Rabu, 19 Januari 2022

Pemenang dan Pecundang: Mengapa Perusahaan Perlu Beradaptasi


Selama bertahun-tahun produk telah menjadi andalan utama bagi perusahaan agar berhasil dan eksis di pasar. Banyak perusahaan berhasil dan sukses karena menciptakan produk yang luar biasa dan membangun merek yang disukai.

Tetapi di dunia dengan persediaan yang tidak terbatas seperti sekarang ini, produk yang luar biasa dan merek yang menarik tidak cukup. Untuk mendapatkan keunggulan dalam persaingan, perusahaan perlu memberikan layanan yang luar biasa. Jadi dalam ekosistem merek sekarang, suatu merek yang berhasil membutuhkan setidaknya tiga hal penting; produk, merek, dan layanan.


Dalam buku Conversational Marketing (Wiley, 2019), David Cancel menulis pelanggan tidak hanya peduli tentang apa yang mereka beli (produk) dan dari siapa mereka membelinya (merek), tetapi juga bagaimana mereka dapat membeli (layanan). Mereka peduli dengan proses pembelian itu sendiri. 

Jika proses proses pembeliannya memakan waktu terlalu lama, atau terasa terlalu rumit, atau tidak memenuhi harapan mereka, kemungkinan pelanggan potensial tersebut akan menghabiskan uang mereka dengan pesaing.

Pada akhirnya, Gillette dapat menyadari bahwa mereka perlu beradaptasi dengan perubahan mendasar dalam cara orang lebih memilih untuk membeli. Pada tahun 2017, mereka meluncurkan layanan pisau cukur langsung ke konsumen, yang diberi nama Gillette On Demand. 

Sementara Gillette (setidaknya untuk saat ini) mampu mengatasi badai yang dibawa oleh Dollar Shave Club dan layanan berlangganan pisau cukur lainnya, tidak semua perusahaan yang berfokus pada pasokan seberuntung itu.

Ketika Amazon pertama kali mulai menjual buku secara online pada tahun 1995, "superstore" brick-and-mortar mendominasi industri perbukuan. Borders misalnya, mencetak penjualan tahunan sekitar $1,6 miliar. Berapa lama Borders mampu mencetak penjualan jumbo itu? Apakah mereka bisa bertahan? Nyatanya tidak.  

Pada saat ada kekhawatiran yang berkembang bahwa superstore seperti Borders akan mengganggu toko buku lokal yang lebih kecil, Amazon datang dan menarik karpet keluar dari bawah seluruh industri. Pada tahun 2006, Amazon telah melampaui Borders dalam pendapatan tahunan dan pada tahun 2011, Borders, mantan raksasa ritel buku, gulung tikar.

Borders adalah tipikal toko yang menganut komunikasi satu arah. Anda lihat promo yang disebar melalui flyer atau iklan di koran atau majalah, dan tertarik, maka Anda datang ke toko. Ketika membeli And amungkin dilayani tenaga penjual atau langsung mengambil dan membayarnya di kasir. Selama proses itu, Anda membutuhkan waktu sekian menit atau bahkan jam.

Di Amazon, calon pembeli cukup browsing di rumah atau dimana saja. Pesan, diresponse, bayar dan Anda mendapat semacam bukti bayar, dan langsung diantar. Sampai di rumah pun ada bukti pengiriman. Ini artinya ada komunikasi dua arah antara pembeli dan penjual yang sifatnya langsung. Amazon berhasil menjadi toko yang memanfaatkan teknologi, sesuatu yang telah mengubah segalanya, terutama komunikasi.

Ini berarti pula bahwa komunikasi pelanggan yang efektif sangat penting untuk bisnis apa pun, terutama dalam penjualan dan pemasaran. Dengan mengizinkan bisnis Anda berkomunikasi dengan pelanggan secara real time--saat itu paling nyaman bagi mereka--pemasaran percakapan meningkatkan pengalaman pelanggan, menghasilkan lebih banyak prospek, dan membantu Anda mengubah lebih banyak prospek menjadi pelanggan.

Minggu, 02 Januari 2022

Melampui Tiga Krisis


Tiga pekan lalu, sahabat saya  -  Simon Jonatan -- kirim kabar via What’s App. Intinya dia mengabarkan kalau masa kerjanya sebagai Presiden Direktur PT Bintang Toedjoe berakhir 31 Desember 2021. Kaget tidak kaget mendengarnya.

Tidak kaget karena awal 2020, Simon sudah mengisyaratkan bahwa tahun 2021 dia balik lagi ke habitatnya di PT Swaragangsing, sebuah perusahaan yang bergerak di jasa konsultansi pemasaran. Sampai awal Desember 2021, tak ada kabar. Baru pada minggu kedua itu Simon mantab memberitahu saya.

Beberapa teman di Majalah Mix, SWA dan media lainnya kaget mendengar kabar itu. Mereka bertanya Simon akan pindah kemana. Beberapa teman yang kontak Simon menanyakan itu belum mendapat jawaban.

Simon dikenal akrab dengan media. Teman-teman mengenal Simon sebagai eksekutif yang identik dengan Extra Joss, sebuah merek yang dibesarkannya. Alumni jurusan Teknologi Industri IPB itu membesarkan ExtraJoss dengan terobosan pemasaran yang tidak biasa. 

Tak banyak eksekutif perusahaan se-bejo Simon Jonatan.  Dia mampu membuat sesuatu menjadi luar biasa. Simon juga mampu membalikkan keadaan dari merek yang rugi, pasarnya tergerus dimakan pesaing, bahkan diperkirakan jatuh, menjadi merek yang bersinar kembali.  Kilas perjalanan kariernya mirip Steve Jobs; membesarkan merek, meninggalkan merek itu, diminta kembali mengendalikan merek yang kinerjanya melorot , dan berhasil memulihkannya.

Simon menjadi pemain utama dalam membesarkan merek, Extra Joss. Saat ExtraJoss besar, Simon meninggalkannya dan sibuk dengan bisnis Swagangsing, konsultan pemasaran. Ditinggal Simon, pasar ExtraJoss tergerus oleh manuver pesaingnya. 

Pimpinan dan pemilik Kalbe Farma sebagai induk Bintang Toedjoe mendatangi Simon dan memintanya bergabung kembali.  Dia berhasil membalik keadaan sehingga ExtraJoss moncer kembali.  Bahkan ketika pandemi Covid-19 merebak, Simon berhasil membuat Bejo dengan jahe merahnya yang sebenarnya follower di kategorinya, menjadi merek produk yang bersinar.

Ketika dia dipercaya mengelola ExtraJoss yang muncul di tengah pasar minuman berenergi yang dikuasai merek kemasan botol, muncul dalam kemasan sachet. Selain harganya jauh lebih murah dan praktis, kemasan sachet menjadikannya sebagai pembeda.

Tagline iklan yang diluncurkan Maret 1996 “Ini biangnya. Buat apa beli botolnya?” memikat dan membumi. Daya tariknya semakin kokoh karena dukungan Donny Kesuma, sang bintang iklan yang berprofesi sebagai atlet dan artis sinetron berbadan kekar itu.

Banyak orang berpendapat bahwa tagline itu seakan-akan menyindir Lipovitan kemasan botol yang sedang menjadi raja pasar minuman energi saat itu. Penjualan Extra Joss booming hingga mencapai Rp 10 miliar dan terus meningkat tiga kali lipat per tahun. ExtraJoss pun menjadi tulang punggung Bintang Toedjoe.

Diurut dalam timeline bisnis dan kariernya, Simon lulus tiga kali ujian.  Ketika bergabung dengan Bintang Toedjoe, tahun 1990an, Simon Jonathan tidak pernah membayangkan bahwa dia dan perusahaan tempatnya bekerja  bakal menghadapi tiga kali krisis hebat.  Krisis pertama terjadi pada tahun 1998, yang kedua terjadi pada tahun 2008 dan terakhir tahun 2020. Dalam situasi goncangan hebat krisis-krisis tersebut, tak banyak perusahaan atau individu yang berhasil selamat, namun Bintang Toedjoe yang dinakhodai Simon berhasil melaluinya.

Tahun 1998 – saat Indonesia berada pada puncak krisis moneter dan reformasi politik 1998 – posisi Extra Joss sebagai market leader justru semakin kuat.  Penjualannya melejit dan menjadikan Extra Joss sebagai produk konsumer pertama di Grup Kalbe yang penjualannya tembus Rp 100 miliar per tahun.  Ini amunisi bagi Extra Joss untuk demakin agresif dan percaya pada kekuatan produk serta tagline. Salah satu iklan ExtraJoss yang terkenal : Boleh ceplas-ceplos, asal jangan adu jotos dan Bercerai kita ngos, bersatu kita JOSS makin memperkokoh penjualan ExtraJoss dan posisinya sebagai marlet leader.

Namun di tengah-tengah euphoria kesuksesan itu, tahun 2002, Simon mengundurkan diri dari Bintang Toedjoe.  Sejatinya,  saat keluar,  masih ada visi Simon yang belum terwujud, yakni menjadikan herbal sebagai tulang punggung bisnis sebelum keluar dari Bintang Toedjoe.  Itu sebabnya, sekeluarnya dari Bintang Toedjoe dan  fokus pada PT Swaragangsing, diam-diam  melalui perusahaannya itu,  Simon melakukan riset pasar terkait herbal.  Hasil riset itu menunjukkan potensi besar di bisnis herbal.

Dari hasil riset herbal tersebut, membuat Simon semakin yakin bahwa masa depan herbal dan produk-produk turunannya adalah sangat besar. Ini juga sejalan dengan trend dunia yang “back to nature”, memakai “herbal ingredients” dan sebagainya untuk konsumsi sehari-hari, suplemen, atau untuk pengobatan (natural remedy).

Delapan tahun setelah mengundurkan diri dari Bintang Toedjoe, 16 September 2010 Simon pulang kandang.  Keputusan itu dibuat setelah para pendiri Kalbe, perusahaan induk Bintang Toedjoe, terus menerus merayunya untuk “menyelamatkan” anak yang dilahirkannya yang saat itu sedang dalam kondisi terpuruk. Simon diminta mengembalikan pamor Extra Joss dan mengembalikan fitrah pertumbuhan perusahaan. “Bintang Toedjoe telah kehilangan omset produk utama sebesar 70%. Dan, saya diberi waktu tiga tahun untuk mengembalikannya,” ungkap Simon.

Saat bergabung kembali, posisinya masih direktur pemasaran.  Sebelum masa tiga tahun, pasar Extra Joss ngejoss kembal dan marwah Bintang Toedjoe kokoh kembali. Rahasianya?  “Tahun pertama -- tiga-enam bulan pertama-- saya fokuskan ke marketing & bisnis development, R&D, dan keuangan,” ungkap Simon. Dia mentransformasi Bintang Toedjoe dalam arti melakukan perubahan mendasar  dalam cara bisnis dijalankan untuk membantu mengatasi perubahan lingkungan pasar yang membuat perusahaan sakit. Ibarat mesin, kondisi lama itu harus dibongkar dan menggantinya dengan format atau komponen-komponen baru.

Keberhasilan itu membuat dia naik posisi menjadi Presiden Direktur. Saat itulah, dia membuktikan bahwa visinya  sangat relevan, dan terbukti saat pandemic Covid-19. Pertengahan 2020, Bejo Jahe Merah, sirup untuk membantu meredakan efek masuk angin yang dijual dalam kemasan sachet “meledak”.  Awal pandemic Covic-19 tahun 2020 menjadi salah satu titik berpengaruh terhadap jahe merah dan produk turunannya di Indonesia. Ketika obat atau vaksin untuk virus Covid19 belum ditemukan, maka orang mencari berbagai hal untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, termasuk mengikuti langkah-langkah yang dilakukan orang yang menjadi panutan.  Ketika Presiden Joko Widodo minum empon-empon, maka seketika empon-empon menjadi laris manis untuk mencegah covid.

Hal ini juga berpengaruh kepada penjualan Bejo Jahe Merah. Saat empon-empon menjadi issue untuk mencegah covid, maka BT memutuskan untuk semakin memperkenalkan Jahe Merah sebagai ghost brand yang dipopulerkan. Jahe merah muncul berkali-kali di detik.com dan media online lainnya sebagai content marketing.

Jahe merah juga menjadi bahasan utama para para KOL (key opinion leader) sehingga jahe merah mendadak menjadi barang yang dicari-cari dan harganya ibarat emas. Harga jahe merah di pasaran yang biasanya Rp 25,000 perkilo, melonjak menjadi Rp 100,000 perkilo dan barangnya stock out. Kepopuleran jahe merah ini, bahkan menarik perhatian stasiun TV Jepang NHK dan mengulas jahe merah. Dalam ulasan itu, BT menjadi bagian dari business report pandemi covid di Indonesia.

Efeknya, selama Maret-April 2020, omset Bejo Jahe Merah meningkat tiga kali lipat.  Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan ghost branding jahe merah di berbagai media. Peningkatan omset Bejo Jahe Merah juga berdampak ke kapasitas produksi internal.  Produksi farmasi Bintang Toedjoe running full shift, saat perusahaan lain justru ditutup selama PSBB.

Bisa jadi ada faktor bejo. Namun, di balik keberuntungan itu ada kekuatan yang membuat Simon mampu menangkap peluang yang muncul di balik krisis-krisis yang terjadi. Kekuatan pertama adalah keyakinan Simon pada visi perusahaan yang juga selaras dengan visi dirinya.

Visi mencerminkan ide yang ingin dicapai. Tantangannya adalah sejauh mana visi tersebut mampu memotivasi anggota organisasi untuk memberikan kinerja yang unggul, dan sejauh mana visi menentukan tujuan serta bagaimana tujuan itu dapat menguntungkan anggota.

Disini Simon merefleksikan dirinya sebagai transformational leader, pemimpin yang memotivasi pengikutya untuk mencapai tujuan perusahaan.  Dia berperan lebih dari pemimpin yang transaksional dan menciptakan nilai lebih bagi organisasi.  Pemimpin seperti ini bertindak sebagai mentor dan penasihat, serta memperhatikan pengembangan pribadi, pembelajaran, dan penyediaan kebutuhan karyawan.  

Tahun-tahun pertama 12 tahun sesi kedua bergabung Bintang Toedjoe, Simon selalu wanti-wanti ke karyawan tentang pentingnya turn around. Selanjutnya, dia membangun pondasi sustainability dengan menjadikan herbal sebagai tulang punggung bisnis.  Infrastruktur rantai pasokan bahan baku diperkuat dengan meningkatkan kesejahteraan petani pemasok melalui inisiatif yang dalam bahasa Michael Porter dan Mark Krammer sebagai Creating Shared Value (CSV).

Itu sekaligus membuktikan komitmen Bintang Toedjoe dalam  pengembangan komunitas dan sebagainya. Komitmen penting lainnya adalah penguatan  Environmental, Social And Corporate Governance (ESG). Salah satunya adalah pembangunan pabrik dengan konsep green building dan taman herbal bejo sebagai destinasi wisata di Deltamas, Cikarang, Jawa Barat.

Simon memberikan tantangan, misi, perspektif yang lebih luas, rasa hormat, dan kepercayaan bagi karyawan, dan menjadi panutan bagi karyawan mereka. Dia menciptakan suasana kepercayaan dan memotivasi karyawan untuk bekerja bagi organisasi di luar kepentingan pribadi mereka.

Suasana batin seperti itulah yang berhasil menciptakan kekuatan kedua, yakni keyakinan bahwa pada setiap krisis selalu ada peluang.  Cara pandang ini berbeda dengan model linier yang melihat krisis sebagai ancaman. Simon percaya bahwa di dalam kehidupan selalu ada harmoni, ada keseimbangan, ada yang baik dan ada yang sebuah buruk. Demikian dengan krisis, di dalamnya terdapat dua kondisi yakni peluang dan ancaman. Ketika seseorang melihat krisis sebagai ancaman, yang sering terjadi adalah kepanikan, termasuk dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana keluar dari krisis itu.

Dua hal tersebut telah menginspirasi dan menuntun Simon menemukan cara bagaimana mengendalikan biduk perusahaan yang besar itu selamat dari krisis. Karena situasinya yang tidak biasa, Simon berkeyakinan bahwa untuk selamat dari krisis diperlukan langkah-langkah yang tidak biasa. Acuannya adalah jika seorang pimpinan melakukan sesuatu yang biasa dilakukan sebagaimana saat tidak krisis, itu menandakan pimpinan itu tidak siap menghadapi krisis.

Kekuatan ketiga adalah, keyakinan Simon bahwa bejo atau keberuntungan merupakan fungsi dari peluang atau kesempatan dan kesiapan.  Contoh paling sederhana adalah ketika berada dalam situasi krisis. Dapat disaksikan bahwa dalam situasi krisis kebanyakan perusahaan atau merek menghentikan promosi misalnya iklan mereka. Ini merupakan fenomena yang umum.

Namun bagi orang yang mau bertindak tidak biasa, dia melihat itu sebagai peluang. Kenapa? Ketika dalam suatu kondisi orang tidak menampakkan diri, orang gampang melupakannya.  Itu sebabnya, dalam situasi seperti itu merek atau perusahaan yang beriklan misalnya, dia berpeluang untuk menggantikan posisi merek atau perusahaan yang tidak beriklan itu. Ini karena orang lebih ingat pada mereka ketimbang merek atau perusahaan yang sat itu tidak menampakkan diri.

Tak mudah menjadi pemimpin transformasional. Ini karena didalamnya terdapat beragam kepentingan. Hanya pemimpin yang tahan banting dan memiliki strategi serta visi kuat yang berhasil melalui ini.  Namun, semua itu tidak akan mulus tanpa dukungan stakeholder, terutama pemegang saham, karyawan, konsumen. Disini Simon berhasil membangun DNA Transformasional, sebuah tim transformasi yang bekerja dan mendemokrasikan munculnya ide dan inovasi.

Semuanya dimulai dan diakhiri pelanggan. Pada titik inilah Simon selalu mendengungkan #TanpaKalianPastiTidakTerjadi. Akan adakah babak ke 3 panggilan ke Simon untuk mengelola bisnis Bitang Toedjoe dan Extra Joss?