Sabtu, 16 Januari 2021

TUKANG

 

  Ilustrasi: https://www.percetakanmurahsenyum.com/2020/09/lebih-dekat-dengan-alat-pembuat-stempel.html  

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tukang merujuk pada orang yang mempunyai kepandaian dalam suatu pekerjaan tangan (dengan alat atau bahan yang tertentu): -- batu, -- besi, -- kayu; Orang yang pekerjaannya membuat (menjual, memperbaiki, dan sebagainya) sesuatu yang tentu.

Yang membedakan dengan yang lain adalah kekhasannya; indiviualistis, kemandirian, dan inedependen. Toh seperti kata lain pada umumnya, makna dan penggunaan kata tukang bergeser.   

Dulu, pekerjaan bapak saya adalah tukang, tukang stempel. Bukan orang yang pekerjaannya mencap surat resmi, surat berharga atau dokumen lainnya, melainkan membuat stempel. Bahannya dari karet alami. Saya sering diajak bapak membeli karet (bentuk lembaran) dari pabriknya yang ada di Malang. Sementara gagang kayunya dibeli dari pengrajin dari Blitar. Saya lupa persinya. Yang saya ingat daerah di dekat makam Bung Karno.

Alamat persisnya saya lupa.  Yang saya tahu, dari awal ya belinya disitu tak pernah berpindah. “Karetnya bagus. Jarang ledeh dan stempelnya tahan lama,” kata bapak saya. Pernah dicoba membeli karet dari tempat lainnya, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Stempel cepat leleh dan pada titik tertentu, saat produksi stempel juga sering _ledeh_.

Saya tidak tahu bagaimana sebutan tukang stempel ke bapak saya itu muncul. Tahunya, julukan itu sangat popular melekat di Bapak. Jika ada orang luar Gresik yang menanyakan dimana rumah Basjir (itu nama bapak saya), orang akan bertanya, Basjir siapa? Tukang stempel? Orang akan menunjukkan alamat rumahnya.

Dalam buku _Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia_, antropolog Amerika – Clifford Geertz, menyebut tukang untuk pengrajin tangan. Istilah “tukang” digunakan untuk menyebut setiap orang yang mempunyai ketrampilan kerja tertentu, apapun itu. Jadi istilah itu bisa merujuk pada tukang jahit, tukang potong (bisa potong rambut, tukang daging, atau yng sejenisnya), tukang masak, dan sebagainya.

Kekhasan tukang adalah mereka bekerja secara independen dan swasembada. Tukang kayu dan tukang jahit merupakan contoh yang menunjukkan cara kerja tukang yang individualistis itu Tukang stempel seperti bapak saya menggunakan rumah sebagai bengkel kerjanya.       

Pekerjaan membuat stempel secara manual membutuhkan ketrampilan. Pebuatannya dimulai dari membuat cetakan berupa susunan huruf dan kata sesuai dengan yang diinginkan pemesan. Huruf-huruf (font dan tipenya beragam) berupa batangan kecil dan ukurannya mulai dari batang korek api hingga seukuran jari kelingking sesuai dengan font dan tipenya. Batangan itu terbuat dari timah hitam.

Batangan-batangan disusun dan diikat dengan karet bekas ban dalam roda sepeda yang dipotong kecil-kecil yang kemudian atasnya disemen dengan gips sehingga kuat dan tidak berantakan. Susunan huruf itu kemudian dicetakkan pada hamparan gips (kapur) yang dipadatkan berukuran 15x30 sentimeter. Jadi bila ukuran stempel sekitar 7x 5 sentimeter, dalam hamparan cetakan itu bisa dibuat 5-6 stempel. Pemadatan dilakukan dengan pemasanan.

Setelah padat, di atas gips tadi dihamparkan karet sesuai ukuran cetakan gips. Karet harus menutupi semua permukaan gips namun tidak boleh dalam satu potongan, ada beberapa yang harus dipotong terutama pada permukaan yang ada cetakan bakal stempel itu. Setelah penuh baru dipres dengan alat dan dipanaskan dengan menempatkan kompor di bawahnya. Disitulah saya paham kenapa bapak saya disebut tukang.     

Semua tugas itu dengan mudah dikerjakan sendiri. Kadang-kadang memang ada bantuan. Kalau bapak saya yang membantu adalah anak-anaknya yang biasanya diangggap magang. Siapa tahu bisa meneruskan usahanya. Namun, kini tak ada yang melanjutkan usaha kerajinan stempel itu.

Situasinya memang berubah. Anak-anaknya tetap menjadi tukang, tapi bukan tukang stempel. Begitu pula dengan istilah tukang. Istilah tukang dapat dipergunakan untuk menyebut ketrampilan yang hampir tak terbatas.

Ironisnya, orang Jawa – seperti kata Geertz – menyebut politikus yang korup sebagai “tukang kursi” (kursi parlemen); Tukang omong kosong untuk pembicara yang suka ngomong bertele-tele; atau tukang main perempuan untuk seorang Don Juan.    

Pergeseran tidak berhenti sampai disitu. Bila tukang selama itu disebut independen, swasembada dan individualistis, sekarang berubah menjadi betergantungan, dan kolektif. Bahkan -- ketika sering wawancara dengan Ridwan Saidi -- tokoh Betawi sering itu menyebut kata "ditukangi" untuk orang yang dimanfaatkan oleh orang lain untuk kepentingan tertentu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar