Kamis, 23 September 2021

False Equivalence

 


Tahun 2016, Nieman merilis laporan terkait dengan isu kesetaraan palsu. Ini terutama berkaitan dengan cara melaporkan Trump yang memerankan dirinya sebagai aktor politik. Namun demikian, Trump tidaklah sendirian.

Dalam konteks politik, liputan media Inggris dan Italia terkait isu Uni Eropa juga mengindikasikan kuatnya fenomena kesetaraan palsu, baik ketika aktor politik utama dikutip maupun ketika para jurnalis itu sendiri membangun kesetaraan palsu dalam copy berita mereka tentang Uni Eropa.

Kesetaraan palsu adalah kekeliruan logis di mana kesetaraan ditarik antara dua subjek berdasarkan alasan yang salah atau caat. Kekeliruan ini dikategorikan sebagai kekeliruan inkonsistensi. Dalam bahasa sehari-hari, kesetaraan palsu sering disebut sebagai "membandingkan apel dan jeruk."

Contoh sederhana dari kesetaraan palsu adalah mengatakan bahwa pisau dan dinamit adalah alat yang dapat digunakan sebagai senjata. Keduanya hampir sama. Karena itu jika kita mengizinkan orang untuk membeli pisau di toko, itu berarti kita mengizinkan orang untuk membeli dinamit.

Ketika suatu isu menjadi berita yang menghebohkan, jurnalis sering dihadapkan pada tantangan untuk mengambil keputusan dengan cepat sehingga mereka tidak mempunyai banyak waktu untuk memeriksa faktanya.  Para propagandis -- orang yang ingin menggunakan media untuk menyebarkan tujuan atau keyakinan tertentu -- sering memanfaatkan kekacauan itu untuk menyebarkan rumor dan teori konspirasi.

Mereka sering membuat akun media sosial palsu, lalu menggunakan akun palsu lainnya untuk berkomentar, mendukung atau menyukai suatu postingan. Bahkan jurnalis terlatih pun dapat terjerumus pada postingan palsu saat membagikan secara luas informasi dari suatu akun yang kelihatannya benar di palform social media seperti Twitter atau Facebook.

Kesetaraan palsu juga terjadi ketika media, misalnya, mengundang dua "pihak" yang berlawanan pada suatu masalah untuk berdebat. Tetapi satu pihak tidak menyampaikan argumentasi yang didukung bukti kuat, misalnya dia hanya mengatakan itu salah atau pokoknya salah tanpa menunjukkan argumentasi kenapa itu salah. Kedua pihak memang diberi waktu dan bobot yang sama untuk menciptakan kesan yang salah tentang kesetaraan. Argumen-argumen palsu seperti ini sering menyebar di media sosial sebelum dapat dibantah.

Seperti yang dikatakan oleh Nicco Mele, direktur Shorenstein Center on Media, Politics and Public Policy di Harvard (Lewis 2016), tekanan untuk "keberimbangan" dalam berita memungkiri fakta penting, yakni kesetaraan palsu itu sendiri adalah bentuk dari ketidakbenaran. Mele memberi contoh kampanye kepresidenan Trump. Menurut Mele, kampanye Trump seringkali memaksa ruang redaksi untuk menghadapi kesetaraan palsu secara langsung.

Apa yang Anda lakukan ketika akumulasi fakta yang luar biasa terletak di satu sisi argumen? Apakah Anda harus terlihat menawarkan sejumlah copy yang persis sama untuk argumen tandingan? Selama beberapa tahun terakhir, liputan BBC tentang 'Eropa' dalam beberapa kali program berita pagi unggulan BBC, Today, dimulai dengan wawancara dengan Nigel Farage, pemimpin kelompok yang  anti-Uni Eropa.  Apakah ini tidak menciptakan kesetaraan yang salah?

Farage memimpin Partai Brexit yang saat ini memiliki 29 Anggota Parlemen Eropa (MEP) dan empat Anggota Majelis Nasional Wales. Partai Brexit mengkampanyekan keluarnya Britania dari Uni Eropa (UE). Itu sebabnya banyak pengamat mengatakan bahwa pembingkaian seperti dalam program Today telah berkontribusi tidak hanya pada kesetaraan yang salah tetapi juga penyimpangan debat yang membantu menciptakan platform untuk Farage.

Sumber:

Lewis, H. (2016, November 18). Post-Truth Politics. Nieman Reports.

Jumat, 03 September 2021

Bagaimana Pedagang Kakilima Berbisnis



9 Januari 2017, pukul 15.57.10 saya sambil jalan ke stasiun Bogor pukul 11.45 ngobrol sama Ucok, 37 tahun, PKL di Jl. Dewi Sartika. Katanya, sehari omsetnya Rp 1-2 juta hari biasa. Untungnya 10-20%. Kalau hari libur atau puasa bisa dua kalinya...

Dia ngambil barang, busana daleman, dari Rangkuti (Ciawi). Ambilnya sistem bulk, tak boleh milih baik ukuran maupun kualitasnya. Di produknya memang tak tercantum ukuran. Istilah Ucok, all size. Harga _daleman_ di Jl. DS lebih murah dibandingkan di toko seperti Point Square. Busa separoh nya karena barang rijekan pabrik. Istilah kerennya FO.      
   
Rangkuti sendiri ngambil dari Haji Umar atau Haji abdullah di Cipulir, Jaksel. Haji Umar dan Haji Abdullah ngambil barang dari perusahaan garmen seperti Ricky (GT Man) atau Rider. Mereka,  maksudnya Rangkuti - kata Ucok- harus punya deposit Rp 2 M. Umar dan Abdullah tentu lebih besar lagi.

Barang yang dijual barang rijekan yang tak ada mereknya karena dicabutin. Setiap hari Ucok kulakan ke Rangkuti Rp 1-2 juta perhari. Di sepanjang jalan Dewi Sartika ada 250 pedagang KL. Sekitar 10-15 pedagang daleman di DS ngambil barang dari Rangkuti. Selain memasok PKL Jl. DS, Rangkuti juga memasok pedagang di pasar lain. Istilah Ucok se Bogor, bahkan Sukabumi dan sekitarnya.

Setiap kulakan dibayar kontan. Biasanya barang didrop ke pedagang sesuai dg pesanan. Sore hari biasanya. Makanya, kalau kita beli kaos di DS misalnya, harganya tidak beda antara pedagang satu dan pedagang lainnya. Dalam bahasa Clifford Geerts ada model sliding price. Model harga tawar menawar pedagang pembeli.

Tak ada persaingan antar pedagang. Kalau gak ada benang di pedagang A, pedagang A akan ngambil barang dari pedagang B. Begitu sebaliknya. Mungkin karena itu di Pasar jarang terjadi pertikaian sesama pedagang. Kalau di pasar ada pertikaian tapi paling sesama tukang parkir....

Moral Ekonomi Pedagang Pasar Tradisional




Suatu Sabtu di bulan Januari 2018, saya berbelanja makanan kucing di Pasar Bersih Sentul City Bogor. Kebetulan saat mau berangkat Dhyhan, anak saya, pesan untuk beli makanan kucing karena stok makanan kucing di rumah habis. Saya membeli sekantong makanan kucing dan sebungkus kopi Mukini dan Gayo di Toko Alisha Abadi.


Di etalase toko itu ada kopi pasak bumi. Saya ingin mencobanya. Namun mengecewakan karena ternyata segel bungkusnya sedikit terbuka. Tak masalah sebenarnya karena di dalamnya, kopi tersebut dikemas lagi dalam bentuk sache. Namun, buru-buru pramuniaga toko mengatakan, “Pak ini tidak dijual karena rusak. Pilih yang lain yang masih bagus segelnya saja Pak. Yang itu biar saya konsumsi sendiri.”

Luar biasa.. Ada kejujuran pada pramuniaga toko tadi sehingga tak mau merugikan konsumennya. Tak jadi membeli kopi pasak bumi, saya cuma membeli kopi biasa dan makanan kucing. Total yang harus saya bayar Rp 120 ribu. Saya memberi uang Rp 200 ribu dan menerima kembalian dari lelaki yang melayani pembeli di toko itu.

Belanja makanan kucing sudah, saya pun belanja telur. Kemudian pindah lagi ke penjual tahu dan tempe. Saya keliling pasar itu sekitar setengah jam-an. Saat saya belanja makanan tape uli dan kukus, tiba-tiba seorang remaja menghampir saya. Rupanya pelayan toko makanan kucing tadi.
Dia menyodorkan selembar uang Rp 50 ribu dan selembar Rp 100 ribuan kepada saya. “Lho?...” kata saya heran.

“..Iya Pak…Setelah saya hitung lagi, uang yang Bapak serahkan tadi ternyata tiga lembar Rp 100 ribu lengket. Ini kelebhan dan pengembaliannya… Pak,” katanya.

Subhanaallah… saya baru sadar rupanya kembalian yang saya terima di toko makanan tadi Rp 30 ribu jadi kurang Rp 50 ribu. Bahkan lembar yang serahkan juga kelebihan. Saya sendiri tak menyadari itu dan baru menyadari saat remaja tadi menyerahkan kekurangan uang kembalian itu. “Saya juga sudah lupa Mas… Sebenarnya Anda nggak ngembalikan juga nggak apa-apa, toh saya tidak sadar dan lupa.”

Jawaban yang muncul dari pelayan itu sungguh mencengangkan saya, “Tapi Allah tidak lupa dan mencatat bahwa saya curang dalam bertransaksi. Saya nanti diminta pertanggungjawaban saya.”… Masya Allah, dalam hati saya berkata, ternyata ada dan mungkin banyak pedagang muda yang jujur. Saya pun mengembalikan uang itu kepadanya. “Sudah..Mas ambil saja… saya ikhlas.” Namun dengan halus dia menolaknya. Biarlah Pak.. mungkin Bapak lebih perlu,” katanya berlalu setelah mengucapkan terima kasih..

Pengalaman itu mengingatkan saya tentang kajian moral ekonomi.  Dalam The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Market (1994:7), Hans Dieter Ever menyatakan bahwa dalam pasar yang didominasi oleh masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang menekankan tolong menolong, pemilikan bersama atas sumber daya dan keamanan subsistensi.

Moral ekonomi dibentuk dari norma dan sentimen mengenai tanggung jawab dan hak individu dan institusi sehubungan dengan orang lain. Norma dan sentimen ini jauh lebih tinggi dari sekadar masalah keadilan dan persamaan, dan lebih berorientasi pada konsepsi tentang kebaikan, misalnya mengenai kebutuhan dan tujuan kegiatan ekonomi.

Orientasinya mencakup pemeliharaan lingkungan. Istilah ekonomi moral biasanya diterapkan pada masyarakat dimana hanya ada sedikit atau tidak ada pasar. Oleh karena itu tidak ada persaingan dan nilai hukum. Intinya adalah aktivitas ekonomi diatur oleh norma mengenai tanggung jawab atas sebuah pekerjaan, apa dan seberapa besar mereka diperbolehkan untuk mengkonsumsi, mereka bertanggung jawab kepada siapa, kepada siapa mereka terikat dan bergantung (Thompson, 1971).

Dalam konteks pedagang pasar, berjualan atau bekerja adalah ibadah yang berkaitan langsung dengan Allah sebagai Tuhan merupakan suatu pegangan melakukan aktivitas perdagangannya. Konsep ini yang melatarbelakangi kenapa pedagang pasar tidak terlalu banyak mengambil keuntungan, menolong sesama pedagang bila ada barang yang dibutuhkan pembelanja kebetulan tidak ada di stok tokonya, dan sebagainya, termasuk konsep persaingan pedagang di pasar tradisional.

Ketika mengupas soal moral ekonomi, dalam Islam and the Moral Economy, Charles Tripp (2006) menjelaskan soal tanggapan terhadap kapitalisme. Moral yang dilandasi keyakinan terhadap ajaran Islam memberikan alasan sah kepada seorang atau sekelompok orang untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan kapitalisme. Ini antara lain ditandai dengan bangkitnya sistem perbankan Islam.

Seperti yang dikatakan Braudel, istilah kapitalisme, terutama bersifat politis, pertama kali digunakan oleh beberapa pengkritik selama revolusi industri yang menggambarkan lapangan komersial dan keuangan yang relatif terbatas untuk menjajah semua kehidupan sosial dan ekonomi. Intinya terletak serangkaian negasi atau pengecualian, yang didasarkan pada pemahaman baru tentang properti dan tenaga kerja, dan semakin dimasukkannya perangkat hukum dan pemaksaan tatanan politik.

Proses ini dikritik secara keras oleh banyak orang. Proudhon (dalam Braudel, 1984), misalnya, menggambarkan kapitalisme sebagai sebuah rezim, yang didirikan atas kepemilikan pribadi, di mana modal, sumber pendapatan, pada umumnya tidak termasuk orang-orang yang berhasil karena kerja keras.

Dalam The Moral Economy of The Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, James Scott (1976) mendefinisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi--pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mereka yang dapat ditolerir dan yang tidak dapat.

Menurut James Scott, petani akan memperhatikan etika subsistensi dan norma resiprositas yang berlaku dalam masyarakat mereka. Pelanggaran terhadap norma-norma itu dapat memunculkan kemasygulan dan perlawanan. Bukan hanya karena kebutuhan-kebutuhan tidak dipenuhi, akan tetapi juga karena hak-hak telah dilangar.
   
Etika subsistensi merupakan perspektif petani yang memandang tuntutan-tuntutan yang tidak dapat dielakkan atas sumber daya yang dimilikinya dari pihak sesama warga desa, tuan tanah, atau pejabat. Kriteria petani tentang etika susistensi adalah apa yang tersisa setelah semua tuntutan dari luar terpenuhi, apakah yang tersisa tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya—dan bukannya tingkat tuntutan-tuntutan itu sendiri.

Sejak tahun 1970an media keuangan dan kemudian media global melaporkan secara ekstensif perkembangan bank syariah yang cepat dan pembukaan fasilitas perbankan syariah oleh biluyan kapitalisme konvensional seperti Citibank dan Chase International. Insiatif perbankan bisa dianggap sebagai salah satu bentuk “perlawanan” terhadap sistem yang dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan hal tersebut dibenarkan dengan mengacu pada perintah ajaran Islam.