Liburan agak panjang kemarin,
saya sengaja membawa buku The satisfied
customer: winners and losers in the battle for buyer preference (Palgrave
MacMillan, 2007), karya Claes Fornell – perintis American Customer
Satisfaction Index (ACSI). Sengaja saya baca untuk memperkaya referensi
laporan utama Majalah MIX-MarketingCommunication edisi April depan yang
mengangkat tema Global Customer Satisfaction Standard, sebuah standard global
yang diperkenalkan biro riset MARS dengan mengadopsi metodologi American Customer Satisfaction Index (ACSI).
Di halaman 5 buku tersebut, ada
ilustrasi menarik yang digambarkan oleh Fornell tentang koalisi baru antara
konsumen atau pelanggan dan pemodal, dalam hal ini investor di pasar modal.
Menurut Fornell, suatu ketika, saat bermobil ke rumahnya dari luar kota, Fornell
ditelepon koleganya yang bertanggungjawab untuk operasional perangkat lunak dan
kompilasi hasil ACSI yang outliers.
Koleganya tadi mengabari bahwa
tingkat kepuasan untuk beberapa industri termasuk mobil dan e-business naik.
Namun ada yang tidak biasa, indeks kepuasan untuk Dell – produsen computer
-- anjlok. Padahal, beberapa bulan
sebelumnya, Majalah Fortune menobatkan Dell, Inc. sebagai perusahaan yang paling dikagumi (most admired)
di Amerika Serikat. Selain karena inovasinya, saat itu Dell berangsur memperbaiki
skor ACSI-nya sehingga melampui skor
ACSI industri PC lainnya seperti Apple sekitar lima tahun sebelumnya.
Apple memang bukan pesaing langsung
Dell sehingga bukan ancaman. Tapi, sebagai benchmark, tapi sebagai benchmark,
Apple cukup relevan. Seperti diketahui, Michael Dell – pendiri Dell – berhasil
menjalankan model bisnis yang sangat sukses, yakni menjual produk secara langsung
kepada pengguna ketika orang lain tidak melakukannya, menyesuaikan PC dengan
kebutuhan masing-masing pelanggan, dan harga di bawah pesaing.
Kustomisasi sering merupakan cara
yang efektif untuk membuat pelanggan puas. Jika hal itu dijalankan dengan baik,
biasanya memberi kemampuan pada perusahaan untuk mengarah pada penetapan harga
di atas pesaing. Nyatanya, harga Dell saat itu lebih rendah dari sebagian besar
-- meski tidak semua -- pesaing. Tidak
ada masalah selama selama level ACS Dell bagus. Namun yang terjadi, level
kepuasan terhadap turun lebih dari 5 persen.
Bagi orang awam, kata Fornell
seperti yang ditulis dalam bukunya, angka itu mungkin tidak besar. Tapi untuk ACSI,
persentase penutunan itu sangat berarti, sebab angka itu jauh di bawah Apple dan
dekat Gateway dan Hewlett Packard. Kenapa membandingkan dengan Gateway. Ini
karena Gateway juga masuk ke penjualan pengiriman langsung kepada pelanggan.
Celakanya, saat itu juga Gateway mengalami kejatuhan terbesar pada 2000 karena
indeks kepuasannya turun dan diikuti dengan kesulitan keuangan yang serius.
Namun kenapa indeks kepuasan Dell
turun? Saat itu Dell sibuk berusaha meningkatkan produktivitasnya agar mencapai
biaya produksi titik terendah. Disinilah persoalannya sebab dalam banyak kasus
peningkatan produktivitas cenderung mengakibatkan pengabaian kualitas.
Kualitasnya menjadi begitu jelek atau setidaknya sama tapi di sisi lain pesaing
– pada kondisi harga yang tetap -- malah meningkatkan kualitasnya.
Selama beberapa lama, Dell berhasil
dan melakukan sesuatu yang sangat sedikit perusahaan yang berhasil melakukan,
yakni menggabungkan pemotongan memotong biaya dengan peningkatan kepuasan
pelanggan. Tapi layanan pelanggan selalu berada dalam bahaya jika pemotongan
biaya menjadi pusat dari strategi bisnis. Ketika perusahaan tergoda untuk
mengejar target minimalisasi biaya terjadi pada biaya untuk mendukung layanan
dan staf garis depan, maka hal itu bisa mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
mempertahankan hubungan yang kuat dengan pelanggan. Itu yang terjadi pada Dell.
Kini, konsumen menginginkan
produk berkualitas dengan harga rendah. Di sisi lain, penjual ingin keuntungan.
The invisible hands (Tangan-tangan tak terlihat) yang memastikan bahwa
barang-barang berkualitas diproduksi dengan harga murah. Mereka pula yang
memastikan bahwa pembeli akan menghukum mereka yang menjual produk berkualitas
rendah dengan cara mengambil bisnis mereka untuk dipindahkan ke pemain lain.
Ketika mengemukakan tesis the
invisible hands, Adam Smith tidak berbicara tentang pergerakan modal dalam
konteks kkualitas, tetapi itulah yang terjadi sekarang. Fenomena di atas juga membuktikan
tesis baru bahwa ketika sebuah perusahaan masuk menjadi perusahaan publik, kualitas
menjadi begitu sangat penting. Ini karena saat ini seakan terjadi aliansi baru
antara pelanggan dan capita. Dengan kata lain, ketika kualitas suatu produk
dari sebuah perusahaan public anjlok, pelanggan dan pemodal (investor) bersama-sama
menghukumnya. Konsumen menghindari produk atau merek yang tidak memenuhi
harapannya, sementara investor menarik dana yang dibenamkan di merek atau
perusahaan itu.
Lalu apa konsekuensi bagi para
eksekutif? Tidak mudah untuk meyakinkan bekas pelanggan untuk kembali. Ketika Dell kehilangan fokus
pada kepuasan pelanggan dan dihukum dengan pembelotan pembeli dan pemodal di
pasar saham, Dell ingin kembali ke strategi awal yang membuatnya sukses.
Akibatnya, eksekutif yang bertanggungjawab atas penurunan harga saham tersebut
dicopot dan pendiri Dell, Michael Dell kembali mengendalikan perusahaan.
Ketika memasuki pasar AS pada
1980-an, Hyundai, produsen mobil Korea
Selatan memposisikan dirinya sebagai pesaing dengan low-quality low-price. Karenanya,
saat itu indeks ACSI-nya selalu berada di bagian paling bawah. Kenapa? Ketika
sebuah perusahaan memproduksi barang dengan mengabaikan soal kualitas kalau tak
mau disebut menghasilkan produk dengan kualitas rendah -- pada level harga rendah sekalipun –
biasanya mereka tidak melakukan apapun untuk memperkuat hubungan dengan
pelanggan. Kondisi ini tidak membuat pelanggan senang.
Itu temuan Hyunday sehingga
mereka mengubah strateginya. Meski tetap low price, namun Hyundai berusaha meningkatkan kualitasnya. Kualitas
yang baik ini dikomunikasikan dengan menawarkan program garansi terbaik dan
paling komprehensif yang pernah ditawarkan pemain bisnis mobil lainnya. Langkah
Hyunday ini tidak hanya menurunkan risiko bagi pembeli, tapi juga mengirimkan
sinyal bahwa perusahaan berdiri di belakang produknya. Sejak itu, dalam lima
tahun, penjualannya langsung melonjak hingga 80 persen, padahal penjualan pemain
otomotif lainnya mendatar.
Akan tetapi, langkah Hyundai tersebut
bukannya tidak menghadapi masalah. Peningkatan kualitas yang dilakukan Hyundai
telah mengorbankan produktivitasnya. Dibandingkan dengan Toyota misalnya, untuk
memproduksi satu unit mobil, Hyundai membutuhkan waktu 66 jam kerja lebih lama
ketimbang Toyota. Dengan kata lain, peningkatan kualitas – di sisi lain
harganya dipertahankan tetap rendah – yang dilakukan Hyundai menemui persoalan margin yang semakin tergerus.
Untungnya, sebagai suatu strategi, Hyundai menyiapkan langkah, yakni tetap
meningkatkan kualitas baik produk maupun layanannya, tapi dengan mempertahankan
harganya tetap di bawah pesaing.
Kasus Hyundai ini mengingatkan
saya pada langkah beberapa pemain nasional kita seperti kelompom Wings, Lion
Air, dan sebagainya yang ketika baru memasuki pasar menonjolkan USP-nya sebagai
produk berkualitas dengan harga di bawah pesaing. Saya juga teringat akan
langkah resto seafood D’Cost yang menggunakan tagline “Mutu bintang lima, harga
kaki lima.” Tak diungkapkan dengan kata atau huruf memang, hanya menggunakan
lambing lima bintang dan lima kaki, tapi yang ditangkap public sama.
Dalam kasus Wings dan Lion Air misalnya,
sambil meningkatkan kualitasnya, merek juga meningkatkan harga. Sehingga saat
ini sulit bagi kita menemukan harga produk Wings atau tariff Lion Air yang
berada di bawah pesaing. Fenomena Hyundai memang paradox dengan Dell. Pesan yang
ingin disampaikan dari femomena Dell dan Hyundai adalah perlunya keseimbangan
antara produktivitas dan kepuasan pelanggan.
Menurut Fornell, koalisi atau
persekutuan baru antara pembeli dan pemodal tidak terlalu sulit untuk
dimengerti. Persoalannya adalah perilaku koalisi mereka yang tidak biasa,
bahkan pihak-pihak yang berkoalisi sekalipun tidak menyadarinya. Bagaimana
tidak, para anggotanya tidak pernah bertemu, tidak ada perdebatan, tidak ada pemungutan
suara, dan tidak ada struktur hukumnya.
Ini adalah kemitraan yang tak
terlihat. Tapi ada sebab dan akibat. Penyebab utama adalah pergeseran kekuatan
dari penjual ke pembeli. Konsekuensinya, terjadi perubahan besar bagi
perusahaan dalam melakukan bisnis. Asal-usul kekuatan pembeli dapat ditelusuri
ke hal selalu dikaitkan dengan kekuatan: pilihan dan informasi. Ketersediaan
pilihan adalah kekuatan. Disinilah makna informasi tentang kepuasan konsumen
atau pelanggan sebagai kekuatan makin kelihatan.