Minggu, 19 Agustus 2018

Isu Ekonomi Penting, Tapi yang Lebih Penting Kemasan Pesan Isu Ekonomi itu



Mei 2018 lalu, saya diundang untuk sharing tentang komunikasi di tahun politik di program pasca-sarjana Prodi Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang.  Salah satu point yang saya sampaikan data hasil survey LSI tentang kemungkinan elektabilitas partai. 

Dari survey itu, ada partai yang mengangkat isu soal ekonomi dan hasilnya lumayan bagus. Ini mengilustrasikan bahwa kandidat boleh melakukan apapun namun bila tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan ekonomi masyarakat, hasilnya sekadar menarik perhatian publik. Dipilih belum tentu.

8 November 2016, maestro pengusaha Donald Trump memenangkan pemilihan umum AS. Ini menempatkan dirinya sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45, dan sebagai kandidat – tentu saja karena dipilih lebih banyak suara -- paling berkualitas di Washington D.C. yang berada dalam bayang-bayang, perenungan mengejar sesuatu selain politik.

Bagi banyak orang, kemenangan ini ibarat angin segar. Di mata pendukungnya, Trump – tentu saja -- adalah seorang pria yang dengan gagah berani tampil dengan slogan Make America Great Again (Membuat Amerika Jadi Hebat Lagi). Dia berhasil mengalahkan pesaingnya, Senator Bernie Sanders dari Vermont, yang dikenal sebagai Senator Partai Independen terlama dalam sejarah kongres Amerika Serikat.

Dia berpidato dari mimbar ke mimbar menyuarakan kekalahan yang diderita Amerika bila pengelolaa negara diserahkan kepada orang-orangnya seperti Clinton, yang lebih dikenal karena perannya sebagai Ibu Negara Amerika Serikat dari 1993-2001.

Bagi banyak orang, Donald Trump memberi mereka harapan keamanan dalam pekerjaan. Dia memberi tahu banyak orang tentang tembok yang akan dia bangun untuk mencegah orang-orang yang berbahaya ke negara ini dan dia berkampanye akan menindak tegas imigran ilegal. 

Dia mengakui bahwa banyak keluarga di Amerika Serikat tidak dapat menghidupi diri sendiri karena pekerjaan pabrik yang telah hilang di luar negeri, dan dia berjanji berkali-kali untuk mengembalikan pekerjaan itu, tidak peduli berapa pun biayanya.

Dia menjanjikan reformasi total bukan hanya kebijakan pajak negara, tetapi pada perawatan kesehatan mereka, dan jutaan orang muncul pada hari pemungutan suara untuk memilih pemenang negara ke kantor.

Harus diakui, masalah ekonomi sangat kuat dalam menentukan hasil pemilihan presiden di AS. Para ilmuwan politik sering memprediksi pemenang dan pecundang secara akurasi dan luar biasa jauh sebelum kampanye dimulai hanya dengan melihat dari maslah ekonomi.

Bill Clinton lebih banyak menjelaskan bagiamana meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan masyarakat, dan mengatasi masalah pengangguran ketimbang membicarakan bagaimana Amerika kelak setelah dia terpilih. Kenapa Clinton memilih isu tersebut? Persoalan-persoalan itu adalah nyata di depan mata masyarakat.

Pertanyaannya, bila masalah ekonomi itu penting, kenapa banyak petahana yang pada dasarnya kinerja ekonominya baik kadang-kadang kalah juga? Menurut Lynn Vavreck, penulis buku The Message Matters - The Economy and Presidential Campaigns (Princeton University Press: 2009), persoalan sebenarnya bukan pada masalah ekonomi itu sendiri melainkan pada bagaimana para kandidat bereaksi terhadap masalah ekonomi itu. 
.
Pada 5 Oktober 2008, John McCain, calon presiden dari Republik mengatakan, "Jika kita terus berbicara tentang krisis ekonomi, kita akan kalah." Pesan itu yang kemudian menginspirasi lawannya, Barack Obama, untuk terus mengulangi frasa “Kami tidak dapat membeli lebih banyak dari sesuatu yang sama.”

Diakui atau tidak, kampanye kepresidenan tahun 2008, merupakan salah satu kontes paling menarik dalam setengah abad terakhir, sebelum pemilihan presiden 2016 tentunya. Pertama, pada pemilihan presiden 2008, jumlah orang yang memilih lebih banyak dari pada tahun 2008. Para kandidat melakukan kampanye dengan menghabiskan dana yang besar.

Para kandidat mengeluarkan dana satu miliar dolar, suatu jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jumlah orang yang menonton siaran pemilu malam sebelum hari H, mencapai 71,5 juta. Ini menjadikannya sebagai siaran televisi kedua yang paling banyak ditonton pada tahun 2008 setelah Super Bowl.

Namun, Pemilu 2008 memberikan pelajaran kampanye yang luar biasa dalam konteks yang luar biasa pula. Ketika itu seakan tiada hari berlalu tanpa kampanye mengankat berita ekonomi yang dari hari ke hari semakin dahsyat.

Dimulai dengan keruntuhan misterius Bear Stearns di musim semi dan berpuncak pada penutupan Lehman Brothers, efek dari pasar kredit menyusut di mana-mana. Karena semakin banyak rumah keluarga yang disita, harga satu galon bensin naik lebih tinggi dan makin  tinggi sehingga mencapai puncaknya hampir $ 5,00 per galon di California pada pertengahan Juni.

Konteks pemilu 2008 memang tidak selalu halus, namun konteks itu yang membentuk pesan kandidat untuk memukul lawannya. Dalam situasi seperti itu, Partai Demokrat menikmati posisinya mereka sebagai penerima manfaat krisis ekonomi nasional (bahkan global) yang serius ini. 

Saat Obama terpilih kembali sebagai Senator Illinois pada tahun 1998, mengalahkan Yesse Yehudah dari Partai Republik, dia juga mengangkat isu kebutuhan riil masyarakat dan mengelola pesannya dengan baik sehingga mengena langsung ke persoalan yang dihadapi masyarakat. Selama kampanye, Obama selalu bertanya kepada calon pemilih, “Apakah Anda lebih baik hari ini daripada Anda empat minggu yang lalu?”

Ketika Obama melakukan tour keliling dari satu tempat ke tempat lain, dia lebih berperan sebagai kandidat yang terus meneruskan menyuarakan kalimat klarifikasi dengan lincah. Obama berbicara tentang ekonomi lebih dari apa pun dalam kampanyenya dan lebih dari yang dibicarakan McCain. Obama terus menerus mengklarifikasi perannya sebagai orang yang akan mengubah jalannya ekonomi.

Hampir 60 persen pesan-pesan iklan kampanye pemilihan umum Obama adalah tentang krisis ekonomi. Setelah mengebom dengan krisis ekonomi, baru kemudian pesan kampanye Obama berpusat pada karakternya, didikan, dan optimisme. Akhirnya, Obama bergabung dengan daftar panjang para pemenang yang mengklarifikasi (Dwight Eisenhower, Lyndon Johnson, Richard Nixon, Ronald Reagan, George H W. Bush, George W. Bush 2004, dan Bill Clinton).

Mereka-mereka ini yang menjadi anggota partai yang keluar sebagai pemenang. Seperti halnya Obama,  Eisenhower dan Reagan pada periode pertama), bernasib cukup baik karena kondisi ekonomi ekonomi untuk menjalankan kedua kalinya sebagai kandidat yang mengklarifikasi, berusaha menyelesaikan masalah ekonomi dan menang.

Rabu, 15 Agustus 2018

CHURNALISM




Tahun 2016, Zara -- rantai industri fashion global ternama -- dituduh mencuri ide dari 12 desainer indie. Salah satu desainer, Tuesday Bassen, mengajukan keluhan resmi kepada perusahaan.

Ilustrator berusia 27 tahun, yang sebelumnya bekerja untuk merek seperti Urban Outfitters dan Nike, menuduh Zara menggunakan empat bagian dari karya aslinya tanpa izin atau kompensasi.

Bassen mengetahui kalau karyanya itu mirip dengan yang dibuat Zara setelah ratusan penggemarnya menanyakan, apakah dia berkolaborasi dengan Zara atau perusahaan itu menjiplak karyanya.

Ketika dia menghubungi Zara melalui seorang pengacara, dia mendapat jawaban, bahwa klaim kemiripan Bassen tidak memiliki dasar. Lagi pula, jawab Zara, jumlah keluhan yang mereka terima tidak signifikan dibandingkan dengan banyaknya trafik pesanan yang datang ke situs mereka.

Kasus ini Zara ini seakan menyampaikan pesan, Zara adalah perusahaan besar dan popular, sementara Bessen adalah artis yang kurang terkenal. Karena itu keluhan tidak diperhitungkan.

Saya sengaja memulai dengan kasus Zara itu sebagai ilustrasi pembuka karena pada dasarnya hal itu juga bisa terjadi dimana-mana dengan versi yang berbeda. Meminjam istilah Rocky Gerung, karena demokrasi dikuantitatifkan maka suara mayoritas mengalahkan suara minoritas.

Suatu praktek yang dilakukan banyak orang dianggap sebagai suatu kewajaran meski hal itu belum tentu benar.
Tahun lalu, mahasiswa saya melakukan penelitian tentang media relations pada sebuah perusahaan. Penelitian itu mendapati, sebagian besar cerita atau informasi yang perusahaan sampaikan kepada media online, langsung dimuat tanpa perubahan atau pengembangan cerita. 

Di satu sisi, fenomena itu bisa jadi menunjukkan adanya hubungan yang bagus antara perusahaan dan media atau awak media. Betapa tidak, media atau awak media begitu percayanya kepada perusahaan sehingga rilis yang disampaikan oleh public relations officer perusahaan itu langsung dimuat tanpa editing.

Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Kenapa? Tahun 2008, Nick Davies menulis buku Flat Earth News: An Award-winning Reporter Exposes Falsehood, Distortion and Propaganda in the Global Media. Di buku itu, Davies mengutip hasil penelitian seorang professor dari Cardiff University, Justin Lewis, dan Tim-nya, yang mempelajari lebih dari 2.000 berita yang diterbitkan oleh empat harian berkualitas di Inggris (Times, Telegraph, Guardian, Independent) dan Daily Mail.

Hasil penelitian Lewis membuat Davies terpengarah. Kenapa? Ketika menelusuri asal-usul "fakta-fakta" dalam berita mereka, Lewis menemukan hanya 12% berita yang ceritanya berasal dari bahan yang telah diteliti secara mendalam oleh para wartawan.

Berita lainnya, atau yang 8 %, Lewis tidak yakin atau ragu-ragu bahwa bahan yang digunakan dalam berita dicek dulu oleh reporternya. Sisanya, atau yang 80%, sebagian besar atau sebagian berita yang disajikan dibuat dari bahan yang disediakan oleh kantor berita dan oleh industri hubungan masyarakat.

Penelitian ini, Lewis mengatakan, membuktikan bahwa praktek sehari-hari dari penilaian berita, pengecekan fakta, keseimbangan, mengkritik dan menginterogasi sumber yang, secara teori, penting sebagai rutinitas yang harus dipraktek dalam kerja sehari-hari jurnalisme, telah terkikis.

Beberapa tahun lalu, wartawan BBC Waseem Zakir mempopulerkan bentuk jurnalisme yang disebut dengan Churnalism. Praktek jurnalistik ini sekarang semakin sering dijumpai. Churnalism adalah  jurnalisme yang hanya mengandalkan siaran pers, cerita yang disediakan oleh kantor berita, dan bentuk lain dari materi pra-paket, bahan berita untuk dilaporkan, untuk digunakan dalam menuliskan artikel di koran dan media berita lainnya.

Tidak seperti jurnalisme pada umumnya yang selalu melakukan cek dan pengecekan ulang, dan mengembangkan informasi yang masuk kepada media, dalam churnalism penulisan berita menggunakan bahan tanpa penulisan ulang yang disertai dengan pengayaan informasi di dalamnya. Istilah sekarang, tinggal copy paste.

Bagi media, bentuk jurnalisme ini di satu sisi menguntungkan karena bisa mengurangi biaya dengan mengurangi wawancara atau riset atas sumber pengumpulan berita dan pengecekan ke sumber pertama. Seperti diketahui, setelah transformasi dari media cetak ke online, beban biaya kerja bila selama ini lebih besar pada biaya produksi cetak, kini meski biaya cetak hampir tidak ada. Biaya itu kini bergeser ke biaya peliputan yang membengkak karena peningkatan kuantitas jumlah peliputnya.

Yang kedua, untuk menutup pendapatan yang hilang. Harus diakui bahwa kemunculan berita Internet berakibat penurunan dalam periklanan karena bagaimana pun pertumbuhan jumlah media berita internet kini makin banyak. Di sisilah lain kue iklan yang harus dibagi tidak sepadan dengan peningkatan media berita tersebut. Itu tidak memperhitungkan turunnya belanja iklan perusahaan secara global. Seperti halnya dengan media cetak, kue iklan biasanya jatuh ke media-media internet yang besar.

Yang ketiga, sebelum perusahaan pers mulai memasukkan konten mereka secara online, orang mendapatkan berita di media cetak atau di TV, dan hampir selalu berada di luar tempat kerja. Tapi saat ini, sebagian besar masyarakat memperhatikan berita utama dari meja di tempat mereka bekerja. Publik sekarang sudah terbiasa dengan akses instan ke situs berita internet yang menyajikan banyak berita yang terus-menerus diperbarui.

Perubahan dalam jumlah berita yang disajikan serta bagaimana audience mengkonsumsinya memaksa pekerja media mentransformasi kerja editorialnya. Persaingan diantara perusahaan pers dan perusahaan media di jalur online yang real-time melahirkan gagasan pentingnya kecepatan dalam penyampian informasi atau berita. 

Akibatnya, muncul gejala peniruan berita yang selanjutnya berakibat pada penurunan keragaman berita.
Sejatinya, ini bertentangan dengan spirit para jurnalis. Persoalannya adalah, seperrti yang ditulis Pablo J. Boczkowski dalam News at Work: Imitation in an Age of Information Abundance (University of Chicago Press, 2010), audience seakan menyetujui praktek tersebut. Mereka seakan tidak peduli pada dari mana dan bagaimana media menyajikan berita.

Yang lebih dipentingkan adalah informasi sampai ke mereka dan mereka mendapatkan hal-hal baru.  Namun, diakui atau tidak, artikel yang muncul dari praktek jurnalisme seperti itu rawan atau terbuka terjadinya  manipulasi dan distorsi.

Ini adalah ilustrasi kecil dari apa yang disebut Davies sebagai Flat Earth News.  Pada bulan Juni 2005, seperti yang ditulis Davies, Fleet Street memberitakan tentang sekelompok anak pengganggu yang berusaha membunuh seorang bocah lima tahun dengan menggantungnya di pohon.

Yang menarik dari berita itu adalah tentang keberhasilan bocah itu membebaskan dirinya tanpa bantuan orang lain. Cerita ini, menurut Davies, jelas bukanlah kejadian sebenarnya karena ada beberapa hal yang tidak masuk dalam logika biasa.

Dengan kata lain, ada masalah logika di berita itu. Bagaimana tidak, seorang pria dewasa dengan 10 tahun pelatihan SAS pun, sulit membebaskan dirinya dari tali gantungan yang mengikat lehernya. Jadi bagaimana dia bisa mengangkat dirinya tubuhnya yang berat itu sendiri hanya dengan satu tangan? Bukankah ketika dia berusaha melepaskan diri, satu tangan untuk mengangakt dirinya sendiri satu lainnya untuk melepaskan ikatan. Lalu apakah itu bisa dilakukan oleh seorang anak berusia 5 tahun?

Bukti bagaimana ketidakmasukakalan lainnya dari berita itu adalah, sejak awal polisi menolak mengatakan bahwa anak itu telah digantung. Orang tua dan tetangga, yang mengatakan kepada pers betapa terkejutnya mereka, tidak pernah mengaku bahwa mereka mengetahui kejadian itu.

Satu-satunya cerita yang menjadi bangunan dari berita itu adalah kutipan dari sepupu laki-laki dewasa itu, yang mengatakan bahwa dia mendapat cerita dari bocah yang mengatakan, ‘Beberapa anak laki-laki dan perempuan mengikat tali di leherku dan mencoba mengikatku ke pohon." Kalimat, "…mengikatku ke pohon", bukan "…menggantungku di pohon" itulah masalahnya.