memberi bonus sayuran yg dibeli. Dalam aanggapan pedagang, tak ada persaingan harga. Yang ada adalah persaingan dalam melakukan layanan. “Sebenarnnya harga itu rata – rata di pasar ini sama aja, mungkin tergantung dari pembeli melihat dari kebersihan atau keramahan si penjualnya,” kata Andi, 21 tahun, pedagang sayuran di Pasar Kranggan Mas Kota, Bekasi.

Sistem ini tidak memungkinkan salah satu pihak mendapat keuntungan yang luar biasa sehingga terjadi eksploitasi keuntungan yang terlalu besar, karena perdagangan dalam pasar tradisonal tidak memungkinkan terjadinya monopoli.

Di pasar tradisional, tempatnya pedagang saling berdekatan dan menjual produk yang sama. Namun demikian antara satu sama lain terdapat tenggang rasa untuk tidak saling berebut pelanggan. Ada kebijaksanaan dan perasaan malu bila di antara mereka terjadi persaingan berebut konsumen atau pembeli. Mereka tidak ingin merebut pelanggan dari pedagang lainnya.

Tidak adanya persaingan diantara sesama penjual ini juga nampak bahwa sebelum sampai ke pasar barang tersebut bisa jadi sudah berputar di tangan beberapa bakul. Bahkan jika ada pembeli menanyakan barang yang sebenarnya tidak dia miliki, dapat saja dia “meminjam” barang dagangan pada sesama pedagang.

Proses “barter” ini tidak diawali dengan pertanyaan soal harga. Tak ada tawar menawar diantara sesama pedagang. Bila laku baru diberi sejumlah harga tertentu dengan menambahkan dengan sedikit keuntungan yang diperolehnya. Pernah ribut? Tidak, kata Andi. Karena biasanya, harga jual pedagang ke pedagang lain lebih rendah dari pedagang ke pembeli. “Harganya memang berbeda dengan pembeli. Biasanya yang ditawarkan lebih murah.”

Selain itu, ada mekanisme lain yang secara tak nampak mengatur bagaimana pedagang pasar bersang,  yakni rendahnya entry barrier dalam pasar tradisional. Sebab bagaimana pun, sebagai lembaga ekonomi kerakyatan, tak ada yang bisa membatasi keluar masuknya pedagang untuk melakukan aktivitas bisnisnya di pasar.

Kemudahan masuk ke dalam bidang perdagangan ini sekaligus dapat menjamin yang bersangkutan, bahwa tidak ada yang mengambil keuntungan yang luar biasa (Dewey, 1992:96) karena dalam pasar tidak bisa diciptakan monopoli atas jenis barang tertentu.

Seperti yang dikatakan Geertz (1992) kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar tradisional diwarnai oleh nuansa kultural yang menekankan pentingnya tatap muka dalam kaitan dengan hubungan personal antara penjual dan pembeli. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pelanggan yang loyal pada pedagang tertentu. Deden, pedagang di Pasar Blok B Bogor misalnya memiliki pelanggan tetap dari luar kota yang membeli produk dalam jumlah besar hampir setiap bulan.

Adanya pelanggan di satu sisi merupakan sesuatu yang positif karena mereka memiliki pembeli tetap sehingga merupakan satu bagian dari jaminan kelangsungan usaha, tapi di sisi lain hal ini berdampak negatif karena pedagang enggan untuk menambah jumlah pembelinya. Deden, misalnya, enggan untuk membujuk pengunjung yang lewat di depan kiosnya untuk mampir atau melihat-melihat barang dagangannya. “Saya sih paling ya di sini aja nawarin ke pelanggan yang lewat,” katanya.

Pasar sebagai komunikasi antar budaya bisa diartikan sebagai tempat terjadinya interaksi orang dari beragam etnis. Mereka berkumpul, bertatap muka secara langsung, dan berinterkasi antar orang-orang yang berbeda latar belakang etnis dan budaya. Seperti pasar di Bogor, pedagang bukan hanya dari etnis Sunda, ada juga Jawa, Batak, Minang, Tionghoa dan sebagainya.

Keakraban mereka terjaga sehingga diantara mereka tidak terjadi persaingan yang tidak wajar. Di pasar tradisional terdapat aturan tidak tertulis yang menabukan pedagang satu menjelek-jelekan pedagang lainnya. Ada keyakinan bahwa rejeki pedagang sudah ada jatahnya sehingga mereka tidak merebut pelanggan kios lainnya. “….. misalnya meskipun toko lain lebih ramai yang penting percaya rejeki sudah ada yang mengatur, alhamdulillah tidak pernah ada yang berantem,” kata De.

“Bersaing, bersaing sehat tergantung hubungan kita dengan orang daerah, tidak ada oh.. disitu barangnya bagus, gak boleh orang berdagang berkata seperti itu. Saya berani jual 120.000/kodi sana murah pak barang kali disitu kamu bisa beli coba, jadi kita gak boleh menjelek - jelekan yang namanya dagang,senang silahkan gak senang diam, jangan di banding - bandingkan begitu,” kata Bus, 42 tahun, pedagang sepatu di kios Blok B.

 

Minggu, 06 September 2020

CASSANDRA


Saya tidak suka orang yang iya-iya saja. Saya malah tidak merasa safe. Saya membutuhkan rekan kerja yang tak takut mengkritik. – Adriani Noeh Abubakar (Founder & CEO of content company: KVB | Kennedy, Voice & Berliner – sebuah public relation agency)

Itu saya kutip dari buku Lead to the Top (SWA Media Bisnis, 2020), sebuah buku yang menceritakan tentang kisah perjalanan perempuan-perempuan hebat di Indonesia. Mereka hebat karena telah menjadi perempuan pemimpin yang impactful, minimal bagi perusahaan, karyawan dan stafnya.

"Saya ingin tim saya menjadi orang-orang berinisiatif dan inovatif, bukan tim yang terus dibimbing yang akan membuat organisasi lemah, karena semangat kerja tim merupakan jembatan jurang target keberhasilan," kata Jane Fransisca, Chief Financial Office (CFO) PT Great Giant Pineapple.  

Filosofi mereka tentang kerja, memimpin dan gender sangat keren. “Kunci keberhasilan bukanlah diukur dari banyaknya klien dan penghasilan, tetapi lebih kepada dampak apa yang dihasilkan dari pekerjaan kita untuk mereka,” kata Shirley D. Santoso, CEO Kerney Indonesia.

Ada 14 orang yang ditulis di buku itu. Ada Meryati Bandjarnahor (Chief Financial Officer PT Asuransi Adira), Siti Choiriana (Direktur Consumer Service PT Telkom Indonesia dan petempuan hebat lainnya. Mereka mempunyai latar belakang dan liku-liku perjuangan untuk menjadi sukses yang yang berbeda-beda. 

Namun diantara keberagaman itu terdapat kesamaan. Mereka antara lain mempunyai tipikal yang relatif sama; stay hungry, stay foolish. Mereka tak pernah berhenti merasa lapar untuk menyerap pengetahuan baru, dan berupaya untuk tidak merasa kenyang dengan pencapaian yang ada. Karenanya mereka merasa harus terus belajar.

Banyak cara yang mereka lakukan untuk mendapat pengetahuan baru itu. Elin Waty, Presiden Direktu PT Sun Life Financial Indonesia yang memimpin lebh dari 500 karyawan dan hampir 8.000 tenaga pemasar, misalnya, mengajak sejumlah karyawannya untuk sarapan pagi. Dalam acara itu mereka bebas bertanya tentang apa saja tanpa ada sekat-sekat yang membuat mereka “takut”

Dulu ada seorang perempuan bernama Cassandra. Menurut mitologi Yunani, dia dikaruniai kecantikan yang membuat kaum pria terpesona dan piwai dalam ramal-meramal. Ramalannya selalu tepat. Sayangnya orang-orang tak percaya dengan omongannya.

Orang-orang meremehkan omongan Cassandra. Bukan karena dia suka berbohong, kurang cerdas atau karena ramalannya tidak tepat, melainkan karena kutukan. Konon Cassandra adalah putri Raja Priam dan Ratu Hecuba dari Troya. Kakaknya adalah Hector, pahlawan perang Yunani-Troya.

Suatu hari dewa perang, Apollo, terpikat kepada Cassandra. Untuk memikat Cassandra, dia  memberikan sebuah hadiah berupa kemampuan meramal masa depan. Cassandra menerima pemberian itu, dan ramalannya selalu terjadi. Namun, setiap kali ramalannya terbukti, Cassandra mengingkari kalau kemampuan itu adalah pemberian tulus Apollo. Cassandra melihat pemberian itu sebagai bujukan atau rayuan.

Apollo kecewa. Namun pemberian itu tak dapat ditarik kembali. Cassandra dihukum karena kemampuan meramalnya. Cassandra tetap memiliki kemampuan meramal masa yang akan datang, namun orang-orang tidak mempercayainya. Dia dihukum dengan ketidakmampuannya meyakinkan setiap orang terhadap prediksi dan ramalannya. Akibatnya, orang tidak mempedulikan omongannya dan menganggapnya sebagai bualan belaka.

Cassandra yang meramalkan dan mengingatkan bahwa pemberian kuda kayu raksasa yang telah ditinggalkan oleh orang-orang Yunani di luar tembok Troy akan menjadi bencana bagi warga Troya. Namun, orang tak mempercayainya. Mereka menarik kuda kayu itu masuk kota. Pada malam hari, saat warga Troya yang selama itu tak terkalahkan tiba-tiba diserang prajurit keluar dari kuda kayu itu. Hanya dalam semalam mereka mengalahkan Troya yang selama 10 takut mampu bertahan dari gempuran pasukan luar.

Sekarang, tidak ada seorang pun di dunia saat ini yang diberkahi dengan pandangan ke depan yang sempurna. Namun, banyak peristiwa dan bencana yang terjadi sepanjang waktu. Mereka memiliki Cassandra yang mengingatkan kemungkinan bencana sehingga mereka dapat mengambil tindakan untuk menghibdari atau mengurangi risiko bencana.

Dalam kajian psikologi, mitologi Cassandra disebut sebagai Cassandra Complex. Di lingkungan kita, Cassandra Complex bisa muncul karena budaya diam sebagai konsekuensinya dari rasa keamanan psikologis yang rendah. Ketika orang merasa tidak aman, sampai pada titik tertentu akan diam, takut bersuara, berinisiatif dan sebagainya. 

Penyebabnya bisa bermacam-macam, bisa karena takut disalahkan, dan sebagainya termasuk iklimnya memang tidak konsusif bagi orang-orang untuk bersuara berbeda.  

Tingkat keamanan psikologis yang rendah, kata  Amy C. Edmondson dari Harvard Business School dalam bukunya The fearless organization - Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth (

 dapat menciptakan budaya diam. Mereka juga dapat menciptakan budaya Cassandra - lingkungan di mana berbicara diremehkan dan peringatan tidak diindahkan. Terutama ketika berbicara membutuhkan perhatian pada hasil yang tidak menyenangkan, seperti kasus Cassandra dalam prediksi perangnya, mudah bagi orang lain untuk tidak mendengarkan atau percaya. 

Oleh karena itu, budaya diam bukan hanya budaya yang menghambat berbicara tetapi budaya di mana orang gagal mendengarkan dengan penuh pertimbangan kepada mereka yang berbicara - terutama ketika mereka membawa berita yang tidak menyenangkan.

Cassandra adalah seorang wanita Trojan yang diberi karunia penglihatan ke depan oleh para dewa. Dewa-dewa Yunani, menjadi iblis yang licik (bagaimanapun juga, "ironi," adalah kata Yunani), ditambah dengan pemberian ramalan mereka kepada Cassandra dengan kelemahan bahwa meskipun dia dapat meramalkan masa depan dengan benar, dia tidak akan dipercaya.

Cassandra meramalkan bahwa pemberian kuda kayu raksasa yang telah ditinggalkan oleh orang-orang Yunani di luar tembok Troy akan menjadi bencana bagi Trojan. Bisa ditebak (tidak ada permainan kata-kata), mereka tidak mempercayainya. Mereka menyeret kudanya ke kota, dan prajurit Yunani muncul dari sana pada malam hari untuk menjarah kota setelah sepuluh tahun perlawanan pendukung Trojan yang kuat.

Sekarang, tidak ada seorang pun di dunia saat ini yang diberkahi dengan pandangan ke depan yang sempurna. Namun, banyak bencana yang dapat dicegah terjadi sepanjang waktu, dan masing-masing memiliki Cassandras, mengingatkan mereka yang mungkin telah mencegah mereka dari tindakan yang mungkin telah mereka lakukan yang akan menyelamatkan hari itu.