Hari-hari Indonesia, khusus kota Jakarta dan Palembang,
disibukkan dengan persiapan event besar olahraga, Asian Games, pesta olahraga level internasional yang bisa
dipastikan mendapat sorotan ratusan juta penonton. Pertanyaannya
adalah bisakah event ini mampu membuat, misalnya, Palembang menjadi kota dunia?
Seperti yang dilakukan banyak kota dunia lainnya, event itu
seyogyanya bisa mendongkrak Palembang sebagai kota yang bisa disejajarkan
dengan Jakarta atau Surabaya. Kenapa? Diakui atau
tidak, kota-kota di Indonesia masih dalam taraf awal dari branding kota. Sementara
kota-kota di Indonesia masih sibuk dengan membranding kota, kota-kota di dunia
sudah ber”lari” dan terus mengubah image
kota setelah dirasakan imagenya sudah tidak menjual lagi atau perlu
ditingkatkan, atau kesaktiannya
dalam memberikan kesejahteraan kepada warganya turun.
Beberapa kota global dunia berhasil memposisikan dirinya melalui acara
olah raga internasional seperti menyelenggarakan turnamen tenis (Wimbledon, Perancis
terbuka, Australia Terbuka dan AS Terbuka) atau pertandingan sepak bola
sepanjang tahun (misalnya, FC Barcelona, Real Madrid, AC Milan, Chelsea FC,
Manchester United, dll).
Di awal pemerintahannya, Nelson Mandela juga memanfaatkan event kejuaraan dunia rugby untuk mempromosikan citra Afrika Selatan yang sudah berubah. Kota dan negara tersebut berhasil menciptakan keterkaitan antara kota dengan tim atau turnamen.
Di awal pemerintahannya, Nelson Mandela juga memanfaatkan event kejuaraan dunia rugby untuk mempromosikan citra Afrika Selatan yang sudah berubah. Kota dan negara tersebut berhasil menciptakan keterkaitan antara kota dengan tim atau turnamen.
Sejak tahun 1990an, branding kota telah
menjadi faktor kunci dalam kebijakan pembangunan perkotaan. Kota-kota di
seluruh dunia berusaha keras dan melakukan tindakan spesifik untuk memoles
citra dan persepsi kota, di mata
penduduk maupun calon wisatawan, investor, pengguna dan konsumen.
Langkah strategis itu tidak hanya dilakukan
kota yang baru akan dikembangkan melainkan juga kota-kota yang sudah lama
berkembang namun dirasa daya tariknya berkurang atau masih masih ada peluang
untuk ditingkatkan. Perencana kota dan pengambil keputusan, makin kuat usahanya
menarik bisnis dan turis. Mereka menghabiskan jutaan dolar untuk mengubah image
kota mereka dengan melakukan rebranding sehingga ini menjadi sebuah aktivitas populer di seluruh dunia.
Kopenhagen misalnya, menghabiskan sekitar $
100 juta dalam lima tahun untuk mengubah citranya di Eropa dari hanya sebagai
ibukota negarta di Eropa menjadi salah satu ibukota terkemuka di Eropa. Bahkan
saat ini hampir setiap kota besar di Inggris telah direbranding. Hampir 70
persen kota Jerman sudah melakukan pemasaran tempat. Bahkan dalam beberapa
tahun terakhir kota-kota seperti Bangkok, Lagos (Nigeria), Rio de Janeiro dan
Beijing telah merebranding.
Meskipun sejumlah besar uang diinvestasikan
pengelola kota untuk proses perencanaan dan implementasi rebranding, uang itu
dihabiskan dengan baik asalkan ada strategi yang mendasarinya. Strategi yang
berhasil dapat dilihat dari kota-kota yang telah mengubah citranya. Mereka berhasil menciptakan keunggulan kompetitif
dibandingkan kota-kota lain yang citranya kabur dan merasa lebih mudah bersaing
untuk pangsa konsumen, turis, bisnis, investasi, pekerja terampil dan perhatian
media.
Secara umum, setiap proses rebranding kota harus
relevan dengan empat khalayak. Pertama, pengunjung. Mereka bisa turis asing dan atau domestik. Sebagian besar strategi
rebranding kota bertujuan untuk menarik wisatawan dari segala daerah. Beberapa
kota seperti Dubrovnik, Barcelona, Venesia dan Bangkok mendasarkan ekonomi
mereka terutama pada wisatawan asing. Kota lain menarik wisatawan domestik.
Selama periode “perang”, Yerusalem dan New Delhi melakukan branding terutama untuk menarik
wisatawan lokal (Mitki et al., 2011).
Kedua, warga. Warga termasuk penghuni lama dan
baru. New Castle adalah contoh sebuah kota yang berhasil meningkatkan citra dan
membuat penduduknya tidak meninggalkan kota itu. Sebaliknya Holon, sebuah kota
di Israel, kehilangan 50 persen penduduknya. Mereka pindah ke kota lain, dan
kemudian, setelah proses rebranding, kota itu menjadi perhatian. Banyak
pasangan muda dan keluarga berbondong-bondong pindah ke kota itu.
Ketiga adalah pebisnis dan industri. Segmen
bisnis dan industri mencakup perusahaan asing dan domestik, investor dan
pegawai negeri. Melbourne dan Sydney, misalnya, bekerja keras untuk menarik
pekerja terampil seperti dokter, insinyur dan analis komputer untuk menjadikan
dirinya sebagai kota yang lebih menarik bagi bisnis dan industri.
Keempat pasar ekspor. Pasar ekspor terdiri
dari perusahaan asing dan konsumen dari seluruh dunia yang membeli produk yang
diproduksi di kota-kota tertentu. Produk meliputi barang fashion seperti i
Milan (Italia), parfum dari Grasse (Prancis) dan jeruk dari Jaffa (Israel).
Saat ini, bisnis yang di kota-kota di negara berkembang seperti China
menghabiskan jutaan dolar untuk mengubah citra diri mereka dan membuat diri
mereka trendi dan akrab bagi konsumen di seluruh dunia. Beberapa kota di pasar
negara berkembang, misalnya, mencoba memberi merek pada diri mereka sendiri
sebagai pusat anggur (Herstein, 2012), bersaing melawan perkebunan anggur
asing, termasuk yang berasal dari negara maju.
Para perencanaa kota melihat olahraga sebagai
salah satu strategi untuk merebranding kota. Kota-kota global dengan sumber
daya ekstensif yang merencanakan untuk jangka panjang biasanya menggunakan
strategi ini. Beijing, Athena, London, Seoul dan Barcelona telah memposisikan
diri sebagai kota kota yang mampu menyelenggarakan Olimpiade, membangun kembali dan merancang ulang
kota mereka.
Pembangunan infrastruktur baru mereka, stadion olahraga, bandara, sistem transportasi, jalan raya,
jalan raya, dan pembangunan tempat pertunjukan atau arena baru seperti taman
hiburan dan pusat perbelanjaan modern berhasil mengubah image mereka. Bahkan Olimpiade
Beijing berhasil menghapus ingatan banyak orang tentang tragedi Tiananmen yang
sempat mencoreng image China.
Kota-kota ini memobilisasi sejumlah
besar dana untuk merenovasi area yang luas dalam pencarian citra kota baru.
Keberhasilan mereka didukung dengan memanfaatkan media global dan sponsor dari
merek global terkemuka. Kedua, agar mendapat dukungan publik internal, perencana kota yang menerapkan strategi
olahraga mega harus memastikan adanya tiga kondisi.
Pertama, peristiwa olahraga tersebut harus
menghasilkan aktivitas ekonomi yang signifikan, termasuk pembangunan kembali
kota. Kedua, acara tersebut harus mencerminkan dan memproyeksikan, terutama di
kota-kota deindustrialisasi, sebuah pergantian secara luas ke sektor jasa
ekonomi. Ketiga, acara tersebut harus berfungsi sebagai lokus upaya dan
identitas masyarakat yang bisa memperkokoh kesatuan bangsa.
Banyak turis, misalnya, mengaitkan London
dengan Kejuaraan Tenis Wimbledon. Turnamen ini membantu memanfaatkan citra kota
dan setiap tahun menciptakan ketertarikan dan kesadaran seputar acara olahraga
ini. Bila Anda mengetik kata Barcelona di Google Images, akan muncul banyak gambar dari tim kota dan pemain
topnya. Perencana kota yang ingin menerapkan strategi ini telah berhasil
menciptakan suasana unik yang membuat para wisatawan / penggemar olahraga
merasa seperti pulang ke rumah setiap kali mereka melihat tim kota asal mereka
misalnya.
Beberapa kota telah berhasil menciptakan
perasaan tersebut. Museum FC Barcelona, bagian dari Stadion Barcelona, adalah
museum yang paling banyak dikunjungi di Catalonia, dengan lebih dari 1,2 juta
pengunjung setiap tahunnya. Perencana kota juga perlu menciptakan atraksi yang
bervariasi bagi penggemar yang sering berkunjung ke kota sehingga mereka
memiliki aktivitas dan atraksi baru untuk berpartisipasi.