Selasa, 21 Juni 2022

PARETO 80-20



Akhir 1800-an, ekonom Italia Vilfredo Pareto menemukan bahwa 80% tanah di negara asalnya dimiliki oleh hanya 20% dari populasi. Pareto yang juga seorang tukang kebun, mengamati bahwa 20% dari pohon-pohon di kebunnya menghasilkan 80% dari kacang polong yang dipanen.

Pengamatan seperti itu memunculkan teori, Prinsip Pareto atau Aturan 80/20. Prinsip ini mungkin banyak dikenal karena sarannya bahwa orang-orang sukses cenderung mencapai 80% dari hasil mereka hanya dari 20% dari kegiatan mereka. Aturan ini juga berlaku untuk komunikasi pemasaran, seperti dalam hal manajemen influencer secara umum.

Prinsip 80/20 menunjukkan tentang bagaimana pengelola atau penanggung jawab kampanye pemasaran dapat mencapai lebih banyak dengan lebih sedikit usaha, waktu, dan sumber daya. Caranya?  Itu bisa dilakukan dengan mengidentifikasi dan memfokuskan upaya kita pada 20 persen yang benar-benar diperhitungkan.

Perusahaan dapat mencapai 80% dari hasil yang mereka inginkan dengan memfokuskan waktu dan sumber daya mereka pada 20% influencer yang pada kenyataannya yang paling penting. Untuk mencapai tujuan ini, penting untuk membedakan atau memberi peringkat influencer dengan menggunakan kriteria yang masuk akal - atau bahkan model yang kuat. Yang jelas adalah bahwa beberapa influencer lebih berpengaruh daripada yang lainnya.

Rasio itu, menurut Richard Koch dalam bukunya The 80/20 Principle: The Secret of Achieving More with Less (Nicholas Brealey Publishing Limited, 1998) mungkin tidak selalu tepat 80:20. Bisa juga rasionya imbang di 90:10 atau 60:40.

Intinya adalah biasanya ada hubungan non-linear antara input dan output, antara upaya dan hasil, dan antara sebab dan akibat. Dalam bisnis, 20% pelanggan cenderung berkontribusi hingga 80% dari pendapatan atau keuntungan perusahaan. Dalam masyarakat, 20% orang memiliki 80% kekayaan. Di rumah, orang akan mengenakan hanya 20% dari pakaian selama 80% waktu mereka.

Dalam konteks komunikasi pemasaran, seseorang harus fokus pada membangun hubungan influencer yang kuat misalnya. Ini karena, dalam dunia pengaruh, hubungan adalah segalanya. Perusahaan teknologi tinggi misalnya atau pihak lain yang menjual solusi kompleks harus membangun hubungan dengan jurnalis, analis, dan pemimpin opini lainnya. Sesuai dengan teori interaksi sosial, hubungan itu akan langgeng bila masing-masing diuntungkan atau dengan kata lain mencapai hasil yang optimal.

Ada mitos di kalangan tenaga penjual. Ada anggapan bahwa membangun hubungan dengan jurnalis atau media bukanlah cara sebagian besar tenaga penjualan memprioritaskan waktu mereka. Seorang manajer penjualan atau mereka yang memiliki pandangan ke depan, biasanya akan mengatakan bahwa ini adalah pemborosan.

Mereka lebih suka membuat lebih banyak panggilan dan mengemudi lebih jauh untukmendatangi calon pelanggan atau melihat lebih banyak orang. Dia akan memberi tahu orang yang menjalin hubungan dengan media bahwa tindakan mereka sia-sia.

Realitasnya, bila seorang tenaga penjual berteman dengan editor dan menawarkan untuk menulis artikel majalah kepada mereka, tenaga penjual tersebut berpeluang mendapat lebih dari 100 halaman publikasi gratis selama rentang 18 bulan. Publisitas itu mungkin bisa tidak berharga dalam waktu dekat. Namun, dalam beberapa bulan, merek itu ada di mana-mana.

Ini berarti perusahaan harus fokus pada orang-orang yang paling penting bagi kesuksesan mereka. Mereka perlu memahami minat dan persyaratan khusus mereka, dan cara terbaik untuk berinteraksi dengan mereka.

Jika perusahaan fokus pada influencer yang paling berarti, mereka dapat mencapai pengembalian investasi (ROI) yang jauh lebih besar. Sementara semua agensi PR mengaku dapat menyediakan kemampuan terfokus dan keterampilan membangun hubungan, mereka sering tidak memiliki pengetahuan industri tertentu, keterampilan, kontak dan hubungan yang diperlukan untuk melakukannya.

Mereka umumnya tidak mengikuti aturan 80/20. Padahal untuk menjadi sukses di dunia pengaruh yang semakin kompleks, seseorang harus berpikir seperti Vilfredo, si tukang kebun - dan memupuk hubungan dengan seseorang dengan penuh perhatian dan pemikiran.

BERHENTILAH MENYALAHKAN BOS ANDA


Ternyata, orang-orang yang berprestasi tidaklah bekerja lebih keras. Mereka bekerja “lebih cerdas.” Apa itu bekerja lebih cerdas?

Edhy Aruman

Ketika konsultan pencarian eksekutif Susan Bishop membuka perusahaannya sendiri di New York City, idenya tentang bagaimana agar berhasil sudah jelas. “Rencana kami adalah mengalahkan pesaing yang lebih besar dan mapan melalui eksekusi yang luar biasa,” jelasnya. Untuk itu, “Kami hanya menerima  klien yang membutuhkan, dan kami berusaha membuat setiap klien sebahagia mungkin.”

Bishop percaya bahwa mengutamakan kebahagiaan kliennya akan menghasilkan kepuasan pelanggan yang lebih besar, dan selanjutnya membuat bisnis semakin besar.  Dia benar — sampai titik tertentu. Dengan mengatakan "ya" untuk sebagian besar permintaan, Bishop mendapati bahwa dia memiliki lebih dari cukup banyak klien.

Tetapi dia kekurangan waktu dan tenaga untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Selama beberapa tahun berikutnya, dia dan tim kecilnya melakukan pencarian dengan gaji rendah, bos yang sulit diajak kompromi, dan di lokasi yang tidak menarik. Dia berkembang melampaui keahlian intinya di media dan memasuki industri yang tidak dikenalnya dengan baik, seperti layanan keuangan dan produk konsumen. Belum lagi mereka harus berjuang untuk mendapatkan latar belakang pengetahuan yang diperlukan.

Karena usahanya yang tersebar di banyak area pelanggan, kinerjanya menurun. Penjualan dan keuntungannya datar, bahkan dalam beberapa tahun malah menurun. Marginnya merosot sekitar 15 persen, setengah dari perusahaan pencarian lainnya. "Stresnya sangat mengerikan," kata Bishop. “Saya merasa tertarik ke seratus satu arah yang berbeda.” Skor “fokus” -nya dalam penilaian survei kami menempatkannya di 20 persen terbawah dalam sampel 5.000 orang yang dilakukan Morten T. Hansen.

Hansen adalah profesor manajemen di University of California, Berkeley. Selama lima tahun dia mensurvei 5.000 karyawan perusahaan-perusahaan besar di AS. Hansen meminta responden menilai kinerja mereka sendiri, bos mereka, atau kinerja laporan langsung mereka dan menjawab serangkaian pertanyaan tentang kebiasaan kerja mereka.

Hasil penelitiannya, yang kemudian ditulisnya dalam buku Great at Work: How Top Performers Do Less, Work Better (Simon & Schuster, 2018), menyimpulkan bahwa ternyata, orang-orang yang berprestasi tidaklah bekerja lebih keras. Mereka bekerja “lebih cerdas.”

Apa itu bekerja lebih cerdas? Pertama, berhenti menyalahkan bos Anda atas kinerja Anda yang buruk. Banyak orang mungkin berpikir bahwa mereka terkunci dalam proses kerja yang ada dan menjadi tidak efisien karena atasan, organisasi, industri, atau posisi mereka dalam hierarki organisasi.

Akan tetapi seperti yang ditemukan oleh penelitian Hansen, banyak orang muda di banyak peran yang mampu mendesain ulang pekerjaan mereka untuk menciptakan lebih banyak. Artinya, dalam situasi ketebatasan itu, banyak juga orang bisa menjadi inovator kerja.

Hansen lalu merekomendasikan strategi yang dia sebut "lakukan lebih sedikit, lalu terobsesi." Idenya adalah untuk memusatkan perhatian pada beberapa prioritas utama dan membuang semua upaya Anda ke dalamnya.

Karyawan yang menjadi responden dalam penelitian Hansen dan bekerja dengan cara ini memiliki kinerja lebih baik, meski jumlahnya hanya 16%. Yang menarik, Hansen menulis bahwa 24% dari semua karyawan menyalahkan ketidakmampuan mereka untuk fokus pada kurangnya arahan atasan mereka atau kompleksitas organisasi yang lebih luas di perusahaan mereka.

Mereka mungkin benar. Kebanyakan orang mengetahui tentang bagaimana rasanya memiliki bos yang datang dengan membawa tugas baru setiap jam, sehingga tidak mungkin bagi karyawan atau stafnya untuk berkonsentrasi.

Dalam konteks inilah Hansen merekomendasikan untuk mengatakan "tidak" atau menolak setidaknya beberapa dari tugas baru itu. Seperti Bishop, banyak orang dengan cepat mengatakan ya biola mendapat tugas tambahan meski dia sendiri menyadari akan membuatnya tidak fokus.

Agen real estate tergoda memperluas areanya dengan untuk mengcover satu lingkungan lagi; para insinyur menambahkan satu lagi fitur produk; karyawan sumber daya manusia mengambil satu tugas lagi; pemasar setuju untuk membantu koleganya dengan kampanye. Padahal, mengambil lebih banyak tanggung jawab akan membuat mereka berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.

Menolak tugas yang diberikan oleh atasan memang tidak mudah. Akan tetapi, bila hal itu dikomunikasikan dengan menunjukkan sesuatu yang lebih baik demi kepentingan perusahaan, penolakan tentu tidak akan berakibat negative. 

Sebagai contoh, seorang konsultan manajemen junior dalam penelitian Hansen mengatakan kepada seorang mitra di perusahaannya bahwa dia tidak dapat menangani proyek lain jika mitra tersebut menginginkan pekerjaan yang sangat baik. Mitranya setuju dengan gagasan konsultan tadi dan mundur.

Yang kedua adalah memaksimalkan usaha atau melakukan sesuatu dengan tujuan untuk melakukan lebih banyak usaha, bukan lebih banyak waktu. Salah satu kunci utama dari Great at Work adalah bahwa jumlah jam yang digunakan bekerja tidak terlalu berpengaruh pada kinerja atau setidaknya tidak sebanyak yang dikira banyak orang.

Bagaimana seseorang dapat lebih efektif dengan sedikit usaha?  Tahukah Anda, misalnya, bahwa 20 persen pelanggan bertanggung jawab atas 80 persen pendapatan? Bahwa 20 persen dari waktu kita merupakan 80 persen dari pekerjaan yang kita capai? Itu yang disebut sebagai hukum Pareto 80-20.

Minggu, 12 Juni 2022

The Power of Negative Thinking


Orang Amerika dikenal sebagai pemilik sikap optimistis. Coba lihat saja di banyak literature komunikasi atau pemasaran, bahkan mungkin sosiologi. Sikap ini – katanya – yang membedakan orang Amerika dengan orang-orang di negara-negara sedang berkembang atau di belahan bumi selatan.

Namun, dalam artikelnya di The Atlantic, Januari-Februari 2018, Sarah Elizabeth Adler menulis hal yang sebaliknya. Menurut dia, terlepas dari reputasi orang Amerika yang cenderung optimistis, berbagai penelitian justru menunjukkan sebaliknya. Hampir tiga perempat orang dewasa AS pesimistis dengan  masa depan negaranya. [1]

Apakah pertanda buruk? Bisa jadi tidak semuanya buruk. Beberapa dekade penelitian telah menemukan bahwa berpikir positif tidak selalu begitu positif. Dalam beberapa kasus, pesimis lebih baik daripada mereka yang memiliki watak cerah.

Pasangan suami istri yang sangat optimistis tentang masa depan hubungan mereka lebih mungkin mengalami kemunduran hubungan. [2] Optimisme juga dapat dikaitkan dengan pendapatan yang lebih rendah.

Sebuah studi data dari rumah tangga Inggris menemukan bahwa selama dua dekade, terutama wiraswasta yang optimis, memiliki penghasilan sekitar 25 persen lebih rendah daripada mereka yang pesimistis. [3] Peneliti National Cancer Institute menemukan bahwa orang yang mengecilkan risiko penyakit jantung lebih mungkin menunjukkan tanda-tanda awal penyakit jantung. [4]

Berbagai analisis mencoba menjelaskan fenomena ini. Salah satunya adalah pemikiran, bisa jadi jadi  karena pandangan yang mencerahkan (baca positif) itu membuat orang terlalu percaya diri. Misalnya, pemilik rumah yang meremehkan peluang mereka terpapar radon lebih kecil kemungkinannya untuk membeli alat tes radon daripada mereka yang memiliki rasa risiko yang lebih realistis—optimisme mereka membuat mereka rentan. [5] Radon merupakan gas yang berbahaya bagi kesehatan karena dapat memicu kanker paru paru.

Optimisme juga bisa melahirkan kekecewaan. Dalam sebuah penelitian, mahasiswa psikologi disurvei segera sebelum dan sesudah menerima hasil ujian. Siswa yang mengantisipasi nilai yang lebih tinggi daripada yang mereka terima merasa kesal setelah mengetahui nilai mereka; siswa yang meremehkan nilai mereka (yaitu, pesimis) merasa lebih baik sesudahnya. [6]

Berpikiran negatif bisa jadi memiliki manfaat sosial. Dalam beberapa hal, orang-orang pesimis lebih baik daripada orang-orang dengan watak optimistis. Dibandingkan dengan suasana hati yang ceria, suasana hati yang buruk sering dikaitkan dengan gaya komunikasi yang lebih efektif.

Demikian pula,  kesedihan telah dikaitkan dengan berkurangnya ketergantungan pada stereotip negatif. [7, 8] Penelitian menyebutkan bahwa orang yang merasa sedih, juga bisa membuat orang berperilaku lebih adil. Orang yang melihat klip video sedih misalnya, sebelum memainkan permainan lebih murah hati dengan pasangannya daripada mereka yang melihat klip bahagia.

Tahun 2013, Bob Knight dan rekannya Bob Hammel  menulis buku The Power of Negative Thinking: An Unconventional Approach to Achieving Positive Results (New Harvest; 240 halaman). Di buku itu, pelatih bola basket legendaris itu mengibaratkan sikap pesimistis itu sebagai kuda. Artinya, jika keinginan adalah kuda, pengemis akan menungganginya.

Dalam olahraga dan kehidupan sehari-hari, kata Knight, "berpikir negatif" akan menghasilkan hasil yang lebih positif. Sebuah kemenangan seringkali diraih oleh tim yang membuat kesalahan paling sedikit. Gagasan ini yang membuat Knight selalu menanamkan disiplin dengan "bersiap untuk menang" daripada berharap untuk menang.

Hal itu berarti – dalam pelatihan – Knight berusaha memahami sisi negatifnya dan melatih timnya untuk mencegah hal-hal yang bisa salah. Ketika timnya menang, dia memastikan mereka tidak terpaku pada kesuksesan mereka, tetapi langsung melihat tantangan di pertandingan berikutnya. Dia menerapkan pelajaran ini untuk strategi bisnis juga.

Jadi bagaimana Anda bersikap agar mendapatkan hasil maksimal? Pada 1980-an, dua peneliti Universitas Michigan menggambarkan strategi yang mereka sebut "pesimisme defensif," di mana orang memanfaatkan kecemasan mereka untuk kebaikan. [10]

Sepasang studi lanjutan menemukan bahwa dengan menetapkan harapan yang rendah dan membayangkan skenario terburuk, pesimis defensif mengoptimalkan kinerja mereka pada berbagai tugas, dari dart dan masalah matematika untuk memenuhi tujuan kehidupan nyata. [11, 12]

Pendekatan ini mungkin berhasil sepanjang hidup seseorang juga. Sebuah studi selama 30 tahun terhadap lebih dari 10.000 orang Jerman menemukan, orang dewasa berusia lebih tua yang bersikap meremehkan kepuasan masa depan, lebih kecil kemungkinan hidupnya berakhir secara tidak memuaskan daripada mereka yang optimistis. [13]

Pesimisme defensif bukanlah strategi baru. Sekitar 2.300 tahun silam, Stoikisme atau Stoa -- aliran filsafat Yunani kuno pada awal abad ke-3 SM – sudah mengajukan gagasan yang disebut "Premeditation of evils."  

"Premeditation of evils" berarti meluangkan waktu sejenak untuk memikirkan bahwa rencana tertentu  bisa salah. Ini mungkin terdengar tia menyenangkan, tetapi sebenarnya menenangkan. Mari kita lihat sebuah contoh.

Katakanlah Anda memulai bisnis sampingan. Anda berharap bisnis sampingan itu akan menjadi pekerjaan penuh waktu Anda dalam beberapa tahun ke depan. Anda bersemangat, dan yakin akan sangat sukses. Namun, kita tidak memungkiri bahwa di benak kita, selal membayangi kekhawatiran 80% bisnis gagal di tahun pertama.

Jadi, mungkin sudah waktunya untuk merevisi pepatah lama: Lupakan berharap untuk yang terbaik. Sebaliknya, fokuslah pada persiapan untuk yang terburuk.

 

The Studies:

[1] Jones et al., “The Divide Over America’s Future” (Public Religion Research Institute, Oct. 2016)

[2] Neff and Geers, “Optimistic Expectations in Early Marriage” (Journal of Personality and Social Psychology, July 2013)

[3] Dawson et al., “The Power of (Non) Positive Thinking” (Institute for the Study of Labor, July 2015)

[4] Ferrer et al., “Unrealistic Optimism Is Associated With Subclinical Atherosclerosis” (Health Psychology, Nov. 2012)

[5] Weinstein and Lyon, “Mindset, Optimistic Bias About Personal Risk and Health-Protective Behavior” (British Journal of Health Psychology, Nov. 1999)

[6] Sweeny and Shepperd, “The Costs of Optimism and the Benefits of Pessimism” (Emotion, Oct. 2010)

[7] Koch et al., “Can Negative Mood Improve Your Conversation?” (European Journal of Social Psychology, Aug. 2013)

[8] Lambert et al., “Mood and the Correction of Positive Versus Negative Stereotypes” (Journal of Personality and Social Psychology, May 1997)

[9] Forgas and Tan, “Mood Effects on Selfishness Versus Fairness” (Social Cognition, Aug. 2013)

[10] Norem and Cantor, “Defensive Pessimism” (Journal of Personality and Social Psychology, Dec. 1986)

[11] Norem and Illingworth, “Strategy-Dependent Effects of Reflecting on Self and Tasks” (Journal of Personality and Social Psychology, Oct. 1993)