Minggu, 27 Januari 2013

Penggambaran Peran Gender dalam Periklanan


Sebagai bagian dari media massa, iklan merupakan cerminan realitas yang ada dalam masyarakat. Realitas yang tercermin dalam iklan bisa jadi adalah realitas masyarakat yang seksis ataupun realitas masyarakat yang sedang mengupayakan kesetaraan gender. Dengan fungsi pencerminannya ini iklanpun akan sekaligus mensosialisasikan kembali apa yang dicerminkannya itu, baik ketidakadilan (seksisme) maupun keadilan gender (kesetaraan gender), ke dalam pola pikir khalayaknya. Hal ini akan berimplikasi pada pengukuhan kembali nilai gender stereotip, bila iklan yang bersangkutan memuat ideology gender yang seksis, atau upaya dekonstruksi nilai gender stereotip, bila iklan yang bersangkutan bermuatan ideologi gender yang setara.

Dalam penelitian yang berjudul Relating Hofstede’s masculinity dimension to gender role portrayals in advertising: A cross-cultural comparison of web advertisements dan dimuat di International Marketing Review Vol. 24 No. 2, 2007 halaman 181-207, Daechun An dan Sanghoon Kim menguji perbedaan  lintas-budaya dalam penggambaran peran gender. Dalam penelituannya itu, Daechun An dan Sanghoon Kim memilih iklan web di Korea dan Amerika Serikat atas dasar maskulinitas dimensi Hofstede.
Peran gender didefisinikan sebagai seperangkat norma perilaku budaya terkait dengan laki-laki dan perempuan dalam kelompok sosial atau system tertentu. Sementara itu, gender sendiri merupakan salah satu komponen dari sistem jender/jenis kelamin, yang mengacu pada seperangkat pengaturan dimana masyarakat mengubah seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia, dan di mana kebutuhan transformasi ini dipenuhi.

Daechun An dan Sanghoon Kim mengakui bahwa perbincangan mengenai seksisme dalam iklan sebenarnyalah telah banyak dilakukan. Peneliti pemasaran juga menunjukkan minatnya dalam masalah ini karena gender merupakan salah satu variabel segmentasi utama dalam kegiatan pemasaran. Buku Betty Friedan, yaitu The Feminine Mystique (Craig, 1998) misalnya memaparkan bagaimana industri telah memperalat perempuan melalui iklan-iklannya, yaitu dengan terus-terusan menggambarkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya melulu hanya berbelanja. Penelitian-penetian juga secara konsisten menunjukkan bahwa di dalam iklan, perempuan terwakili secara tidak menguntungkan dan perannya didefinisikan terbatas hanya sebagai memainkan peran bawahan, tidak penting, dan pendukung. Di sisi lain, laki-laki yang ditampilkan dalam cara yang jelas berbeda bermain penting, peran profesional, dan otonom.

Pentingnya penggambaran peran gender dalam iklan-iklan internasional menarik perhatian banyak  peneliti untuk mengkaji peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki pada iklan dalam konteks lintas-budaya. Meskipun terbatas pada majalah dan iklan televisi, lebih dari selusin penelitian analisis isi lintas-budaya menunjukkan konsensus yang cukup bahwa penggambaran peran perempuan dan peran laki-laki dalam iklan berbeda menurut budaya.

Para peneliti juga mengakui bahwa iklan merupakan lembaga sosial yang penting yang mencermin dan mengirimkan dominasi nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Secara khusus, temuan mereka menunjukkan bahwa dalam masyarakat di mana nilai-nilai feminin mendominasi pengaruh pada budaya, ada kecenderungan kurangnya perbedaan antara jenis peran perempuan dan laki-laki yang digambarkan dalam iklan. Sedangkan dalam masyarakat di mana nilai-nilai maskulin dominan, ada kecenderungan adanya perbedaan besar dalam peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki dalam iklan.

Hal lain yang disampaikan Daechun An dan Sanghoon Kim adalah bahwa perkembangan lingkungan sosial belakangan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan media. Dalam hal ini Daechun An dan Sanghoon Kim melihat peran internet sebagai media yang bis menembus batasan ruang dan waktu. Disini  norma-norma sosial yang disampaikan lewat penggambaran peran perempuan dan laki-laki dengan cepat dikomunikasikan melalui pesan komersial diantara orang-orang dari beragam budaya. Karena itu, memperbandingkan secara lintas negara tentang penggambaran peran perempyuan dan laki-laki menjadi lebih penting. Ini karena dengan mengetahui penggambaran peran secara lintas budaya tersebut, mereka bisa mendapatkan keuntungan pengiklan internasional dengan segala implikasi praktis dan teoritisnya.

Untuk memperoleh gambaran lengkap tentang penggambaran peran perempuan dan laki-laki tersebut,  Daechun An dan Sanghoon Kim menggunakan analisis isi dengan pendekatan kuantitatif. Analisis isi telah digunakan sebagai metode penelitian utama selama beberapa dekade tentang peran gender digambarkan dalam iklan. Dalam studi analisis isi pertama mengenai hal ini, Courtney dan Lockeretz (1971) melaporkan bahwa peran perempuan dalam iklan-iklan di majalah AS majalah digambarkan hanya sebagai hanya memiliki tempat di rumah mereka, tidak mampu membuat keputusan penting, dan sepenuhnya bergantung pada laki-laki.

Dalam kaitan ini, tujuan khusus penelitian Daechun An dan Sanghoon Kim adalah untuk mendapatkan ringkasan numerik berbasis tema yang berbeda dan peran digambarkan oleh perempuan dan laki-laki dalam 400 iklan yang ada pada situs web. Menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, selama ini belum ada studi sistematis yag pernah menyentuh isu peran gender  dengan iklan web. Karena itu, studi ini dimaksudkan sebagai kontribusi baru untuk dunia internasional dengan membandingkan penggambaran peran gender dalam iklan web dari Korea dan Amerika Serikat.

Dimensi Maskulinitas Hofstede
Untuk melihat pengambaran peran gender lintas budaya tersebut, Daechun An dan Sanghoon Kim menbgunakan kerangka dimensi maskulinitas oleh Hofstede. Menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, pada akhir 1980-an, perhatian para peneliti diperpanjang ke studi banding tentang penggambaran peran gender di berbagai negara. Sebuah pemahaman budaya umum mengenai peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan pada dasarnya lebih rendah dari pria. Namun, karena beberapa praktik budaya nilai egaliter menekankan kesetaraan gender, sikap terhadap peran yang tepat bagi perempuan berbeda menurut lintas budaya.

Di antara kerangka beberapa dimensi yang komprehensif yang mencoba untuk menemukan dan memverifikasi secara empiris variasi budaya lintas budaya, Hofstede penawaran Model 5D dengan norma-norma yang mengatur peran sosial yang melekat pada perempuan dan laki-laki. 

Penelitian Hofstede (1980) tentang representasi perbedaan budaya signifikan dan inovatif, terutama dalam konteks perbandingan lintas budaya dalam bidang manajemen, sosial psikologi, antropologi, sosiologi, pemasaran dan komunikasi (Albers, 1994; Kale, 1991). Modelnya lima dimensi nilai ini dikembangkan berdasarkan data yang luas yang dikumpulkan dari survei terhadap karyawan IBM di seluruh dunia untuk menemukan penjelasan terhadap fakta bahwa beberapa konsep motivasi kerja tidak bekerja di semua negara dengan cara yang sama.

Sebagai karya psikolog pada nilai-nilai budaya, studi Hofstede menghasilkan struktur yang terdiri dari empat dimensi utama di dalam masyarakat: pertama, jarak kekuasaan - hierarki atau egalitarianisme keinginan masyarakat; kedua, individualisme - preferensi sosial untuk kelompok atau orientasi individu; ketiga, maskulinitas - diferensiasi peran gender; dan keempat, menghindari ketidakpastian - resistensi masyarakat terhadap ketidakpastian. Kemudian, dimensi tersebut disempurnakan dengan menambahkan nilai China yang berkembang di 23 negara oleh Hofstede dan Bond (1984) yang mengidentifikasi dimensi, kelima orientasi jangka panjang. Model ini telah divalidasi di ratusan penelitian lintas-budaya  dari berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi, riset pasar, dan obat-obatan, dan bila dibandingkan dengan model lain, model Hofstede mungkin adalah salah satu yang telah paling sering diuji dan divalidasi (Dorfman dan Howell, 1988; Bhagat dan McQuaid, 1982).

Seperti halnya teori, ia tidak lengkap dan memiliki lubang dan inkonsistensi. Sebuah teori juga banyak mendapat kritik. Pertama, generalisasi tentang budaya tingkat nasional dari analisis populasi subnasional yang ukurannya kecil tidak bisa digunakan untuk membuktikan bahwa di dalam setiap negara ada budaya nasional yang seragam dan pada pernyataan belaka bahwa data mikro-lokal dari sebagian karyawan IBM merupakan wakil dari keseragaman secara nasional. (Warneryd, 1988).

Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa penelitian budaya Hofstede bias karena tim hanya terdiri Eropa dan Amerika, sedangkan sebuah studi seyogyanya memasukkan banyak negara dari bagian lain dunia (Roberts dan Boyacigiller, 1984). Selain itu, penelitian budaya Hofstede dinilai usang karena globalisasi dunia membuat orang muda khususnya, mengumpul di sekitar seperangkat nilai (Gooderham dan Nordhaug, 2002). Kritik lain menyangkut keterwakilan sampel (yaitu sampel berasal dari hanya satu perusahaan) dan metode pengumpulan data (yaitu kuesioner sikap-survei digunakan sebagai satu-satunya metode) (Gooderham dan Nordhaug, 2002).

Meskipun banyak kritikan, namun teori perbedaan budaya Hofstede dinilai paling empiris-based dan lengkap. Itu sebabnya, teori ini diberi bobot begitu banyak dalam penelitian di bidang pemasaran dan iklan. Menurut Kale (1991), sebagian besar klasifikasi pendekatan untuk perbandingan lintas-budaya yang baik tidak didukung secara empiris atau gagal dalam membedakan derajat perbedaan antar budaya. Teori-teori itu juga kurang lengkap, kerangka, universal bila digunakan untuk memvisualisasikan budaya nasional. Karena itu, dalam pandangan Daechun An dan Sanghoon Kim, sebagai kerangka berpikir teori Hofstede memiliki potensi maksimal untuk aplikasi di bidang iklan lintas-budaya.

Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan Daechun An dan Sanghoon Kim mendapati sebuah persentase yang lebih besar dari iklan Korea yang menampilkan karakter bertema hubungan yang menampilkan perempuan sebagai karakter utama, dan menggambarkan mereka dalam peran keluarga dan rekreasi. Penelitian ini juga mendapati bahwa sebagian besar penggunaan taksonomi Hofstede dalajh valid dan mendukung penerapan kerangka kerja "maskulinitas" dalam penentuan iklan yang tepat terkait dengan perbadingan peran gender.
Implikasi praktis - pengiklan Internasional yang sedang merencanakan kampanye global untuk gender terkait mereka produk konsumen bisa mendapatkan keuntungan dengan menempatkan posisi negara target indeks maskulinitas Hofstede dan menggunakannya sebagai pedoman untuk membuat gambar visual dari karakter utama dalam iklan. Studi ini memberikan kontribusi baru di bidang periklanan internasional terkait web dalam mempertahankan pemahaman yang komprehensif tentang penggambaran peran gender kontemporer. Ini bisa menguntungkan pengiklan internasional dengan implikasi praktis dan teoritis, karena tidak ada studi sistematis pernah menyentuh isu gender peran dengan iklan web.

Secara keseluruhan, studi ini mengesahkan penggunaan maskulinitas Hofstede untuk menjelaskan perbedaan dalam penggambaran perempuan dan laki-laki pada iklan web,  khususnya yang berkaitan dengan penggambaran karakter dalam tema hubungan, jenis kelamin karakter utama, dan jenis peran tidak bekerja yang digambarkan oleh wanita. Meskipun hubungan antara jenis kelamin dari sebuah bangsa dan penggambaran peran kerja masih dipertanyakan, hasil penelitian ini mengkonfirmasi kerangka kerja Hofstede dalam penelitian gender di bidang pemasaran dan periklanan terkait iklan perbandingan yang cocok dalam budaya tertentu. Dengan kata lain, menurut Daechun An dan Sanghoon Kim, para perencana strategi periklanan dapat memanfaatkan kerangka kerja Hofstede sebagai panduan kasar untuk memberikan arahan dalam memilih negara tertentu dalam konteks iklan perbandingan.

Strategi iklan, khususnya untuk produk konsumen, dapat menerapkan temuan studi ini pada tingkat praktis. Misalnya, pengiklan yang sedang merencanakan kampanye iklan internasional terkait gender terkait untuk produk konsumen, mereka bisa mendapatkan keuntungan dengan menempatkan posisi negara target berdasarkan indeks maskulinitas Hofstede dan menggunakannya sebagai pedoman dalam pembuatan visual karakter utama dalam iklan. Dalam hal ini, penelitian ini mendukung rekomendasi sebelumnya untuk iklan internasional bahwa kerangka kerja Hofstede dapat digunakan sebagai panduan yang berguna dalam memilih iklan perbandingan yang melintasi budaya.

Namun, eksplorasi lebih lanjut diperlukan karena demografi dan sikap antara perempuan telah berubah secara dramatis selama dekade terakhir (Whipple dan Courtney, 1985) dan perempuan telah muncul sebagai kelas konsumen yang kuat,  bahkan di banyak negara-negara yang budaya maskulinnya dominan (Frith, 1997; Mueller, 1987). Sebab seperti diketahui, sejak 1970-an telah terjadi penurunan dukungan dari peran wanita tradisional dalam masyarakat Amerika, dan dalam tiga decade terakhir tingkat partisipasi kerja wanita Amerika semakin tinggi. 

Pada bagian lain, Daechun An dan Sanghoon Kim  mengakui bahwa peran yang dijalankan perempuan telah berubah dan perubahan itu menyebar ke iklan media di negara-negara Asia seperti Jepang, Malaysia, dan Taiwan (Buck et al, 1984;. Ford et al, 1994;. Katsurada dan Sugihara, 1999; Noor, 1999; Bresnahan et al, 2001). Perempuan  Korea juga telah mengalami perubahan dramatis, terutama dalam faktor lingkungan sekitar peran perempuan dalam masyarakat sejak pemerintah Korea meloloskan “Equal Employment Act" pada 1987 untuk mencegah praktik-praktik diskriminatif terhadap pekerja perempuan dalam hal peluang perekrutan dan promosi.

Saat ini, jumlah perempuan Korea yang memasuki pekerjaan profesional di bidang pendidikan, kedokteran, teknik, beasiswa, seni, hukum, sastra, dan olahraga juga meningkat. Selama pemerintahan Kim Dae-jung, kemajuan nyata dalam peraturan perundang-undangan tentang hak-hak perempuan untuk meletakkan dasar kesetaraan gender telah dibuat. Sementara wanita Korea secara aktif terlibat dalam berbagai bidang dan membuat kontribusi yang signifikan kepada masyarakat, di sisi lain tampak bahwa sikap mereka terhadap orientasi peran tradisional feminin telah berubah beriringan dengan laki-laki. Implikasinya, dimungkinkan bahwa pengiklan dan aturan tentang tampilan tubuh dalam iklan diharapkan untuk dapat mengembangkan strategi baru guna menangani kelompok-kelompok konsumen yang berbeda dengan cara yang berbeda dengan memperhatikan stereotip gambar seksual.

Masalah lainnya adalah peran media-khusus. Seperti telah dibahas sebelumnya, web paling dicirikan sebagai informatif, teknologi, dan global. Variasi lintas-budaya perbandingan iklan antara Korea dan Amerika Serikat, yang telah ditemukan dalam studi dibidang majalah dan televisi, mungkin dikuatkan atau dilemahkan oleh strategi umum yang dikejar oleh pengiklan global. Tujuannya , meminimalkan variasi dalam pesan iklan. Pengiklan internasional juga mungkin telah memperhatikan kesamaan dalam karakteristik pengguna web dari kedua negara, seperti tingkat pendidikan, dan status ekonomi populasi. (Nua, 2002; eMarketers, 2003). Karena itu, iklan mungkin telah dibuat dengan mentarget kelompok-kelompok penduduk yang selektif. Hal ini yang mungkin mengakibatkan kegagalan untuk mencerminkan prioritas sistem nilai rata-rata dari kedua negara, yang terkait dengan maskulinitas dalam iklan web. Keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang bisa dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut. Pertama, penelitian masa depan mungkin perlu membuat perbandingan lintas-media untuk melihat apakah perbedaan tersebut digeneralisasikan di seluruh jenis media yang berbeda. Kedua, negara tambahan harus dianalisis untuk menentukan klasemen masing-masing dalam hubungannya dengan negara yang dievaluasi, untuk menguji apakah pengelompokan negara dapat diidentifikasi dalam pengaturan yang luas, dan untuk lebih menganalisis konsep tentang jenis kelamin bangsa (Milner dan Collins, 2000).
Ketiga, sebagaimana dengan studi analisis isi lainnya, hasil penelitian ini tetap deskriptif dan tidak mampu menjawab pertanyaan tentang respon konsumen terhadap penggambaran peran gender yang berbeda.

Manipulasi eksperimental dari iklan yang berbeda menarik untuk posisi gender yang berbeda akan berguna untuk menguji efektivitas dalam beberapa negara yang berbeda. Akhirnya, dalam rangka untuk menguji pengaruh dari format yang berbeda dari iklan web seperti situs web, spanduk, email, iklan mengambang, interstisi, dan pop-up tentang isu-isu peran gender, maka perlu untuk membuat perbandingan lintas-format untuk menarik kesimpulan yang lebih digeneralisasikan (Burns dan Lutz, 2006).

Seiring dengan gerakan perempuan, dewasa ini gencar didengung-dengungkan adanya kesetaraan gender. Beberapa iklanpun mencoba untuk merespon realita ini dengan cara menggambarkan representasi gender yang setara, seperti yang diketengahkan oleh iklan-iklan Beneton, The Body Shop, Teh Sari wangi, maupun Harian Kompas (Kusumastutie, 2003). Demikianlah, iklan ikut berubah seiring dengan perubahan dalam masyarakat.

Pada dasarnya perjuangan gender ingin melakukan dekonstruksi terhadap ideologi gender (Fakih, 1996), sehingga dapat dikembangkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam masyarakat. Individu yang berkesadaran akan kesetaraan gender berkeyakinan bahwa perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar yang tidak terkotak-kotak ke dalam peran gender feminin-maskulin (Suratiyah dalam Lailatushifah, 1998). Dengan demikian seharusnyalah perempuan dan laki-laki dinilai sama, diperlakukan secara objektif dan setara, serta memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan keyakinannya ini, maka individu tersebut akan memerangi ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, termasuk juga yang dilakukan oleh iklan televisi. Kesadaran akan kesetaraan gender sebagai sebuah belief akan menjadi landasan bagi kerangka pikir individu (Fishbein & Ajzen, 1975), yang akan dipakainya sebagai kacamata saat melihat sebuah iklan televisi. Dengan kacamatanya ini individu akan bisa melihat ideologi gender (baik seksis maupun setara) dalam iklan tersebut. Individu ini akan berupaya untuk menilik lebih jauh sebuah iklan yang dilihatnya guna mendapatkan ideology gender yang termuat di dalamnya.
Dengan demikian individu tersebut akan menolak nilai yang tidak sesuai dengan keyakinannya, yang akan berimplikasi pada terpotongnya proses sosialisasi ketidakadilan gender yang dilakukan oleh televisi melalui iklan-iklannya yang seksis. Sebaliknya bila yang termuat dalam sebuah iklan adalah ideologi gender yang setara, nilai ini akan terinternalisasi ke dalam pola pikir individu, sehingga semakin menguatkan keyakinan akan kesetaraan gender yang dimilikinya. Dengan upaya ini diharapkan bahaya laten yang disebarkan oleh iklan seksis dapat ditanggulangi.

Untuk inilah penelitian Daechun An dan Sanghoon Kim disempurnakan dengan semiotika. Semiotika merupakan studi tentang tanda yang berusaha untuk mencari makna ideologis dari suatu teks (Berger, 1982). Dengan semiotika individu berkesadaran akan kesetaraan gender akan memaknai iklan yang mengandung representasi gender melalui perspektif kesetaraan gender yang dimilikinya, sehingga individupun akan mendapatkan pemahaman akan iklan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Albers, N.D. 1994. Relating Hofstede’s Dimensions of Culture to International Variations in Print            Advertisements: A Comparison of Appeals. Unpublished doctoral dissertation, University of            Houston, Houston, TX
Bhagat, R.S., and S. J. McQuaid. 1982. Role of Subjective Culture in Organizations: A Review and            Directions for Future Research. Journal of Applied Psychology, Vol. 67 No. 5, pp. 653-85.
Berger, A. A. 1982. Media Analysis Techniques. Beverly Hills: Sage Publication
Bresnahan, M., Inoue, Y., Liu, W.Y. and Nishida, T. 2001. Changing Gender Roles in Prime-time            Commercials in Malaysia, Japan, Taiwan, and the United States. Sex Roles, Vol. 45 Nos 1/2, pp. 117-31.
Burns, K.S. and Lutz, R.J. 2006. The Function of Format: Consumer Responses to Six Online Advertising       Formats. Journal of Advertising, Vol. 35 No. 1, pp. 53-61.
Buck, E.B., Newton, B.J. and Y. Muramatsu. 1984. Independence and Obedience in the United States and         Japan. International Journal of Intercultural Relations, Vol. 8, pp. 279-300.
Dorfman, P.W. and Howell, J.P. (1988), “Dimensions of national culture and effective leadership            patterns: Hofstede revisited”, in Farmer, R.N. and McGoon, E.G. (Eds), Advances in            International Comparative Management, JAI press, Greenwich, CT, pp. 127-50.
eMarketers.  2003. North America online: demographics and usage”, available at:            www.emarketer.com/products/report.php?2000143
Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fishbein, M. & I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and       Research. Urbana-Illinois: Addison-Wesley Publishing Company
Ford, J.B., LaTour, M.S., Honeycutt, E.D. and M. Joseph. 1994. Female Sex Role Portrayals in            International Advertising: Should Advertisers Standardize in the Pacific Rim? American            Business Review, Vol. 12 No. 2, pp. 1-10.
Frith, K.T. 1997. Undressing the Ad: Reading Culture in Advertising in Undressing the Ad: Reading Culture in Advertising, Frith, K.T. (Ed.). New York, NY: Peter Lang.
Gooderham, P.N. and O. Nordhaug. 2002. The Decline of Cultural Differences in Europe. EBF, Vol. 8,  p. 48-53.
Hofstede, G.H. 1980. Culture’s Consequences: International Differences in Work-related Values.            Beverly Hills, CA: Sage.
Hofstede, G.H. and M. H. Bond. 1984. Hofstede’s Cultural Dimensions: An Independent Validation            Using Rokeach’s Value Survey. Journal of Cross-cultural Psychology, Vol. 15, pp. 417-33.
Kale, S.H. 1991. Culture-Specific Marketing Communications: An Analytical Approach. International     Marketing Review, Vol. 8 No. 1, pp. 18-30.
Katsurada, E., and Y. Sugihara. 1999. A Preliminary Validation of the Bem Sex Role Inventory in            Japanese Culture. Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 30, pp. 641-5.
Kusumastutie, N. S. 2003. Pemahaman Iklan Ditinjau dari Kesadaran akan Kesetaraan Gender. Skripsi  (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Lailatushifah, S. N. F. 1998. Kesadaran akan Kesetaraan Gender dan Kepuasan Perkawinan pada Suami  Istri dalam Rumah Tangga Pekerja Ganda. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas            Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Milner, L.M., and J. M. Collins. 2000. Sex-role portrayals and the gender of nations. Journal of            Advertising, Vol. 24 No. 1, pp. 67-79.
Mueller, B. 1987. Reflections of Culture: An Analysis of American and Japanese Advertising Appeals”,          Journal of Advertising, Vol. 27 No. 3, pp. 51-9.
Noor, M.N. 1999. Roles and Women’s Well-being: Some Preliminary Findings from Malaysia. Sex            Roles, Vol. 41, pp. 123-45.
NUA. 2002. How many online? Available at: www.nua.com/surveys/how_many_online/index.html
Warneryd, K.E. 1988. Social Influence on Economic Behavior in Van Raaij, W.F. and Warneryd,            K.E.     (Eds). Handbook of Economic Psychology, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.
Whipple, T.W., and A. E. Courtney. 1985. Female Role Portrayals in Advertising and Communication            Effectiveness: A Review.  Journal of Advertising, Vol. 14 No. 3, pp. 4-17.

Sabtu, 26 Januari 2013

BUMN Berebut Pasar Retail


Tahun ini tiga BUMN masuk ke bisnis retail. Akankah dibiarkan saling bersaing? Kenapa tidak bersinerga, toh mereka masing-masing punya kompetensi yang berbeda.

Dua minggu lalu (pertengahan Januari 2013), saya mengobrol dengan seorang teman yang kebetulan duduk di Dewan Pengawas LPP (LKBN) Antara. Saya tak langsung bertanya tentang yang dilakukan LPP Antara paska maraknya media sosial dan online. Saya cuma mengatakan bahwa yang harus dilakukan Antara adalah memikirkan bisnisnya karena SDM untuk pemberitaan sangat-sangat luar biasa. Pembicaraan selesai karena acara yang yang hadiri itu dimulai.
Akhir pekan lalu, saya membaca berita bahwa tahun ini PT Pos Indonesia (Persero) menargetkan memperoleh pendapatan hingga Rp4,3 triliun. Wuih… bagaimana bisa? Pertama, bukankah bisnis kirim mengirim apa saja – mulai dari uang hingga barang, apalagi surat – sudah tak membutuhkan jasa PT Pos Indonesia. Surat misalnya, selain ada email, kalau malas buka leqat laptop (karena kelamaan start-up-nya misalnya), bisa pakai handphone. Juga makin cepat lewat sms, atau pesan melalui BB. Bisa pakai foto lagi, bahkan Twitter pun kini menyediakan fasilitas pengiriman video walau 6 detik.
Kedua, Undang-Undang No. 38 tentang Pos. UU yang diluncurkan pada 15 September 2009 itu telah mengubah kompetisi di industri pos. Sejak undang-undang tersebut diberlakukan, pemerintah telah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapapun, termasuk pihak swasta, untuk bergerak di bidang layanan jasa pos.



Lalu bagaimana model bisnis PT Pos Indonesia sekarang. Menurut Direktur Utama PT Pos Indonesia, I Ketut Mardjana, pihaknya tengah mengembangkan berbagai layanan bisnis. “Tahun ini adalah tahun kick off  PT Pos Indonesia. Sebelumnya selama 2012 banyak yang kami benahi seperti sistem bisnis, infrastruktur bisnis dan mindset [karyawan],” ujarnya seperti dikutip Bisnis.com, akhir pekan (26 Januari 2013) kemarin.
Tahun lalu, menurut Manajer Posmart Kantor Area VII Jatim, PT Pos Indonesia (Persero), Moh Nurbagio, mulai menggarap bisnis retail minimarket guna memanfaatkan ruang dan properti yang dimiliki oleh PT Pos Indonesia. Dengan melihat pasar dan potensi pelanggan maka minimarket bisa meningkatkan utilitas aset.
Bayangkan, saat ini terdapat 3.740 kantor cabang serta 24.000 gerai pos yang tersebar di seantero Indonesia. Sementara, sekitar 62,3%-nya atau 2.330 kantor yang kebanyakan berada di wilayah rural, merugi!  Tentu sangat disayangkan, jika aset sebesar itu harus diabaikan begitu saja. Sebab, belum ada satu perusahaan pun di Tanah Air yang mempunyai jaringan hingga pelosok terpencil laiknya Pos Indonesia. Ini merupakan potensi besar untuk mengembangkan bisnis retail.
Dalam mengembangkan bisnis retail tersebut, PT Pos Indonesia tidak sendirian. Pos Indonesia menggandeng kerjasama dengan pemain bisnis minimarket, salah satunya dengan Indomaret. Menurut Nurbagio, kerja sama dengan Indomaret dalam pengelolaan Post Shop menggunakan pola sharing. Pihak PT Pos Indonesia sifatnya menyediakan ruang saja.
Selain menjual kebutuhan masyarakat layaknya di minimarket Indomaret, layanan di Post Shop disinergikan dengan layanan pos. "Jadi, nantinya masyarakat bisa melakukan pengiriman surat atau lainnya sekaligus berbelanja di Post Shop," paparnya. Post Shop pertama yang hadir di Jatim, adalah di Malang, Batu, dan di Kantor Pos Surabaya Selatan, yang diresmikan pada 28 Desember 2012.
Direktur Utama PT Pos Indonesia, I Ketut Mardjana menjelaskan pada 2012 pihaknya memperoleh pendapatan senilai Rp3,3 triliun dan tahun ini menargetkan memperoleh pendapatan Rp4,3 triliun dari berbagai pengembangan bisnis  yang akan dilakukan perseroan pada 2013.Salah satunya, selain pada Desember 2012,  membuka 15 post shop di berbagai daerah di Jabodetabek, pada 2013 ini mendirikan 300-400 post shop di seluruh Indoensia. Adanya Postshop di beberapa kantor pos di sejumlah daerah, layanan PT Pos Indonesia bisa dinikmati selama 24 jam.
Dia menjelaskan dalam mengembangkan post shop itu pihaknya bekerja sama dengan perusahaan ritel waralaba seperti PT Indomarco Prismatama (Indomaret) dan PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk (Alfamart). Dia menambahkan pihaknya juga menargetkan dapat bekerja sama dengan perusahaan ritel seperti PT Circle K Indonesia Utama (Circle K). Satu gerai post shop, tuturnya, PT Pos Indonesia menargetkan pendapatan Rp250 juta per tahun. Bersama program Post Mall (Post Masuk Mall) dan Post Agent, Post Shop dikembangkan sebagai upaya mendekatkan  kantor pos dengan masyarakat. “Ini adalah salah satu bentuk perwujudan dari 'Pos Sahabat Rakyat'," tambahnya. 
Tahun ini, bisnis minimarket makin ramai. Selain ekspansi yang dilakukan oleh peritel yang ada, tiga BUMN masuk ke bisnis ini. BUMN-BUMN tersebut mulai mengintegrasikan aset produksi yang mereka miliki ke lini distribusi langsung ke konsumen melalui pembukaan outlet minimarket. Tahun ini, selain Pos Indonesia, Bulog yang selama ini menguasai atau setidaknya berpengalaman di bidang distribusi pangan dan PT Rajawali Nusantara Indonesia yang memiliki bisnis perkebunan dan penggilingan tebu, minyak goring dan sebagainya mendirikan minimarket. Bulog Mart ditempatkan minimal di setiap gudang Bulog, yang terdiri atas 1.751 unit di 132 Sub Divre di 26 Divre seluruh Indonesia. Target 1.800 Bulog Mart.
Sementara itu PT RNI, mulai 15 Januari 2013, melalui anak perusahaan  PT Rajawali Mart, menargetkan membuka 150 gerai dengan investasi sekitar Rp 150 miliar. "Kami akan beroperasi di Jakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Jogja, Cirebon, Bandung dan Bali," ungkap Dirut RNI, Ismed Hasan Putro saat launching gerai di Kuta, Bali, beberapa waktu lalu. "Raja Gula dan kondom akan jadi andalan kami." Sampai akhir 2013, target RNI adalah membangun 500 gerai Rajawali Mart di Jawa dan Bali dan mulai Semester II-2013, membuka franchise untuk masyarakat.
Rajawali Mart siap menampung pasokan produk dari usaha skala kecil (UMKM), petani dan peternak. Selain itu, memperkuat sinergi produk BUMN seperti garam produksi PT Garam, air mineral dari Perhutani, dan beras dari Bulog. Untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, minimarket ini menggaet 82 item produk seperti Unilever dan Philips. "Kami coba beri kelebihan di layanan, seperti sistem, manajemen, rak, dan produk, tapi yang paling penting, Rajawali Mart itu milik masyarakat dan untuk masyarakat," papar Ismed.
Sebaliknya, Perum Bulog menargetkan membuka 100 Bulog Mart, toko ritel modern sejak 2012. Fokus awal pasarnya bahan pokok, terutama beras, gula, dan minyak goreng. Sekarang sudah mulai menjual sembako lainnya. Di sejumlah lokasi, pembangunan fisik Bulog Mart memanfaatkan kantor divre regional (divre), subdivre. Kebetulan, aset Bulog sebagian besar berada di lokasi strategis, dan gudang.
Direktur Perum Bulog, Soetarto Alimuso menyebutkan, Bulog Mart mulai bergerak dari Bandung, Semarang, Malang, Makassar dan Bandar Lampung. "Kami mengusung konsep stabilisasi harga pangan dalam mengembangkan ritel ini. Beras premium dan beras medium serta gula dan minyak goreng disediakan dalam porsi lebih banyak," jelasnya.
Dengan motto "Menjangkau Kepuasan Anda", Bulog Mart diharapkan sebagai layanan terbaru untuk lebih mendekatkan Bulog kepada masyarakat. Bahkan, nantinya, bisa saja, lewat minimarket ini, Bulog melakukan operasi pasar di Bulog Mart yang lokasinya berada di daerah dan strategis. Semua kelas beras dijual disana.
Sebagai konsumen, tentu saya senang dengan makin banyaknya BUMN yang masuk ke bisnis retail ini. Setidaknya, harapan saya adalah bahwa para pemain ritel dari BUMN bisa memangkas rantai distribusi barang – terutama sembako – yang selama ini berliku-liku. Dengan demikian, konsumen akan diuntungkan setidaknya dari sisi harga. Dari beberapa penelitian yang saya lakukan, di bisnis ritel -- faktor harga menjadi salah satu keunggulan bersaing utama.
Setelah harga baru kemudian layanan dan kelengkapan produk yang dijual. Lokasi? Salah satu yang penting cuma untuk kelas menengah yang rentan terhadap harga, mereka akan membandingkan dengan benefit yang diperoeh. Jadi misalnya kalau seseorang berbelanja di lokasi yang agak jauh, dia akan menghitung potongan harga yang diperoleh dengan biaya yang harus dikeluarkan, plus beneftit lain misalnya dia bisa mengajak anak-anaknya bermain dan sebagainya. Kedua, kelas menengah – terutama usia muda – berbelanja mingguan.  Tapi sekali lagi, ini adalah dalam konteks belanja mingguan.
Untuk belanja harian, selain harga lokasi ikut menentukan. Bayangkan kalau saya di jalan atau mau bepergian dari Jakarta ke Bogor dengan kereta misalnya, saya membutuhkan minuman tentu saya cari minimarket terdekat dan membeli tanpa harus mempertimbangkan harga. Dari sisi seyogyanya – untuk ekspansi – Bulog, RNI atau Posmart bekerjasama dengan BUMN lain, PT KAI? Atau kenapa Bulog, RNI, Posmart dan BUMN lain, termasuk Kimia Farma, Biofarma, dan sebagainya saling bekerjasama untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia melalui penjualan produk mereka dengan harga terjangkau?  

Sabtu, 19 Januari 2013

Membangun Merek: Bila Sendirian, Media Sosial tak Berdaya


Media sosial tak bisa bekerja sendirian. Dia harus diintegrasikan dengan saluran komunikasi lain, termasuk media konvensional. Inilah yang disebut sebagai era post-social media, era dimana pemasar tidak hanya memikirkan tentang media sosial tapi juga media konvensional.

Minggu kedua Desember lalu, dalam suatu presentasi di depan peserta Konvensi Nasional Humas 2012 yang diselenggarakan Perhumas Indonesia, guru besar UI Dr. Rhenald Kasali memaparkan sesuatu yang menarik, Dia mempertotonkan video tentang protes warga di suatu negara Eropa tentang jalan yang rusak. Intinya, awalnya, warga disitu protes melalui media sosial. Namun, tetap saja pemerintah daerah setempat tak menggubrisnya. Baru setelah protes – dengan mural – itu diberitakan televisi, pemerintah bertindak.
Beberapa bulan lalu, bangsa Indonesia menyaksikan kelahiran pemimpin “nasional” baru Joko Widodo yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Banyak orang mengakui peran media sosial dalam mengangkat popularitas Jokowi. Namun, orang melupakan adanya kekuatan komunikasi tatap muka berupa blusukan Joko Widodo ke kampung-kampung dan berdialog langsung dengan rakyat itulah yang membuat media sosial “gaduh.” Kegaduhan itu makin menjadi setelah media konvensional – termasuk televisi – memberitakannya.  
Tak bisa dipungkiri, hampir sepuluh tahun sejak pertama kali blog diluncurkan, media sosial mendominasi percakapan yang dilakukan para professional di bidang pemasaran. Pengaruh media sosial di pemasaran tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah lima atau enam tahun, pemasar menikmati media yang dikenal dengan media sosial. Secara fundamental, platform ini telah mengubah cara perusahaan berinteraksi dengan pelanggannya.
Nyatanya, studi terbaru mengungkapkan bahwa sementara media sosial banyak diberitakan karena peluang yang diciptakannya, banyak juga perusahaan yang masih menganggap media sosial seperti mentega. Ia hanya menjadi pelengkap dari PR tradisional, periklanan, dan pemasaran langsung. Akhir 2011, CMO Council mengeluarkan laporan yang mengungkapkan hanya 34 persen dari anggotanya yang benar-benar mengintegrasikan media sosial ke dalam strategi besar pemasaran mereka. Studi lainnya, yang dilakukan IBM terhadap 1.700 CMO mengungkapkan hanya sebagian kecil dari mereka yang memonitor percakapan pelanggan mereka (48 persen) di media sosial dan postingan yang relevan dengan perusahaan dalam blog (26 persen).
Saya kutip data lain. Survey yang dilakukan Software Pitney Bowes pada September lalu terhadap pengguna internet dewasa dan para pengambil keputusan pemasaran di AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Australia menemukan sebuah paradox. Temuan inilah yang membuat mereka mengingatkan pemasar untuk berhati-hati agar mereka terlalu berkomitmen pada media sosial tertentu.
Hasil jajak pendapat itu juga seakan mengingatkan bahwa penggunaan media sosial hendaknya dilakukan selaras dengan preferensi konsumen. Kenapa? Survei itu menemukan adanya perbedaan yang  mencolok antara konsentrasi konsumen di beberapa jaringan media sosial dan persentase pemasar yang menggunakan jaringan sosial itu. Namun dalam kasus lain, jumlah pemasar di platform yang tersedia justru melampaui pelanggan potensial yang ada.
Di Twitter, misalnya, 57% pemasar dilaporkan menggunakan situs tersebut. Di sisi lain, hanya 31%  konsumen yang menggunakan situs yang yang sama. Twitter diakui sebagai pendorong utama di balik fenomena yang relatif baru, televisi sosial. Menurut sebuah study terbaru yang dilakukan NM Incite dan Nielsen,  selama Juni 2012, sepertiga dari pengguna Twitter mentweet secara aktif konten TV atau naik 27 persen dibandingkan  Januari. Seperempat dari pengguna sosial media adalah mereka yang berusia 18-24 yang selalu memberikan komen atas konten TV sosial yang dilihatnya. Karena itu, muncul hipotesis bahwa menggunakan dengan Twitter strategi pemasaran beralan lancar.
Informasi lainnya menunjukkan ada  51% pemasar memanfaatkan kehadiran Google+, padahal hanya 21% konsumen yang menggunakannya. Sementara itu di bagian lain, survey menemukan 53% dari konsumen memanfaatkan YouTube, tetapi di lain pihak hanya 41%  pemasar yang memanfaatkannya. Artinya, sementara banyak pengguna internet yang melototi YouTube, tapi di sisi lain jarang pemasar yang melongok jejaring itu. Mereka menyukai menggunakan mikroblog.
Artinya apa? Fenomena-fenomena diatas menunjukkan betapa marketer sibuk memposting tapi tak menghiraukan tanggapan yang diberikan oleh member akun media sosial miliknya. Ini jelas bukan sesuatu yang ideal, karena pada dasarnya posting perusahaan seyogyanya mendorong pubik berkomentar dan membicarakannya secara positif sehingga brand-nya menjadi hidup.
Itulah alasan Gini Dietrich dan Geoff Livingston menulis Marketing in the Round. Dalam konteks ini mereka ingin menunjukkan realitas sebenarnya dari fenomena perluasan saluran komunukasi tersebut.  Mereka menyadari, memahami bagaimana mengintegrasikan dan memilih taktik yang beragam, memadukan media tradisional dan online – bukan bagaimana memulai Twitter -- adalah tantangan besar yang dihadapi pemasar.
Saat ini, kata Gini Dietrich dan Geoff Livingston -- penulis buku Marketing in the Round -- hampir setiap buku pemasaran kontemporer membahas media sosial, apakah itu Facebook, ROI, konten, atau customer relationship. Secara langsung, ini merupakan bentuk pengakuan penulis literatur tersebut bahwa mereka telah membawa perubahan media yang sejatinya bersifat sosial ke ranah pemasaran. Karenanya, buku-buku tersebut gagal untuk menyadari tantangan pemasar sebenarnya. Bukan dalam pemanfaatan media sosial, tetapi tantangan mentransformasi diri menjadi organisasi modern yang bekerja di media dan taktik untuk mencapai tujuannya.
Tetapi, hal itu bukan berarti mereka membenci media sosial. Melalui buku ini, mereka ingin menunjukkan bagaimana pemasaran multichannel bekerja di abad kedua puluh satu atau di era paska media sosial seperti sekarang ini. Sebab bagaimana pun media baru – media sosial – telah menggeser pergeseran paradigma praktik pemasaran di banyak perusahaan. Sebelumnya, dalam berkomunikasi, perusahaan menggunakan pendekatan product-driven, kini mereka mengaplikasikan metode "customer-driven" marketing dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Saat ini, konsumen memang telah begitu menyatu dengan media sosial sehingga saluran baru ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pemasar. Tapi media sosial bila sendirian tidak cukup untuk membangun merek Anda. Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan gagasan ini.  Pertama, berkomunikasi melalui jaringan sosial tidak scalable. Seperti diketahui, bahwa media sosial tidak dapat menjangkau massa kritis dengan cara yang sama dengan yang bisa dilakukan oleh media penyiaran berbayar. Baru-baru ini Facebook mengingatkan pengiklan bahwa hanya 16% dari fans-nya yang melihat konten organik yang diposting oleh merek.
Konten organik mengacu pada halaman website yang ditulis (dan menemukan) terutama oleh pengguna dengan mengetik kata kunci ke dalam mesin pencari, seperti Google, Yahoo! dan Bing. Ini berbeda dari surat kabar online atau e-magazines yang mengandalkan pada pembaca setia atau pelanggan untuk tampilan halaman mereka. JetBlue, pendukung terkemuka media sosial, memahami hal ini. Ketika meluncurkan produk barunya seperti layanan baru ke Dallas, JetBlue measih memanfaatkan siaran TV untuk mendapatkan awareness yang luas. 
Kedua, pesan melalui media sosial terlalu terfragmentasi. Banyaknya suara yang muncul melalui media sosial memfragmentasikan pesan merek. Itu sebabnya, paid and owned media masih penting untuk menentukan pesan merek. Sebauh merek mungkin perlu mengundang konsumen, tetapi jika terlalu kolaboratif, merek tadi tidak akan memiliki landasan merek yang kuat. Sebagai contoh, Coca-Cola menggunakan paid and owned media untuk melakukan kampanye merek "open happiness” sebelum memperluas kampanyenya melalui media sosial.
Ketiga, sebuah strategi sosial berhasil baik bila dipandu dengan strategi merek. Merek harus memimpin konsumen dengan visi yang jelas tentang siapa dan apa yang mereka perjuangkan. Semua landasan keterlibatan sosial dimasukkan dalam visi merek tersebut. Misalnya, misi hotel premium Four Seasons untuk menawarkan "hanya pengalaman bekualitas luar biasa" digemakan melalui strategi sosial, seperti wine tastings-nya melalui Twitter. Disini, konsumen dapat menikmati wine tastings virtual di rumah, mereka berbagi deskripsi dan evaluasi melalui Twitter, atau mereka dapat mencicipi anggurnya di Four Seasons Hotel.  
Di Indonesia, menurut Irawati Pratignyo, Managing Director - Media Nielsen Indonesia, dari sisi tren konsumsi terhadap media, tahun ini konsumen/pemirsa TV tetap tinggi sementara konsumen/pembaca pada media cetak (koran dan majalah versi cetak) dan radio tidak setinggi TV. “Kami melihat ada pengaruh pertumbuhan kepemilikan cell-phone/mobile phone dan peningkatan jumlah pengguna internet, serta adanya perubahan konsumsi terhadap media cetak dan radio yang kini dapat diakses melalui internet,” kata Ira.
Situasi ini membuat pemasar tak lagi hanya memikirkan apakah melakukan branding melalui Twitter atau Facebook. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mengintegrasikan semua saluran komunikasi pemasaran, termasuk media konvensional. Inilah yang disebut sebagai era post-social media, era dimana pemasar tidak hanya memikirkan tentang media sosial tapi juga media konvensional.
Ini bukan berarti bahwa media sosial tidak dibutuhkan lagi dalam pemasaran terutama dalam konteks interaksi. Media sosial masih tetap dan sangat diperlukan. Akan tetapi, seperti ditulis Dietrich dan Livingston, media sosial tidak bisa bekerja sendiri, terutama jika digunakan untuk menerobos pasar atau menyampaikan pesan. Sebab seperti diketahui, tujuan dari penggunaan media sosial adalah membangun engagement. Tujuan ini secara efisien tercapai bila mengintegrasikan media sosial dengan media konvensional. Beberapa fenomena membuktikan itu, mulai dari kasus Prita, Cicak Vs Buaya dan sebagainya.
Engagement berarti pelanggan atau stakeholder menjadi peserta, bukan sekadar pemirsa. Ini yang membedakan antara menonton dan berpartisipasi dalam pemutaran film misalnya. Engagement, dalam koteks bisnis sosial, berarti pelanggan Anda bersedia meluangkan waktu dan energi mereka untuk berbicara dengan Anda tentang Anda dalam sutau percakapan dan melalui proses yang mempengaruhi bisnis Anda. Proses keterlibatan ini merupakan dasar kesuksesan bisnis sosial. Keterlibatan dalam konteks sosial menyiratkan bahwa pelanggan telah mengambil kepentingan pribadi dalam apa yang Anda bawa ke pasar.
Dalam konteks ini, keistimewaan media sosial bagi perusahaan adalah, pertama, kemampuannya dalam  mengidentifikasi pengguna kunci yang loyal terhadap perusahaan dan berpengaruh terhadap hubungan mereka. Kedua, media sosial mampu menyebarkan pesan secepat virus. Berdasarkan penelitian, strategi pemasaran yang paling baik adalah membiarkan pelanggan sendiri untuk menjadi pemasar. Studi ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan kepentingan bersama berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka memiliki sikap, keyakinan atau kepentingan yang sama.
Ketika Nikon merilis kamera DSLR seri D4-nya ke pasar fotografi professional, selain menggunakan kampanye top-down PR yang konvensional, Nikon melanjutkan tradisi mereka memberikan DSLRs baru kepada blogger berpengaruh untuk mereview kamera tersebut disertai dengan foto hasil jepretannya dengan kamera itu. Tujuannya, membuat para blogger membicarakannya ketika kamera itu dirilis. Peluncuran itu pun direspon dengan percakapan online yang luas.
Contoh diatas menginformasikan bahwa target pemasaran melalui jaringan media sosial bisa menjadi jauh lebih efisien dan hemat biaya ketika pemasar dapat mengidentifikasi pengguna kuncinya. Dalam konteks ini, kesadaran maksimum terhadap produk atau jasa dapat ditransfer dengan biaya minimal, jika pengguna utama telah diidentifikasi dengan benar. Mereka bisa menyebarkan informasi kepada pengguna lain. Ini akan menjadi cara difusi informasi yang tepat, yang mempengaruhi tujuan niat pengguna kunci 'berdasarkan kepercayaan dari orang lain.
Ketika seorang pengguna kunci puas, kepercayaan mereka kepada perusahaan tumbuh dan mendorong mereka untuk menggunakan layanan terus dan bertindak seperti seorang pemasar bagi perusahaan. Dia akan menyebarkan pengalaman-pengalaman positifnya kepada orang-orang dekat mereka. Karena itu, media sosial adalah tempat yang sangat eksklusif untuk berbagi pengalaman positif mereka dengan teman-teman dekat mereka. Disini kepercayaan memainkan peran dalam memfasilitasi dan mempertahankan hubungan jangka panjang.
Disinilah pemahaman tentang pengalaman para pengguna atau stakeholder media sosial makin penting. Pemasaran yang terlalu fokus pada Facebook merupakan contoh klasik dari pemasaran media sosial masih dipertanyakan. Kenapa? Saat ini, orang tidak melihat Facebook di rumah. Mereka membaca, menonton TV, online untuk membaca dan berpartisipasi dalam media sosial lainnya, mengomentari pernyataan orang atau situasi sosial, mendengarkan musik, dan seterusnya melalui ponsel/mobile tablet mereka. Pada malam hari, pengalaman media mereka jauh melampaui penawaran apapun Facebook. Mereka mengkses lebih banyak tawaran atau feature media.
Tapi di sisi lain, ketika smartphone dan komputer tablet menjadi bagian dari kehidupan konsumen, kesempatan bagi peritel untuk membagikan katalognya makin besar dan cepat. , kesempatan untuk catalogers ritel dan pedagang langsung memperluas dengan cepat. Bagi pengecer multichannel, percakapan tidak hanya tentang chanel belanja yang digunakan oleh pembelanhja yang jumlahnya makin tumbuh ini. Mereka akan menggunakan semua saluran – termasuk saluran tradisional -- tersebut untuk mendekatkan produknya ke pelanggannya. Itu sebabnya media sosial harus diintegrasikan ke dalam bauran pemasaran yang lebih besar.
Pemasaran modern bukanlah suatu fenomena sosial, juga bukan sikap yang telah mengakar sejak abad ke dua puluh. Ini adalah era yang lahir karena resesi dan masa pemulihan yang menuntut pelaku pemasaran menjadi lebih bertanggung jawab dalam setiap anggaran yang dikeluarkan. 
Ketika pendekatan primer dipilih itu biasanya karena sumber daya sudah ada di depan mata. Tetapi perusahaan sering kali memiliki beberapa sumber daya. Jika kampanye public relations memadukan acara peluncuran dan PR untuk memasarkan produk baru, mengapa tidak menggunakan sumber daya media sosial? MAJALAH SWA 27/XXVII/20 Desember 2012 - 9 Januari 2013 

Kamis, 17 Januari 2013

Towards a New Conceptualization Marketing Public Relations


Kredibilitas sangat menentukan keefektifan MPR sekaligus menunjukkan nilai lebih dari MPR. Karena itulah seyogyanya MPR merupakan fungsi dari public relations.

Baca juga tentang Siapa Bertanggung Jawab di
MAJALAH MIX-Marcomm, 01/X/Januari 2013

Hari ini, perusahaan tak bisa lagi menghindari media sosial sebagai bagian integral dari bisnisnya. Dengan sangat cepat, media sosial berkonvergensi dengan media-media lainnya mulai dari yang berbasis internet hingga media cetak, sehingga sebagai platform, media sosial kini sangat diperlukan untuk menyampaikan pesan-pesan pemasaran kepada khalayak sasaran.
Bahkan tim dan pemain olahraga di seluruh dunia pun saat ini menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan fans dan rekan mereka serta pers. Bagi pemasar, media sosial menawarkan kekuatan untuk mencapai hasil yang besar dengan biaya yang sangat minim, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun demikian, media sosial juga menciptakan risiko tak terhitung karena banyak bisnis yang belum siap untuk mengambil. Salah satu risiko tersebut berkaitan dengan masalah bagaimana membangun keterlibatan (engagement) dengan konsumen melalui media sosial sehingga bisa mempengaruhi perilaku konsumen berikutnya '.
Anda, pesaing Anda mungkin sudah mempunyai akun twitter, facebook atau jejaring sosial media sosial lainnya. Tapi apa yang sudah Anda lakukan? Seberapa banyak Anda posting pesan setiap hari? Seberapa sering Anda merespon pertanyaan-pertanyaan yang muncul di akun media sosial Anda. Apakah Anda selalu menjawab atau berusaha menyelesaikan keluhan pelanggan Anda? Seberapa banyak pesan Anda yang diteruskan oleh “pengikut” akun media sosial Anda ?
Pesatnya pertumbuhan Web telah menyebabkan munculnya disiplin komunikasi pemasaran baru yang disebut "NetRelations" atau irisan dari disiplin pemasaran langsung tradisional, public relations dan Internet. Dengan kata lain, net-relations adalah satu perangkat keterampilan baru dalam komunikasi produk dan jasa yang memanfaatkan jangkauan global, komunikasi seketika dan fungsionalitas Web untuk mencapai sasaran pemsaran. Konsekuensinya, perusahaan kini dituntut untuk memahami wilayah  komunikasi baru sehingga dapat mengeksploitasi kekuatan yang luar biasa otot dunia online ini sebagai media pemasaran.
Harus diakui, net-relations telah mengaburkan batas antara disiplin pemasaran dan public relations  dengan menawarkan kepada perusahaan suatu ruang layanan baru yang interaktif guna menjangkau konsumen yang ditargetkan. Melalui Web baru ini pemasar bisa mengadakan acara promosi on-line, live chat, sosisalisasi produk, beriklan, membuat media, dan sejumlah pemasaran dan public relations lainnya untuk membantu mengembangkan bisnis mereka.
Tren ini mengaburkan batasan yang sudah kabur sejak kemunculan praktek-praktek marketing public relations - sebuah istilah yang muncul sebagai irisan diantara dua kata pemasaran dan PR pada 1980-an. Trend ini memunculkan perdebatan soal marketing-public relations. Ini bisa dirujuk dari surat Norman Hart (1991) dari Chartered Institute of Marketing (Inggris) yang menyatakan bahwa “Ini saatnya untuk menempatkan public relations dalam perspektif yang benar dalam kaitannya dengan pemasaran. Kini harus disadari bahwa PR tidak bisa lagi diperlakukan sebagai bagian dari fungsi pemasaran. Dalam hal tertentu, pemasaran dapat pula menjadi bagian dari PR.”
Kotler (1991a) menggambarkan MPR sebagai anak dari – ibarat dua orang tua -- pemasaran dan PR. Menurut Harris (1993), MPR muncul sebagai suatu disiplin promosi baru yang khas pada 1980an yang menawarkan teknik aplikasi khusus yang mendukung kegiatan pemasaran. Secara konsep dan praktek, menurt Harris, MPR terpisah dari PR perusahaan, dan bahkan lebih mendekati peasaran ketimbang PR.
MPR adalah proses perencanaan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program yang mendorong pembelian dan kepuasan konsumen melalui komunikasi informasi yang kredibel dan kesan bahwa perusahaan dan produk mampu mengenali kebutuhan, keinginan, perhatian, dan kepentingan konsumen. Khalayak yang dituju dari MPR adalah masyarakat dan konsumen.
Dua tahun lalu, ketika Majalah MIX-MarketingCommunication mengadakan focus group discussion tentang public relation award dengan membuat kategori baru, teman-teman praktisi social media PR merasa bahwa wilayah itu sebenarnya lebih banyak menjadi domainnya marketing. Ini membuktikan bahwa perdebatan itu masih ada bahkan mungkin bertambah karena media sosial makin mengaburkan batasan-batasan tersebut. PR dan marketing seakan tidak bersekat yang celakanya makin memperlemah peran PR sendiri. 
Ini makin kentara ketika membicarakan soal word-of-mouth atau content marketing misalnya.  Seperti dimaklumi, dalam beberapa waktu terakhir ini content marketing menjadi semacam jargon yang banyak kita dengar. Ini terkait dengan thesis selama ini yang makin memprkokoh bahwa pada dasarnya pembicaraan tentang suatu merek bisa mengarahkan seseorang untuk membeli atau tidak membeli merek tersebut. Kemudian kita sering mendengar adegium bahwa “content is the king, conversation is kingdom.” Artinya apa? Bahwa content marketing itulah yang menjadi kunci dari publik membicarakannya.
Pertanyaannya adalah siapa yang harus merancang konten itu? Jadi Content Marketing itu fungsi public relation atau marketing? Pertanyaan ini makin memperpanjang durasi diskusi tentang batasan marketing dan public relations yang bisa jadi – dengan berkembangnya media sosial -- saat ini makin kabur. Sebab seperti diketahui, praktek PR adalah tentang mempengaruhi opini publik dan menjaga reputasi. PR menyampaikan pesannya melalui pihak ketiga, seperti pers atau analis industri. Sementara itu, pemasaran dan periklanan, perusahaan itu sendiri memberikan pesan-pesan.
Pekerjaan ini tidak jauh bedanya dengan seorang jurnalis yang merancang, mengobyekkan atau menjadikan fenomena sebagai objek dalam bentuk kata atau bahasa dan mempublikasikannya sendiri atau melalui pihak lain. Sementara itu, content marketing difokuskan pada hasil akhirnya, seperti penjualan. Dalam konteks tahapan proses keputusan pembelian oleh konsumen, sejatinya PR berada di pangkalnya, yakni membangun kesadaran dan reputasi, sementara content marketing diposisikan pada area pertimbangan dan pilihan.
Apakah Anda pernah mengambil brosur atau flyer yang dikeluarkan oleh perusahaan atau merek? Juga membuka-buka newsletter perusahaan, baca komik secita singkat yang terdapat di sebungkus permen karet? Semua ini adalah beberapa cara yang dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menggunakan konten untuk memasarkan produk atau layanan mereka kepada pelanggan dan calon pembeli. Siapa perencana dan eksekutornya? Dengan kata lain siapa penanggung jawabnya? PR atau marketing?
Content marketing bukanlah hal baru. Sejak bertahun-tahun lalu perusahaan telah menciptakan dan mendistribusikan konten untuk menarik bisnis baru dan mempertahankan pelanggan yang ada. Inilah yang membedakan antara content marketing dan bentuk-bentuk pemasaran dan iklan tradisional. Disini perusahaan atau merek tidak menggunakan konten untuk menjual. Isi pesan yang biasa dimunculkan dalam bungkus permen tadi misalnya, lebih banyak mengandung informasi yang saat itu relevan dengan kebutuhan konsumen bersifat menidik sehingga bermanfaat, menarik, dan kadang-kadang menghibur.
Pada awalnya, public relations dikembangkan sebagai agency pers yang berusaha memanfaatkan setiap  kesempatan untuk mendapatkan publisitas produk, perusahaan, dan perorangan (personal). Kemudian, para praktisi PR makin mempertajam perencanaan kegiatan publisitas dengan melakukan penelitian pendapat public sebelum mempublikasikan kampanyenya. Begitu perusahaan menyesuaikan rencana kamapnyenya dengan perubahan lingkungan, mkaa dipandang penting untuk membangun, mengembangkan dan memelihara hubungan dengan berbagai domain publik untuk membangun keunggulan kompetitif-nya.
PR saat ini harus melakukan banyak hal. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan publisitas, manajemen reputasi, dan media. Karena itu, jantung PR adalah selalu menanamkan cerita di media seperti koran, majalah, televisi, dan radio. Disini PR tertantang untuk membuat cerita dalam bentuk dokumen pers rilis satu atau dua halaman singkat, mempersuasi dan meyakinkan wartawan bahwa topik yang dibuat itu bernilai dan menarik.
Jika diperhatikan, pasar dan audience hari ini, mereka semuanya memfokuskan perhatiannya pada communicator.  Siapa sebenarnya yang menyampaikan pesan. Seperti yang kita tahu, pasar saat ini selalu menginginkan komunikator selalu on, real-time, dan beroperasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu pada saat itu juga. Konsumen membeli dan stakeholder bertindak sesuai dengan frame waktu mereka sendiri. Nah, disini pertanyaannya adalah siapa yang bertanggungjawab merespon kebutuhan public atau konsumen ini? PR atau marketing? Saya sendiri melihat bahwa itu seyogyanya dilakukan oleh seorang PR.
Salah satu peran MPR adalah memperkenalkan produk atau revisi produk pada suatu area. Dalam konteks ini, MPR diintegrasikan dengan sarana IMC lainnya untuk menghasilkan exposure tambahan tentang produk, kesan yang layak diberitakan dan kredibilitas. Faktor yang terakhir ini, yakni kredibilitas, sangat menentukan keefektifan MPR sekaligus menunjukkan nilai lebih dari MPR. Kenapa? Bila MPR dilakukan oleh seorang atau organisasi PR, dia harus emnyerahkan pesannya kepada pihak ketiga, dalam hal ini bisa saja redaksi media massa, blogger, atau buzzer lainnya untuk diolah dan tidak bisa dikontrol oleh praktisi PR tadi.
Sebaliknya dengan marketing atau periklanan, mereka langsung menyerahkan pesan tersebut untuk – dengan membayar biaya tertentu -- langsung dipublikasikan dan isinya tetap bisa dikontrol oleh pemasang iklan misalnya. Konsekuensinya, dalam konteks iklan atau promosi lainnya, public mempertanyakan motif pemasang iklan setelah mengetahui merek mereka memiliki kepentingan pribadi dalam membujuk konsumen. Dengan kata lain, publikasi oleh editor surat kabar atau penyiar televise lebih dapat dipercaya. Para konsumen jarang mempertanyakan motivasi yang mendasari editorial-type ensdorsement.
Karena itulah publisitas adalah sarana MPR proaktif yang utama. Seperti periklanan dan penjualan perorangan, tujuan fundamental dari publisitas yang berorientasi pemasaran adalah untuk meningkatkan ekuitas merek dalam dua cara: pertama, melalui kesadaran akan merek dan, kedua, menambah citra merek melalui asosiasi yang kuat dan menguntungkan dengan merek-merek dalam benak para konsumen. Disinilah peran PR.

Studi tentang Blogger: Mereka Juga Ingin Diperlakukan Sebagai Pemasar. Minta Bayaran Pula.


Sebuah studi baru tentang agensi PR/Media Pemasaran yang dilakukan Red Jeweled Media mengungkapkan sesuatu yang menurut saya mengejutkan. Lihat saja, sebagian besar (baca mayoritas) responden atau sekitar 77% blogger menganggap blog mereka sebagai sebuah bisnis - apakah itu combo bisnis  atau hobi (46,2%), bisnis penuh-waktu (11,1%) atau bisnis paruh waktu (19,4%). Hanya sekali lagi hanya 20,3% yang melihat blog mereka hanya sebagai hobi atau aktivitas pribadi yang menyenangkan.
Selain itu, masih ada kejutan lagi yang merupakan konsekuensi dari sikap yang mereka ungkap sebelumnya. Dalam survey yang mencoba menyelami lebih jauh jiwa para blogger, menjelajahi jalan seperti mengapa mereka memiliki blog, untuk apa yang mereka memblogging, berapa banyak waktu yang mereka habiskan di blog mereka dan berapa banyak merek yang mereka posting, juga terungkap bahwa  mereka menganggap dirinya sebagai pemasar. Karena itu, untuk setiap pesan yang mereka posting melalui blog-nya tidaklah gratis. Dengan kata lain mereka meminta bayaran terkait dengan merek yang mereka posting (prnewsonline.com  | 1.14.13).


Hasil lainya tidak terlalu mengejutkan kalau tidak bisa dianggap sebagai ungkapan klise. Melalui hasil survey ini terungkap bahwa mayoritas atau lebih dari 90% blogger yang disurvey sangat bergairah untuk menulis sesuatu Tidak begitu mengejutkan, mayoritas (lebih dari 90%) dari blogger yang disurvei bergairah tentang menulis, mereka senang menjadi bagian dari komunitas blogging dan menikmati mengekspresikan diri melalui blogging.
Untuk memperdalam temuan tersebut, PRNews menanyai dua ahli PR terkait dengan blogger relations yang efektif dan tantangan dan praktik terbaik dari manajemen blogger. Menurut Stephanie Doherty (sdoherty@conecomm.com), VP at Cone Communications, salah satu tantangan terbesar dalam bekerja dengan blogger adalah menentukan siapa yang paling cocok akan dijadikan sebagai mitra dalam program atau kampanye suatu produk atau merek. "Mengidentifikasi blogger yang tepat membutuhkan banyak waktu dan penelitian," kata Doherty.
Begitu daftar blogger dimiliki dan blogger yang mempunyai jangkauan sesuai dengan jangkauan yang ingin ditarget merek atau produk, pemesar ahrus benar-benar menggali informasi tentang blog mereka. Lalu blogger tersebut harus dikenali secara pribadi untuk kemudian menggali iformasi tentang pembaca blog, apakah diantara pembaca blog tersebut menyukai isi blog atau malah membencinya ? Di mana mereka tinggal? Apa yang membuat blogger tersebut unik atau berbeda?
Selain itu, ada juga faktor lain yang penting diidentifikasi, pertama, berapa biaya yang dibutuhkan blogger? Kedua, kata Sue Reninger (reninger@rmdadvertising.com), managing partner and strategist at RMD Advertising, menemukan orang-orang yang memiliki sikap bahwa blogger bukan pemasar adalah penting. Sebab, seperti diketahui, sebagian besar merek mengalokasikan anggaran iklan dan PR secara terpisah.
Sebab bagaimanapun fungsi PR dan iklan berbeda. Dalam konteks marketing public relations misalnya, fungsi PR adalah menjalankan proses perencanaan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program yang mendorong pembelian dan kepuasan konsumen melalui komunikasi informasi yang kredibel dan kesan bahwa perusahaan dan produk mampu mengenali kebutuhan, keinginan, perhatian, dan kepentingan konsumen. Dengan kata lain, kredibilitas pesan yang dalam hal ini terkait dengan objectivitas isi pesannya dalah fokus kepedulian seorang PR.
Dalam hubungannya dengan blogger, meski kalau melihat hasil survey Red Jewelry kecil, namun sejatinya ada blogger yang menjaga kredibilitas dengan cara membuat ulasan serta editorial objektif. Biasanya merek ini tidak dapat dibeli. "Jadi, kita harus bisa menemukan blogger yang memiliki pendirian bahwa blogger harus berjarak dan membangun sebuah merek membutuhkan waktu lebih dari satu periode waktu, layak dipertimbangkan ketika kita mengalokasikan anggaran komunikasi," kata Reninger.
Menurut Doherty, biaya yang ditetapkan blogger untuk memposting suatu merek sangat bervariasi. Biaya itu tergantung pada pembaca mereka, berikut relasi sosial sosial dan keterlibatan pembacanya. Jenis posting juga mempengaruhi biaya yang dikenakan. Biaya untuk review sebuah merek atau produk misalnya, akan lebih mahal ketimbang informasi yang sifatnya langsung (straight). “Blogger-blogger  yang membutuhkan biaya untuk posting tersebut biasanya memiliki media kit yang tersedia di blog mereka dengan informasinya,” kata Doherty.