Selasa, 26 Juli 2016

Cabinet (Government) Branding


Hari-hari ini – mungkin sekali lagi mungkin – sebagian besar bangsa Indonesia menantikan pengumuman perombakan cabinet yang bakal dilakukan Presiden Joko Widodo. Kabarnya, perombakan cabinet atau reshuffle itu diumumkan hari ini. Setidaknya sas sus ini muncul karena semalam – seperti diberitakan banyak media online – Presiden Jokowi telah memanggil beberapa menteri di kabinetnya.
Sebelumnya, saat bulan puasa lalu, Presiden Jokowi juga memanggil beberapa orang ke Istana. Spekulasi kemudian muncul bahwa orang-orang yang dipanggil itu merupakan “calon menteri” pengganti dari para menteri yang dipanggil semalam. Wallahu’alam kita tunggu nanti.
Saya tidak akan terlalu banyak membahas tentang reshuffle tersebut apalagi nama-namanya. Yang saya ingin bahas disini menyangkut nama tapi bukan nama siapa-siapa yang bakal menduduki posisi itu. Yang ingin saya kemukakan adalah pentingnya penamaan cabinet atau apapun termasuk program kerja yang berorientasi pada masyarakat.
Selama ini, hampir semua Presiden ketika membarikan nama kabinetnya selalu berorientasi ke dalam. Misalnya, saat pertama mengumumkan kabinetnya (jilid I), Presiden Jokowi memberi nama kabinet sebagai Kabinet Kerja. Kemudian era SBY, nama kabinetnya Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Gotong Royong (Era Presiden Megawati), Kabinet Persatuan Nasional (pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid), Kabinet Reformasi Pembangunan pada era Habibie, Kabinet Pembangunan dan Ampera (Era Soeharto). Sebeum Orde Baru, nama cabinet melekat dengan pemimpinnya, seperti Kabinet Natsir dan sebagainya.
Dalam konteks marketing, nama cabinet adalah sebuah merek. Ia menawarkan sesuatu yang berbeda dengan yang lain. Karena itu, dalam konteks nation branding, muncul pertanyaan apakah tidak sebaiknya momen ini dijadikan sebagai awal dari pembentukan Indonesia branding. Bila halite disepakati maka muali saat ini harus dilakukan reorientasi dari pemberian nama cabinet tersebut. Sebab, nama-nama itu lebih mencerminkan orientasi ke dalam, tidak mencerminkan sebuah penawaran kepada publik atau target market. Kabinet Kerja misalnya, memang menawarkan kepada public sebuah janji bahwa para anggota kabinetnya akan bekerja. Pertanyannya adalah bekerja untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk partainya, mengingat komposisi kabinetnya yang menceriminkan keterwakilan partai.
Persoalan nama cabinet yang berorientasi ke dalam juga tercermin dari kebijakan yang diambil. April 2016 misalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid XII. Harus diakui bahwa kebijakan itu sangat penting terutama dalam memperbaiki peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business/EoDB) Indonesia, yang saat ini berada di peringkat 109.
Pertanyaannya adalah lagi-lagi kenapa tidak memberi nama secara lebih specific. Idealnya, bila Kabinet Kerja dianggap sebagai umbrella brnd, maka merek itu harus diikuti dengan merek-merek lain yang diroientasikan pada target market tertentu.
Akhir tahun 2014, Perdana Menteri India Narendra Modi mengeluarkan kebijakan insentif untuk mendorong perusahaan-perusahaan asing berinvestasi dan memproduksi produk-produk mereka di India. Untuk keperluan itu, Modi membuat brand kebijakan itu dengan tagline, _Make in India_.
Make ini India merupakan contoh dari sebuah strategi nation branding yang berfokus pada upaya menarik perusahaan asing. Inisiatif untuk mempromosikan India sebagai pusat manufaktur ini sekaligus memposisikan India sebagai negara yang siap bersaing dengan China dan pusat-pusat manufaktur lainnya seperti Malaysia, Vietnam dan Bangladesh. Dengan tagline itu, India mendeklarasikan dirinya sebagai negara yang semakin menjauhi kebijakan ekonomi masa lalu yang proteksionis.
Nama kampanye ini nampaknya sengaja tidak menggunakan _Made in India_ yang bisa bermakna menawarkan suatu lokasi yang bisa memproduksi barang yang dipasarkan kepada konsumen. Sementara itu nama Make ini India lebih bersifat tawaran daya tarik bagi perusahaan untuk memindahkan operasi manufaktur dan sumber daya mereka ke India.
Insitif Make in India ini diikuti dengan pembuatan sebuah situs di mana perusahaan dapat mencari dan mengklarifikasi kebijakan dalam waktu 72 jam. Kampanyenya dirancang oleh Wieden + Kennedy. Di bawah inisiatif ini, pemerintah merilis brosur 25 sektor. Sebelum inisiatif diluncurkan, pemerintah India menyederhanakan perizinan di berbagai sektor. Aplikasi untuk lisensi dibuat tersedia secara online dan validitas lisensi pun meningkat. Februari lalu, diadakan “Make in India Week” yang menghssilkan kesepakatan investas senilai $222 juta.
Tahun lalu, Januari 2015, Spice Group akan memulai unit manufaktur ponselnya di Uttar Pradesh dengan investasi 500 crore. Januari 2015, Hyun-Chil Hong, Presiden & CEO Samsung Asia Barat, bertemu dengan Kalraj Mishra, Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), untuk membahas inisiatif bersama.  Samsung juga akan memproduksi Samsung Z1 di pabriknya di Noida. Banyak perusahaan teknologi tinggiyang akan inves, termasuk Hitachi, Huawei, dan sebagainya.  
"Investasi di bawah skema 'Make in India' antara tahun 2014 dan 2016 dilakukan oleh perusahaan domestik dan asing seperti Mercedes Benz India, Internasional Tractors Limited, Jaya Montupet, Isuzu Motors, General Electric, Toshiba Transmission dan Distributions Systems India Private Limited and PepsiCo, " kata Menteri Negara Keuangan Arjun Ram Meghwal.


Sabtu, 23 Juli 2016

AGENDA MEDIA DAN AGENDA PUBLIK: DIMANA PERAN PR?


Dalam acara ASEAN Talk yang diadakan Asean PR Network , Jum’at lalu, ada pertanyaan seputar cara menangani media yang cenderung memberikan negatif – dari isi pihak yang diberitakan --  tentang sesuatu. Bagi organisasi, bila pemberitaan negative tersebut menyangkut organisasi kita, hal itu tentu sangat tidak mengenakkan.
Persoalan kedua adalah apa yang harus dilakukan terkait dengan media yang memberitakan secara negative tersebut? Apakah organisasi yang diberitakan secara negative itu lantas mengambil jarak dan “memusuhi” media tersebut?    
Bagi masyarakat, sebuah informasi merupakan pusat dari pengambilan keputusan. Berbeda dengan organisasi atau perusahaan yang dalam proses pengambilan keputusan diawali dengan riset dan hasil riset itu menjadi acuan dalam pengambilan keputusan. Dalam masyarakat, hal tiu berlangsung secara instant.
Masyarakat tidak memiliki waktu untuk mempelajari setiap masalah yang menyangkut mereka. Karena itu, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mereka, masyarakat mengandalkan sumber informasi lainnya, khususnya media massa, untuk informasi yang memungkinkan mereka mengembangkan pendapat dan membuat keputusan tentang sesuatu mulai dari untuk kepentingan pribadi, perusahaan,  kebijakan publik, tindakan pemerintah dan tren sosial.
Informasi yang dikirimkan melalui media massa berasal dari berbagai sumber. Ada yang bersumber dari  akademisi, pejabat pemerintah, pengusaha, pengamat keuangan, peserta atau orang terlibat dalam acara atau peristiwa tertentu, dan yang paling penting untuk program adalah para relawan kelompok-kelompok sipil non-profit yang sering disebut organisasi non-pemerintah (LSM).
Mereka – bisa pendukung kebijakan publik, apakah mereka mengkhususkan diri dalam masalah lingkungan, anti korupsi, kesehatan anak-anak, atau penyalahgunaan obat – membutuhkan dua hal dari media massa:  informasi yang akurat dan sudut pandang (perspektif pemasalahan). Dengan informasi yang akurat, besar kemungkinan sebuah organisasi bisa mengatasi persoalan yang timbul akibat informasi yang keliru, mendidik masyarakat, membangun agenda public dan politik, dan menghasilkan dukungan publik.
Beberapa waktu lalu, saya melakukan penelitian terhadap belasan media yang cenderung memberitakan secara negative terhadap suatu peristiwa atau perusahaan. Saya mendapati, ada bulan tertentu media tersebut hampir setiap hari memberitakan tentang perusahaan dan aktivitasnya secara negatif. Namun demikian, diantara berita-berita tersebut, ada satu berita yang memiliki tone yang positif. Setelah saya telusuri berita tone positif tersebut berasal dari jupa pers yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Saya telusuri lagi, selama itu perusahaan tersebut tidak pernah memasok informasi tentang perusahaannya kepada media bersangkutan. Ini yang kemudian membuat saya sampai pada hipotesis bahwa kalau suatu media yang selama ini memberitakan secara negative tentang suatu perusahaan hal itu disebabkan oleh ketiadaan pasokan informasi yang diberikan oleh perusahaan itu tentang dirinya. Hipotesis kedua adalah, kalau perusahaan tersebut memasok informasi yang positif tentang perusahaan, media itu akan memberitakan secara positif pula.
Komunikasi Strategis Perusahaan
Pada dasarnya, sebuah organisasi selalu memiliki informasi dan perspektif yang berguna, namun  yang sering dijumpai adalah organisasi belum atau tidak bisa berkomunikasi kepada publik. Untuk mendapatkan akses ke saluran informasi yang paling signifikan, yakni media massa, sebuah organisasi harus memahami kebutuhan para gatekeepers (penunggu pintu gerbang) media massa, belajar tentang teknik yang diperlukan untuk meningkatkan ketrampilan dalam menciptakan dan mengelola informasi secara efektif agar bisa hadir di media, dan mengembangkan strategi untuk memobilisasi sumber daya mereka untuk membangun advokasi media.
Komunikasi strategis untuk organisasi dapat dibagi menjadi tiga wilayah. Pertama, advokasi media. Advokasi media adalah penggunaan media massa strategis sebagai sumber daya untuk memajukan inisiatif kebijakan sosial atau publik. Ini dilakukan dengan menggunakan seperangkat teknik yang diambil dari public relations, periklanan, jurnalisme investigatif, dan lobi akar rumput. Melalui advokasi media, organisasi bisa membingkai isu-isu kebijakan publik dan secara aktif masuk ke dalam forum atau arena  debat publik.
Area kedua adalah jaringan. Disini organisasi atau perusahaan bekerja bersama-sama dengan anggota organisasi sendiri dan organisasi lain yang memiliki tujuan yang sama. Jaringan dapat memperluas basis keanggotaan organisasi dan menginformasikan kepada khalayak sasaran dengan jumlah yang lebih besar dari yang bisa dilakukan organisasi bila bekerja sendirian.
Hal ini mendorong pembentukan koalisi dan memberikan saluran untuk bekerja dan perencanaan bersama. Jaringan media sosial, internet, dan telepon merupakan media yang bisa meningkatkan kemampuan organisasi atau perusahaan berkolaborasi dalam pesan membentuk, berbagi sumber daya informasi dan menghubungkan pendukung untuk media massa.
Area ketiga adalah menciptakan dan mendistribusikan media yang dimiliki oleh organisasi seperti newsletter atau program televisi. Teknik ini akan membantu organisasi dalam mengatasi persoalan ketika media massa tidak mau atau enggan menerima pesan organisasi atau tidak kooperatif. Produksi media yang kreatif dapat melengkapi akses ke media massa dan membongkar keterbatasan liputan berita. Sebagai produser media, dokumenter, spot iklan, newsletter, atau TV dan forum radio yang dibuat dan dimiliki organisasi akan dapat menceritakan kisah organisasi itu sendiri dan menjelaskan masalah organisasi melalui media yang berada di bawah kontrol organisasi.
Melengkapi itu, organisasi perlu mengadakan pelatihan yang berfokus terutama pada advokasi media dan produksi media serta distribusi informasi. Ini adalah masalah mendasar yang perlu segera diatasi. Namun demikian, semua itu tidak akan bisa dilaksanakan bila tidak ada perencanaan media yang efektif.
Dimana Peran Public Relations ?
Konsep agenda building diketahui Scheufele (1971) saat mempelajari keterkaitan antara berita dan politik. Secara temporer, agenda building bisa terjadi terjadi sebelum agenda setting. Agenda building berhubungan dengan bagaimana agenda media mengubah informasi itu menjadi berita dan agenda media, selanjutnya mempengaruhi persepsi public.  
Pertanyaannya adalah bagaimana beberapa berita menjadi agenda media sementara yang lainnya tidak. Disini terkait dengan proses agenda building. Sebab seperti diketahui, proses pertama dalam agenda building yang dilakukan wartawan adalah mengidentifikasi, memilih, dan mengembangkan ide cerita, dan menilai pentingnya menggunakan fakta, sumber, dan penelitian latar belakang dalam cerita.
Disinilah pentingnya praktisi public relations terlibat dalam proses tersebut. Bukan berarti ikut dalam proses perencanaan, melainkan bagaimana caranya praktisi public relations mempengaruhi proses agenda building sebelum perencanaan dn selama proses perencanaan berlangsung dengan memasok informasi penting dan akurat serta membantu menentukan sudut pandang (enggel) dalam penulisannya. Disinilah pentingnya media relations.
Disini praktisi public relations harus memiliki target bisa mengalahkan informasi yang dipasok kelompok lain – yang bisa saja negative -- dan organisasi mereka ke dalam berita. Bahkan bukan hanya media, bisa di luar itu yang dalam hal ini termasuk mempengaruhi agenda building individu dan kelompok (kelompok advokasi, warga, dan sebagainya). Ini adalah tugas para spesialis hubungan media. Jadi pasokan informasi, dalam bentuk taktik hubungan media, adalah salah satu alat yang digunakan oleh praktisi public relations untuk mencapai tujuan ini.
Seperti yang dikatakan Zoch dan Molleda (2006), kekuatan untuk mempengaruhi dalam agenda building terletak pada kemampuan praktisi dalam membangun sebuah cerita dengan karakteristik yang spesifik sehingga bisa membantu dalam menentukan perspektif bertta yang diturunkan. Ini berarti bahwa bagaimana ide cerita yang dihasilkan secara substansial mempengaruhi proses agenda building dan merupakan titik kritis "pertama" dalam proses produksi berita.
Dari sudut pandang praktisi PR, langkah dalam proses itu merupakan peluang terbaik untuk menghasilkan dan membingkai ide cerita. Penelitian Curtin, menemukan bahwa lebih dari seperempat dari editor pengelola koran mengatakan bahwa mereka sering menggunakan bahan atau informasi yang dipasok PR sebagai dasar untuk membuat berita, bahkan sebagai pemicu ide.
Seperti diketahui dalam strutur kerja media, salah satu penilaian performance kunci adalah produksi berita secara kuantitatif. Di beberapa media ada kriteria penilaian tertentu yang mendasarkan pada kuantitatis berita yang diperoleh setiap hari. Dalam struktur kerja, di beberapa media, wartawan memang berada di bawah koordinasi redaktur. Redakturlah yang memberi dan menjelaskan tugas yang harus dikerjakan wartawan. Kepada redaktur wartawan juga menyerahkan hasil kerjanya pada waktu yang ditentukan.
Akan tetapi, wartawan juga pada dasarnya menjalankan profesinya sebagai pekerja mandiri, yang digerakkan oleh kepedulian terhada lingkungannya misalnya. Redaktur tidak selalu memberi tugas kepada wartawan. Hubungan kerja semacam ini merupakan ciri pola kerja profesi wartawan. Jadi, dengan atau tanpa penugasan dari redaktur, panggilan kerja wartawan adalah meliput untuk menghasilkan berita.

Fenomena ini hendaknya dilihat sebagai peluang bagi praktisi public relations untuk mendiseminasi gagasan, ide atau isu kepada media. Sebab tak jarang karena desakan batas waktu, ketidaktercapaian target berita harus yang harus diserahkan, membuat mereka membutuhkan narasumber. Disinilah pelaung bagi praktisi public relations masuk dengan memberikan informasi atau isu kepada wartawan tadi.