Rabu, 30 November 2011

The Power of Silent Salesman


Membuat kemasan yang dapat berperan sebagai penjual yang diam (silent salesman) sangat bergantung pada pemahaman terhadap pasar. Idealnya, kemasan dirancang agar memiliki workability tinggi.

Pada 1930-an Louis Cheskin, seorang psikolog pemasaran, mulai memperhatikan faktor psikologi dari desain kemasan. Cheskin mempelajari bagaimana respon emosional konsumen terhadap kemasan dengan melakukan eksperimen. Dalam eksperimennya, dia menempatkan dua produk yang sama dalam dua kemasan yang berbeda. Satu kemasan berbentuk lingkaran dan kemasan lainnya berbentuk segitiga.

Partisipan dalam eksperimen itu diminta untuk memilih mana produk yang paling disukai dan kenapa. Mereka tidak ditanya sama sekali soal kemasan. Juga tidak diminta untuk mengatakan sesuatu apapun tentang kemasan tersebut. Hasilnya, 80 persen partisipan memilih produk yang dikemas berbentuk melingkar. Ketika ditanya lebih lanut kenapa, mereka menganggap produk tersebut memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan produk dalam kemasan segitiga.

Cheskin kemudian mengulang eksperimennya dengan meletakkan produk lainnya dalam kemasan yang sama – berbentuk segitida dan melingkar. Hasilnya sama. Karena itu, Cheskin berkesimpulan bahwa desain kemasan memberikan pengaruh besar pada pengalaman seseorang akan isi yang terkandung dalam kemasan tersebut.

Fenomena ini dia sebut sebagai “sensation transference”. Fenomena ini oleh peneliti lainnya dikatakan sebagai ketidaksengajaan bantuan untuk suatu produk yang datang dari perasaan yang kita peroleh saat melihat pembungkus luar dari produk tersebut. “Sensation transference” ini bisa dicapai melalui suatu design kemasan secara menyeluruh dari suatu produk. Design menyeluruh ini terdiri atas lima unsur, yakni bentuk, ukuran, warna, grafis, dan bahan.

Sejak saat itu orang percaya akan besarnya peranan dari packaging. Beberapa penelitian selanjutnya makin memperkuat anggapan bahwa packaging sangat efektif dalam membuat ketertarikan konsumen. Ini karena packaging menimbulkan daya tarik bawah sadar pada konsumen dan membuat mereka membeli suatu produk. Produk dengan kemasan tertentu yang pertama dilihat konsumen seringkali menjadi produk yang dibeli konsumen. Reaksi emosional spontan yang disebabkan oleh stimulus (kemasan) pertama yang dilihat mendorong konsumen untuk mempertimbangkan produk tersebut. (Hine, Thomas (1995) The Total Package: the evolution and secret meanings of boxes, bottles, cans and tubes. Little, Brown and Co., Boston).

Itu sebabnya, studi ini juga menyimpulkan bahwa berbelanja adalah suatu proses yang irasional. Konsumen sering masuk ke toko tanpa memiliki bayangan produk atau merek apa yang akan mereka beli. Sebagian besar produk yang dibeli konsumen di toko bukanlah dihasilkan oleh proses pertimbangan yang hati-hati atau analisis yang mendalam.  Konsumen seringkali tidak merasa perlu untuk membaca atau melihat sara lebih dekat kemasan dari suatu produk. Yang memegang peranan penting dalam proses pembelian saat itu adalah persepsi yang dibangkitkan oleh warna atu bentuk kemasan. Jadi disini warna dan bentuk kemasan produk hanya stimulus untuk meretriev ulang memori kualitas dari suatu produk bukan menjadi sesuatu yang dipertimbangkan. (Hine, 1995, pp 205-210).

Akhir 1980-an, para produsen dan marketer makin menyadari pentingnya kemasan. Mereka sadar bahwa kemasan merupakan salah satu faktor paling penting dalam menciptakan dan memelihara image tertentu. Kemasan bukan sekadar memberikan image pada produk yang terkandung di dalamnya, tapi juga mencerminkan identitas.

Karena itu, dewasa ini semakin banyak produsen yang berusaha meningkatkan kekuatan dan daya tarik kemasan untuk membantu mempengaruhi keputusan konsumennya dalam memilih dan membeli produk. Terutama melihat kondisi pasar saat ini yang sesak dengan berbagai macam merek. Menurut data dari assosisasi industri kemasan dan bahan kemasan dunia, sekitar 182.000 produk kemasan baru diperkenalkan sepanjang tahun 2006. Jumlah tersebut masih terus mengalami kenaikan sampai pertengahan tahun 2007 ini.

Tantangan bagi perancang kemasan adalah bagaimana menciptaan kemasan yang mampu melindungi produk, melindungi konsumen, membuat produk menjadi mudah untuk disimpan dan dipindah-pindahkan, memberikan informasi tentang produk, menciptakan daya tarik saat didisplay, ramah lingkungan, memberikan kenyamanan, ekonomis, legal, dan menciptakan promotion value.

Konsumen seringkali membeli suatu produk tidak untuk segera dikonsumsi tetapi untuk persediaan, sehingga ia membutuhkan produk yang terlindungi secara baik isinya, dari kerusakan, berkurangnya isi dan pengaruh cuaca. Dari sisi distribusi, kemasan juga memegang peranan penting karena dengan kemasan produk akan mudah disusun, dihitung, ditangani dan disalurkan secara lebih baik dan cepat. Kemudahan dalam distribusi menjadikan kemasan didesain tertentu dan dengan ukuran yang mudah untuk dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Dimensi tantangan tersebut semakin dinamis dengan semakin cepatnya perubahan yang  terjadi di lingkungan luar, khususnya pada konsumen dan budayanya. Suatu kemasan yang dulu berhasil menciptakan image, saat ini berkurang kemampuannya akibat terjadinya pergeseran persepsi terhadap kemasan dan produk tersebut. Itu sebabnya, agar efektif, suatu kemasan harus diadaptasikan dengan budaya baru, perbedaan selera, dan pola konsumsi yang baru.  

Dengan kata lain, membuat kemasan yang dapat berperan sebagai penjual yang diam (silent salesman) sangat bergantung pada pemahaman terhadap pasar. Dalam kaitan ini, studi budaya dari aspek komunikasi membantu perancang dalam merancang kemasan yang cocok untuk suatu pasar. Disini, kemampuan produsen dan marketer dalam mengantisipasi tantangan, peran dan kekuatan kemasan dalam meningkatkan minat dan pilihan konsumen makin menjadi taruhan bagi keberhasilan suatu produk.

Kembali ke premis bahwa kemasan mencerminkan identitas. Premis ini mengimplikasikan bahwa unsur-unsur seperti gambar grafik dan struktur desain dari sebuah kemasan dituntut mampu mencirikan dan membedakan suatu produk atau merek dari yang lain serta mampu memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi konsumennya.

Seperti yang ditunjukkan beberapa penelitian, sering kali pembeli mengambil keputusan untuk membeli suatu barang hanya karena kemasannya lebih menarik dari kemasan produk lain yang sejenis. Jadi, kalau ada produk yang sama mutu, bentuk dan persepsi kualitas konsumen terhadap dua atau lebih merek sama, maka kecenderungannya pembeli akan memilih produk yang kemasannya lebih menarik.

Di sisi lain, karena makin banyaknya merek yang beredar di pasar, konsumen kini dipaksa untuk lebih banyak menghabiskan waktu untuk memilih produk yang dicari.  Produk sabun mandi yang dipajang di rak-rak swalayan misalnya, kini beragam jenis an mereknya. Sampo, minyak goreng, dan kebutuhan sehari-hari lainnya juga semain beragam. Bahkan minyak goreng branded kini tercatat terdapat lebih dari 30 merek di rak-rak supermarket. Disinilah pentingnya kemasan sebagai pembeda dan petunjuk serta ajakan bagi konsumen untuk membelinya.

Adalah penting bagi marketer untuk mensinergikan kemasan dan produknya sehingga menciptakan image yang sama. Jika konsumen mempunyai sikap tertentu terhadap suatu produk, maka penting bagi marketer bagaimana caranya agar kemasan bisa memberikan asosiasi yang sama. Bila tidak maka konsumen akan bingung, tidak mengetahui dan tidak bisa memutuskan apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah merek.

Dalam konteks ini, suatu kemasan dituntut untuk bisa menciptakan dan memantapkan hubungan antara merek atau produk dan konsumen. Seorang konsumen sebenarnya bereaksi secara intuitif terhadap suatu kemasan sebagaimana konsumen tersebut bereaksi bahasa tubuh seseorang.

Sebagai contoh, dalam keseharian, terdapat dua cara bagaimana seorang perempuan menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Jika perempuan mempunyai kebiasaan grudak-gruduk dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya, dia cenderung menggunakan merek yang mencerminkan karakter agresif dan kuat yang disimbolkan dengan garis persegi yang dikombinasikan dengan warna seperti merah, biru dan putih. Konsumen jenis ini senderung tidak memperhatikan lagi soal aestetika dari sebuah produk.

Sebaliknya, seorang perempuan yang memandang pekerjaan membersihkan rumah merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan dia mempunyai sikap menghargai kebersihan, maka dia selalu membuat rumahnya bersih. Konsumen jenis ini pada umumnya memperhatikan unsur estetika kemasan. Karena itu, konsumen ini akan lebih memilih produk dengan kemasan yang indah dan cantik sesuai dengan karakter sikapnya.
 
Ini berarti suatu kemasan dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan konsumen. Ini mengimplikasikan bahwa suatu kemasan seyogyanya mempertimbangkan target market. Disini marketer dituntut memahami karakter dan kebiasaan tentang bagaimana mereka menggunakan produk. Marketer juga dituntut mmahami perubahan-perubahannya. Sebagai contoh, produk botol minuman ringan kemasan empat liter akan sangat cocok untuk konsmen keluarga yang sering bersantap di rumah. Akan tetapi, kemasan tersebut tidak cocok bila disajikan di arena olah raga atau dijual pada mesin jual automatis.

Kemasan dituntut memiliki workability. Artinya suatu merek dituntut memudahkan konsumen dalam menggunakan dan memberikan kenyamanan misanya. Persoalannya, workability tersebut menjadi sesuatu relatif. Misalnya, suatu kemasan dituntut untuk ramah lingkungan dan memberikan keamanan bagi konsumen. Karena itu, menggunakan kemasan bermaterial kertas atau karton atau gelas lebih disarankan dibandingkan plastik atau styrofoam misalnya. Pesoalannya, kemampuan produsen untuk menyediakan tingkat workability setinggi itu diatasi oleh biaya. 

Karena itu, untuk merancang kemasan selain mempertimbangkan kepentingan konsumen, seringkali terkendala oleh kemampuan produsen serta didesain sesuai dengan parameter teknologi yang tersedia. Idealnya, desain kemasan berfungsi optimal. Namun, faktor biaya juga sangat menentukan. 


Efektif Marketing Plan


Paradigma yang harus dipegang dalam menyusun marketing plan adalah tidak ada strategi yang valid dan reliabel untuk semua produk dan waktu. Karena lingkungan berbeda dan selalu berubah. Untuk itu diperlukan analisis data yang dikumpulkan melalui riset pasar.

Dalam kondisi perubahan yang sangat cepat dan persaingan yang ketat, pendekatan marketing yang cocok untuk kondisi sekarang, hampir bisa dipastikan tidak akan cocok untuk kondisi besok. Dengan kata lain, tak ada strategi atau operasional perusahaan yang sama dari tahun ke tahun. Banyak contoh para eksekutif yang berhasil membangun suatu merek namun gagal  ketika menangani merek atau produk lainnya. Juga banyak suatu strategi berhasil mendongkrak penjualan pada waktu tertentu, namun ketika diterapkan untuk periode selanjutnya ternyata gagal.

Salah faktor ketidakberhasilan tersebut adalah bahwa perbedaan situasi yang harus dihadapi. Dengan kata lain, ketika lingkungan berubah, suatu strategi bisa jadi tidak memiliki validitas dan reliabilitas di kondisi lainnya. Karena itu, sejalan dengan terjadinya perubahan lingkungan bisnis, kemampuan untuk mengembangkan marketing plan yang efektif yang memungkinkan perusahaan untuk menjadi lebih responsif dan beradaptasi pada pasar akan membedakan antara pemenang dan pecundang.

Ada tiga prinsip dasar yang perlu dalam menyusun kerangka perencanaan. Pertama, perusahaan harus mengadopsi suatu orientasi atau filosofi marketing. Berbeda dengan perusahaan yang berorientasi pada produk – yang fokus pada produksi yang secara teknis mumpuni pada tingkat harga serendah mungkin – atau perusahaan yang berorientasi pada penjualan – dimana perusahaan fokus pada upaya dan teknik membujuk -, perusahaan yang berorientasi marketing fokus pada bagaimana caranya mereka memuaskan konsumen. Produk bisa berganti-ganti, namun kebutuhan dasar dan kelompok konsumen akan terus ada. Perusahaan kamera film akan bangkrut ketika muncul kamera digital, kecuali perusahaan itu beralih menjadi pencipta image.

Prinsip kedua adalah perusahaan menerapkan suatu pendekatan perencanaan yang komprehensif. Seperti diketahui, dalam manajemen terdapat lima fungsi klasik yang begitu familiar di telinga, yakni memimpin, menganalisis, merencanakan, mengorganisasi dan mengontrol. Agar efektif, marketing plan harus secara komprehensif memperhatikan lima fungsi tersebut. Pendekatan yang tidak melibatkan kelima fungsi secara keseluruhan akan mengakibatkan ketidakoptimalan hasil. Ini karena kelima fungsi tersebut pada dasarnya adalah saling mendukung satu sama lain. Banyak penelitian membuktikan hanya perusahaan yang berhasil menciptakan dan mempertahankan kepuasan pelanggannya dalam jangka panjang yang menjadi pemenang.

Prinsip ketiga adalah perusahaan terus menggunakan marketing plan. Perusahaan pemenang umumnya mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat. Ini berarti marketing plan seyogyanya merupakan suatu proses berkelanjutan yang terus menerus berusaha mengeksploitasi perubahan-perubahan tersebut menjadi keunggulan perusahaan. Perubahan bisa mengancam dan bisa pula merupakan peluang. Hanya perusahaan yang bisa mengubah perubahan tersebut menjadi peluang yang bajal menjadi pemenang. Disinilah pentingnya riset.

Di banyak bisnis modern, proses penyusunan marketing plan paling dasar adalah mengkombinasikan ketiga prinsip tadi ke dalam suatu bangunan yang terdiri atas lima fase: kustomerisasi bisnis, analisis, penyusunan strategi, implementasi, dan kontrol. Kustomerisasi bisnis mengacu pada proses bagaimana perusahaan berkomitmen untuk memuaskan konsumennya.

Pada tahap ini, tugas utama para senior manager adalah memberikan arahan yang dianggap penting dalam memfasilitasi proses ini. Tantangan utamanya adalah bagaimana memotivasi, menginspirasi dan mendorong semua staf untuk mengapresiasi bahwa tujuan utama mereka bekerja adalah untuk memuaskan konsumen. Karena itulah perlu dibangun suatu budaya perusahaan yang berorientasi pada marketing. 

Tahap berikutnya adalah penyusunan rencana. Proses ini melibatkan analisis situasi persaingan yang dihadapi perusahaan. Dalam konteks persaingan tersebut, persahaan harus menentukan posisi yang telah dicapai dan akan dicapai perusahaan. Untuk menganalisis persaingan, dibutuhkan informasi. Pada tahap ini peran riset untuk mengumpulkan data, menafsirkan, dan memberi masukan kepada manajemen menjadi semakin penting. Informasi yang dikumpulkan meliputi pasar, konsumen dan konsumen potensial, dan pesaing. Sebagai contoh, marketing research diharapkan mampu menghasilkan informasi market size dan trend pasar, kebutuhan konsumen, tingkat kepuasan, aktivitas pesaing dan kinerja pesaing.

Selain itu, pada tahap ini juga perlu dilakukan evalusai seluruh kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau yang disebut dengan analisis SWOT. Analisis SWOT yang bagus akan menghasilkan strategi pengembangan yang merupakan kapitalisasi dari kekuatan yang dimiliki perusahaan, meminimalkan kelemahan, mengeksploitasi semua peluang, dan sejauh mungkin menghindari ancaman.

Dalam menganalisis pasar, ada dua jenis pasar yang perlu diperhatikan, immediate market dan wider world. Immediate market menunjuk pada pasar yang secara khusus telah dijamah dan secara potensial akan menjadi pasar perusahaan. Sementara itu wider world terdiri atas faktor-faktor yangberkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, teknologi dan lingkungan di sekitar perusahaan. Faktor-faktor tersebut akan membentuk sikap konsumen dan perilaku pesaing.

Proses perencanaan tahap ketiga bertujuan untuk menentukan kemana perusahaan akan bergerak dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Ini melibatkan penentuan tujuan pemasaran bersama dengan strategi untuk mencapainya. Keduanya harus searah dan cocok dengan isu-isu penting yang telah diidentifikasi dalam analisis SWOT.

Pada tahap keempat, proses bertujuan untuk menyusun suatu bauran pemasaran (marketing mix) dimaksudkan memunculkan persepsi pada konsumen bahwa produk atau merek yang ditawarkan memiliki keunggulan dibandingkan produk pesaing. Selain menentukan positioning, yang juga penting adalah merancang organisasi yang mampu mendukung rencana pemasaran yang disusun.

Selanjutnya tahap akhir dari proses perencanaan adalah kontrol. Dalam lingkungan bisnis yang berubah cepat, yang harus dikontrol sangat sederhana, yakni apakah strategi berjalan melenceng atau sesuai dengan tujuan pemasaran. 

Minggu, 27 November 2011

Creating Marketing Plan - Rahasia Promo Kuku Bima Ener-G


Selain produk, strategi promo sangat menentukan dalam mendongkrak pasar. Kuku Bima Ener-G misalnya. Iklan ya, tapi yang lebih penting adalah pemilihan ikon. Promonya? Dia juga menggarap di tingkat retailer.

Tahun 2007 bisa ditasbihkan sebagai tahunnya para brand-brand challenger. Simak bagaimana Yamaha Motor mempecundangi Honda. Kemudian ada Kuku Bima Ener-G yang mulai menggerogoti pasar ExtraJoss, pembalut wanita Softex yang mulai membayangi Laurier, minuman siap saji berasa jeruk Alle-alle yang membuat market leader Frutang menjadi follower dan beberapa merek lainnya termasuk Fatigon yang mulai menggeser Hemaviton.

Menariknya, bila diperhatikan, kalau selama ini kekuatan promosi adalah di iklan, para brand penantang itu kini tidak sedahsyat pemimpin pasar dalam bermain di iklan. Belanja iklan Kuku Bima misalnya, pada 2005 lalu hanya Rp 21 miliar dan meningkat menjadi Rp 22,42 miliar pada enam bulan pertama 2007 ini. Bandingkan dengan Extra Joss yang mencapai Rp 226,6 miliar pada 2005 dan Rp 78,23 miliar pada semester pertama 2007.

Belanja iklan Market Leader Vs Penantang (dalam Rp juta)


Gambaran ini menunjukkan bahwa dalam beriklan, budjet yang besar bukan merupakan jaminan. Buktinya, meski tidak mengandalkan budjet iklan namun penjualan Kuku Bima melonjak drastis dalam dua tahun terakhir. Kuncinya adalah bagaimana mengemas iklan itu sendiri. “Sejak kami menggunakan Mbah Marijan sebagai salah satu ikon produk Kuku Bima, masyarakat semakin mengenal produk kami,” tutur Dirut PT Sido Muncul (SM) – pemilik merek Kuku Bima -- Irwan Hidayat usai menerima penghargaan tersebut dari majalah SWA dan MARS (29/7).
Mbah Marijan ternyata bertuah. Sejak dijadikan bintang iklan produk Kuku Bima, mulai pertengahan 2006, penjualan jamu kuat lelaki itu melonjak. Dalam sebulan, penjualan Kuku Bima Energi mencapai 50 juta kemasan. Bandingkan dengan penjualan tahun sebelunya yang hanya 15 juta kemasan. "Tahun 2005 penjualan jamu Kuku Bima Energi sekira 15 juta, enam bulan kemudian menjadi 28 juta kemasan. Setelah memakai Chris John, tiga bulan kemudian naik menjadi 47 juta kemasan dan sebulan setelah memakai Mbah menjadi 50 juta kemasan," kata Irwan seperti dikutip Pikiran Rakyat (7/10/06).
Irwan berkeyakinan bahwa iklan memang bukan satu-satunya cara mendongkrak pasar. Harga dan produk juga merupakan varian penentu lainnya. “Sekarang ada 12 merek energy drink, tetapi yang tidak bisa bertahan tidak kurang dari 8-9 merek. Sekalipun sudah beriklan banyak, tetapi jika tidak dibarengi dengan produk yang berkualitas, merek yang telah dikenal dan harga yang reasonable, tetapi saja tidak mampu bertahan di pasar,” jelas Irwan. (Suara Pembaruan, 27/704)

Dari sisi produk, Kuku Bima Energy sebenarnya tidak berbeda dari produk minuman energi lainnya. Sebagai diferensiasi, SM menambahkan ekstrak ginseng pada produknya agar manfaat produk ini lebih terasa. Irwan mengatakan, penambahan ginseng pada produk ini berdasarkan hasil riset yang mereka lakukan sebelumnya: masih banyak konsumen yang mengeluhkan khasiat produk-produk yang ada sebelumnya.

Selain itu, Irwan juga melihat celah lain. Irwan melihat bahwa salah satu ciri pemain industri farmasi adalah selalu ingin untung besar. Menurut Irwan – seperti dikutip SWA (9/12/04) untuk produk minuman energi, rata-rata margin yang diambil pemain seperti Bintang Toejoe (produsen Extra Joss) atau Tempo Scan Pacific (produsen Hemaviton) hampir 100%. Karena itu, tak mengherankan, rata-rata mereka sangat berani menghambur-hamburkan uang dalam beriklan.

SM sendiri menurutnya sudah sangat terbiasa dengan iklim di industri jamu yang memiliki margin sangat rendah. Karenanya, SM memanfaatkan peluang ini untuk dapat menjual produknya dengan harga yang lebih murah, paling tidak sampai tingkat distributor atau pedagang eceran. “Pada akhirnya harga ke konsumen sebagian besar memang sama dengan harga produk kompetitor, tapi dengan begitu kami memberikan margin yang lebih besar kepada pedagang, dan ini setidaknya cukup untuk membuat mereka mau menjual produk ini,” kata Irwan.

Menurut Irwan, dengan menawarkan keuntungan yang lebih besar kepada pedagang, diharapkan mereka mau mati-matian menjual produk ini. “Sekarang saja, sudah ada pedagang yang sangat ekstrem tidak mau menjual produk lain,” ungkapnya. Dan karena itu, hanya dalam waktu kurang dari 6 bulan, tingkat penetrasi Kuku Bima Energy sudah bisa menyamai produk-produk lain. Padahal, SM boleh dibilang merupakan pendatang baru di jalur distribusi ini.

Rempoa, 14 September 2006

Creating Marketing Plan


Pada intinya, marketing plan adalah kegiatan menganalisis dan mendiagnosa lingkungan untuk menemukan peluang dan ancaman. Kalau perusahaan tidak lagi menyesuaikan lingkungan dengan strateginya atau tidak bereaksi terhadap tuntutan lingkungan dengan mengubah strateginya, tunggu saja akibatnya. 

Perubahan baik di luar maupun di dalam perusahaan merupakan sumber pemasalahan yang secara tetap akan dihadapi perusahaan. Itu sebabnya, para manajer dituntut untuk terus menganalisis dan mendiagnosa lingkungan – atau faktor-faktor yang dapat menimbulkan ancaman maupun peluang – karena faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan strategis. Disinilah pentingnya marketing plan. Intinya kita melakukan review bisnis karena setiap tahun situasi bisnis berubah.

Analisis dan diagnosis lingkungan memberikan kesempatan bagi perencana strategi untuk mengantisipasi peluang dan membuat rencana untuk melakukan tanggapan pilihan terhadap peluang ini. Hal ini juga membantu perencana strategi untuk mengembangkan sistem peringatan dini guna menghindari ancaman atau mengembangkan strategi yang dapat mengubah ancaman menjadi peluang.

Sering terjadi perusahaan merasa sangat yakin bahwa dirinya tak terkalahkan dan tak perlu memperhatikan hal-hal yang terjadi di pasar. Akibatnya, mereka tidak mengetahui perubahan yang terjadi di pasar sehingga tidak melakukan perubahan atau melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Kalau perusahaan tidak lagi menyesuaikan lingkungan dengan strateginya atau tidak bereaksi terhadap tuntutan lingkungan dengan mengubah strateginya, akibatnya akan mengurangi prestasi pencapaian tujuan.

Contoh yang sering dikemukakan adalah bagaimana Honda motor kedodoran ketika pesaing terdekatnya Yamaha terus melakukan innovasi baik di produk maupun promosinya. Selama bertahun-tahun, konsumen disodori dengan desain motor yang perubahannya terkesan minim. Karena itu, ketika Yamaha menawarkan sesuatu yang baru, yakni Mio motor matic yang didesign untuk kalangan perempuan, konsumen gegap gempita menerima. Meski harus diakui bahwa Mio bukanlah yang pertama di pasar motor matic. Namun pilihan pasar yang disasar membuat Mio menjadi yang pertama.   

Ditambah lagi dengan pencitraan masyarakat terhadap Yamaha sebagai kendaraan yang kuat dan irit bahan bakar menjadi pendorong kenaikan pangsa pasar. Untuk kali pertama dalam sejarah industri kendaraan roda dua, penjualan Yamaha menduduki ranking satu melewati Honda. Merujuk data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), pada Maret 2007 market share Yamaha mencapai 43,7 persen. Sementara Honda hanya 41,5 persen. Penjualan Yamaha pada Maret 2007 mencapai 159.035 unit, sedangkan Honda hanya 151.074 unit. Sementara Suzuki semakin tertinggal jauh dengan penjualan 47.175 unit dan pangsa pasar 13 persen.

Demikian halnya dengan ExtraJoss. Minuman berenergi yang selama betahun-tahun merupakan market leader kini cenderung menjadi follower. Varian rasa baru yang dikeluarkan ExtraJoss baru-baru telah memposisikan dirinya sebagai follower karena varian rasa telah lebih dilakukan pesaingnya, yakni Kuku Bima Energy.   

Inti dari marketing plan adalah membaca perubahan dan melihat ke depan. Perubahan-perubahan baik besar maupun kecil selalu terjadi dan pasti terjadi. Yang paling kecil di tingkat konsumen. Di tingkat ini terjadi pergeseran paradigma konsumen dalam memilih produk, terutama untuk makanan. Ini terutama dipicu oleh maraknya penggunaan bahan pengawet, pewarna, insektisida, dan sebagainya.

Kalau kita ke pasar tradisional misalnya, dulu bila memilih ikan atau ayam potong selalu memilih yang segar, mulus dan tak berbau. Sekarang, konsumen tidak percaya dengan penampilan produk seperti karena mereka mempunyai dugaan bahwa produk tersebut mendapat perlakuan pengawetan dengan bahan kimia. Demikian halnya dengan memilih sayur, ikan asin, buah, dan sebagainya. Sayur misalnya, dipilih yang ada lubang bekas gigitan ulat. Mereka memilih produk seperti itu karena berkeyakinan bahwa kalau tidak ada lubang, berarti tidak ada ulat. Ini berarti produk tersebut tercemar insektisida yang membuat ulat tidak bisa tinggal disitu.

Dalam situasi pasar yang cepat berubah itu, kreatifitas sangat penting dalam penyusunan marketing plan. Ini karena pada dasarnya kegiatan marketing harus mampu menghasilkan keunggulan pembeda (differential advantage). Esensi dari keunggulan pembeda adalah merek tersebut memberikan perbedaan yang lebih unik dari pada pesaing, sehingga dengan perbedaan itu konsumen mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Bagaimana menemukan pembeda tersebut sangat ditentukan oleh kepiawaian dari perancang marketing dalam menganalisis dan mendiagnosa lingkungan dan situasi.

Meski diakui bahwa sejatinya, kreativitas tersebut ada. Diatas kertas, tersusun strategi dan program yang kreatif. Namun ketika pada tahapanan implementasi muncul kendala.  “Menurut saya bukan masalah kreatifitas dari marketer tetapi ketidakberanian pengambilan resiko untuk keluar dari pakem-pakem yang ada. Salah satu masalah yang dihadapi pemasar adalah bagaimana mengukur efektifitas dari suatu program pemasaran dikaitkan dengan indikator finansial,” kata Prof. Agus Soehadi dari Prasetya Mulya.

Pada intinya, marketing plan dilaksanakan pada dua tingkat. Strategic marketing plan mengembangkan tujuan dan strategi pemasaran yang luas berdasarkan analisis situasi dan peluang pada saat ini. Marketing plan taktis menggariskan taktik pemasaran yang spesifik, yang terdiri atas periklanan, penjualan, penetapan harga, saluran distribusi dan pelayanan.

Strategic marketing plan dimulai dari kegiatan analisis pasar-produk, segmentasi pasar, analisis persaingan, dan sistem informasi. Analisis pasar-produk meliputi kegiatan mengidentifikasi pasar-produk baru yang memberikan peluang bagi perusahaan, mengevaluasi pasar-produk yang sudah ada sebagai pedoman strategi, dan mengamati lingkungan serta meramalkan kecenderungan perubahan pasar-produk.

Perancangan strategi pemasaran terdapat pada tahap kedua strategi pengembangan. Tahap ini meliputi pemilihan pasar yang dituju berdasarkan atas analisis situasi. Pengambilan keputusan sasaran pasar menunjukkan kelompok pembeli yang kebutuhannya akan dicapai dengan strategi penentuan posisi. Strategi penentuan posisi ini menunjukkan bagaimana perusahaan akan menempatkan diri dalam persaingan untuk memenuhi kebutuhan pembeli pada pasar sasaran. Sekali lagi, pemilihan strategi haruslah mempertimbangkan faktor situasional dan persaingan dalam pasar produk yang dituju.

Tahap selajutnya adalah merancang program pemasaran. Strategi bauran pemasaran yang khusus untuk produk, distribusi, harga, dan promosi dikembangkan untuk melaksanakan strategi penentuan posisi pasar. Penyusunan program ini ditujukan untuk mencapai kombinasi bauran pemasaran yang terkoordinasi, dengan maksud untuk mencapai tujuan sasaran pasar dalam rangka efektivitas biaya.

Proses terakhir adalah menganalisis strategi implementasi dan manajemen strategi pemasaran. Kegiatan ini dipusatkan pada evaluasi dan peningkatan efektivitas organisasional serta pelaksanaan dan pengendalian strategi pemasaran.    

Ini menunjukkan bahwa marketing plan merupakan alat utama untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan usaha pemasaran. Dalam organisasi-organisasi saat ini, departemen pemasaran tidak menetapkan marketing plan sendiri. Marketing plan dibuat oleh suatu tim, dengan masukan dan persetujuan dari setiap fungsi yang penting. Rencana-rencana itu kemudian diterapkan pada tingkat organisasi yang tepat. Hasil yang dicapai dimonitor, dan tindakan perbaikan dilakukan saat diperlukan.

Pertarungan Distribusi Merek-merek Raksasa


Ini merupakan kali ketiga Majalah MIX-MarketingXtra bekerjasama dengan Qasa Strategic Consulting melakukan penilaian atas kinerja distribusi perusahaan. Hasilnya, pertama, banyak perubahan yang signifikan dan mengejutkan. Kedua, inilah cerminan dari pertarungan raksasa di bisnisnya dalam mendekatkan produknya ke konsumen.


Teknologi dan krisis global telah mengubah peta pemenang distribution performance tahun ini. Secara umum, perkembangan dan penggunaan teknologi sangat membantu para prinsipal dalam mendapatkan informasi secara cepat sehingga ketika pmereknya kosnong di pasar misalnya, segera terpantau. “Teknologi amat membantu untuk kecepatan informasi. Ini amat diperlukan untuk produk fast moving seperti kami,” kata Adrian Baskoro, Sales Director PT Tirta Investama – pemilik merek Aqua.

Sederhana. Namun kontribusi kecepatan informasi dalam pengambilan keputusan luar biasa. PT Panamas -- distributor produk-produk Sampoerna – misalnya. Menurut Director Sales Operations Wes Area PT Panamas Ivan Cahyadi, setiap hari Panamas melayani puluhan ribu customer di seluruh pelosok nusantara agar konsumen bisa mendapatkan produk Sampoerna dimana saja dan kapan saja.

Untuk itu, coverage distribusi ditetapkan secara area sehingga salesman Panamas dapat dengan mudah memantau perkembangan dan memasok produk kepada peagang di tingkat retail hingga wholesaler. Mereka memantau perkembangan pasar mulai dari ketersediaan baran hingga perkembangan harga di tingkat wholesaler. Bila terjadi diskon gedhe-gedhean yang dilakukan oleh merek pesaing, para salesman tersebut mengetahui dan langsung melaporkannya ke pengelola area saat itu juga.

Untuk menunjang kerja terutama dalam mendapatkan dan menyampaikan informasi, para salesman ini dilengkapi dengan handheld atau PDA untuk memantau sekaligus menjamin kelangsungan supply produk. “Lewat handheld atau PDA ini,  kondisi riil per point of sales akan bisa dipetakan dengan jelas,  bahkan di level head office per harinya” paparnya. Penggunaan PDA sudah diterapkan Panamas sejak lama. Bahkan untuk pembuatan invoice yang tiba-tiba harus dibuat, masing-masing salesman dilengapi dengan printer mini yang bisa dibawa kemana-mana tanpa merasa terbebani.

Selain PDA, mobil-mobil salesman yang bertugas untuk droping juga dilengkapi perangkat GPS, Sehingga ketika terjadi kekosongan di suatu lokasi dan harus diisi oleh salesman baru misalnya, lokasi bukan menjadi masalah lagi karena untuk mencapai lokasi tersebut salesman dipandu oleh GPS. “Meski kadang-kadang ada masalah, namun keberadaan perangkat GPS ini benar-benar sangat membantu,” kata salah seorang salesman.

Ke depan, perangkat informasi tersebut akan menjadi jauh lebih sederhana. Perangkat GPS dan PDA bisa jadi tidak lagi terpisah atau pun kalau menjadi satu tidak lagi merepotkan penggunanya saat berkendara. Kabarnya, saat ini ada sebuah provider software yang bisa memadukan itu dengan perangkat yang jauh lebih sederhana sehingga lebih murah dan mudah dipergunakan bahkan oleh pengemudi sekalipun tanpa merasa terganggu.

Perkembangan teknologi telah mengubah pasar. Saat ini, menurut perkiraan, setiap dua penduduk Indonesia memiliki satu handphone, beberapa diantaranya memiliki kemampuan untuk mengakses internet. Ini berarti konsumen/pelanggan dan pedagang masing-masing juga memiliki handphone. Mereka biasa berkomunikasi.

Konvergensi internet dan handphone kini juga membuat konsumen semakin cepat mendapatkan informasi. Selain informasi yang positif tentang suatu merek, melalui sms dan sebagainya, konsumen juga semakin mudah mendapatkan informasi yang negatif tentang suatu merek. Bahkan fasilitas internet yang yang bisa diakses melalui handphone membuat konsumen semakin aware dengan informasi yang berkembang di lokasi yang jauh dari geografisnya.

Pada kondisi seperti itu, konsumen bisa langsung berkomunikasi dengan peritel. Kedekatan lokasi dan emosional antara konsumen di perumahan misalnya, dengan pedagang tempat mereka biasa membeli produk, membuat komunikasi mereka tidak berjarak. Mereka bisa dengan akrab berkeluh kesah (dalam bahasa Jawa ngrasani) bahkan kadang-kadang terselip kata kasar bila mereka tidak puas dengan produk yang dibeli atau menyindir sang pedagang bila layanan yang diterimanya kurang memadai. Tanpa ada perasaan tersinggung.

Palanggan warung – karena terbiasa akses internet – juga bisa berperan sebagai informan untuk pedagang. Atau bila pedagang juga terbiasa akses internet, mereka – antara pelanggan dan pedagang atau pedagang dengan pedagang -- saling memberi infomasi manakala ada kejadian di luar geografinya, termasuk mereka juga akan memberitahu bila pedagang tempat mereka biasa membeli mendapat perlakuan kurang adil dari prinsipal. Mereka akan saing membandingkan. Disinilah pentingnya kecepatan informasi dari salesman yang memantau pasar ke managemen prinsipal. Dari informasi itu, distributor atau prinsipal bisa dengan cepat mengambil keputusan untuk meningkatkan atau mempertahankan service level misalnya.

Adanya perubahan pasar yang mengutamakan efektivitas biaya, ketersediaan produk di pasar, dan layanan akan sangat mempengaruhi pilihan yang harus diambil prinsipal atau distributor. Pilihan tersebut antara lain akan mengikuti trend melalui kecepatan menangkap perkembangan pasar tersebut atau membiarkan begitu saja trend tersebut. Secara tidak langsung dua kecenderungan tersebut tergamba dari hasil survey tentang distribution performance tahun ini.  

Banyak temuan baru dalam survey kinerja distribusi tahun ini. Nampaknya, krisis global yang berdampak ke perekonomian nasional mengubah paradigma prinsipal terhadap retailer. Kalau tahun tahun lalu kontribusi service level dalam kinerja distribusi bisa dominan, tahun ini berubah. Bila dilihat dari hasil survey kali ini, juara atau kinerja distribusi paling mumpuni umumnya adalah prinsipal yang kinerja brand-nya —ditunjukkan oleh ketersediaan produk yang tinggi dan display serta visibility produk yang  mencolok – bagus. Padahal, tahun lalu, lebih beragam.

Indomilk, pemenang pertama di kategori susu bubuk tahan lalu, misalnya, menjadi juara karena kinerja pengelolaan account-nya yang sangat baik. Meski dari sisi kinerja brand, Indomilk jauh di bawah Nestle, Frisian Flag, dan Sari Husada. Tahun ini, Indomilk tersingkir dari daftar juara, baik untuk brand index maupun indeks account management.

Juara tahun ini untuk kategori susu bubuk diraih Nestle melalui Dancow. Dalam survey kali ini, Dancow menduduki peringkat teratas karena brand indexnya sangat tingi. Jauh mengalahkan Susu Bendera maupun pesaing lainnya. Akan tetapi, dari sisi account management, posisi Nestle tertinggal oleh Susu Bendera.

Seperti diketahui, Penialaian kinerja (performance) distribusi ini dilakukan dengan menggunakan dua indeks, yakni brand index dan acount management index. Brand Index merupakan penilaian pengecer terhadap: ketersediaan barang, sistem pembayaran, produk display, ketersediaan materi promosi di outlet dan intensitas kegitan promosi di tingkat pedagang.

Sedangkan Indeks Account Management mencakup penilaian terhadap salesman sebagai ujung tombak perusahaan untuk melayani pengecer tradisional ini, antara lain: bagaimana layanan (service) salesman terhadap toko, frekuensi kunjungan ke outlet, tanggapan terhadap komplain, pengetahuan salesman terhadap produk yang ditawarkan dan melakukan tugas merchandising (merawat pajangan produk dan memasang promosi materi).

Di kategori minuman isotonik, Danone melalui Mizone menunjukkan dominasinya. Sempat terjegal karena kasus labelling pada 2006, Mizone berhasil memulihkan kinerjanya. Performa Mizone di outlet tradisional kini bahkan berhasil mengungguli brand leader Pocari Sweat. Survei Distribution Performance 2008 menunjukkan Indeks kinerja distribusi Mizone (PT Danone Indonesia) tertinggi mengungguli Pocari (Amerta Otsuka), Vitazone (Mayora), ProSweat (ABC President), dan Powerade (Coca-Cola Indonesia).

Di kategori green tea, kategori produk yang untuk pertama kalinya masuk dalam survei ini, posisi Coca-Cola dan Sosro saling susul-menyusul. Dalam hal Brand Index, Coca-Cola yang mengusung merek Frestea unggul, membukukan indeks 54,4%. Sementara dalam Account Management Index, Sosro yang mengusung merek Joytea berada di urutan pertama dengan indeks 42,3%. Secara total (Total Index), Coca-Cola (Frestea) yang berada di posisi pertama, disusul Sosro dan berikutnya sang market leader di kategori ini, Nu Tea yang diusung PT ABC President.

Banyak indikator brand index Frestea yang unggul dibandingkan Joytea. Dalam ketersediaan produk misalnya, nilai Frestea mencapai 81,8% sedangkan Joytea hanya 16,6%. Ini menunjukkan bahwa Frestea ada dimana-mana sementara Joytea hanya di beberapa outlet. Bisa dimaklumi karena untuk kategori minuman teh hijau, Joytea relatif jauh lebih baru ketimbang Frestea. Sebelumnya, untuk kategori minuman teh hijau, Sosro meluncurkan Greentea.

Namun dalam perjalanannya, sejak akhir tahun lalu, Greentea digantikan Joytea. Sementara itu Frestea teh hijau sudah ada di pasar bersamaan dengan varian rasa Frestea lainnya. Keterbatasan ketersediaan Joytea di outlet bisa jadi juga berkaitan dengan ketatnya sistem pembayaran yang diterapkan Coca-coa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 91,5% pedagang yang mengaku membayar tunai produk Coca-cola yang ditempatkan di warungnya, sementara itu pembayaran tunai untuk produk Sosro mencapai 93,1%.

Secara makro, sistem pembayaran ini seakan memperkuat anggapan bahwa meski jumlah outlet pedagang tradisional jutaan, namun bargaining position mereka di hadapan prinsip jauh lebih lemah dibandingkan peritel modern. Kekuatan peritel modern ditunjukkan oleh kemampuan mereka mendikte atau memaksa prinsipal (pemilik merek) untuk membayar berbagai macam fee bila produknya ingin dipajang di outlet retail modern, sementara pengecer tradisional jutsru harus membayar ke prinsipal bila ingin memajang produknya di outlet mereka.

Diperkirakan lebih dari 80% produk Coca-Cola dijual melalui para pengecer dan grosir.  Sekitar  90% diantaranya termasuk dalam kategori pengusaha usaha kecil. Mereka  mempekerjakan kurang dari lima karyawan dengan omset penjualan per tahun kurang dari Rp1 miliar. Tim penjualan yang sangat besar tidak saja menjual produk-produk Coca-cola kepada para pelanggan, tetapi mereka juga memberikan saran bagaimana sebaiknya mereka menjual produk-produk Coca-Cola.

Supervisor penjualan juga teratur mengunjungi para pelanggan dan memberikan bimbingan, serta menampung masukan yang disampaikan para pelanggan. Kebijakan penjualan dan distribusi secara menyeluruh diarahkan oleh National Office di Cibitung, Bekasi. Namun penerapan kebijakan tersebut dilaksanakan oleh para manajer operasional dan regional yang handal dan berpengalaman beserta staf mereka.

Persoalannya, kunjungan yang dilakukan supervisor Coca-Cola dirasa kurang oleh pedagang dibandingkan dengan Tim Penjualan Sosro. Hasil survey ini menunjukkan bahwa pedagang memang menilai layanan yang mereka berikan baik. Untuk penilaian ini, nilai Coca-Cola dan Sosro sama. Namun ketika ditanya seberapa sering kunjungan yang dilakukan Tim Penjualan?  Disini kelebihan Sosro. Nilai kunjungan tim penjualan Sosro lebih tinggi dibandingkan Coca-Cola. Sekitar 2,9% pedagang mengaku dikunjungi Tim Penjualan Sosro setiap hari, sementara Coca-Cola hanya 0,5%.

Rutinitas kunjungan juga lebih pasti pada Sosro ketimbang Coca-Cola. Barangkali intensitas kunjungan yang lebih tinggi pada Sosro itulah yang membuat para pedagang sebagian besar tidak pernah komplain kepada Sosro. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat komplain pedagang kepada Tim penjualan Coca-Cola masih lebih tinggi dibandingkan kepada Sosro.

Pertarungan Coca-Cola dan Sosro hanya salah satu dari temuan survey ini. Masih banyak hal-hal baru lainnya yang mengejutkan. Hal ini menunjukkan dinamika pasar yang begitu tinggi. Dinamika tersebut salah satunya bisa disebabkan oleh dinamika dari pedagang tradisional yang berada di ujung terdepan kedekatannya dengan konsumen juga tinggi. Inilahyang mendasari kenapa penelitian ini dilakukan di outlet tradisional.

Rempoa, 29 Mei 2009

Kamis, 24 November 2011

Mendeteksi Berita Negatif Sebelum Muncul


Di hampir semua penelitian yang berkaitan dengan krisis, hampir bisa dipastikan bahwa krisis akibat faktor manusia – bukan bencana alam --  muncul dimulai dari adanya isu yang dibiarkan menjadi bola liar. Karena itu, mendeteksi isu pada pada awal merupakan langkah penting yang perlu dilakukan perusahaan guna menghindari terjadinya suatu krisis.

Dalam konteks ini, isu merupakan suatu gagasan yang secara potensil memiliki dampak pada organisasi atau publik dan dapat mengakibatkan tindakan yang membawa kesadaran dan atau reaksi dari organisasi atau sebagian publik lain (Hainsworth, 1990).

Biasanya, isu muncul muncul ketika sebuah organisasi atau kelompok melihat adanya sesatu yang dirasakan penting atau ada gap antara yang diharapkan dan realitas yang dialaminya sebagai konsekuensi dari dampak dari perkembangan politik/peraturan, ekonomi atau sosial (Crable dan Vibbert, 1985).

Dari perspektif manajemen,
perusahaan harus mengidentifikasi isu-isu yang mungkin  muncul. Tren mungkin pertama kali diartikulasinya oleh para akademisi atau para pemerhati khusus baik yang tergabung dalam kelompok kerja, kebijakan dan unit perencanaan atau perorangan. Dalam beberapa situasi, mereka mengungkapkan suatu masalah atau peristiwa yang secara potensial memiliki dampak dan menuntut respon dari suatu lembaga, organisasi, industri atau kelompok lain. Selanjutnya, isu tersebut direspon -- sering kali berbentuk pro dan kontra dari mereka yang menginginkan status quo atau perubahan.

Ketika terjadi “heboh” makanan mengandung lemak babi pada 1987-1988 silam misalnya, awalnya adalah dimulai dari adanya sekelompok akademisi (dosen dan mahasiswa) yang konsen dengan tingkat kepatuhan perusahaan dalam berbisnis. Dalam hal ini adalah kepatuhan perusahaan menghargai pemeluk agama untuk mengkonsumsi makanan sesuai dengan syariahnya.

Seperti diketahui heboh makanan mengandung lemak babi tersebut dampaknya luar biasa. Makanan yang divonis mengandung lemak babi itu seperti kena hantam. Produksinya melorot tajam. Akibatnya, pemerintah pun turun tangan. Tak tanggung-tanggung Presiden Soeharto memerintah Pangkopkamtib (waktu itu) Laksamana Sudomo mengusut dan menyelesaikan masalah tersebut. Era itulah muncul pertama kosa kata “actor inlektual” karna beberapa kali Sudomo mengatakan akan menangkap actor inlektual di balik heboh itu.
 
Adalah Dr. Tri Susanto, dosen Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, yang mengajak mahasiswanya meneliti kandungan makanan yang beredar di pasar. Penelitian itu, menyimpulkan: 34 macam makanan "mengandung bahan yang patut dicurigai atau syuhbat". Penelitian itu dilengkapi kajian literatur -- tapi tak dilakukan di laboratorium. Kemudian, hasilnya dimuat majalah Canopy yang diterbitkan mahasiswa FP Unibraw. Tapi, entah bagaimana, daftar itu beredar dari tangan ke tangan dan ditambah-tambahi hingga menjadi 63 macam, dan dimuat oleh beberapa harian. Daftar baru itu menyebut: beberapa merek makanan terkenal sebagai "makanan haram untuk umat Islam".

Dalam konteks isu management, sepeti yang dikemukakan Michael Regester dan Judy Larkin dalam Risk Issues and Crisis Management (Kogan Page Limited, 1997), ketika Tri Susanto mengajak mahasiswanya melakukan penelitian, tahap itu masuk dalam kategori potential issue, atau tahap dimana suatu kondisi atau peristiwa yang dianggap memiliki potensi untuk berkembang menjadi sesuatu yang penting. Jenis-jenis masalah yang ada dalam fase ini, bagaimanapun, belum ditangkap para pemerhati sebagai isu atau belum mendapat perhatian publik, meskipun beberapa spesialis mulai menyadari pentingnya masalah tersebut.

Ketika persoalan itu dimuat di media terbatas, persoalan masuk ke tahap berikutnya dimana masalah tersebut secara bertahap meningkatkan perhatian yang memungkinkan munculnya tekanan pada organisasi untuk menerima masalah tersebut sesuai sesuatu yang perlu diselesaikan. Dalam kebanyakan kasus, eskalasi masalah muncul sebagai hasil dari kegiatan oleh satu atau lebih kelompok ketika mereka mencoba untuk mendorong atau melegitimasi masalah yang diangkatnya (Meng, 1987).



Pada tahap ini – seperti dikatakan Michael Regester dan Judy Larkin -- perkembangan isu itu masih relatif mudah untuk dikendalikan melalui campur tangan perusahaan. Perusahaan dapat secara berperan proaktif dalam mencegah atau memanfaatkan isu tersebut. Namun, seperti yang terjadi pada beberapa merek yang diisukan mengandung lemak babi -- seringkali perusahaan megalami kesulitan sulit untuk menentukan urgensi dari masalah tersebut, selain tentunya – dalam konteks isu makanan berlemak babi – itu diluar jangkauan atau pantauan perusahaan.  

Karena itu, seringkali perusahaan baru mendeteksi masalah tersebut setelah masalah tersebut berkembang jauh sehingga langsung masuk ke tahap krisis. Disini masalah telah menjadi perhatian public karena isu telah dipublikasikan oleh media massa mainstream. Pada tahap current dan crisis issue ini, masalah berkembang dan berpotensi penuh menimbulkan kerugian dan memaksa institusi yang berwenang dalam masalah regulasi turun tangan.

Dalam kasus heboh makanan mengandung lemak babi, proses berkembangnya isu menjadi krisis berlangsung relative panjang. Sekitar tiga bulanan. Bahkan kalau dilihat dari publikasi melalui Canopy, isu berkembang menjadi krisis membutuhakn waktu enam bulan. Cukup dimaklumi karena saat tu teknologi informasi tidak berkembang seperti sekarang. Sarana komunikasi yang tersedia saat itu hanya telepon fix-line, teleks dan mesin fax. Media massa pun paling cepat terbit dalam bentuk harian.

Sekarang, teknologi informasi berkembang cepat. Setiap saat public memperoleh informasi baru melalui internet dan dimediasi oleh telepon seluler atau modem dan laptop atau tablet yang bisa dibawa ke mana-mana. Karena itu, perkembangan isu menjadi krisis bisa jadi menjadi begitu cepat dan dampaknya juga bisa seperti tsunami. .

Detik ini, konsumen akan online guna mencari segala sesuatu ulasan tentang merek atau produk, baik ketika dia butuh informasi karena akan membelinya atau sekadar mencari bahan percakapan tentang perusahaan. Demikian pula, mereka juga akan online bila suatu hari akan melakukan bisnis dengan perusahaan lain. Mereka akan mencari informasi baik reputasi dan sebagainya tentang perusahaan tesebut.

Satu sisi, teknologi itu memang bisa berdampak negatif, tapi di sisi lain bisa bermanfaat. Dalam konteks monitoring isu misalnya, internet atau media social – facebook, blog, twitter groups, dan sebagainya -- sangat bermanfaat untuk memantaui percakapan tantang merek atau perusahaan. Karena itu, sangat disarankan bagi perusanaan untuk secara aktif terlibat dalam percakapan.

Dalam kaitannya dengan masalah monitoring itu, banyak pakar yang menyarankan agar perusahaan untuk memantau merek. Saat ini banyak aplikasi yang bisa memantau percakapan yang berlangsung melalui media sosial, melalui Google Alerts misalnya. Mereka juga perlu segera menanggapi posting baik positif maupun negatif sesegera mungkin. Langkah lainnya,

• Buat blog sendiri dan isi blog tersebut dengan informasi bermanfaat baik tentang merek atau perusahaan  secara teratur. Sebuah blog juga merupakan cara yang bagus untuk menyajikan informasi dengan cepat kepada publik selama krisis atau ketika perusahaan menemui berita buruk.

• Gunakan Twitter. Beberapa perusahaan besar dan terbaik dan organisasi nirlaba menggunakan Twitter untuk menyampaikan pesan mereka kepada pelanggannya atau publik. Ini adalah cara yang bagus untuk membangun sebuah pasuka  pengikut yang bisa jadi sangat bermanfaat manakala perusahaan atau merek diserang lawan.

Di luar itu yang lebih penting adalah bagaimana memantau pemberitaan media mainstream. Sebab seperti diketahui, meski media social sekarang begitu powerful, namuan kekuatan media mainstream seperti koran tak bisa diremehkan. Dalam beberapa kasus, koran malah bersinergi dengan media social dan mengamplitudo sebuah isu. Ingat kasus Prita, pasien RS Omni Alam Sutera Tangerang?

Ada beberapa tanda-tanda yang bisa dicermati manakala muncul isu tentang perusahaan Anda. Sinyal itu tentunya dari wartawan. Katakanlah sang wartawan tersebut mendapat bocoran kabar negatif tentang perusahaan Anda. Dengan asumsi bahwa wartawan tersebut patuh pada kode etik, maka sebelum menurunkan tulisan tantang hal negatif Anda itu tentu dia akan mengubungi Anda. Karena itu sangat bermanfaat bila Anda mengenali tanda-tandanya. Salah satunya adalah wartawan tersebut berusaha menghubungi Anda karena Anda dinilai memiliki kompetensi untuk menjelaskan masalah tersebut.

Ketika Anda berbicara dengan sang wartawan simak pembicaraannya. Katakanlah dia ingin memawancarai tentang sesuatu tentang perusahaan Anda. Wartawan yang memiliki isu tentang Anda tersebut, biasanya menghubungi Anda berkali-kali. 

Rabu, 23 November 2011

Empat Hal Penting Dalam Menghadapi Krisis di Media Sosial


Setelah berminggu-minggu frustasi akibat sinyal yang buruk dan keluhannya tak  dijawab penyedia layanan ponsel, Adam Brimo, alumni University of New South Wales di bidang teknik perangkat lunak, akhirnya kehilangan kesabaran.

Sementara dia mendatangi pusat layanan pelanggan Vodafone – provider layanan ponsel itu, remaja 23 tahun itu membuat website untuk menyuarakan ketidakpuasannya kepada dunia. Brimo pun segera mendapati bahwa sejatinya bukan hanya dia yang mengeluhkan layanan  Vodafone. Banyak orang yang senasib dengan Brimo dan mereka menyampaikan keluahannya itu melalui website yang dibangun Brimo. 

Setelah sebuah sebuah surat kabar menulis tentang keluhan dengan mengutip artikel dari website yang dibuat Brimo, pada akhir 2010, situs Brimo --  www.vodafail.com -- dengan cepat menarik perhatian massa. Situs yang memungkinkan sesama pelanggan Vodafone untuk mengirim keluhan mereka itu dilongok sekitar 280.000 pengunjung dan lebih dari 850.000 tampilan halaman sejak diluncurkan pada bulan Desember. Semuanya berisi tentang keluhan terhadap Vodafone.

Bagi Vodafone, dalam konteks hubungannya dengan pelanggan, ini benar-benar bencana. Bahkan dia beberapa hari setelah itu, firma hukum Piper Alderman yang berbasis di Sydney yang berhasil mengumpulkan 22 ribu lebih pelanggan yang mengeluhkan soal layanan jaringan Vodafone melakukan gugatan class action.

"Apa yang semula dianggap sebagai suatu masalah sederhana saat saya menelpon dan tidak bisa diselesaikan, telah berubah menjadi gerakan puluhan ribu orang yang bergabung dan mengatakan mereka memiliki masalah juga," kata Brimo. Dia hanya ingin masalah yang terjadi dengan teleponnya diperbaiki. "Namun persoalannya menjadi berkembang cepat, dari hanya problem yang saya hadapi berubah menjadi persoalam yang perbaikan yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah setiap banyak orang Ini adalah salah satu fungsi sosial internet."

Setelah mengkompilasi keluhan-keluhan yang muncul di vodafail.com, pada Desember 2010, Brimo bertemu dengan Nigel Dews, chief executive Hutchison Vodafone Australia. Hasilnya, Vodafone merilis pernyataan maaf kepada publik dan menyatakan bahwa mereka akan mengatasi persoalan jaringan seperti yang dikeluhkan oleh Brimo.

Namun persoalannya tidak berhenti disitu. Ini karena Brimo juga menyerahkan laporan yang berisi lebih dari 12.000 keluhan ke the Australian Communications and Media Authority, the Australian Competition and Consumer Commission, dan the Australian Communications Consumer Action Network. Akhirnya pada bulan Februari 2011, Vodafone secara resmi berjanji menganggarkan dana $ 1 miliar untuk mengupgrade jaringan dan dukungan pelanggan.

Media sosial di satu dapat digunakan perusahaan sebagai sarana untuk menyapa dan berinteraksi dengan pelanggannya atau menjadi media informasi atau penyampaian berita secara berantai. Namun tidak sedikit yang melaporkan tentang dampak negatifnya, misalnya kritik, komplain, bahkan tak jarang makian serta suara negatif lain tentang merek.

Lalu bagaimana seharusnya perusahaan bereaksi ketika menghadapi isu atau suara-suara yang mungkin memalukan seperti yang dialami Vodafone tadi? Berdasarkan pengalaman Vodafone tersebut, Business Spectator memberikan beberapa saran. 

1. Cobalah untuk mendengarkan. Anda tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapi pelanggan atau beberapa pelanggan jika Anda tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi.

2. Kecepatan adalah penting. Paul Patterson, seorang profesor pemasaran di the Australian School of Business,  mengatakan bahwa dengan adanya internet, perusahaan perlu bergerak lebih cepat untuk menghentikan api kecil sebelum berkobar.

3. Minta maaf dan memperbaiki masalah.

4. Tidak meningkatkan harapan pelanggan bila harapan tersebut tidak dapat dipenuhi. Pastikan perusahaan Anda mampu secara efektif memberi solusi untuk memperbaiki masalah.

Minggu, 20 November 2011

Redefining Public Relations in the Age of Social Media


Organisasi public relations terbesar di Amerika, Public Relations Society of America (PRSA), saat ini berupaya untuk mengembangkan definisi baru tentang public relations yang lebih baik. Menurut mereka, denikian dikutip the New York Time, Senin (21/11/2011) langkah ini yang terbaik di abad ke 21 ini. Upaya ini dimulai pada hari Senin (21/11/2011), dengan meminta saran dari publik, termasuk kalangan PR profesional, akademisi dan mahasiswa.
Yang mendorong upaya pencarian definisi baru tersebut antara lain karena adanya perubahan mendasar yang terjadi dalam hubungan masyarakat sejak definisi tentang public relations terakhir kali diperbarui oleh PRSA, pada tahun 1982. Pada 2003 dan 2007 pernah diupayakanuntuk menulis definisi baru tentang PR, namun tidak memperoleh kemajuan yang signifikan. Saat itu muncul definisi, “Public relations helps an organization and its publics adapt mutually to each other.” (Public relations membantu organisasi dan public untuk satu sama lain saling beradaptasi secara saling menguntungkan).
Nah, sekarang terjadi perubahan lingkungan yang sangat signifikan dengan kehadiran  Internet dan media sosial seperti blog, Facebook dan Twitter. Kehadiran mereka telah mengubah hubungan antara anggota masyarakat dan orang-orang yang berkomunikasi dengan mereka. Sebuah proses yang selama puluhan tahun berlangsung -- salah satunya pross komunikasi dari atas ke bawah dan biasanya bersifat monolog – mulai ditinggalkan dan beralih ke komunikasi dua arah yang biasanya ditandai dengan adanya dialog. Perubahan-peruahan itu menghasilkan serangkaian istilah baru yang digunakan dalam  public relations, hubungan antara praktisi PR dengan media, word-of-mouth, dan buzz marketing. 
Upaya menemukan definisi baru tersebut juga didorong oleh terjadinya beberapa peristiwa yang memalukan kalangan pelaku public relations. Ini terjadi setelah kehadiran media baru yang membuat konsumen lebih mudah untuk belajar sehingga mampu menilai perusahaan, produk, atau merek dan mencoba mempengaruhi konsumen lain setelah apa yang mereka reka mendapatkan pengalaman tentang yang merek beli dan percayai.
Di antara contoh memalukan yang terkenal adalah kesalahan BP dalam menangani kasus  setelah kecelakaan di Teluk Meksiko; langkah Facebook yang mempekerjakan agency PR  untuk menghasilkan artikel yang mengkritik praktik pesaingnya - Google, bagaimana meningkatnya keluhan terhadap kampanya terbaru Chapstick yang meminta konsumen berinteraksi, “Be heard at facebook.com/ChapStick,” tapi malah berulang kali menghapus komentar negatif tentang iklan mereka di halaman Facebook, dan bagaimana Netflix yang sengaja menghilangkan ratusan ribu anggotanya, kemudian membatalkannya, untuk kemudian memisahkan bisnisnya.
Ingin berpartisipasi? Klik  http://prdefinition.prsa.org/

Rabu, 16 November 2011

SCHOOL BRANDING - Sebuah Ilustrasi Peringkat


Inilah hasil survei pertama kali untuk perguruan tinggi ilmu komunikasi dan pemasaran. Hasilnya memang seimbang antara sekolah negeri dan swasta.

Tahun 2008, terbetik kabar bahwa minat ulusan SLA untuk melanjutkan ke perguruan tinggi swasta turun. Indikator yang muncul di Jawa Barat ini setidaknya dilihat dari tingkat penerimaan mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi swasta belum mencapai kuota ideal. Ini disebabkan kecenderungan menurunnya peminat. Apalagi, tingkat melanjutkan kuliah di Jawa Barat masih rendah.

Penurunan minat terhadap perguruan tinggi swasta tersebut antara lain disebabkan oleh dua hal. Pertama, semakin banyaknya perguruan tinggi negeri yang membuka program penerimaan mahasiswa baru, misalnya ekstensi. Kedua, sebagian besar besar perguruan tinggi swasta yang kurang diminati itu adalah baru. Di sisi lain,promosi yang mereka lakukan sangat minim. Sehingga ketika mereka membuka penerimaan mahasiswa baru, nama mereka relatif kurang dikenal. Ketiga, makin gencarnya promosi oleh perguruan tinggi luar negeri  untuk publik Indonesia.

Tapi, benarkah dari sisi kualitas perguruan tinggi swasta masih kalah dibandingkan perguruan tinggi negeri. Hasil penelusuran Majalah MIX-MarketingXtra mendapati bahwa sejatinya masyarakat sudah menilai tinggi – bahkan bisa disejajarkan – perguruan tinggi swasta. Setidaknya ini tercermin pada perguruan tinggi manajemen dan komunikasi oleh calon mahasiswa (saat ini masih duduk di SLA kelas III). 

Hasil survei tersebut memberikan gambaran bahwa untuk sekolah manajemen, pilihan calon mahasiswa jatuh pada Universitas Indonesia (negeri), diikuti Insitut Teknologi Bandung dan disusul oleh dua sekolah swasta, yakni Universitas Bina Nusantara dan Universitas Trisakti. Sementara itu utnuk kategori sekolah komunikasi,  peringkat pertama diduduki oleh Universitas Indonesia, dan ITB untuk sekolah negeri, serta Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi LSPR untuk sekolah swasta.

Survei universitas terbaik ini adalah yang pertama kali dilakukan – untuk jurusan komunikasi dan pemasaran – di Indonesia. Survei ini dilakukan untuk melihat persepsi calon mahasiswa dan orangtuanya tentang perguruan tinggi setara S1 yang menyelenggarakan jurusan atau program studi manajemen (termasuk marketing) dan komunikasi (termasuk desain komunikasi visual, public relations, dan advertising) di Indonesia.

Survei dilakukan pada 2-16 November  2009 terhadap 399 responden yang berasal dari keluarga dengan tingkat penghasilan kelas A ke atas. Subjek survei adalah orangtua siswa dan siswa SMA kelas 3 di lima wilayah DKI Jakarta, yaitu Jakarta Barat, Timur, Utara, Selatan, dan Pusat yang berminat terhadap jurusan komunikasi dan manajemen.

Teknik pengambilan sample-nya dilakukan dengan  metode multistage random sampling di mana tingkat kesalahan sampling-nya (sampling error) sekitar 5,99% pada interval kepercayaan 95%. Untuk mengukur persepsi, kepada responden disebutkan 24 perguruan tinggi yang memiliki jurusan komunikasi untuk evaluasi terhadap perguruan tinggi komunikasi. Untuk persepsi terhadap sekolah marketing, dipilih 57 perguruan tinggi yang memiliki jurusan manajemen dimana marketing terdapat di dalamnya. Dalam survei ini, hanya perguruan tinggi yang terakreditasi A yang disertakan.

Pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan mendatangi rumah mereka maing-masing dan menggunakan alat bantu wawancara berupa kuesioner. Ada empat variabel persepsi yang diukur dari responden, yaitu reputasi, kualitas lulusan, kesesuaian antara biaya dengan nilai/manfaat, dan kesetaraannya dengan perguruan tinggi berkualitas di luar negeri. Untuk evaluasi, responden diminta untuk menyebut skor mulai dari 1 yang berarti terjelek sampai 10 yang berarti terbaik. Pemeringkatan hasil survei dihitung berdasar indeks rata-rata keempat variabel persepsi tersebut di atas.

Profil Responden

Seperti dikemukakan sebelumnya, untuk siswa, subjek survei ini adalah siswa kelas 3 SMA dan SMK di lima wilayah DKI Jakarta. Setelah dilakukan wawancara, mereka terbagi ke dalam 11 jurusan. Yang terbanyak adalah jurusan eksakta, diikuti jurusan sosial. Sedangkan yang terkecil adalah jurusan informatika. Proporsi SMU negeri dan swasta hampir sebanding meski seolah negeri lebih banyak. Sebagian besar responden adalah siswa sekolah negeri (58,4%) dan swasta (41,1%) serta sekolah egeri atau swasta yang masuk dalam kategori SMU berstandar internasional (0,5%).

Pekerjaan orang tua mereka sebagian besar adalah karyawan swasta (42,2%) dan wirausaha (38,7%). Hanya 13,2 % yang berprofsi sebagai pegawai negeri. Hanya 25% responden siswa yang menyatakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Dari hasil survei diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden (90,68%) siswa merasa diberi kebebasan oleh orang tuanya dalam memilih perguruan tinggi yang akan dimasukinya. Karena itu, sebagian besar (93,6%) responden merasa bahwa keputusan memilih perguruan tinggi yang akan dimasukinya adalah di tangan mereka, meski dalam perspektif orang tua, mereka masih harus mempertibangkan pilihannya dengan orang tua.

Pertimbangan Dalam Memilih Perguruan Tinggi

Lalu apa yang menjadi pertimbangan mereka dalam memilih perguruan tinggi? Disini terdapat perbedaan antara kepentingan orang tua dan calon mahasiswa. Seperti yang dikemukakan pada tulisan tentang Academia 2.0 sebelumnya, dalam memilih perguruan tinggi, calon mahasiwa tidak selalu mandiri. Ada pihak lain, yakni orang tua, yang ikut mempengaruhi kalau tidak mau dikatakan menentukan. Peliknya adalah seringkali kepentingan orang tua bertabrakan dengan kepentingan sang anak.

Tengok saja dalam pertimbangan pemilihan perguruan tinggi. Bagi calon mahasiswa, kualitas perguruan tinggi yang dicerminkan oleh tingkat akreditasi yang diperoleh perguruan tinggi tersebut masih kalah penting ketimbang besar kecilnya biaya kuliah (67,1%). Sementara itu dalam pandangan orang tua, kelengkapan fasilitas merupakan pertimbangan utama (88,2%) mengalahkan ketersediaan bea siswa (82,4%) dan besar kecilnya biaya kuliah (82.4), apalagi tingkat akreditasi. Dari sini dapat ditarik gambaran umum bahwa soal akreditasi bukan masalah utama.

Top of Mind

Dalam survei ini, ada dua kategori Top of Mind (TOM). Pertama adalah TOM untuk iklan dan TOM untuk merek atau nama perguruan tinggi sendiri. Dalam marketing TOM merupakan salah satu indikator dari tingkat kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Ini biasanya berkorelasi dengan promosi yang dilakukan oleh bersangkutan. alam survei ini, kategori produk tersebut adalah perguruan tinggi komunikasi atau perguruan tingg yang memiliki jurusan manajemen dimana marketing biasanya terdapat di dalamnya.

Ada beberapa tingkatan kesadaran, mulai dari tidak menyadari (mengenal) merek, mengenali merek, pengingatan kembali merek hingga puncak pikiran. Dalam kaitan ini, TOM merupakan tingkat kesadaran tertinggi. Disini TOM merupakan merek yang disebutkan pertama dalam suatu tugas pengingatan kembali tanpa bantuan. Dalam survei ini, pengukuran TOM dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada responden berupa “Perguruan tinggi mana saja yang Anda tahu menawarkan program studi ilmu manajemen/pemasaran/komunikasi”. Sementara itu untuk pengukuran TOM iklan, kepada responden diajukan pertanyaan, “Perguruan tinggi mana saja yang Anda tahu pernah mengiklankan program studi ilmu manajemen/pemasaran/komunikasi”

Dari survei tersebut diperoleh gambaran bahwa untuk iklan, terdapat 16 iklan perguruan tinggi yang disebutkan oleh responden. TOM iklan Universitas Indonesia menduduki peringkat teratas, diikuti Universitas Bina Nusantara, Universitas Trisaki dan perguruan tinggi lainnya. Semenara itu, untuk merek atau nama, terdapat 14 merek perguruan tinggi yang disebutkan oleh peminat jurusan komunikasi. Yang tertinggi adalah Universitas Indonesia, diikuti Universitas Bina Nusantara, Universitas Trisakti dan perguruan tinggi lainnya.

Gita Gayatri, Ketua Program S1 Ilmu Manajemen FEUI, mengakui bahwa promosi elatif gencar. Ini antara lain dilakukan dengan mengadakan berbagai kegiatan. Antara lain iklan (Koran dan majalah); personal selling (menawarkan program S2 dan S3 ke instansi pemerintahan dan perusahaan swasta); public relation (press conference, press release, open house, edutrade, dll. Format promosi itu dilakukan secara below the line dan above the line. Sesuai tuntutan jaman, mereka juga  memanfaatkan channel alternatif untuk melakukan kegiatan komunikasi. Misalnya dengan website Departemen manajemen (Dibawah website FEUI dan UI) , serta koran elektronik, publicity dan  aktifitas PR.

Sementara aktivasi brand dilakukan secara rutin dengan roadshow ke SMA (sederajat) yang potensial memiliki target market yang dibidik; edufair afiliasi dengan program UI dan eksternal; serta  personal selling ke perusahaan (untuk program S2); sponsorship (kegiatan sosial dan seni). Program-program tersebut diakui Gita cukup efektif dalam menarik minat calon mahasiswa untuk berkuliah di Manajemen.

Selain itu, yang juga ikut berperan dalam membangun awareness adalah usia perguruan tinggi tersebut. Usia dan pengalaman – untuk jurusa komunikasi lahir sejak 50 tahun silam- menjadi  faktor yang paling kuat dalam mencapai awareness dan persepsi tentang kualitas sekolah ini di benak para responden.

Best Universities: School of Management

Terdapat tiga dimensi yang membangun persepsi publik terhadap sekolah manajemen terbaik, yakni reputasi, kedua kualitas lulusan, kesesuaian antara biaya dan manfaat, dan kesetaraan dengan perguruan tinggi luar negeri. Untuk kategori sekolah manajemen terbaik, terpilih 10 sekolah terbaik. Mereka dipilih berdasarkan kuota responden yang minimal 30 responden. Peringkat pertama diduduki oleh Universitas Indonesia, diikuti Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) LSPR. Dengan demikian, STIKOM LSPR merupakan perguruan tinggi terbaik untuk kategori perguruan tinggi swasta.  

Menurut Gita Gayatri, Ketua Program S1 Ilmu Manajemen FEUI, departemen Manajemen UI menerapkan value based marketing. Yaitu harga yang dibebankan kepada konsumen sepadan dengan nilai/manfaat yang diterima oleh mahasiswa/I (bukan mengacu pada competitor based or cost based pricing). Kemudian dari sisi place, mereka memiliki dua akses/lokasi yang memudahkan mahasiswa untuk mengenyam pendidikan di Manajemen FEUI. Pertama Kampus Depok yang menyediakan lokasi asri dan nyaman, kedua, Kampus Salemba terletak di pusat kota sehingga memudahkan para mahasiswa yang bekerja di Ibu Kota atau para praktisi yang mengambil strata 2 dan 3 untuk mengakses perkuliahan dengan nyaman.

Sementara itu, menurut BM Purwanto, PhD, Wakil Dekan Bidang Akademik, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyrakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, saat ini FE UGM memang sudah cukup dikenal di dalam negeri, sehingga tantangannya adalah untuk membuka mata dunia terhadap kualitas pendidikan di almamater Wakil Presiden Boediono tersebut. “Kami ingin ada pengakuan secara internasional terhadap kualitas UGM dan akreditasi UGM dari lembaga seperti International Accreditation Agency,” tambah Purwanto. Menurut dia, popularitas PT hanya sekadar gimmick. “Kalau sudah ada pengakuan internasional, berarti sudah ada standar yang lebih tinggi, dan awareness akan otomatis mengikuti.”

Best Universities: School of Communications

Seperti halnya dengan pemeringkatan untuk sekolah manajemen, pemeringkatan untuk  sekolah komunikasi juga berdasarkan tiga dimensi yang membangun persepsi publik terhadap sekolah komunikasi terbaik, yakni reputasi, kedua kualitas lulusan, kesesuaian antara biaya dan manfaat, dan kesetaraan dengan perguruan tinggi luar negeri. Untuk kategori sekolah komunikasi terbaik, terpilih 9 sekolah terbaik. Mereka dipilih berdasarkan kuota responden yang minimal 30 responden. Peringkat pertama diduduki oleh Universitas Indonesia, diikuti Institut Tenologi Bandung yang memiliki jurusan Desain Komunikasi Visual, dan the London School of Public Relations Jakarta, serta enam perguruan tinggi lainnya.

Menurut Ifa Safira, Ketua Program Studi DKV Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, sampai saat ini minat calon mahasiswa terhadap program studi tersebut sangat tinggi. Dari kapasitas 200 kursi yang disediakan FSRD untuk setiap angkatan (dengan jumlah pendaftar yang biasanya mencapai 3000-4000 peserta seleksi), dalam sepuluh tahun terakhir peringkat DKV selalu yang tertinggi. Minat mahasiswa berkisar 50%-60%, padahal kapasitas program studi DKV hanya sekitar 40 mahasiswa per angkatan.

Sementara itu, menurut Elke Alexandrina -- Dean Department PR and Marketing LSPR Jakarta -- seiring dengan membangun reputasi, sejak awal LSPR terus menumbuhkan kualitas produknya. Sebagai communications school berkonsep city school, LSPR terus menggenjot kekuatannya. Jika di awal LSPR hanya menawarkan kursus singkat ilmu komunikasi, kini LSPR sudah menjadi sekolah tinggi yang  memiliki lima jurusan, yakni,  PR, Marketing, Mass Communications, Advertising, dan paling anyar,  Performing Arts Communication.

Melalui dosen-dosen ahli yang juga pelaku industri, kurikulum dan sertifikasi berstandard internasional, serta fasilitas yang lengkap dan nyaman seputar keilmuan. “Kami ingin menciptakan alumnus yang siap kerja. Artinya, selain skill, kami juga menciptakan attitude maupun behavior lulusan terbaik,” kata Elke.