Antilochus, dalam
mitologi Yunani, adalah sosok yang terkenal melalui karya Homer, terutama epos
"Iliad." Sebagai putra Raja Pylos, Nestor, Antilochus menjadi salah
satu prajurit muda yang ikut serta dalam Perang Troya. Keberaniannya dan kecepatannya
di medan perang mencerminkan rasa hormatnya yang mendalam kepada ayahnya.
Dia meninggal saat
melindungi ayahnya, Nestor, dari serangan Memnon, seorang pejuang heroik dari
Ethiopia yang berpihak pada Troya. Mengingat pengorbanannya, Antilochus
dihormati sebagai contoh ideal dari seorang putra yang berbakti. Pengorbanan
Antilochus mengukuhkannya sebagai simbol seorang pejuang yang berani dan
pengabdian seorang putra kepada orang tuanya.
"Iliad" adalah mahakarya
literatur klasik karya Homer, penyair legendaris Yunani. Epos ini mengisahkan
peristiwa selama 51 hari di tahun kesepuluh Perang Troya, pertempuran epik
antara Troya dan sekutu kerajaan Yunani. Sebagai salah satu karya sastra paling
tua, "Iliad" memegang peranan penting dalam sejarah literatur dunia.
Di luar keberanian dan
kepahlawanannya itu, salah satu momen terkenal Antilochus dalam
"Iliad" adalah ketika dia berlomba kereta kuda, memanfaatkan akal dan
strategi untuk mengalahkan pesaing yang memiliki kuda lebih unggul. Meskipun
kuda-kuda Antilochus bukan yang tercepat, salah satu keungggulan Antilochus
adalah kecerdasan dan strategi yang diajarkan oleh ayahnya, Nestor.
Nestor, dikenal
sebagai lambang kebijaksanaan, memberi tahu Antilochus bahwa meskipun kudanya
mungkin lebih lambat, dengan strategi yang tepat, dia masih bisa menang. Antilochus
benar-benar memperhatikan dan mematuhi petuah ayahnya itu.
Saat balapan
berlangsung, Antilochus memanfaatkan metis, kecerdasan taktis Yunani, untuk
mengecoh pesaingnya. Strateginya? Pada saat-saat kritis dalam balapan,
Antilochus membuat manuver berani dengan mengendarai keretanya melintasi
lintasan yang sempit, memaksa pesaingnya, Menelaus, untuk menahan kendaraannya.
Manuver ini memungkinkan Antilochus untuk mendapatkan keunggulan dan akhirnya
mengungguli Menelaus.
Kemenangan Antilochus
bukan semata-mata karena kecepatan atau kekuatan, tetapi karena kecerdasan dan
strateginya. Ini menggambarkan esensi dari metis, di mana keberhasilan bisa
dicapai melalui kecerdasan dan adaptasi, bukan hanya kekuatan murni. Episode ini
menjadi representasi dari nilai-nilai Yunani kuno tentang pentingnya taktik,
strategi, dan kecerdasan dalam menghadapi tantangan.
Metis merupakan konsep
dalam budaya dan pemikiran Yunani Kuno yang menggambarkan tipe kecerdasan dan
cara berpikir khusus. Tidak seperti kecerdasan rasional yang sistematis dan
logis, Metis lebih bersifat licik, fleksibel, dan adaptif.
Dalam pemikiran
Yunani, Metis mencakup berbagai karakteristik seperti kebijaksanaan, ketajaman
berpikir, kecerdikan, kelihaian, kewaspadaan, dan berbagai keterampilan lain
yang diperoleh dari pengalaman. Konsep ini mengacu pada kecerdasan yang
beradaptasi dengan situasi yang berubah-ubah, ambigu, dan tak terduga, yang
tidak dapat diukur atau dianalisis dengan logika murni.
Dalam kalimat lain, Metis
adalah kecerdasan yang menekankan pentingnya kelihaian dan adaptabilitas. Bukan
hanya logika murni yang dihargai, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi,
memanfaatkan sumber daya yang ada, dan berpikir di luar kotak. Bayangkan Metis
sebagai kecerdasan jalan pintas; bukan pendekatan langsung, tetapi pendekatan
yang lebih licik, cerdas, dan kreatif.
Menurut Detienne & Vernant (1991), metis
berbeda dari diskursus filosofis yang berkembang di Yunani kuno. Konsep metis
merepresentasikan jenis kecerdasan yang berbeda dari pemikiran rasional, yang
saat itu masih baru dan rapuh. Dalam konteks ini, metis melibatkan kombinasi
kecerdasan, kebijaksanaan, ketajaman berpikir, kecerdikan, kelihaian, dan
pengalaman. Akibatnya, metis seringkali diabaikan oleh filosof sebagai bentuk
kecerdasan alternatif.
Untuk menggambarkan bagaimana
metis bisa menjadi sebuah tindakan, Detienne & Vernant (1991) mengambil
contoh gurita, hewan yang dikenal dengan adaptabilitas dan kelihaian fisiknya.
Disini, gurita dapat dianggap sebagai representasi dari Metis. Gurita, tanpa
tulang, dapat mengubah bentuk tubuhnya untuk masuk ke celah sempit untuk
menghindari predator atau menangkap mangsa.
Kemampuan gurita untuk
mengubah warna kulitnya agar cocok dengan lingkungannya, baik untuk bersembunyi
dari musuh maupun untuk mengejutkan mangsa, juga menunjukkan kelihaian dalam
dunia alam; bukan berdasarkan kekuatan fisik, tetapi kemampuan adaptasi dan
kecerdikan.
Hewan lain yang merepresentasian
Metis adalah Rubah. Sebagai simbol kecerdikan dalam banyak kebudayaan, Rubah sering
digambarkan sebagai makhluk yang mampu mengelabui predator atau musuh yang
lebih kuat dengannya. Dalam berbagai cerita rakyat, rubah mengelabui singa atau
hewan buas lainnya dengan kelihaian dan kecerdikan, bukan kekuatan.
Rubah sering kali
digambarkan sebagai makhluk yang licik dalam berbagai budaya. Dalam konteks
Metis, rubah melambangkan kecerdikan dan kemampuan untuk membuat strategi yang
cepat dalam menghadapi ancaman atau mencari makanan. Rubah tidak mengandalkan
kekuatan fisik semata, melainkan pada kelihaian dan kemampuan untuk memprediksi
serta merespons tindakan musuh atau mangsanya. Dengan demikian, rubah menjadi
simbol dari aspek metis yang menekankan pada kecerdasan taktik dan strategi.
Menerapkan Metis ke
dalam konteks manusia, seorang pebisnis yang sukses dapat dikaitkan tidak hanya
dengan pengetahuan teknis, tetapi juga dengan kemampuan untuk beradaptasi
dengan pasar yang berubah, merespons tantangan, dan memanfaatkan peluang yang
muncul. Demikian pula, seorang guru yang mampu menyesuaikan metode
pengajarannya sesuai dengan kebutuhan unik setiap siswanya, menunjukkan
kefleksibilitasannya dalam mendidik, mengedepankan pemahaman dan partisipasi
siswa.
Dalam dunia yang serba
cepat dan selalu berubah, pemahaman tentang Metis mengajarkan bahwa terkadang
pendekatan yang tidak konvensional, adaptif, dan fleksibel seringkali lebih
efektif daripada mengandalkan logika dan kekuatan semata.
*REFERENSI*
Detienne, M., & Vernant, J.-P. (1991). Cunning
Intelligence in Greek Culture and Society (J. Lloyd, Trans.). University of
Chicago Press. (Original work published 1974)