Pemahaman tentang perbedaan gender dalam komunikasi kini makin
penting. Ini sejalan dengan semakin banyaknya perempuan dalam angkatan kerja
dan meningkatnya partisipasi mereka dalam pekerjaan tradisional penjualan dan
pembelian yang selama ini didominasi laki-laki. Berdasarkan hasil SP2010,
jumlah angkatan kerja adalah 107,7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah
penduduk yang bekerja adalah 104,9 juta jiwa, terdiri dari 66,8 juta orang
laki-laki dan 38,1 juta orang perempuan.
Pekerja perempuan pada Februari 2007 bertambah 2,12 juta orang
dibanding Februari 2006. Sedangkan jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 287
ribu orang. Dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan),
jumlah penduduk bekerja yang tinggal di perkotaan adalah sebesar 48,9 juta
jiwa, sedangkan yang tinggal di daerah perdesaan adalah sebesar 56,0 juta jiwa.
(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=7&kategori=Ketenagakerjaan diakses pada 15 Oktober 2012)
Proporsi perempuan yang bekerja di bidang penjualan juga telah
meningkat secara substansial. Pendapat bahwa perempuan dapat menjadi tenaga
penjualan (wiraniaga) yang lebih baik dari pada pria juga makin populer (Shimp,
2004: 298).
Fenomena ini membuat isu gender dalam komunikasi menjadi semakin
menarik karena beberapa literatur menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan
menunjukkan perilaku yang berbeda dalam berbagai bidang khusus yang berkaitan
dengan penjualan. Misalnya, pria dan wanita menganggap kriteria yang berbeda
dalam pembelian (Goff, Belinger, dan Stojack 1994), pemprosesan informasi
(Kempf, Laczniak, dan Smith, 2006) dan gaya pengambilan keputusan yang berbeda
(Bakewell dan Mitchell 2006).
Perbedaan tersebut secara histori tercita sejak seseorang dilahirkan.
Sebagaimana yang ditulis Pearson, West dan Turner (1995:49), “Dari lahir telah
jelas bahwa bayi laki-laki dan perempuan diperlakukan secara berbeda….(Bayi)
laki-laki cenderung dikatakan sebagai anak yang kuat, kokoh, atau mandiri
dibandingkan dengan bayi perempuan. Bayi perempuan sebaliknyaseringkali
digambarkan sebagai menyenangkan, lucu, dan manis.”
Laki-laki Versus Perempuan
Meskipun terdapat perbedaan antara gaya berkomunikasi pria dan
wanita, namun perbedaan tersebut relative kecil. Misalnya, baik wanita maupun
pria memiliki perilaku yang berusaha untuk tetap akrab, agresif, berfokus pada
tugas, atau sentimental. Namun, terdapat hal penting dari perbedaan tersebut,
yakni wanita dan pria kadang-kadang memberikan makna yang berbeda ketika
melihat pesan yang sama.
Perempuan biasanya lebih mengharapkan hubungan yang didasarkan pada
saling ketergantungan (saling ketergantungan) dan kerjasama. Wanita lebih
sering menekankan kesamaan antara dirinya dan orang lain, dan mencoba untuk
membuat keputusan yang membuat semua orang bahagia. Sebaliknya, pria berharap
hubungan harus didasarkan pada kemerdekaan dan persaingan. Pria lebih sering
menekankan perbedaan antara dirinya dan orang lain, dan sering membuat
keputusan berdasarkan kebutuhan pribadi mereka atau keinginan (Tannen, 1990;
Wood, 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih
menuntut; cenderung mendominasi, otoriter, langsung ke inti masalah, tumpul,
kuat, agresif, sombong, militan, dan sering menggunakan kata-kata yang sifatnya
memberikan janji dan bahasa gaul. Wanita diyakini menggunakan tata bahasa yang
baik dan mengatakan dengan jelas, berbicara sopan, lembut, cepat, dan
emosional; banyak bicara, sering membicarakan hal-hal yang sepele, dan
menikmati gosip dan omong kosong (Edelsky, 1976; Kramarae, 1981; Lakoff , 1973;
Siegler & Siegler, 1976; Spender, 1979).
Dari perspektif komunikasi yang luas, terdapat perbedaan sistematis
dalam komunikasi berdasarkan gender. Wanita memiliki kecenderungan berusaha
keras untuk mempertahankan situasi ketika berlangsung percakapan tatap muka
lebih menghargai koneksi dan kerjasama daripada pria (Meyers et al, 1997).
Konsekuensinya, dalam beberapa hal, juga terdapat perbedaan dalam
komunikasi verbal. Wood (dalam Benokraitis, 1996) mengusulkan beberapa
perbedaan karakteristik kemampuan berbicara antara pria dan wanita. Menurut
Wood, ketika seorang perempuan berbicara, wanita cenderung menggunakan
komunikasi untuk mengembangkan dan memelihara hubungan, dan pembicaraan atau percakapan
mereka lebih sering berujung pada pembicaran tentang diri mereka sendiri.
Kedua, perempuan berusaha membuat persamaan di antara pihak-pihak
yang terlibat dalam komunikasi. Perempuan sering kali mendorong pembicara untuk
melanjutkan pembicaraannya dengan menunjukkan ketertarikan atau perhatian.
Ketiga, perempuan secara khusus menunjukkan dukungannya pada orang lain.
Keempat, perempuan lebih sering bertanya untuk suatu pemahaman yang lebih baik
terhadap perasaan-perasaan dan persepsi-persepsi.
Perbedaan lainnya, (kelima), ketika berbicara, perempuan cenderung
mengkonstruksikan “maintenance work”. Disini perempuan lebih sering menanyakan
sejumlah pertanyaan yang mendorong percakapan. Ketujuh, perempuan lebih sering
menggunakan detil, pengungkapan pribadi, dan anekdot. Lebih menggunakan bahasa
konkrit daripada bahasa yang samar-samar, pembicaraan wanita menjelaskan
isu-isu dan perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga orang lain bisa memahami
dan mengidentifikasi (personal, concrete
style -- gaya yang konkrit). .
Selanjutnya (ketujuh), meki ini tentative, namun ada fenomena bahwa
ketika berbicara perempuan kemungkinan memagari kata-katanya (verbal hedges)
dan qualifiers (pemberi sifat), menghaluskan sangkalan/penolakan pesan, dan
menggunakan verbal fillers
Sementara itu, ketika berbicara, laki-laki cenderung menggunakan
kemampuan berbicara untuk menyelesaikan tujuan khusus. Laki-laki lebih sering
terfokus pada problem solving (pemecahan masalah), yaitu dengan mendapatkan
informasi, mengumpulkan fakta-fakta, dan mengusulkan jalan keluar pada suatu
tindakan/solusi. Jadi pada pria kemampuan berbicara lebih sering dimaksudkan
untuk mengakhiri suatu persoalan dengan sebuah solusi dari pada berakhir dengan
membicarakan diri sendiri.
Kedua, laki-laki cenderung menggunakan control (exerting control).
Seorang laki-laki menggunakan kontrol untuk memperlihatkan, meningkatkan, atau
mempertahankan status personal, dan ide-idenya secara tegas, serta sering juga
untuk menantang orang lain. Sedikit kemungkinan bagi laki-laki menawarkan apa
yang dianggap oleh wanita sebagai kata-kata/ucapan empati. Dengan kata lain,
laki-laki kurang mungkin untuk mengekspresikan simpati atau membuka informasi
rahasia pribadi tentang dirinya sendiri.
Ketiga, laki-laki cenderung mendominasi percakapan (conversational
dominance). Dalam banyak konteks biasanya laki-laki mendominasi percakapan,
berbicara lebih sering dan dalam periode waktu yang lama. Laki-laki menunjukkan
dominansi dengan memotong pembicaraan orang lain, menginterpretasi kembali
makna/arti yang telah orang katakan, atau mengubah arah percakapan. Laki-laki
juga cenderung menyatakan diri mereka tegas, penganut kemutlakan (absolutist).
Dibandingkan perempuan, bahasa yang digunakan laki-laki secara khas
lebih kuat, langsung, dan autoritatif (memerintah), jarang sekali bersifat
tentatif (sementara). Laki-laki cenderung berkomunikasi lebih sering dalam
terminologi abstrak, suatu refleksi dari gayanya yang umum bukan perseorangan.
Berkaitan dengan perbedaan pola komunikasi lak-laki dan perempuan
tersebut, dalam konteks tenaga penjualan, pertanyaan tentang siapa yang lebih
baik – laki-laki atau perempuan – tidak akan terjawab secara umum. Suatu studi
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara tenaga penjualan laki-laki
dan perempuan dalam batas-batas komitmen kerja, kepuasan atau kinerja (Schul
dan Wren, 1992). Dengan kata lain, apakah perempuan atau laki-laki yang lebih
baik dalam menjalankan perannya sebagai tenaga penjualan tergantung pada jenis
pekerjaan penjualannya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang lebih dibandingkan laki-laki dalam melakukan pekerjaan penjualan misalnya
dalam membangun dan memelihara hubungan dan interaksi konsultatif antara tenaga
penjualan dan pelangannya (Sigauw dan Honeycutt 1995, Bettles dan Lane 2005).
Perempuan juga lebih mampu meningkatkan hubungan dengan pelanggannya
(Groysberg 2008). Sementara itu Heaston (2005) menemukan bahwa perempuan, yang
cenderung lebih relasional, pada umumnya berusaha untuk -- pertama -- membangun
hubungan dan kemudian berusaha mencapai tujuan mereka. Di sisi lain, laki-laki
cenderung lebih langsung dan fokus pada pencapaian tujuan mereka, sedangkan
membangun hubungan dianggap sebagai proses.
Gambaran ini makin memperkuat asumsi bahwa perempuan
memainkan peranan penting dalam penjualan. Ini terkait dengan tantangan bahwa
ke depan penjualan yang bersifat relational makin penting. Dalam konteks inilah
Rackham (1996:3) mengusulkan agar perusahaan-perusahaan, khususnya yang menjual
produk atau jasa yang rumit, mendorong wiraniaganya bergerak mulai dari
persiapan, penyelidikan masalah dan kebutuhan calon, sampai penunjukkan
kemampuan hebat pemasok, dan selanjutnya mendapatkan komitmen jangka panjang.
Pendekatan itu mencerminkan minat yang terus
bertumbuh dari berbagai perusahaan untuk bergerak dari pengejaran penjualan
langsung ke pengembangan hubungan pelanggan jangka panjang. Mengapa hubungan
dengan pelanggan? Palanggan masa kini berukuran besar dan sering bersifat
global. Mereka memilih pemasok yang dapat menjual dan mengirim kumpulan produk
dan pelayanan yang terkoordinasi ke berbagai lokasi, yang dapat dengan cepat
memecahkan masalah yang timbul di berbagai lokasi, dan yang dapat bekerja erat
dengan tim pelanggan utuk meningkatkan produk dan proses produksi.
Pemasaran hubungan didasarkan pada asumsi bahwa
pelanggan-pelanggan penting melakukan perhatian yang terpusat dan terus
menerus. Wiraniaga yang bekerjasama dengan pelanggan penting harus bertindak
lebih dari sekadar berkunjung ketika mereka pikir pelanggan telah siap untuk
memesan. Mereka juga sebaiknya berkunjung pada saat-saat lain, mengajak
pelanggan makan malam, memberikan usulan-usulan yang berguna bagi bisnis
mereka, dan sebagainya. Mereka harus memonitor pelanggan-pelanggan penting itu,
mengetahui masalah mereka, dan siap untuk melayani mereka dengan berbagai cara.
Jika program manajemen hubungan diterapkan secara
tepat, organisasi mulai memusatkan perhatian pada pengelolaan pelanggan seperti
halnya perhatian pada pengelolaan produk. Pada saat yang sama, perusahaan akan
menyadari bahwa walaupun terdapat dorongan yang kuat dan pasti ke arah
pemasaran hubungan, metode itu tidak efektif untuk semua situasi.
Ini mengindikasikan bahwa pemasaran hubungan terus
berkembang, pemasaran transaksi tidak mati. Ada beberapa situasi tertentu yang
membutuhkan pemasaran transaksi. Misalnya, untuk pelanggan yang memiliki
pandangan waktu yang pendek dan biaya peralihan -- bila harus berganti pemasok
-- yang rendah, pemasaran transaksi masih relevan. Dalam konteks inilah, seperti
yang dikatakan oleh Jefri R. Sirait, General manager operation TRAC menggunakan
cara lama atau konvensional. (Aruman, 2009)
Ambil contoh, ketika sebuah hotel membutuhkan sabun
mandi batangan yang akan disediakan di setiap kamar. Manajemen hotel mungkin
menganggap bahwa kualitas sabun mandi batangan tidak atau sedikit memiliki
perbedaan. Karena itu dia dapat membeli kepada salah satu dari beberapa pemasok
dan memilih pemasok yang menawarkan syarat terbaik menurut pengelola
hotel.
Dalam transaksi penjualan peran komunikasi sangat
penting. Karena itu, memahami perbedaan gender dalam gaya komunikasi bisa
membantu baik tenaga penjual laki-laki dan perempuan untuk mengantisipasi
bagaimana orang lain cenderung melihat mereka berdasarkan jenis kelamin mereka
dan gaya komunikasi.
Komunikasi memiliki beberapa pengertian, antara lain
merupakan sebuah proses interaksi sosial antara dua atau lebih individu yang
mencoba saling mempengaruhi dalam hal ide, sikap, pengetahuan, dan tingkah laku.
Selain itu komunikasi juga didefinisikan sebagai proses memberitahukan dan
menyebarkan pikiran-pikiran, nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah
partisipasi, agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama.
Ketika berkomunikasi, perilaku nonverbal menjadi dimensi
yang utama. Dimensi ini mencakup semua aspek komunikasi selain kata-kata. Menurut
Irabatti (2010), sekitar 35% komunikasi yang dilakukan oleh manusia melalui
komunikasi verbal dan 65% melalui komunikasi nonverbal. Permasalahannya adalah
bagaimana pola komunikasi nonverbal yang dilakukan tenaga penjual dan wanita
sehingga mengkosntruksikan suatu perbedaan dalam penciptaan kinerja tenaga
penjualan?
Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal didefinisikan sebagai
komunikasi tanpa kata-kata. Kehadiran dan penggunaan komunikasi nonverbal telah
diakui selama bertahun-tahun. Pada awal 1900-an, Sigmund Freud mencatat bahwa
orang tidak bisa menyimpan rahasia, meskipun mereka tidak berbicara. Gerakan
seseorang dan tindakan mengungkapkan perasaan yang tersembunyi tentang sesuatu
(Freud, 1905/1953. pp. 77-78).
Ketika komunikasi verbal dan nonverbal bertentangan,
orang percaya hanya tindakan. Ini adalah situasi yang menantang nyata dalam
sektor-sektor di mana orang-orang penjualan memenuhi pelanggan secara langsung.
Oleh karena itu komunikasi nonverbal dari penjual memainkan peran penting.
Komunikasi nonverbal menghemat waktu staf penjualan dan kadang-kadang terbukti
lebih efektif daripada komunikasi verbal.
Fungsi Pesan Non-Verbal
Rakhmat
(2012) menjelaskan bahwa komunikasi non-verbal memiliki beberapa fungsi, yaitu:
repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan
aksentuasi. Komunikasi nonverbal berfungsi sebagai repetisi
karena mengulang
kembali gagasan yang disajikan secara verbal. Misalnya setelah seseorang
menjelaskan penolakannya terhadap suatu hal, ia akan menggelengkan kepalanya
berulang kali untuk menjelaskan penolakannya.
Substitusi
karena komunikasi nonverbal menggantikan lambing-lambang verbal. Misalnya tanpa
sepatah katapun seseorang berkata, ia dapat menunjukkan persetujuan dengan
mengangguk-anggukkan kepala. Berfungsi sebagai kontradiksi karena komunikasi
yang terjadi dimaksudkan untuk menolak pesan verbal atau memberikan makna yang
lain terhadap pesan verbal. Misalnya seseorang memuji prestasi rekannya dengan
mencibirkan bibirnya sambil berkata: “Hebat, kau memang hebat”.
Sebaliknya,
komunikasi juga bisa berfungsi untuk melengkapi dan memperkaya makna pesan
non-verbal (komplemen). Misalnya air muka seseorang menunjukkan tingkat
penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata. Semenatara itu, aksentuasi
bila menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya seseorang
mengungkapkan kejengkelannya sambil memukul mimbar.
Komunikasi Non-Verbal Dalam Komunikasi Sehari-Hari
Ada
beberapa alasan yang menjadikan komunikasi non-verbal memiliki peran yang
sangat penting. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Leathers (1976). Pertama,
faktor-faktor non-verbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal.
Ketika seseorang mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, orang tersebut banyak
menyampaikan gagasan dan pikirannya melalui pesan-pesan non-verbal. Pada
gilirannya orang lain pun lebih banyak membaca pikiran-pikirannya melalui petunjuk-petunjuk
non-verbal.
Kedua, perasaan
dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan non-verbal ketimbang pesan
verbal. Menurut Mehrabian (1972), hanya 7% perasaan kasih sayang dapat
dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara,
dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan
sebagainya).
Ketiga, pesan
non-verbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan,
distorsi, dan kerancauan. Pesan non-verbal jarang dapat diatur oleh komunikator
secara sadar. Misalnya sejak zaman prasejarah, perempuan selalu mengatakan
“tidak” dengan lambing verbal, tetapi laki-laki jarang tertipu. Mereka tahu
ketika “tidak” diucapkan, seluruh anggota tubuhnya menyatakan “ya”. Kecuali aktor-aktor
yang terlatih, sembanyak orang yang lebih jujur berkomunikasi melalui pesan
non-verbal. Hal yang kadang kemudian terjadi adalah double binding dimana ketika pesan non-verbal bertentangan dengan
pesan verbal, orang pada akhirnya akan bersandar pada pesan non-verbal.
Keempat,
pesan non-verbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk
mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi meta-komunikatif artinya
memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Di atas
telah dipaparkan mengenai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen,
dan aksentuasi. Semua ini menambah kadar informasi dalam penyampaian pesan.
Kelima, pesan
non-verbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan
pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan
verbal selalu terdapat redundansi (lebih banyak lambang dari yang diperlukan),
repetisi, ambiguity, dan abstraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk
mengungkapkan pikiran kita secara verbal daripada secara nonverbal.
Keenam, pesan
non-verbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi
yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak
langsung. Sugesti di sini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain
secara implicit. Leathers (1976) menyatakan bahwa jika anda meminta pelayanan
seksual dari anak di bawah umur secara verbal, anda dapat menerima hukuman
pernjara. Jika anda melakuka hal yang sama secara non-verbal, anda bebas dari
hukuman. Seseorang dapat memuji seseorang lainnya secara verbal, tetapi
mengecamnya secara non-verbal. Inipun sulit dituntut secara hukum.
Jenis-Jenis Pesan Non-Verbal
Menurut
Zanden (1990) bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang dikemukakan antara lain:
(1) body language, (2) paralanguage, (3) proximics, (4) touch dan (5)
artifacts.
1. Body
language yaitu bentuk komunikasi nonverbal dengan menggunakan bahasa tubuh.
Dari gerakan serta caranya mengungkapkan sesuatu dalam pembicaraan diikuti
dengan gerakan seluruh badan atau anggota badan, yang dapat memberikan
informasi tentang apa yang sedang disampaikannya.
2.
Paralanguage yaitu bentuk komunikasi nonverbal yang menjelaskan bagaimana
sesuatu dikatakan, misalnya intonasi, kecepatan bicara dan masa diam. Sebagai
contoh kegembiraan yang tercermin dari suara yang terdengar. Jika anak sedih,
kecepatan dan volume suara terdengar rendah atau orangtua yang sudah
mengingatkan anaknya berkali-kali, dari volume suara normal sampai bernada
melengking, akhirnya dapat menggunakan komunikasi diam.
3.
Proximics adalah komunikasi nonverbal yang tercermin, bagaimana individu
menggunakan ruang personal yang tersedia. Misalnya; duduk di bagian depan kelas
atau di belakang.
4. Touch
(sentuhan) adalah komunikasi yang terjadi secara nonverbal dengan sentuhan,
belaian, memberi salam, untuk menunjukkan bagaimana keadaan perasaan.
5.
Artifacs merupakan komunikasi nonverbal yang mencerminkan status, yang terlihat
melalui cara berpakaian, perhiasan yang digunakan, alat-alat dan barang-barang
yang digunakan.
Sementara
itu. Duncan (dalam Rakhmat, 2012) menyebutkan terdapat beberapa jenis pesan
non-verbal lainnya, yakni kinesik atau gerak tubuh; paralinguistic atau suara;
prosemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial; olfaksi atau penciuman;
sensitivitas kulit; dan faktor artifisial seperti pakaian dan kosmetik.
Pesan kinesik. Petunjuk kinesik adalah
gerakan tubuh yang dapat dilihat yang dapat mengirimkan pesan mengenai sikap
seseorang terhadap orang lain. Seseorang bersandar ke depan misalnya, itu
menandakan bahwa orang tersebut merasa nyaman dengan seseorang yang menjadi
lawan komunikasinya. Gerakan tubuh juga mengungkapkan keadaan emosi seseorang.
Bila seseorang mengetuk-ngetukan meja misalnya, orang tersebut seakan
menyampaikan pesan emosinya bahwa dia sedang gelisah. Hal lain adalah bahwa
gerakan tubuh menyampaikan keinginan seseorang untuk mengontrol lingkungan.
Misalnya, seseorang menggerakkan tangannya untuk mengusir nyamuk (Samovar,
Porter, dan McDaniel, 2010:304-305).
Pesan
kinesik terdiri dari tiga kompunen utama yaitu; pesan fasial, pesan gestural,
dan pesan postural. Berikut ini gambaran tentang perbedaan-perbedaan yang
muncul dari masing-masing pesan tersebut.
Pesan Fasial
Pada
dasarnya, wajah seseorang itu sangat ekspresif. Apapun yang dirasakan seseorang
di dalam dirinya akan tercermin di wajahnya. Hal ini sangat penting dalam
setiap acara komunikasi tatap muka. Sebab wajah manusia mampu mengekspresikan
emosi tak terhitung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ekspresi
wajah umumnya berhubungan dengan kebahagiaan, terkejut, sedih marah, dan
keheranan. Seseorang dapat dengan mudah menandai semua sinyal yang dikirim
melalui bagian wajah seperti bibir, posisi alis, pipi, rahang, hidung dan dagu.
Pikiran dan perasaan yang disampaikan bisa positif atau negatif. Tidak seperti
beberapa bentuk komunikasi nonverbal, ekspresi wajah bersifat universal.
Pesan ini
menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok
makna : kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan,
pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.
Leathers
(1976) menyimpulkan penelitian tentang wajah sebagai berikut. Pertama, wajah
mengkomunikasikan penilaian tentang ekspresi senang dan tak senang, yang
menunjukkan komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk. Kedua, wajah
mengkomunikasikan minat seseorang kepada orang lain atau lingkungan. Ketiga, wajah
mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi. Keempat, wajah
mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri.
Kelima, wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian.
Temuan sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam situasi sosial
perempuan lebih banyak tersenyum daripada laki-laki (Hall 1984, 1998).
Tersenyum dianggap sebagai bagian dari peran feminin dan sering dianggap
sebagai sesuatu yang seorang wanita harus lakukan sebagai ungkapan kebahagiaan
atau keramahan. Di sisi lain, laki-laki cenderung tersenyum ketika senang atau
geli. Disini perempuan memang memiliki kesamaan, yakni bila senang akan
tersenyum. Akan tetapi mereka tidak dapat merasakan emosi yang positif atas
tindakannya tersenyum itu.
Hal lain yang masih terkait dengan masalah senyuman adalah bahwa
kadang-kadang tersenyum dilihat sebagai indikator status. Dalam konteks ini, seseorang
yang memiliki status dominan akan kurang tersenyum dibandingkan bawahan. Dengan
demikian, bila seorang perempuan tersenyum maka hal itu bisa ditafsirkan oleh
beberapa orang sebagai cerminan dari status subordinat yang dirasakankannya
(Henley 1977).
Namun, penelitian lain bertentangan dengan interpretasi status ini.
Hall dkk. (2001) dan Hall dan Friedman (1999), misalnya, menemukan bahwa
meskipun perempuan secara konsisten lebih banyak tersenyum daripada pria,
mereka yang berstatus lebih rendah dalam suatu perusahaan tidak tersenyum lebih
sering dari mereka yang berstatus lebih tinggi.
Di daerah lain terkait kinesics, perempuan juga akan mengangguk bila
setuju (Helweg-Larsen, Cunningham, Carrico, & Pergram, 2004). Hall (1984)
menunjukkan bahwa laki-laki biasanya lebih suka menggunakan gerak tubuh ketika
berbicara, tapi akan kurang menampilkan emosi melalui senyuman karena 'aturan
yang disosialisasikan' yang seakan menentukan bahwa laki-laki harus netral
secara emosional. Hall (1984) juga berpendapat bahwa laki-laki cenderung untuk
menampilkan ekspresi wajah dalam upaya untuk menjaga netralitas itu.
Kontak Mata
Penelitian tentang pesan yang dikomunikasikan melalui mata (sebuah
studi teknis dikenal sebagai oculesis) menunjukkan bahwa orang menafsirkan pesan
yang disampaikan melalui kontak mata cukup bervariasi tergantung pada durasi,
arah, dan kualitas perilaku mata. Misalnya, dalam setiap kebudayaan terdapat
aturan ketat, meskipun tak tertulis, tentang durasi yang tepat untuk kontak
mata.
Kontak mata merupakan bentuk komunikasi nonverbal dan diduga memiliki
pengaruh besar pada perilaku sosial. Hal ini diyakini untuk menunjukkan
keterlibatan pribadi dan menciptakan ikatan yang intim. Kontak mata memberikan
informasi sosial untuk orang yang mendengarkan dan berbicara dengan seseorang.
Ini adalah bentuk langsung dan kuat dari komunikasi non-verbal.
Mata adalah perpanjangan dari pikiran dan jendela jiwa. Secara akurat,
mata mencerminkan perasaan benar dan emosi si pembicara dan pendengar. Perasaan
unggul dalam organisasi pada umumnya diwujudkan dengan mengipayakan baik sadar
atau tidak sadar dengan mempertahankan kontak mata lebih lama dari bawahan.
Tatapan langsung dari pengirim pesan menyampaikan kejujuran dan keterbukaan.
Ini memunculkan rasa kepercayaan. Mata dapat mengekspresikan fokus,
reseptif atau jarak. Melirik misalnya, umumnya berkaitan dengan kerendahan
hati. Melihat ke bawah memberikan kesan malu, kalah, atau rasa inferior
lainnya. Mata diarahkan melihat ke atas berhubungan dengan kelelahan. Karena
indra visual dominan bagi kebanyakan orang. Proses kontak mata antara pengirim
dan penerima adalah cara sadar seseorang melihat seseorang. Ketika seseorang melakukan
kontak mata, itu dapat mengkomunikasikan
banyak hal, termasuk ketertarikan, kasih sayang, permusuhan, atau ketertarikan.
Kontak mata juga penting dalam menjaga aliran percakapan dan untuk
mengukur respon orang lain. Kontak mata memodifikasi makna perilaku nonverbal
lainnya. Misalnya, orang-orang di lift atau banyak dapat menyesuaikan rasa
ruang pribadi jika mereka setuju untuk membatasi kontak mata. Apa yang terjadi
jika konvensi ini tidak diikuti? Dalam budaya Amerika serikat misalnya, rata-rata
panjang tatapan yang menghasilkan interpretasi baik sekitar 2.95 detik.
Rata-rata lama tatapan bersama (dua orang saling memandang) adalah 1,18 detik
(Argyle, 1988). Ketika kontak mata berlangsung lebih singkat dari rata-rata
tadi, orang lain mungkin berpikir bahwa orang tersebut tidak tertarik, malu,
atau sibuk. Sebaliknya, bila melebihi dari rata-rata, orang mungkin menganggap lawan
bicaranya sangat berminat.
Beberapa studi yang dilakukan memberikan hasil bahwa membangun dan
mempertahankan kontak mata memberikan kontribusi yang penting dalam memulai dan
menumbuhkan kepercayaan (Gueguen dan Yakub, 2002), membuat evaluasi yang
menguntungkan dalam interaksi (Knackstedt dan Kleinke, 1991), serta untuk
membuat dan menampilkan transparansi pemahaman dalam transaksi interpersonal
(Ucok, 2006).
Riset mendapati bahwa proporsi waktu interaksi yang digunakan untuk
memandang sambil mendengarkan adalah antara 62 dan 75 persen. Sedangkan
persentase waktu yang digunakan untuk memandang sambil berbicara adalah antara
35-41 persen (Argyle, 1988; Knapp, 1978). Kaum perempuan lebih banyak melakukan
kontak mata dan melakukannya lebih lama, baik dalam berbicara maupun
mendengarkan, dari pada laki-laki.
Situasi itu terjadi naik bila perempuan itu berinteraksi dengan
perempuan lain maupun dengan laki-laki. Perbedaan perilaku mata ini mungkin
disebabkan oleh kecenderungan perempuan utnuk menampakan emosinya lebih kuat
ketimbang laki-laki (DeVito, 1997: 191).
Penerapan ekspresi wajah di bidang pemasaran masih belum luas. Hanya
satu studi yang telah dilakukan berkaitan ekspresi wajah dan jenis pelanggan
(Shergill et al., 2008). Namun, ada studi tentang penerapan ekspresi wajah
dalam aspek pemasaran lainnya, seperti yang dilakukan Howard dan Gengler (2001)
yang berfokus pada aspek emosional yang bisa mempengaruh sikap terhadap produk.
Mereka menemukan bahwa pelanggan (receiver) yang menerima ekspresi wajah yang
menguntungkan dari penjual (pengirim) memiliki bias positif pada produk.
Bagaimana seseorang harus melakukan tatap muka, tergantung pada situasi.
Idealnya, ketika berbicara di depan kelompok, seseorang harus melakukan kontak
mata langsung untuk menunjukkan ketulusan, kredibilitas, dan kepercayaan.
Melirik dari tatap muka cepat atau menatap dinding memiliki efek sebaliknya.
Namun, menatap bisa mengalahkan pelanggan dan membuat mereka tidak nyaman.
Dalam sebuah studi, Verbeke dan Bagozzi (2000) menemukan bahwa
kurangnya kontak mata memiliki efek negatif pada kinerja tenaga penjualan.
Dengan demikian, hasil peneitian-penelitian menegaskan bagi tenaga penjual
membangun dan mempertahankan kontak mata merupakan suatu hal yang penting guna
mencapai keberhasilan dalam penjualan.
Dalam konteks perbedaan gender di bidang penjualan, ada gambaran
bahwa komunikasi individu dari tingkat status, berbeda dalam penggunaan kontak
mata sebagai cerminan dari pola dominasi sosial yang dirasakan di antara dua
pihak yang terlibat. Orang status yang lebih tinggi cenderung melihat orang
yang statusnya lebih rendah ketika mereka berbicara, dan orang-orang status
yang lebih rendah cenderung melihat orang status yang lebih tinggi ketika
mereka mendengarkan (Hyde 2004).
Dikaitkan dengan konsep dominasi stereotype laki-laki di bidang
penjualan, bisa dikatakan bahwa perempuan dianggap memiliki peran bawahan.
Dengan demikian perempuan tidak membangun banyak kontak mata. Karena itu, dalam
sebuah studi yang dirancang untuk menguji dominasi visual, ketika perempuan
diberi peran dengan status yang lebih tinggi, perempuan memang membuat kontak
mata lebih banyak daripada pria ketika berbicara. Sebaliknya, laki-laki akan
melakukan kontak mata lebih banyak,
sambil mendengarkan, mendukung interpretasi status perbedaan dominasi visual
(Dovidio et al, 1988.).
Pesan Gestural.
Pesan ini
direpresentasikan melalui gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan
tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway dalam Rakhmat
(2012), pesan ini berfungsi untuk mengungkapkan: mendorong/membatasi, menyesuaikan/mempertentangkan,
responsif/tak responsive, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak
memperhatikan, melancarkan/tidak reseptif, dan menyetujui/menolak.
Pesan
gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain
dari pesan verbal atau pesan lainnya. Pesan gestural tak responsif menunjukkan
gestur yang yang tidak ada kaitannya dengan pesan yang diresponnya. Pesan
gestural negatif mengungkapkan sikap dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan
gestural tak responsive mengabaikan permintaan untuk bertindak.
Pesan Postural
Postur
dapat menyampaikan pesan apakah seseorang sedang memperhatikan atau tidak tingkatan
status ketika berhubungan, dan bahkan bagaimana seseorang saling membenci atau
menyukai. Berkaitan dengan keseluruhan anggota badan, Mehrabian (1972) menyebutkan
tiga makna yang dapat disampaikan postur. Pertama sebagai ungkapan kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain (immediacy). Postur yang condong
ke arah lawan bicara menunjukkan kesukaan atau penilaian positif. Kedua, mengungkapkan status yang tinggi pada
diri komunikator (Power). Ketiga, responsiveness dimana individu mengkomunikasikannya
bila ia bereaksi secara emosional pada lingkungan, baik positif maupun negatif.
Di Amerika Serikat, perempuan lebih sering merapatkan tangan mereka
dibandingkan laki-laki. Mereka merapatkan kaki dan jarang menyilangkannya.
2. Pesan Proksemik
Pesan ini
disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Proksemik merupakan indikasi
keakraban seseorang dengan orang lain. Pada umumnya, dengan mengatur jarak, seseorang
mengungkapkan keakrabannya dengan orang lain. Pesan ini juga diungkapkan dengan
mengatur ruangan objek dan rancangan interior. Pesan ini dapat mengungkapkan
status sosial ekonomi, keterbukaan, dan keakraban.
Hal ini
mengacu pada penggunaan orang dari ruang pribadi di sekitar mereka. Ruang
antarpribadi biasanya dibagi menjadi empat 'zona': zona Intim (0 - 18''), zona
Personal (18 "- 4 ft), zona Sosial (4 ft - 12 ft), dan zona Publik (>
12 ft) (Kapri dan Pease 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pria,
mereka lebih memilih jarak yang lebih besar antara dirinya dan orang lain,
sedangkan wanita lebih nyaman dengan jarak yang lebih kecil antara dirinya dan
orang lain (Hyde 2004).
Sebuah
studi yang terkait menemukan bahwa perempuan biasanya memiliki jarak
interpersonal yang tidak jauh antara dirinya dan orang lain. Ini merupakan
salah satu bentuk dari tindakan mereka untuk mengekspresikan kehangatan atau
keramahan. Di bidang penjualan, kebijaksanaan konvensional menyatakan bahwa
presentasi yang paling efektif mengambil tempat di zona personal (18 "- 4
ft, Weitz, Castelberry, dan Tanner, 2009) meskipun perempuan lebih nyaman
dibandingkan pria dengan sisi-by-side interaksi (Kalbfleisch, 1993).
Beberapa
peneliti melihat adanya perbedaan antara perilaku proksemik laki-laki dan
perempuan. Secara khusus, mereka
mengklaim bahwa ruang pribadi antar laki-laki adalah yang terbesar, antar
perempuan yang terkecil, dan antara laki-laki dan perempuan tingkat menengah.
Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan laki-laki,
perempuan mempertahankan sedikit ruang antara mereka dan orang lain (Adler
& Iverson, 1974; Aiello, 1977), memiliki tubuh yang mengambil jumlah yang
lebih kecil dari ruang fisik (Mehrabian, 1972, Jenni & Jenni, 1976), dan
perempuan lebih memiliki kemungkinan untuk menarik bila ruang mereka diserang
dari pada laki-laki (Henley, 1977).
Proksemics
antara individu yang lebih dekat ditunjukkan dengan perilaku mereka seperti
dengan lebih sering memeluk dan menyentuh (meskipun frekuensi dan tata cara ini
terkait dengan budaya). Hall dan Veccia (1990) yang mengkaji sentuhan antara laki-laki
dan perempuan menemukan bahwa – untuk tujuan yang sama -- baik pria dan wanita
saling menyentuh dengan frekuensi yang sama. Perbedaannya adalah bahwa bila laki-laki
cenderung menempatkan tangannya di bahu, sedangkan perempuan meletakkan tangan mereka di lengan
laki-laki '(mungkin berkaitan dengan perbedaan ketinggian).
Dalam
konteks tersebut, sentuhan mengacu pada dua fenomena. Yang pertama mengacu pada
tindakan suatu benda pada kulit dan yang kedua mengacu pada informasi oleh
sistem sensorik dari kulit (yaitu, perasaan). Tekanan yang diberikan pada kulit
akan memberikan arti kata sentuhan yang sebenarnya, sementara perasaan geli merupakan
aspek arti kata kedua.
Pada
tahap awal sebuah kontak, biasanya melibatkan intensitas sentuhan yang lebih
tinggi. Pada tahap ini, ketika seorang laki-laki menyentuh perempuan, perempuan
tersebut menganggap bahwa laki-laki tersebut bisa menjadi pasangan hidup.
Sebaliknya – pada tahap kontak awal -- bila perempuan makin sering menyentuh
laki-laki, tak banyak laki-laki yang menganggap sentuhan itu sebagai sebuah
penerimaan (Silverthorne, Micklewright, O'Donnell, & Gibson, 1976).
Studi
lain menunjukkan bahwa laki-laki kurang memberikan tanggapan positif atas
sentuhan dari perempuan (Whitcher & Fisher, 1979). Seorang perawat
perempuan misalnya bisa memberikan sentuhan atau tidak memberikan sentuhan
kepada seorang pasien yang tengah menunggu untuk dioperasi. Ini karena
berdasarkan penelitian, ketika seorang pasien laki-laki disentuh sang perawat,
pasien tersebut dilaporkan mengalami kecemasan pada operasi mereka dan memiliki tekanan darah
yang lebih tinggi (baik sistolik dan diastolik) dibandingkan laki-laki yang
menunggu operasi tapi tidak disentuh. Sebaliknya, bagi pasien perempuan
sentuhan perawat akan membuat mereka kurang cemas dan memiliki tekanan darah
yang lebih rendah (baik sistolik dan diastolik).
Berbagai
pesan atau perasaan juga dapat disampaikan melalui sentuhan, tetapi yang paling
sering dikomunikasikan antara lain : tanpa perhatian (detached), kasih saying
(mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Bau-bauan
telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar maupun tidak sadar.
Saat ini orang-orang telah mencoba menggunakan bau-bauan buatan seperti parfum
untuk menyampaikan pesan.
Perbedaan
gender dalam gaya komunikasi non-verbal dapat menyebabkan kesalahpahaman bila
dikaitkan dengan situasi penjualan lintas gender. Misalnya, karena perempuan
tersenyum dan mengangguk lebih sering selama percakapan daripada pria, dan
karena tindakan ini tidak selalu merupakan indikator dari perjanjian, pria
mungkin salah menafsirkan tersenyum klien perempuan dan mengangguk sebagai
tanda persetujuan.
Demikian
pula, karena laki-laki cenderung untuk menjaga postur tubuh netral sambil
mendengarkan perempuan berbicara, orang perempuan tersebut mungkin salah
menafsirkannya. Karena perempuan tersebut melihat kurangnya bahasa tubuh laki-laki
lawan bicaranya, perempuan tadi menafsirkannya sebagai tanda bahwa mereka bosan
atau tidak memperhatikan. Baik pria maupun wanita dalam pengaturan penjualan
dapat mengambil manfaat dari pemahaman tentang perbedaan ini. Dengan demikian
diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku baik atau reinterpretasi perilaku
orang lain.
Implikasi
Sama
seperti penjual laki-laki dan perempuan dapat mengambil manfaat dari analisis
gaya komunikasi verbal mereka, mereka juga dapat keuntungan dari pemeriksaan
hati-hati non-verbal gaya komunikasi mereka. Perempuan, misalnya, mungkin
berkeinginan menyeimbangkan gaya komunikasi non-verbal mereka sehingga mereka terlalu
feminin maupun terlalu maskulin.
Misalnya,
perempuan mungkin ingin mempertimbangkan perbedaan gender dalam tersenyum dan
implikasinya dalam pengaturan penjualan. Meskipun perempuan yang tersenyum
terlalu banyak dapat menurunkan statusnya menjadi lebih rendah atau tidak
kompeten, perempuan yang tersenyum terlalu sedikit dapat secara negatif
ditafsirkan sebagai salah satu bentuk kegagalan dalam hidup sesuai dengan peran
gender mereka.
Laki-laki,
di sisi lain, harus waspada ketika menggunakan ruang pribadi dan kontak mata.
Ini karena keduanya dapat digunakan untuk membangun dominasi. Misalnya,
meskipun perempuan mungkin lebih nyaman dengan jarak antar kecil dibandingkan
laki-laki, tenaga penjual laki-laki yang memasuki ruang pribadi klien perempuan mungkin bisa
ditafsirkan bahwa dia tidak memiliki status dalam interaksi.
Secara
umum, seorang penjual seyogyanya memulai interaksinya dengan pelanggan pada zona
sosial dan tidak bergerak terlalu dekat sampai hubungan awal telah ditetapkan.
Jika pembeli menunjukkan bahwa hubungan yang ramah telah dikembangkan, penjual bisa
bergerak untuk lebih dekat.
Demikian
pula, karena laki-laki cenderung mengikuti pola kontak mata yang menunjukkan
dominasi (yaitu, melakukan kontak mata saat berbicara, tetapi tidak sambil
mendengarkan), laki-laki harus melakukan upaya sadar untuk mengubah perilaku
mereka untuk membangun dan mempertahankan kontak mata saat mendengarkan klien. Bila
tenaga penjual laki-laki melakukan hal ini lebih mungkin untuk memberikan
status lebih tinggi dan membangun kepercayaan dengan klien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, L. L., &
Iverson, M. A. (1974). Interpersonal distance as a function of task difculty,
praise,
status orientation, and sex of partner. Perceptual & Motor Skills, 39, 683–
692.
Aiello, J. R. (1977). A
further look at equilibrium theory: Visual interaction as a function of
interpersonal
distance. Environmental Psychology & Nonverbal Behavior, 1, 122–140.
Argyle, M . 1988. Bodily Communication, 2nd ed. New York:
Methuen.
Aruman. 2009. Selling with Creativity. MIX 09:6 September.
Bakewell, Cathy and Vincent-Wayne Mitchell. 2006. Male versus Female
Consumer Decision
Making Styles. Journal of Business Research, 59
(12) pp. 1297-1300.
Benokraitis, N. V. 1996. Marriages and families: Change choices, and
constraints (2nd. Ed). New
Jersey: Prentice Hall.
deVito, J. A. 2004. The interpersonal communication book, 10th ed.
Boston: Pearson-Allyn &
Bacon.
Dovidio, J. F., S.L. Ellyson, C.F. Keating, K. Heltmanand C.E. Brown, C. E. (1988).
The Relationship of Social Power to Visual
Displays of Dominance between Men and
Women", Journal of Personality and
Social P-!),chology, 54, pp.
233-242.
Freud, S. 1953. Fragment of an analysis of a case of hysteria. In The
standard edition of the
complete
psychological works of Sigmund Freud (Vol. 7). London: Hogarth. (Original work
published 1905.)
Gueguen, N., and C Jacob,. 2002. Direct Look Versus Evasive Glance
and Compliance with a
Request", Journal of Social P.rychology, 142(3), pp. 393-396.
Goff, Brent G., Danny N. Bellenger and Carrie Stojack. 1994. Cues to
Consumer Susceptibility to
Salesperson Influence: Implications for adaptive
retail selling. Journal of Personal Selling and
Sales Management, 14, 2 (Spring), pp. 25-39.
Hall, J. A. 1984. Nonverbal Sex Differences. Baltimore: Johns Hopkins
University Press.
Hall, J. A. 1998. How Big are Nonverbal Sex Differences? The Case of
Smiling and Sensitivity to
Nonverbal Cues.
In D. Canary and K. Dindia (Eds.). Sex Differences and Similarities in
Communication (pp. 155-178).
Hall, J. A., L.B. LeBeau, J. Gordon, J., and F. Thayer, 2001. Status,
Gender, and Nonverbal Behavior
in Candid and
Posed Photographs: A study of Conversations between University Employees”. Sex
Roles, 44, pp. 677-692.
Hall, J. A., and G. Friedman,. 1999. Status, Gender, and Nonverbal
Behavior: A Study of Structured
Interactions between Employees of a Company.
Personality and Social Psychology Bulletin,
25, pp. 1082-1091.
Hall, J. A., and Veccia, E. M. 1990. More "touching"
observations: new insigh ts on men, women
and interpersonal
touch. Journal of Personality and Social Psychology, 59(6), 1] 55- 11 62.
Helweg-Larsen, M., Cunningham, S., Carrico, A., & Pergram, A.
2004. To nod or not to nod: An
observational study of nonverbal communication
and status in female and male college
students. Psychology of Women Quarterly, 28(4),
358-361.
Henley, N. M. 1977. Body politics: Power, Sex, and Nonverbal Communication.
Englewood Cliffs,
NJ: Prentice-Hall.
Howard, D. J., Gengler, C.,
2001. Emotional Contagion Effects on Product Attitudes. Journal of
Consumer Research 28(2), 189-201.
Irabatti, Priya. 2010. Study
on Increasing Importance of Nonverbal Communication in Retail
Industry.
Journal of Research in Commerce & Management, Vol. 1: 4
Jenni, D. A., & Jenni,
M. A. (1976). Carrying behavior in humans: Analysis of sex differences.
Science,
194, 859 –860.
Kempf, DeAnna S., Russell N. Laczniak, and Robert. E. Smith. 2006.
The Effects of Gender on
Processing Advertising and Product Trial
Information. Marketing Letters, 17 (1), pp. 5-16.
Knackstedt Georgia and
Chris Kleinke. 1991. Eye Contact, Gender, and Personality Judgements.
Journal of
Social P!Jchology, 131,4 (April)
pp. 303-304.
Knapp, M. 1978. Nonverbal
Behavior in human relationship. Boston: Allyn & Bacon.
Leathers, D.G. 1976.
Nonverbal Communication System. Sydney : Allyn and Bacon, Inc.
Mehrabian, A. 1972.
Nonverbal communication. Chicago: Aldine-Atherton.
Pearson, J. C., West, R.,
Turner, L. H. 1995. Gender and communication (edisi 3). Madison, WI: Brown
& Benchmark.
Rackham, Neil. 1996. The
SPINselling fieldbook : practical tools, methods, exercises and resources.
New York:
McGraw-Hill.
Rakhmat, J. 2012. Psikologi
Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosadakarya
Schul, L. Patrick and Brent M.
Wren. 1992. The Emerging Role of Women in Industrial Selling: A
Decade of Change. Journal of Marketing 56. 3:38
Shergill, G. S., Sarafzadeh, A., Diegel, O., Shekar, A., 2008.
Computerized Sales Assistants: The
Application of
Computer Technology to Measure Consumer Interest – A Conceptural Framework.
Journal of Electronic Commerce Research 9(2), 176-191.
Shimp, A. Terence. 2000. Advertising Promotion and Supplemental
Aspect of Integrated Marketing
Communication, 5th edition. London: Harcourt
Silverthorne, C., Micklewright, J., O’Donnell, M., & Gibson, R.
1976. Attribution of personal
characteristics as a function of the degree of
touch on initial contact and sex.
Sex Roles, 2, 185–193.
Ucok, O. 2006. Transparency, Communication and Mindfulness. Journal of Management
Development,
25(10), pp. 1024- 1028.
Verbeke,
William , and Richard Bagozzi. 2000. Sales
Call Anxiety: Exploring
What it Means
When Fear Rules a Sales Encounter. Journal of Marketing,
64(3), pp. 88-101.
Whitcher, S. J., & Fisher, J. D. 1979. Multidimensional reaction
to therapeutic touch in a hospital
setting. Journal of Personality
& Social Psychology, 37, 87–96.
Zanden. 1990. Sosiology the core. USA: McGraw Hill Inc.