Sabtu, 29 November 2014

Mengapa “Off The Record” Tidak Disarankan?


Minggu lalu, saya sharing dengan mahasiswa saya tentang buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiels. Salah satu poin dalam elemen dalam buku itu adalah bahwa jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga terhadap persoalan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat.
Pembicaraan kemudian merembet ke diskusi tentang penggunaan off the record. Dalam konteks ini jurnalis memang harus mematuhinya. Persoalannya adalah kalau ada wartawan lain yang mendengar itu, apakah terikat pada kesepatan tersebut. Atau bagaimana bila wartawan mencari atau menemukan sumber lain untuk menceritakan informasi yang of the record tadi?
Kasus yang menimpa perusahaan Uber, perusahaan penyedia taksi dengan mobil pribadi atau rideshare yang bisa dipesan melalui ponsel yang berpusat di New York, salah satu contohnya.
Di beberapa media di Amerika Serika, Uber “dituduh” melakukan upaya meningkatkan kredibilitasnya dengan bersedia mengeluarkan anggaran jutaan dolar untuk penelitian tentang “kehidupan pribadi” dan “keluarga” wartawan yang kritis terhadap perusahaan.
Itu yang disarankan VP Senior urusan bisnis Uber, Emil Michael, saat acara makan malam di New York (14/11/2014). Michael, BuzzFeed News melaporkan, menyarankan perusahaannya untuk menyewa sebuah tim peneliti untuk mempelajari para kritikus Uber, termasuk wartawan. Menurut Michael, seperti dikutip Business Insider, pernyataan itu off the record. Uber mengatakan bahwa informasi selama makan malam pribadi itu seharusnya dianggap sebagai off-the-record.
Tetapi, pemimpin redaksi BuzzFeed yang membeberkan pernyataan itu, Ben Smith, menulis komentar dengan mengatakan bahwa BuzzFeed tidak diberitahu bahwa pernyataan tersebut off the record. Oleh beberapa pihak, cara ini dianggap mirip dengan yang dilakukan Presiden Nixon pada tahun 1970an (yang kemudian dikenal dengan skandal Watergate) untuk melemahkan pesaing-pesaingnya.
Uber adalah perusahaan teknologi yang bergerak di bidang transportasi. Produknya berupa aplikasi mobile yang memungkinkan pengguna “memesan” mobil sewaan untuk bepergian. Di Jakarta, Uber “resmi” memberikan layanan “sewa mobil” melalui sebuah acara peluncuran pada Agustus lalu (13/8/2014).
Mobil sewaan ini dikenakan tarif menurut waktu dan jarak tempuh sehingga mirip taksi.Bedanya, Uber tak memiliki armada sendiri. Mobil-mobil “sewaan” yang disediakan berasal dari pengusaha rental mobil.
Sementara itu, Uber sendiri tidak mengatakan bahwa pihaknya mengumpulkan informasi tersebut. Menurut laporan Ben, “General manager Uber NYC mengakses profil reporter BuzzFeed News yang meliput Uber, Johana Bhuiyan, untuk kepentingan diskusi tentang kebijakan Uber. Tak ada pertukaran email yang dia berikan tanpa persetujuannya.”
Ben menambahkan bahwa Uber mengakses profil wartawan untuk melihat kemana saja para wartawan melakukan perjalanan saat menggunakan Uber, tulis Business Insider. Seorang juru bicara Uber mengatakan kepada Ben, bahwa mencari informasi tentang wartawan seperti yang dimaksudkan Michael adalah melanggar kebijakan Uber.
“Kegiatan tersebut jelas melanggar privasi kami dan kebijakan akses data kami. Mengakses dan menggunakan data hanya diperbolehkan untuk tujuan bisnis yang sah. Kebijakan ini berlaku untuk semua karyawan. Kami secara teratur… memantau dan mengaudit akses itu. ”
Setelah laporan BuzzFeed, Michael berkomentar, “Pernyataan yang berkaitan dengan saya saat private dinner, muncul karena rasa frustrasi saya selama debat resmi atas apa yang saya rasakan. Liputan media tentang perusahaan tempat saya dengan bangga bekerja, begitu sensasional. Pernyataan itu bukan mencerminkan pandangan saya yang sebenarnya dan tidak ada hubungannya dengan pandangan atau pendekatan perusahaan, “kata Michael dalam sebuah pernyataan seperti dikutip The New York Times. “Mereka salah, tidak peduli keadaannya, dan saya menyesali sikap mereka.”
Di Uber, Michael, 42, telah memainkan peran penting dalam menjalin kemitraan dan ekspansi pembiayaan internasional sejak Juni hingga Uber memperoleh dana sekitar $ 17 miliar. Dia juga membantu menuntaskan kesepakatan dengan penyedia jasa musik streaming Spotify (17/11) yang memungkinkan penumpang Uber memilih musik di mobil yang menjemput mereka.
Michael membantu mencapai kesepakatan dengan American Express (AXP) untuk memberikan poin reward program tambahan bagi pemegang kartu yang menggunakan Uber. Eksekutif kelahiran Kairo itu juga menandatangani kerjasama dengan Toyota Motor (TM) dan General Motors (GM), bersama dengan beberapa bank dan pemberi pinjaman, untuk membuat program pinjaman bagi perusahaan.
Musim panas ini, Michael yang lulusan Harvard University itu membantu membujuk perusahaan, termasuk Starbucks (SBUX), TripAdvisor (TRIP), dan United Continental (UAL), untuk menambahkan tombol Uber untuk aplikasi mobile mereka.
Dalam tulisannya di huffingtonpost.com, Nicole Campbell — Entrepreneur and former White House Fellow – menceritakan bahwa saat makan malam itu, dia duduk satu kursi lebih dengan Emil Michael. Awalnya, Emil duduk di sampingnya dan pindah untuk menyambut Ben Smith sebagai tamu.
Selama makan malam, CEO Uber memberikan ceramah singkat dan mempersilakan yang hadir untuk mengajukan pertanyaan. Percakapan berkisar mulai dari soal perluasan kesempatan kerja driver Uber, pendekatan Uber untuk memahami kota tempat Uber beroperasi, dan sebagainya.
Pertanyaan Ben datang terakhir. Ben bertanya apakah CEO Uber mendukung Obamacare. “Saat itu, Saya tidak tahu bahwa dia adalah seorang reporter. Yang dia berusaha untuk mengubah tenor pembicaraan makan malam, mungkin menurut dia tidak menyenangkan,” tulis Campbell.
Setelah CEO selesai memberikan jawabannya, Emil bertanya kepada Ben mengapa dia mengajukan pertanyaan itu. Campbell mendengar Ben mengatakan bahwa dia berharap CEO Uber itu memberikan jawaban yang libertarian. “Pada saat itu, saya ingin meraih Emil,” kata Campbell.
Namun, tulis Campbell lagi, dia mendengar percakapan lanjut mereka. Emil meminta Ben menjelaskan kenapa wartawan mempublikasikan cerita palsu atau menyerang kehidupan pribadi seorang pengusaha. Ben diam. “Itu percakapan cukup normal tentang hypotheticals,” kata Campbell.
Itu obrolan diantara mereka yang dia dengar. Komentar terakhir yang dia dengar adalah ketika Emil secara hipotesis mengatakan keinginannya menciptakan koalisi untuk jurnalisme yang bertanggung jawab. Ben mengatakan bahwa kemungkinan besar akan gagal karena perusahaan tidak memiliki keahlian dalam jurnalisme.
Celakanya, Emil secara sembrono mengatakan dia bisa menyewa wartawan profesional dengan anggaran $ 1 juta untuk mendapatkan keahlian mereka guna memastikan bahwa mereka bisa merespon ketika artikel negatif keluar. Demikian tulis Campbell.
Persoalannya, Uber sekarang tidak hanya memicu ketidakpercayaan media tapi juga di antara pelanggan dan prospek. Meski Ashton Kutcher – selebriti yang menjadi salah satu investornya – lewat tweetnya melalui @aplusk, mengatakan “What is so wrong about digging up dirt on shady journalist? @pando @TechCrunch @Uber.”
Pelajaran dari praktisi PR, seperti dikutip www.prnewsonline.com, hampir semua eksekutif perusahaan berpendapat bahwa menantang media atau mengkritik media biasanya jarang menang. Episode ini juga mengingatkan bahwa, bagi manajer PR dan direksi, bila bertemu dan bicara dengan wartawan sebaiknya tidak ada yang “off the record.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar