New Jersey, 16 Januari 1996 pagi. Ketika keluar rumah berangkat ke kantor,
Paul Klemchalk, 43 tahun, Manajer Logistik AT & T, memeluk dan mencium
istrinya. Tak lupa dia berbisik, "*I'll be fine*."
Pat, istri Paul beralasan kalau waswas. Sebab hari itulah pertama kali AT & T mem-PHK-kan 40 ribu karyawannya. Paul dan 303 ribu karyawan AT & T lainnya hingga saat itu belum mengetahui, termasuk salah seorang yang harus meninggalkan pekerjaannya ataukah tidak. Paul sendiri yakin akan selamat. Sebab, dia baru saja mengukir prestasi yang mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. AT & T mempunyai banyak pelanggan besar -- perusahaan telekomunikasi lain seperti Nynex dan Ameritech, yang setiap tahun, memerlukan penggantian peralatan seperti *switching* jaringan yang nilainya miliaran dolar AS. Bertahun-tahun mereka selalu membeli peralatan dari Western Electric (kini Lucent Technology). Belakangan persoalan muncul. Sebagian peralatan pengganti yang mereka butuhkan -- karena yang asli sudah berumur 20 tahun -- sulit dicari. Lucent tak memiliki stok, dan butuh waktu bulanan untuk memproduksinya. Melihat hal itu, Paul bersama timnya masuk dengan menawarkan alternatif. Proposal penawarannya diterima. Setelah setahun berjalan, kontrak itu diperpanjang. Konsumen rupanya puas, karena peralatan yang dibutuhkan bisa cepat diperoleh dan sesuai jadwal. "Proyek saya sangat bagus dan mendatangkan kontrak miliaran dolar bagi AT & T." Toh, manajemen di atasnya melihat hanya dengan sebelah mata. Pagi itu juga, begitu Paul masuk ke ruang kerja, bos memanggilnya. Dia diberitahu bahwa berdasarkan keputusan dewan direksi, kantornya akan menghapus pekerjaan yang kini dia pegang. Atau, sejak hari itu, Paul tak mendapat tugas lagi dari kantornya. Karenanya, dalam waktu 60 hari setelah itu, dia harus angkat kaki dari AT & T. Pukul 10 pagi. Begitu mendengarnya, yang pertama dia lakukan menelepon istrinya di rumah. Sial, telepon tak diangkat. Paul hanya mendengar dari mesin penjawab bahwa istrinya sedang mengikuti kelompok belajar Bible bersama teman-temannya. Seharian itu Pat gelisah. "Saya *nervous* karena dia begitu yakin. Kalau dia tidak seyakin itu, mungkin akibatnya tak parah seperti ini," kata Pat. Setelah itu, selama 60 hari, Paul tetap datang ke kantor AT & T -- mengikuti pelatihan sebagai persiapan sekeluar dia nanti. Dalam pelatihan itu, Paul diajari bagaimana mencari pekerjaan, membuat lamaran dan sebagainya. Hingga setahun setelah kabar buruk itu, Paul telah melayangkan hampir 50 surat lamaran. Tak satu pun mendapat respons. Sedikit demi sedikit tabungannya menipis. Celakanya, sang anak, Steven, 11 tahun, didiagnosis menderita diabetes. Dia harus secara rutin melakukan tes darah, suntik insulin dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat, Pat bekerja sebagai relawan di perpustakaan dekat rumah, di samping sesekali sebagai perawat. "Bayarannya, cuma US$ 65 sehari," kata Pat seperti dikutip *Fortune*. Di AS, ada jutaan orang senasib dengan Paul. Jeanne Golly, 54 tahun, misalnya. Dia telah menjadi korban penciutan tiga kali. Pertama ketika bekerja di American Standard, kedua Kmart, dan ketiga perusahaan keuangan Belanda ING. Merasa kesal, akhirnya dia putuskan membuka usaha sendiri. Dia mendirikan perusahaan konsultan. "Sekarang keadaannya lebih stabil ketimbang saya bekerja di perusahaan seperti yang saya lakukan sebelumnya," katanya. Kisah Golly bekerja di perusahaan mirip kecelakaan. Sebenarnya dia bermaksud menjadi pengajar di *college*. Ketika dalam proses meraih gelar master di bidang ekonomi di Universitas Michigan State, dia ditawari bekerja di bagian layanan konsumen perusahaan ritel J.C. Penney. Dia pun mengambil tawaran itu dengan anggapan pengalamannya mungkin lebih berharga ketimbang sebagai guru. Selama tiga tahun bekerja di Penney, banyak ilmu yang diperoleh Golly. Antara lain soal *public relations* dan keuangan. Setahun kemudian dia pindah ke New York, bekerja sebagai *investor relations* di American Standard, perusahaan pembuat peralatan dapur dan kamar mandi kenamaan di AS. Setelah 10 tahun bekerja, nasib sial mulai menimpa. American Standard diakuisisi perusahaan besar. Karenanya, perusahaannya tidak memerlukan *investor relations* lagi. "Saya dipanggil bos ke kamar kerjanya. Begitu pintu saya tutup, dia bilang, Anda dikeluarkan." Mulailah dia menangis. Celakanya, ketika dipecat, dia baru saja membeli apartemen di kawasan Manhattan. Demi berhemat, terpaksa dia menjual kembali apartemennya. Dia balik ke rumahnya di Michigan, lalu menulis/mengirim banyak surat lamaran. Satu setengah tahun dia harus menunggu ketika dalam seminggu tiga surat panggilan mampir ke rumahnya. Dia memilih sebagai *vice president* komunikasi di Bertelsmann Music Group, karena menjanjikan pengalaman yang lebih global. Dia beranggapan, mempunyai pengalaman global -- di abad globalisasi ini -- sangat penting bagi kemajuan kariernya. Tahun 1991, Golly pindah ke Troy, Michigan, sebagai *vice president* komunikasi di Kmart, yang saat itu menunjukkan gejala kembang-kempis. Dia tertantang ikut membantu memperbaiki kinerja Kmart. Sampai 1993. Pada hari pertama bekerja setelah berlibur ke Maroko, Golly disambut pengacara Kmart yang membawa kabar bahwa dia dikeluarkan, dan harus pergi siang itu juga. Pengacara tadi mengawal Golly ke ruang kerjanya, dan mengawasi Golly mengepak barang-barangnya. Untungnya, Golly menganggur tak selama pemecatannya yang pertama. Sebab, sebulan kemudian, dia telah bekerja di perusahaan keuangan ING di Atlanta. Namun, ketika perusahaan ini melakukan pengurangan tenaga kerja sebagai bagian dari reorganisasi operasi di Amerika Utara, Agustus 1996, Golly jadi korban. Ia pun kembali ke Manhattan. Di sana ia memutuskan membuka kantor konsultan. Pengalamannya bekerja di beberapa perusahaan ia manfaatkan untuk memberikan konsultasi bagi perusahaan menengah asing yang beroperasi di AS. "Saya *nggak* tahu, bisakah keuntungan dari konsultan menyamai gaji saya di ING yang besarnya US$ 150 ribu. Yang pasti, saya kini aman." Golly, Paul dan banyak lainnya adalah korban resesi yang melanda AS pada 1990-91, yang dampaknya terasa hingga kini. Ketika itu berita tentang pemecatan pegawai mewarnai surat kabar setiap hari. Para pekerja AS marah dan bingung. Hampir setiap hari mereka mendengar bos-bosnya berbicara soal era baru bisnis dalam persaingan global yang makin ketat, dan revolusi di bidang teknologi yang memaksa perusahaan makin ramping. Para pekerja pun manggut-manggut sambil berpikir, kerisauan masa depan mereka bakal terobati manakala perekonomian dan kondisi perusahaan pulih. Mereka salah. Buktinya, ketika perusahaan makin sehat, pemecatan masih berlangsung.
Mengutip data DRI/McGraw Hill, *The Asian Wall Street Journal*, bahwa ketika
keuntungan perusahaan AS rata-rata naik 13% pada 1993 dan 11% pada 1994,
pemecatan justru makin menjadi-jadi. Pada 1994, hampir 516 ribu tenaga kerja
AS harus kehilangan pekerjaan mereka. Angka ini melebihi angka pada 1990 yang
hanya 316 ribu.
Korbannya bukan hanya manajer ke bawah. Beberapa CEO juga berguguran. Yang paling seru terjadi di perusahaan-perusahaan hiburan dan teknologi. Apple misalnya, sejak 1993 mengalami dua kali penggantian pimpinan. Namun, nasib mereka jauh lebih baik. Ketika dipecat, para manajer menengah-bawah mendapat pesangon 6 bulan gaji, ada yang setahun. Nilainya cuma ribuan/ratusan ribu dolar AS. Sementara itu, pesangon seorang mencapai jutaan dolar AS. Sebut saja, Michael Schulhof (Sony Corp. of America), Michael Fuchs, Douglas Morris dan Robert Morgado (ketiganya Time Warner). Merekalah bos yang ketika dipecat mendapat pesangon puluhan juta dolar AS. Beberapa di antaranya, hingga kini belum ada kabar bekerja di mana.
Namun, ada beberapa yang lebih
beruntung, karena begitu dipecat dan mengantongi pesangon langsung ditampung
perusahaan lain. Frank Biondi Jr., 51 tahun, misalnya. Ketika Januari tahun
lalu dipecat sebagai CEO Viacom, Biondi mendapat pesangon US$ 25 juta. Tiga
bulan kemudian pesaing Viacom, Universal Studios Inc., anak perusahaan
Seagram Co. menampungnya.
Saat itu, Edgar Bronfman Jr., CEO Seagram Co. -- perusahaan minuman keras dari Kanada -- baru saja membeli sebagian besar saham MCA Inc. dari perusahaan Matsushita Electric. MCA mempunyai beberapa unit usaha antara lain *theme park*, rekaman, penerbitan, produksi film dan TV: Universal Studio. Kebetulan waktu itu, Edgar tengah mencari eksekutif untuk memimpin Universal Studio. Biondi memang eksekutif piawai. Alumni Universitas Princeton dan penyandang gelar MBA dari Harvard ini, memulai karier sebagai *investment banker*, di perusahaan TV TelePrompTer Corp. Tahun 1978 dia pindah ke HBO dan menjabat *chairman*. Dan, tahun 1984 dia dipecat. Biondi lalu menjadi CEO Viacom Inc. sampai akhirnya dipecat oleh Sumner Redstone pada 1996. Yang paling spektakuler, superagen para bintang, Michael Ovitz, 50 tahun, melalui perusahaan yang didirikannya, Creative Artist Agency, banyak membuahkan bintang tenar seperti Robert Redford, Demi Moore dan Tom Hanks. Tahun 1995, dia sempat menjadi rebutan antara MCA dan Disney Co. Bos MCA, Edgar, menawarkan *transfer fee* US$ 250 juta.
Namun, CEO MCA Lew Wasserman
menentangnya, bahkan dia mengancam akan meninggalkan MCA bila Ovitz masuk.
Akhirnya, Ovitz menerima tawaran kawan lamanya, CEO Disney Michael Eisner,
sebagai Presiden Disney Co. "Saya tidak melihat dia sebagai orang nomor
dua di Disney. Saya menganggap dia sebagai partner," kata Eisner di hari
perkenalan Ovitz dengan bos-bos Disney lainnya.
Toh, dalam bisnis, pertemanan bukan segala-galanya. Eisner yang dikenal sebagai orang yang sangat ketat mengontrol stafnya, tak segera memberikan peran kunci di bisnis film, TV dan *theme park*-nya ke Ovitz. Eisner tetap mengendalikannya secara langsung, sementara Ovitz dibiarkan menemukan perannya sendiri. Sebelum Ovitz masuk, Jeffrey Katzenberg yang mengendalikan operasi studio Disney, mengundurkan diri dari Disney karena frustrasi atas sikap Eisner yang sangat ketat mengawasi kerjanya. Katzenberg lalu memilih bergabung dengan sutradara Steven Spielberg dan konglomerat rekaman David Geffen membentuk Dreamwork SKG. Padahal, Eisner menawarkan jabatan *president*. Ovitz lalu mencoba membangun bisnis musik di Disney. Sayang, perkembangannya tak menggembirakan. Bahkan, Ovitz dinilai banyak kalangan -- termasuk Eisner -- sebagai orang yang bertanggung jawab atas gagalnya ekspansi Disney di Cina. Ini gara-gara rasa tidak sukanya Pemerintah Cina atas rencana Disney mendistribusikan film cerita Dalai Lama yang disutradarai Martin Scorsese. Kebetulan, yang membawa Martin ke Disney itu Ovitz. Akhirnya, Januari lalu, Ovitz minta berhenti dengan pesangon US$ 78 juta. Pesangon tersebut luar biasa, mengingat Ovitz bekerja di Disney mulai Agustus 1995. Itu sebabnya banyak eksekutif lainnya -- termasuk Biondi -- iri pada Ovitz. "Namun, dia memang piawai. Dia kan masuk ke Disney sebagai *the most powerful man in Hollywood*." Kabarnya, Ovitz kini bernegosiasi dengan *Chairman* Viacom Sumner Redstone, tentang kemungkinan dia berkarier di Viacom. Banyak kalangan menilai, posisi top manajer di perusahaan hiburan memang sangat rapuh. Menurut *Los Angeles Times*, bagi pemilik bisnis Hollywood, memecat orang sangat mudah ibarat membalik tangan. Nasib sial yang menimpa Douglas Morris, Kepala Pemasaran Domestik Warner Music Group, bisa menjadi contoh. Juni 1995, Morris menuju ruang rapat dengan bersemangat.
Dia mengira,
bosnya, *Chairman* Michael Fuch, bakal mempromosikannya. Ternyata, sesampai
di ruang rapat, dia menerima siaran pers, yang isinya menegaskan bahwa dia
diberhentikan. Beberapa petugas keamanan telah menantinya di luar ruang
rapat, lalu mengawalnya keluar dari gedung.
Lima bulan kemudian, Fuch mengalami nasib dan perlakuan yang sama. Lewat beberapa berita surat kabar, dia memang sudah mendengar jabatannya di ujung tanduk. Toh, dia tetap yakin sang bos akan mempertahankannya. Karena itu, ketika suatu pagi dipanggil *Chairman* Time Warner Gerald Levin, dia tak curiga sedikit pun. Nyatanya, sesampai di ruang kerja Levin, dia diberitahu bahwa tak ada ruang kerja baginya di Warner. Fuch harus meninggalkan Warner hari itu juga. Bergabung dengan perusahaan lain, memang banyak dipilih para mantan eksekutif. Ada yang langsung bekerja seperti Biondi, ada pula yang sengaja ingin bersantai dulu. Itu pula yang dilakukan Jim Manzi, bekas CEO Lotus Development Corp. Manzi mundur dari Lotus setelah perusahaan *software* kenamaan itu dibeli IBM Corp. Oktober 1995. Lotus dibeli IBM setelah merugi US$ 18 juta pada kuartal I/1995. Para bos di Lotus tidak kompak lagi. Masing-masing saling menyalahkan atas kerugian Lotus itu. Namun, sebagian besar menyalahkan Manzi yang dengan tiba-tiba mengumumkan memotong harga *software* andalan Lotus: Notes. Akibatnya, peminatnya terus menunggu pemotongan harga berikutnya, dan penjualan Notes merosot. Setelah merugi, Manzi mengumumkan pengurangan karyawan dan penghematan. Dewan direksi menyewa mantan *President* Citicorp, Richard S. Braddock untuk membenahi. Dengan masuknya Braddock, semua unit usaha Lotus harus melapor kepadanya. Ini berarti terjadi kudeta atas Manzi karena sebelumnya, semua unit usaha melapornya ke Manzi. Beberapa eksekutif Lotus -- termasuk pendiri Lotus, Mitchell D. Kapor -- menyarankan agar Lotus menjual sahamnya ke IBM. Manzi bersikeras mempertahankannya. Kalaupun dijual, Manzi mau menguasai hampir 5% saham. Lotus memasang harga tinggi. Akhirnya, IBM pun membeli Lotus dengan harga 10 kali lipat harga pasar. Nilainya US$ 3,5 miliar, Manzi mendapat US$ 78 juta. Setelah Lotus dibeli IBM, posisi Manzi melorot menjadi *senior vice president*. Sebagai CEO, Gerstner menunjuk Michael D. Zisman, profesor sekolah bisnis yang bergabung ke Lotus setelah mengambilalih Soft Switch, 1994. Lepas dari Lotus, Manzi yang bekas wartawan koran mingguan di Port Chester, New York, benar-benar ingin menenangkan pikiran. Beberapa pemburu eksekutif berusaha membujuknya turun gunung. Namun, Manzi tetap berkubang dalam buku-buku. Sekali waktu dia pernah mendaftarkan diri ke tempat kursus memasak di Tuscany. Akhirnya, dia mendengar ada perusahaan yang namanya Industry.Net (IN) yang membidangi jasa pemasaran melalui Internet dan berkantor pusat di Pittsburgh. Tertarik. Manzi lalu menemui *Chairman* IN Donald Jones dan menandatangani kontrak kerja sebagai *president* merangkap CEO. Di bawah Manzi, IN berkembang. Kliennya sekitar 5 ribu termasuk Ford, Sun Microsystems dan Honeywell. Mereka membayar sekitar US$ 2,5-250 ribu untuk kontrak pemasaran setahun lewat *World Wide Web*. Kini, Manzi membuka kantornya yang kedua di Cambridge, Mass dan *go public*. Juli tahun lalu, IN merger dengan AT & T Media Services dan membentuk Nets Inc. AT & T Business Network. Selain bergabung ke perusahaan lain, ada pula yang mendirikan perusahaan sendiri. Mark Whitacre, misalnya. Setelah dipecat dari jabatannya sebagai Kepala Divisi BioProduct Archer Daniels Midland, produsen minyak nabati terbesar di AS, Mark cuma *nganggur* dua bulan. Kini dia memimpin perusahaan bioteknologi, Future Health Technology. Tak jelas alasan pemecatan yang menimpa Mark. Menurut orang dalam ADM, karena Mark menggelapkan uang milik perusahaan sebanyak US$ 9 juta. Namun, dugaan banyak orang, pemecatan itu berkaitan pembocoran rahasia perusahaan sehingga ADM dituduh melakukan *price-fixing*, praktek dagang yang dilarang di AS. Kasus ADM sampai kini banyak diberitakan di media-media besar, karena -- selain ADM perusahaan besar -- melibatkan FBI dan perusahaan besar lain (Cargill) dan beberapa perusahaan Jepang. = Beroleh gelar Ph.D di bidang biokimia nutrisi dari Universitas Cornell, termasuk brilian. Setelah bekerja sebagai peneliti di Ralston Purina di St. Louis, Missouri, dan manajer di perusahaan kimia Jerman, ia bergabung dengan ADM pada 1989.
Di sini dia langsung diserahi jabatan kepala divisi produk
biokimia. Di bawah supervisinya, ADM berhasil menciptakan *lysine* pada 1991.
*Lysine* merupakan bahan tambahan untuk makanan ternak, yang dapat
mempercepat proses pertumbuhan. Sekarang, ADM menguasai perdagangan *lysine*
dunia.
Itu sebabnya, bos ADM Dwayne Andreas sangat bangga atas prestasi Mark. Bahkan dia disebut-sebut bakal menempati posisi *president* menggantikan James Randall yang sudah uzur, 72 tahun. Andreas begitu mempercayai Mark sampai-sampai urusan yang paling sensitif pun diserahkan kepadanya. Itu terjadi pada 1992. Oleh Andreas, Mark ditugaskan ikut dalam diskusi soal upaya menciptakan kesepakatan harga dengan pesaing ADM, Ajinomoto dan Kyowa Hakko. Jadinya, Mark -- ini cerita Mark kepada majalah *Time* -- tahu bahwa perusahaannya melakukan praktek yang menyalahi aturan. Karena itu, saat petugas FBI mendatangi kantornya, Mark memanfaatkannya untuk mengadakan kontak dengannya. Ketika itu, FBI mendatangi ADM bukan untuk menyelidiki dugaan praktek *price-fixing*, melainkan menyelidiki dugaan adanya sabotase di pabrik, sehingga *lysine* buatan ADM terkontaminasi. Sejak itulah Mark menjadi informan FBI. Perkaranya sempat dibawa ke pengadilan federal di Chicago. Lima perusahaan -- di antaranya satu perusahaan Kor-Sel, dua perusahaan Jepang dan satu perusahaan Jepang yang beroperasi di AS -- dinyatakan bersalah dan diharuskan membayar denda. Mark sendiri sempat diperiksa, tapi dinyatakan tak bersalah. Kini ia bekerja di perusahaannya sendiri yang sudah disebutkan di depan. "Petualamgan kerja paling seru mungkin yang dialami Steve Jobs: mendirikan perusahaan, terdepak, mendirikan perusahaan lain, dan kembali ke perusahaan semula. Pada 1976, ketika masih belajar di *college*, Steven Jobs bersama Stephen Wozniak mendirikan Apple. Awalnya, mereka berencana menjual papan sirkuit, lalu berubah jadi membuat rakitan komputer mikro setelah Jobs menerima pesanan sebanyak 50 unit. Mereka membuat Apple I tanpa monitor, *keyboard* dan *casing* di garasi rumah Jobs. Tahun 1977, Wozniak -- penemu Apple I -- mengembangkan Apple I dengan menambah *keyboard*, monitor berwarna plus 8 slot untuk perlengkapan tambahan (periferal). Produk yang diberi nama Apple II itu langsung mendapat tempat di pasaran. Tahun 1980, lebih dari 130 ribu unit Apple II berhasil dijual. Pendapatan Apple pun melonjak dari hanya US$ 7,8 juta pada 1978 menjadi US$ 117 juta pada 1980. Tahun itu juga Apple masuk bursa. Sejak itu kekuasaan Wozniak dan Jobs merosot. Tahun 1983 setelah kegagalan pemasaran Apple III, Wozniak meninggalkan Apple, dengan rasa kesalnya terhadap sikap Jobs yang mau menang sendiri. Lalu ia mendirikan perusahaan jasa pendidikan komputer bagi anak-anak sekolah dasar di Kalifornia. Setelah Wozniak keluar, Jobs mengontrak John Sculley dari PepsiCo untuk menjadi *president*. Sculley lalu mengadakan pembenahan antara lain makin menggiatkan promosi. Hasilnya, keuntungan Apple naik. Namun, perseteruan Jobs dan Sculley tak dapat dihindarkan, karena beda visi pengembangan Apple. Jobs inginkan Apple mempertahankan sistem yang dipakainya, sementara Sculley ingin Apple menggunakan sistem terbuka. Artinya, Apple juga bisa dioperasikan dengan *operating system* sebagai layaknya PC-PC lain yang *kompatible* dengan IBM. Jobs kesal. Diam-diam dia melobi pemegang saham guna menyingkirkan Sculley. Namun, dalam RUPS Mei 1985, pemegang saham lebih percaya pada Sculley. Akhirnya, Jobs tersingkir. Jobs -- kini 44 tahun -- menjual semua sahamnya senilai US$ 100 juta di Apple dan mendirikan Next Software Inc. dan Pixar. Desember lalu, Apple yang kini dipimpin CEO yang baru Gilbert F. Amelio mengakuisisi Next dengan harga US$ 430 juta. Dengan akuisisi itu Jobs balik lagi ke Apple. Beberapa pengamat menyebut akuisisi itu hanyalah upaya Amelio merangkul kembali para pendiri Apple. Sebab, Next bukan perusahaan yang menguntungkan. Sejak berdiri, Next baru membukukan laba pada 1992. Itu pun hanya sekali, setelah itu Next merugi lagi. Yang prospektif justru Pixar. Dialah yang membuat animasi film kartun laris *Toy Story*. Namun, untuk yang satu ini, Jobs enggan melepasnya. Jobs yang kini dipercaya sebagai penasihat informal Amelio disebut-sebut banyak merebut pekerjaan para eksekutif lainnya, termasuk peran *executive vice president* Marco Landi. Merasa perannya dikurangi, Februari lalu, Landi mundur dari Apple. Selain itu, ada kabar Amelio juga mendekati Wozniak agar kembali ke Apple. Amelio menyiapkan Wozniak untuk duduk sebagai penasihat khusus sebagaimana dilakukan Jobs. |
Edition : No. 04 / 1997, Tanggal 13 Mar 1997
Desk/Category : SWA
Rubrik : Sajian Utama
Penulis : Aruman
Sent by : admin @ 29/Jun/2013 11:44:01
Desk/Category : SWA
Rubrik : Sajian Utama
Penulis : Aruman
Sent by : admin @ 29/Jun/2013 11:44:01
Memasuki tahun 1990-an, banyak perusahaan Amerika Serikat yang melakukan restrukturisasi. Ratusan ribu karyawan di-PHK-kan. Top manajemen pun tak luput dari pemecatan. Puluhan CEO naik-turun. Setelah dipecat, mereka mau ke mana?