Tenaga penjual di pengecer memainkan peran yang sangat penting dalam mempengaruhi pilihan dan keputusan pembelian oleh konsumen. Karena itu, membuat pengecer (peritel) lebih merekomendasikan merek Anda dibandingkan merek pesaing adalah penting. Bagaimana caranya?
Cobalah Anda sesekali ngopi di warung di daerah Bogor. Bila
Anda minta kopi tubruk, Anda akan ditawari. “Kopi Liong atau kopi yang lain?.”
Itu beberapa kali saya alami saat ngopi di warung, termasuk di kantin Fateta
IPB Bogor. Kopi Bubuk Cap Liong Bulan adalah kopi lokal yang dibuat oleh
keluarga keturunan Tionghua dahulu di sekitar Pasar Anyar, Bogor. Mulai
diproduksi sejak tahu 1945 hingga kini kopi Liong Bulan masih bertahan sebagai
kopi favorit di Bogor.
Tahun lalu, dalam tulisan di menu utama tentang retailer
satisfaction, saya berargumen tentang pentingnya mengembangkan hubungan yang
lebih produktif antara produsen dan pengecer. Aspek penting dari hubungan ini
adalah, pertama, partisipasi pengecer dalam kegiatan yang disponsori produsen,
yakni program display di dalam toko.
Kedua, begitu pentingnya peranan pengecer dalam mempengaruhi
keputusan konsumen di dalam toko melalui rekomendasi merek – terutama untuk
produk elektronik, tahan lama (durable goods), dan produk yang memiliki risiko lainnya
(Mueller 2000) -- produsen berusaha dengan menggunakan berbagai strategi untuk
mendorong advokasi terhadap merek mereka. Karena itulah, secara tradisional produsen
menggunakan tenaga penjualan mereka
untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan (relationship) yang berpusat pada
merek dengan pengecernya.
Pentingnya mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan
antara produsen dan pengecer diakui secara luas (Ganesan 1994, Murry dan Heide
1998; Schellhase, Hardock, dan Ohlwein 1999; Webster 2000). Bagi produsen,
hubungan tersebut merupakan sumber yang sangat potensial untuk meningkatkan keunggulan
kompetitif dan memberikan manfaat, seperti kerjasama yang lebih baik dengan pengecer,
stabilitas pasar, tampilan (display) yang lebih baik dan promosi, hingga akhirnya
berujung pada profitabilitas yang lebih besar (Boles dan Barksdale 1997;
Ganesan 1994). Sementara itu tenaga penjual produsen berperan penting dalam
memberikan manfaat penting bagi pengecer misalnya dalam meningkatkan komunikasi
pada produk dan jasa, diskon, perlakuan istimewa, dan layanan yang baik (Boles,
Barksdale, dan Johnson 1996).
Karena itu, pengerahan tenaga penjualan pihak produsen dalam
membangun hubungan pelanggan menjadi sangat penting dalam konteks channel
strategy (Boles, Barksdale, dan Johnson 1996). Sebagai catatan, banyak
organisasi seperti IBM dan Procter & Gamble merstrukturisasi salesforces
mereka dan diorganisir untuk membangun hubungan
bisnis dengan pengecer, di samping produk dan jasa, serta menjadikan kepuasan
pengecer menjadi tolok ukur dalam evaluasi keberhasilan tenaga penjualan mereka
(Jap, 2001: 95).
Sebuah survei terbaru menemukan bahwa 74% pengecer di
berbagai industri setuju bahwa bantuan promosi telah meningkatkan
profitabilitas mereka. Akan tetapi, 65% pengecer tersebut percaya bahwa mereka
tidak menerima bagian yang adil mereka dari promosi yang dilakukan produsen
tersebut. Grocer Progresif 1995).
Pengecer percaya bahwa mereka harus menerima imbalan yang lebih baik. Ini
karena dua-pertiga dari semua keputusan pembelian konsumen dibuat di toko
pengecer.
Dari sudut pandang produsen, saat ini miliaran rupiah
diinvestasikan untuk promosi perdagangan, terutama untuk bahan untuk keperluan
point-of-purchase. Namun, 85% dari produsen percaya bahwa uang yang diberikan
kepada pengecer tidak efektif. Hanya 19% yang menganggap bahwa pengeluaran ini
memberikan dampak positif. Sebagai contoh, sebuah survei terbaru dari pengecer
menemukan bahwa 40% dari retailer tidak pernah menampilkan menampilkan POP yang
disediakan oleh produsen, kecuuali dengan insentif tertentu. Hal ini tidak
mengherankan bila saat ini banyak produsen yang mempertimbangkan untuk merebut
partisipasi pengecer selain display.
Dalam literatur pemasaran, banyak keuntungan yang dapat
diperoleh oleh perusahaan keuntungan dari pengembangan hubungan yang saling
menguntungkan antara produsen dan pengecer. Bagi produsen, hubungan tersebut
merupakan sumber potensial dari keunggulan kompetitif dan manfaat dari
kerjasamanya dengan pengecer tersebut. Termasuk disini antara lain tampilan
yang lebih baik dan pengaturan promosi, hingga akhirnya, profitabilitas yang
lebih besar (Boles, Barksdale, dan Johnson 1997; Ganesan 1994; Ishida et al.
2006). Namun yang paling penting adalah bagaimana caranya agar penjual di
retailer mau menawarkan merek milik perusahaan, seperti yang dilakukan pedagang
warung di Bogor tersebut untuk kopi merek Liong tadi.
Yang jadi persoalan adalah lingkungan penjualan eceran yang
sering diwarnai dengan ketegangan antara
kepentingan strategi produsen dan pengecer. Sebagai contoh, sementara pemilik
toko harus memastikan bahwa tenaga penjual mereka mewakili berbagai merek yang
tersedia di toko mereka, produsen ingin
membujuk pengecer untuk lebih merekomendasikan merek mereka diabndingkan dengan
pesaing.
Dengan demikian, tantangan penting bagi produsen adalah
bagaimana caranya agar produsen bisa mempengaruhi tenaga penjualan di tingkat
pengecer untuk menjadi pendukung merek mereka melalui hubungan baiknya dengan
pengecer. Hughes dan Ahearne (2010) mencatat, adalah sangat penting bagi
produsen untuk fokus pada upaya mempengaruhi perilaku anggota saluran alokasi
sumber daya, termasuk upaya untuk memastikan bahwa penjual reseller lebih
terfokus pada merek mereka dibandingkan dengan merek lain. Fokus disini berarti
memastikan penjual di tingkat eceran (pengecer) merekomendasikan dan memajang
merek suatu perusahaan lebih menonjol ketimbang merek lainnya.
Ini berarti bahwa manajemen interaksi produsen dengan
pengecer harus melibatkan tidak hanya keselarasan taktis dan strategis di
tingkat korporasi dan manajerial, tetapi juga mencakup pengembangan hubungan
dengan pengecer yang berpusat pada merek. Hubungan yang berpusat pada merek
tersebut sangat penting dalam konteks produk yang kompleks (misalnya,
elektronik konsumen dan barang-barang konsumen).
Dalam produk yang membutuhkan keterlibatan tinggi, tenaga
penjual di pengecer memainkan peran yang sangat penting dalam mempengaruhi
pilihan dan keputusan pembelian oleh konsumen. Disini tenaga penjual di tingkat
pengecer mewakili link penting bagi produsen dalam mengkomunikasikan
berkomunikasi proposisi nilai dan penerapan targeting.
Beberapa penelitian memberikan bukti kuat bahwa konsumen
mengandalkan rekomendasi yang diberikan oleh tenaga penjual di tingkat pengecer
saat membeli produk yang proses keputusannya kompleks di lingkungan toko ritel.
Artinya, untuk produk yang kompleks seerti produk elektronik dan produk yang
memiliki risiko tinggi, rekomendasi yan diberikan oleh tenaga penjual di
tingkat eceran sangat mempengaruhi sebagian besar keputusan pembelian konsumen
dibuat di toko eceran (Mueller 2000).
Sebuah studi terhadap para pembeli ban yang dilakukan oleh
JD Power and Associates (2009a) mengungkapkan bahwa pembeli mengharapkan dan
mengikuti rekomendasi dari para penjual. Sebuah studi terhadap lebih dari 1.200
lokasi ritel elektronik besar mengungkapkan bahwa rekomendasi merek (misalnya,
Samsung, Sony, atau Panasonic) dan rekomendasi teknologi (misalnya, LCD atau
plasma televisi) sebagian besar diserahkan dan ditentukan oleh pilihan pribadi
tenaga penjualan eceran.
Lalu bagaimana caranya agar produsen dapat mendorong dan
mempengaruhi tenaga penjualan di tingkat pengecer agar bersedia untuk lebih
merekomendasikan merek mereka dibandingkan merek pesaing? Beberapa studi
menunjukkan bahwa program pemberian insentif yang diberikan oleh produsen
kepada pengecer memberikan kontribusi dalam mempengaruhi pengecer
erekomendasikan merek. Namun, baru-baru ini beberapa pengecer telah membatasi
atau bahkan menolak program tersebut. Misalnya, pengecer elektronik Best Buy
melarang produsen menawarkan insentif langsung dan komisi kepada penjual
mereka. Strategi tersebut memungkinkan pengecer untuk mengurangi produsen
mempengaruhi tenaga penjualan mereka sehingga membuat tenaga penjual tergoda
untuk menurunkan harga demi kepentingan target penualan pribadinya.
Pada tingkat pedagang pengecer kecil, Mei 2013 lalu, Majalah
MIX MarComm dan Qasa Strategic Consulting melakukan survei di tujuh kota besar
yaitu, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan &
Makassar guna mengetahui sejauh mana tingkat kepuasaan para pedagang eceran di
Indonesia terhadap layanan yang diberikan oleh pemilik merek (Hasilnya lihat di
Majalah MIX Edisi Juli 2013).
Dari 12 kategori produk yang disurvei -- yaitu, rokok, kopi
non mix, kopi mix, obat batuk, obat flu, isotonik, susu cair siap minum, minyak
goreng, diapers, pembalut wanita, minuman siap minum juice/minuman perasa buah
& jely snack – untuk produk juice dan minyak goring, pengecer melihat
keuntungan atau margin yang diperoleh sebagai penentu apakah mereka mau merekomendasikan
atau tidak. Di luar kategori itu, mereka melihat kemudahan memperoleh barang
sebagai hal yang paling penting.
Hasil survey ini memberikan gambaran bahwa untuk
masing-masing kategori, tingkat kepentingan atau bisa saya terjemahkan sebagai
faktor yang membuat pengecer merekomendasikan suatu merek memang berbeda-beda.
Disinilah pentingnya perusahaan atau [emilik merek untuk meneliti lebih jauh
guna mengenal lebih jauh karakteristik pelanggannya, dalam hal ini adalah
pengecer.
Bagaimana Ayam Merak Mendorong Salespeople-nya
Pada ajang “Indonesia Retailers Satisfaction Standard
2013,” kopi Ayam Merak menempati posisi kedua di kategori Kopi Non Mix setelah market
leader Kapal Api. Posisi ini cukup menggembirakan bagi prinsipal merek yang
sejak setahun lalu dipegang oleh Mayora—paska penandatanganan nota kesepakatan
pemakaian merek atau penggunaan lisensi merek Ayam Merak oleh Mayora Group dari
PT Ayam Merak pada 2012.
Sukses merek Ayam Merak memuaskan para pelanggannya di
segmen pedagang tradisional ini tak lepas dari kerja keras para salespeople-nya.
Menyadari kurangnya dukungan pull marketing—lewat iklan di media massa
seperti yang dilakukan merek-merek lain, Ayam Merak mendorong para salespeople-nya
lebih agresif membangun hubungan baik dengan para peritel.
Di Bogor, misalnya, dalam usahanya mengalahkan dominasi Kopi Liong, tim salespeople kopi Ayam
Merak rajin melakukan branding sekaligus promosi ke toko-toko. Salah
satunya di toko grosir Sumber Jaya Abadi, milik Setiawan Widjaja di kawasan
Pasar Kebon Kembang, Bogor Tengah.
Mereka memasang spanduk, flyer, banner, dan melakukan kegiatan merchandising lainnya. Mereka juga melakukan kunjungan rutin untuk mengecek apakah persediaan kopi Ayam Merak sudah menipis, hingga perlu ditambah kembali. “Mereka rutin melakukan pengecekan dan bertanya tentang kebutuhan belanja kami. Dalam seminggu, ada dua-tiga kali kunjungan,” tutur Setiawan.
Mereka memasang spanduk, flyer, banner, dan melakukan kegiatan merchandising lainnya. Mereka juga melakukan kunjungan rutin untuk mengecek apakah persediaan kopi Ayam Merak sudah menipis, hingga perlu ditambah kembali. “Mereka rutin melakukan pengecekan dan bertanya tentang kebutuhan belanja kami. Dalam seminggu, ada dua-tiga kali kunjungan,” tutur Setiawan.
Demi mendorong transaksi (push marketing) di toko,
pihak Ayam Merak tak segan-segan menggelar Consumer Promo seperti
mengeksekusi program promosi “Beli 2 Sachet Ayam Merak, Gratis 1.” Untuk
para pedagang, Ayam Merak tak ketinggalan menggelar Trade Promo.
Kinerja Ayam Merak yang mengesankan dengan dukungan
pull marketing ini -- iklan Ayam Merak mulai bisa dilihat di layar kaca -- sedikit banyak juga didukung oleh kehadiran konsumen loyal.
Di toko Sumber Jaya Abadi saja, kata Setiawan sang pemilik toko grosir, ada
sekitar empat konsumen yang rutin tiga kali dalam seminggu membeli kopi merek
ini. “Itu sebabnya, saya tetap
menyediakan kopi Ayam Merak di toko, meskipun penjualannya tak sebagus merek
lama Kapal Api ataupun pendatang baru Luwak White Koffie, serta tak sekuat
pemain lokal Liong,” Setiawan bercerita.