Senin, 30 Januari 2012

Dilema Endorser – Artisnya Ngetop, Mereknya Tertinggal



Penggunaan brand endorser memang perlu kejelian, termasuk dalam penentuan waktu seorang endorser harus tampil. Ambil contoh Lee Cooper yang minggu lalu memejeng Rio Dewanto sebagai endorser.  Rio memag menjadi pembicaraan, tapi merek Lee Coopernya sendiri nyaris tak terdongkrak.

Seminggu ini, nama actor Rio Dewanto (25) sedang ramai dibicarakan di linimasa. Tweeps memuji-muji dirinya, karena Jum’at  (27/1/12) lalu, Rio tampil dalam sebuah FTV di SCTV. Namanya pun kemudian melejit menjadi trending topic Jakarta. Pada hari itu juga Rio Dewanto hadir pada re-opening Butik Lee Cooper di lantai 2 Tunjungan Plaza 3 Surabaya.




Bagi sebuah merek, penyertaan brand ambassador dalam suatu acara diharapkan dapat membawa mereknya dibicarakan, dikenali, dan diingat serta menjadi daya tarik pengguna untuk membeli merek tersebut. Namun pada kenyataannya, pada  hari itu, popularitas Rio Dewanto jauh lebih tinggi ketimbang Lee Cooper. Bayangkan, selama tujuh hari terakhir, terdapat 512 tweep yang menyebut nama Rio Dewanto. Di sisi lain, hanya 86 tweeps yang menyebut Lee Cooper.



Ini tentu menjadi tantangan atau pekerjaan rumah bagi pengelola merek untuk lebih mengoptimalkan penggunaan brand ambassador-nya untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Pertanyaan lainnya adalah tentang waktu, apakah tepat menggandengkan acara pembukaan butik yang publisitasnya rendah dengan FTV yang jangkauannya begitu tinggi. Pada kondisi seperti itu, wajar bila Lee Cooper dan butiknya tenggelam dalam hiruk pikuk penampilan Rio di FTV.

Seperti disebutkan sebelumnya, pada hari itu Rio tampil di FTV dan Butik Lee Cooper. Karena itu, ketika Rio Dewanto menjadi trending topic, publik jarang menyebut nama Lee Cooper. Publik yang sebagian besar perempuan justru mengagumi ketampanan atau kegantengan aktor kelahiran 28 Agustus 1987 itu. Itu terlewat dari komentar-komentar yang dilontarkan melalui akun twitter-nya.

Selain seorang aktor, Rio mempunyai bakat menyanyi dan menggambar. Wajah tampan dan segudang keahlian membuat tweeps tidak bosan membicarakannya.
Lihat saja bagaimana antusias tweeps membicarakan Rio.

@I_charamel : Rio Dewanto do you have a girl friend, huh? what about me?
@amandaviani : RioDewanto ganteng bangeeeettttttttttt ya ampyuuuuuuunnnnnnnnnn sumpaaaaahhhh
@VH_CNblue : Rio Dewanto is the best! FTV's King! :D <3 you...
@anisaahalkim : abis Rio Dewanto lanjut Vino Bastian.. I love this Friday (♥?♥??) (♥?♥??)
@DeviCarissa : FTV hari ini keren-keren. Ada Rio Dewanto sama Prisia td, skrg ada Vino Bastian.
@dinaasty :  Rio dewanto, why u so hot!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ?(º?º?)

Aktor ini memang memiliki banyak sekali fans. Akun Twitternya, @Riodewantoo memiliki lebih dari 58,6 ribu follower. Saat ini, Rio (@riodewantoo) sedang promo film terbarunya Hello Goodbye, yang diperankan bersama kekasihnya Atiqah Hasiholan (@atiqahhasiholan).

Sementara itu, butik brand Lee Cooper yang diresmikan 27 Januari lalu adalah renovasi butik Lee Cooper sebelumnya. Butik itu terkesan lebih modern dan nyaman. "Kami telah lama hadir di Surabaya dan kini kami ingin memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi konsumen kami di sini," kata Presiden Direktur PT Lee Cooper Indonesia, Jody Dharmawan kepada wartawan di Surabaya. 



Ini merupakan butik ketiga Lee Cooper dengan nuansa baru di Indonesia setelah kami me-launching butik serupa di Mal Pondok Indah dan Mal Kelapa Gading Jakarta. “Program renovasi butik Lee Cooper dengan tampilan lebih modern, nyaman, dan cool akan kami lakukan di seluruh butik kami di Indonesia," ujar Marketing Manager PT Lee Cooper Indonesia, Suharti Sadja.(Aruman)

Kamis, 26 Januari 2012

ANATOMI PELANGGAN SOSIAL (SOCIAL CUSTOMER)


Era pelanggan pasif saat ini telah lewat. Media sosial telah mengubah mereka menjadi pelanggan aktif, bahkan cenderung hiperaktif.  Bagaimana mengenali mereka?

Selain telah mengubah cara pelanggan berkomunikasi dengan bisnis,  adopsi media sosial juga  memfasilitasi terjadinya pergeseran paradigma hubungan pelanggan-merek atau perusahaan. Bila selama ini paradigma hubungan tersebut berpusat pada pasar yang selalu menggunakan pertimbangan bisnis (business centric), kini bergeser  ke customer-centric. 

Pelanggan yang dulunya statis, diam, kini mendadak dinamis.  Pelanggan yang dinamis ini bisa mengelompok atau dikelompok ke dalam pelanggan sosial (social customer). Kelahiran segmen pelanggan baru  ini melahirkan cara atau praktik baru suatu bisnis, produk atau layanan dalam berinteraksi dengan pasar. 

Menghadapi situasi ini, pemasar atau praktisi public relation perlu mengenali karakteristik mereka sehingga bisa memberikan trik penanganan atau solusi yang sesuai dengan perilaku dan kebutuhan mereka. Dalam artikelnya yang dimuat socialmediatoday.com, 28 November 2011 lalu, Stephanie Gehman mendeskripsikan karakteristik pelanggan sosial ini sebagai berikut.

Pertama, mereka begitu hyper-connected. Perangkat smartphone dan peralatan internet yang siap beroperasi merupakan teman setia pelanggan social. Pelanggan sosial lebih memperlakukan perangkat smartphone sebagai computer saku ketimbang telepon. 

Karena itu mereka selalu terhubung dengan teman-temannya, update isu dan sebagainya sehingga yang membedakan antara mereka dan pelanggan biasa adalah ketajaman analisis dan daya kritis mereka terutama dalam penerimaan pesan-pesanyang disampaikan perusahaan.

Karekteristik pelanggan sosial yang kedua adalah bahwa mereka mudah menjangkau rekan-rekan dan influencer. Kemudahan mereka dalam mengakses media sosial memberikan pelanggan akses untuk menyebarluaskan pendapat dan pengalaman mereka ke keluarga dan teman-teman, serta orang yang mereka percayai. 

Orang yang peduli kepada orang lain memiliki kecenderungan untuk menceritakan pengalaman – terutama yang buruk – ke orang lain yang mereka kenal.  Jadi, jika terdapat teman yang memberi tahu pelanggan sosial untuk mencintai suatu merek atau produk, pelanggan sosial cenderung membelinya.

Karakteristik ketiga, pelanggan sosial terus menerus melakukan pengkajian dan penelitian. Mengkaji berbagai macam situs menawarkan suatu peluang bagi pelanggan untuk menyuarakan pujian dan keluhan layanan yang mereka terima, produk yang mereka konsumsi atau bisnis bagi pelanggan masa depan untuk membaca dan mengevaluasinya. Hal-hal yang baik, buruk dan sesuatu yang jelek tentang pelanggan masa lalu tersedia untuk dikaji dan dievaluasi.

Karakteristik keempat, pelanggan sosial selalu berbagi tentang apa yang mereka pikirkan tentang Anda. Pelanggan Sosial tidak biasa menggunakan ide yang berasal dari sisi Anda sebagai sumber utama. Mereka menganggap informasi yang Anda berikan tidak ubahnya  terompet perusahaan. Karena sebagai terompet, maka mereka beralasan yang Anda tampilkan dalam situs Anda tentu hal-hal yang baik. 

Mereka selalu bersikap kritis terhadap Anda dan selalu menanyakan hal-hal yang tidak mereka yakini. Bagusnya dari fenomena ini adalah itu berarti memberi peluang kepada Anda untuk menjelaskan dan menanggapi pertanyaan-pertanyaan, komentar dan kekhawatiran mereka secara bijaksana. Jika pelanggan sosial mengeluhkan sesuatu melalui jejaring sosial atau situs review, Anda dapat merespon melaui jalur yang sesuai.

Karakteristik kelima dari pelanggan sosial adalah mengharapkan merek untuk melibatkan mereka - Karena sifat real-time media sosial dan preseden yang ditetapkan oleh banyak perusahaan yang selalu merespon instan umpan balik pelanggan, banyak pelanggan sosial yang mengharapkan hal yang sama dari semua merek. Mereka menginginkan informasi dan respon yang mereka inginkan begitu mereka menginginkannya.

Karakter keenam, mereka mengendalikan siklus pembelian. Saat ini perusahaan tidak lagi memberitahu pelanggan tentang saat bagi pelanggan untuk membeli. Justru pelanggan yang memberitahu perusahaan bahwa mereka siap untuk membeli produk mereka. 

Ketika kelompok pelanggan sosial memiliki kemampuan untuk secara bersama mendukung atau menentang suatu produk atau jasa melalui online, suara kolektif mereka -- yang memiliki pengaruh kuat – diteruskan oleh jaringan yang berada di bawah pengaruh mereka. Jika sebuah kelompok yang cukup besar dirugikan oleh produk atau jasa Anda, hati-hati ! Ini bisa menjadi bencana.  dengan siklus hidup produk atau layanan.

Dalam buku Smart Business, Social Business: A Playbook for Social Media in Your Organization, Michael Brito mengidentifikasi enam jenis pelanggan sosial lengkap dengan  berbagai tingkatan pengaruh. Brito – kini Vice President of Social Media Edelman -- tidak membahas pengaruh khusus karena setiap pelanggan, sosial atau tidak, memiliki beberapa tingkatan pengaruh atas orang lain.

Menurut Brito, pelanggan sosial berinteraksi dengan perusahaan dan merek dengan cara yang berbeda berdasarkan emosi mereka dan bagaimana perasaan mereka pada saat-saat  tertentu. Suatu saat mereka mungkin menjadi pelanggan kolaboratif, dan hari berikutnya mereka mungkin bersama pesaing Anda. Kondisi ini sangat tergantung pada reaksi perusahaan. Brito sendiri mengakui sulitnya melakukan pengelompokan jenis-jenis pelanggan ini karena sebetulnya hal ini cenderung merupakan studi tentang perilaku manusia.

Menurut Brito, studi tentang perilaku manusia hanya dapat dilakukan oleh ahli psikologi. Dalam hal studi tentang interaksi seseorang dengan media sosial lebih sulit dilakukan ketika mempelajari tentang motivasi dan perilaku orang meng-klik, pemeringkatan, konten dan perilaku orang di web sosial. Berikut adalah pengelompokan pelanggan yang disusun oleh Brito.

The Venting Customer
Tipe pelanggan ini mungkin mengeluhkan merek atau perusahaan di Twitter atau Facebook. Akan tetapi mereka sebenarnya tidak terlalu membutuhkan respon. Dalam banyak kasus, para pelanggan hanya mencari perhatian dari jaringan mereka dan biasanya membuat pernyataan seperti, "Saya mencintai laptop Dell saya, tapi itu terlalu berat," atau "Saya baru saja mengistall Comcast. 

Tampilan high definition dari Comcast memang menakjubkan, tapi kotak kabelnya tidak sesuai dengan furnitur saya." Dalam kasus tertentu, perusahaan atau merek dapat memilih untuk memfollow tipe pelanggan ini di Twitter. Jika percakapan seperti itu terjadi, perusahaan atau merek bisa meresponnya dengan mengatakan "Terima kasih, Anda telah memesan produk kami" atau pernyataan lain yang sejenis.

The Passive Customer
Tipe pelanggan ini jelas membutuhkan dukungan pelanggan lainya tetapi tidak begitu aktif mencari jawaban. Biasanya, pelanggan ini tidak begitu vokal dan lebih sabar dibandingkan pelanggan lainnya. Mereka mungkin menceritakan masalahnya dan mencari bantuan orang lain sembari menyebutkan perusahaan secara langsung. Mereka ini seringkali membuat pernyataan seperti, "Laptop Toshiba saya mati terus setelah menit menyala. Tolong!" Sering juga mereka memasukannya ke Twitter hashtag yang gampang dikenali misalnya  #gagal.

Menghadapi situasi seperti ini, adalah penting bagi perusahaan untuk menandai pelanggan tipe ini dan secara langsung mengirimkan teknik atau cara mengatasi atau memperbaiki masalah yang dihadapi pelanggan tersebut. Mengabaikan pelanggan pasif dapat mengubah orang  menjadi “pernah” menjadi pelanggan atau tidak menjadi pelanggan lagi. Ini adalah sesuatu  yang tidak pernah kita harapkan.

The “Used-to-Be” Customer
Pelanggan ini pemarah, vokal dan membutuhkan bantuan segera. Tipe pelanggan memiliki kemungkinan besar menyatakan ketidakpuasan mereka beberapa kali melalui online sampai perusahaan menanggapi atau masalah mereka terselesaikan. 

Mereka secara konsisten mengatakan kepada orang lain tentang pengalaman negatif mereka. Mereka membuat pernyataan seperti "Internet saya baru saja down lagi. Saya muak pada @Comcast dan akan membatalkannya!" atau "1-800 Flower terlambat mengirimkan bunga untuk ulang tahun ibuku. Ini adalah kali kedua. Saya putus dengan mereka selamanya."

Dalam situasi seperti ini, Tim Customer Support harus segera menaninya sehingga mereka dapat secara proaktif menghubungi mereka dan menawarkan berbagai macam promosi gratis. . Lebih penting lagi, perusahaan harus mulai berpikir tentang bagaimana mengoptimalkan proses bisnis mereka dalam rangka untuk menyelesaikan akar masalahnya.

The Collaborative Customer
Pelanggan ini begitu senang dengan produk, layanan, atau perusahaan. Seringkali pelanggan  ini kesempatan dan ruang untuk menyarankan orang lain untuk menggunakan atau membeli produk baru dari perusahaan tadi. Atau mendorong orang lain untuk menggunakan atau membeli lebih sering atau lebih banyak produk-produk yang sudah ada.

Mereka ini sering membuat pernyataan seperti "Saya pikir El Pollo Loco juga seyogyanya  menyediakan ayam panggang bagi orang yang ingin makan sehat." Kemudian dia mencantumkan cc: nama perusahaan di pesan melalui Twitter tersebut. Seperti "cc: @ ElPolloLocoInc". 

Dengan cara ini, mereka seakan ingin memastikan bahwa El Pollo Loco mengetahui pesan tersebut melalui @mention di Twitter. Meskipun ini bukan isu tentang dukungan pelanggan, pelanggan seperti ini harus ditandai dan mendapat perhatian khusus. Ini karena mereka berpotensi bisa diubah menjadi advocate. Dalam situasi ini, seorang manajer pemasaran atau communinity harus terlibat secara langsung dan mulai membangun hubungan dengan mereka.

The Customer Advocate
Ini jenis pelanggan selalu membicarakan merek, produk, atau layanan bahkan jika mereka diabaikan sekalipun. Pelanggan jenis ini tidak perlu insentif. Mereka berbicara tentang suatu produk karena mereka senang melakukan itu dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari perusahaan atau merek tersebut. 

Seringkali mereka membuat pernyataan seperti "Anda semua harus membeli TV 3D Sony baru. TV ini begitu sempurna dan mengagumkan bila digunakan untuk bermain game dan menonton film Blue Ray. Kami mencintainya.” Bila mendapati pelanggan seperti ini, departemen pemasaran dan PR harus segera menandainya dan harus berhubungan dengan mereka.

The Future Customer
Pelanggan ini atau juga dikenal sebagai calon pelanggan, merupakan faktor yang menjadi salah satu alasan muncunya praktek CRM. Mereka dapat menjadi pelanggan baru atau pelanggan karena mereka sedang mempertimbangkan untuk mengupgrade produk yang mereka miliki – bisa jadi dari merek lain – ke produk atau jasa baru. Calon pelanggan ini akan mengatakan hal-hal seperti, "Saya berpikir tentang mendapatkan Comcast. Saya lelah karena Dish Network sering bermasalah. Bagaimana menurut Anda?”

Bagi Comcast, mereka ini bisa dianggap sebagai pelanggan masa depan karena berpotensi untuk menjadi pelanggan “a used-to-be” bagi Dish Network. Karena itu, menghadapi pelanggan jenis ini perlu perlu penanganan berbeda karena kasusnya untuk masing-masing merek bisa berbeda. Dalam kasus apapun, tim penjualan Comcast harus segera menandai mereka dan bersiap menawarkan kesepakatan yang benar-benar menguntungkan pelanggan ini agar segera berpindah merek. 

Dalam lingkungan bisnis ke bisnis (B2B), ini bisa menjadi pelanggan yang berbicara tentang upgrade hardware di pusat data. Karena itu account manager harus segera menghubungi mereka secara langsung sebelum hal yang sama dilakukan oleh pesaing.(aruman)

Selasa, 24 Januari 2012

KEGAGALAN KAMPANYE TWITTER McDONALD


Pekan lalu, McDonald melakukan kampanye melalui Twitter dengan tema #MeetTheFarmers dan #McDStories. Hashtag pertama yang memperkenalkan pengguna Twitter dari kalangan petani penghasil bahan pendukung produk burger McDonald meledak tanpa suatu halangan. Bahkan mengalahkan tweet tentang McDonald sekalipun.



Tapi ketika mereka beralih ke # McDStories, semuanya berantakan. Rupanya, tidak semua orang memiliki kisah-kisah positif untuk berbagi tentang McDonald. Celakanya, #McStories didominasi oleh orang-orang dengan cerita-cerita buruk. Mereka yang oleh Michael Brito dalam buku Smart Business, Social Business: A Playbook for Social Media in Your Organization disebut sebagai The “Used-to-Be” Customer dalam minggu terakhir menjadi yang paling vokal.



Jika Anda melakukan pencarian untuk "McDStories #" hashtag bahkan hari ini, Anda mungkin akan menemukan beberapa sisa-sisa jenis cerita
negatif orang tentang rantai makanan cepat saji. 









Masih ada beberapa twett yang bahkan lebih parah.

Meskipun dalam beberapa hal, misalnya McDonald di bagian atas halaman hasil pencarian untuk hashtag (pertama karena mereka dipromosikan, maka karena mereka retweeted cukup untuk tetap di dekat bagian atas), sebagian besar konsumen yang berisi pesan negatif cukup banyak.

Dua jam ke dalam mempromosikan hashtag ini, McDonald menariknya
. Namun, public telah bersuara dan suara itu disebarkan kemana-mana mulai dari retweet hingga Facebook. Dalam waktu satu jam sejak menarik #McDStories, jumlah percakapan tentang hal itu mencapai puncak ke 1600 tweeps. Angka itu memang terlalu kecil dibandingkan percakapan tentang McDonald secara keseluruhan yang mencapai 72,8 ribu. Tapi tetap saja memberikan citra tak sedap.

Di Indonesia, beberapa waktu juga terjadi hal yang sama. Seperti ditulis salingsilang.com, Indomie melancarkan program ritensi yang bertema “Semua orang punya cerita Indomienya, apa ceritamu.”  Melalui program ini, publik diminta mengirim cerita tentang Indomie ke ceritaindomiemu@indomie.com atau ke Po.Box  Ceritaindomiemu.
Di lini masa twitter, beberapa kali Indomie menjadi trending. Seperti yang terjaring dalam statistik salingsilang.com Selasa 21/06/11 malam. Akan tetapi yang terjadi, selain cerita positif juga negatif.

Lihatlah beberapa percakapan ini:


 Karena itu, berhati-hatilah dalam memilih hashtag.

SELAMAT DATANG SOCIAL CUSTOMER



Tren terbesar saat ini di mobile web, media sosial, dan real-time menghasilkan lanskap konsumen baru. Saat ini lahir segmen pelanggan baru yang disebut social customer (pelanggan social).

Pada 15 Desember 2011 lalu, saya mengupdate status Facebook dan tweep saya dengan mengatakan “‎Otak-otak bandeng, sambel Bu Rudy.. Kakak ganteng ke Jakarta kembali," kata Alaric, anak bungsuku..” Tak ada mention ke akun Twitternya Bu Rudi. Namun, beberapa menit kemudian di Twitter saya muncul pesan “@BuRudy: @edhy_aruman jangan lupa.. ta enteni..(saya tunggu, red) “ Yang terjadi di akun saya itu menunjukkan bahwa Bu Rudi – yang akun Twitternya memiliki 1039 – monitor percakapan yang muncul di Twitter dan segera meresponnya.

Selama bertahun-tahun, layanan pelanggan telah sesuatu yang paradoks dalam organisasi. Sejatinya, kata layanan pelanggan sendiri mengilhami sebuah dedikasi untuk membantu orang. Sementara layanan pelanggan sudah menjadi tekad profesional layanan pelanggan di seluruh dunia, tapi di sisi lain layanan pelanggan sebagai item baris dalam akuntansi bisnis telah sering ditempatkan dalam kolom outsourcing tangan organisasi, kualifikasinya di bawah rata-rata. Lihat saja, siapa yang menjadi petugas kebersihan dalam suatu kantor, siapa yang menjadi petugas layan antar, siapa yang bertugas melayani calon pembeli saat mengunjungi pameran, dan sebagainya.

Fenomena lainnya adalah pelayanan dilakukan sendiri dan tanggung jawab seakan di tangan pelanggan secara langsung melalui konsep self-service atau otomatis teknologi. Lihat layanan ticketing di jalamn tol, parkir (kalau Anda misalnya ke Mal Taman Anggrek, Jakarta, perhatikan apakah ada petugas yang menjadi tempat Anda bertanya bila Anda kelupaan lokasi parker atau arah lokasi parker), minimarket dan sebagainya, Tujuan dari semua itu adalah meningkatkan profitabilitas melalui upaya menekan biaya.

Kini di era media sosial, paradigma itu sulit bisa diterima.  Saat ini pengguna Internet di Indonesia mencapai 48 juta orang dan diprediksi pada 2015 akan terjadi lonjakan menjadi 100 juta pengguna. Menurut Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto di Banjarmasin, khusus pengguna Internet wilayah Jakarta ditetapkan sebagai pengguna Internet dan Twitter terbesar di Asia. (http://www.antaranews.com/berita/288895/pengguna-internet-di-indonesia-48-juta),  
Menurut Business Measurement Intelligence, 61% dari pengguna internet tersebut mengaksesnya melalui telepon seluler atau kalau tidak melalui telepon seluler 66% mengaksesnya di kafe. 

Yang lebih mencengangkan lebih dari 86 % pengguna internet tersebut mengakses media social. Tak mengherankan bila Facebook di Indonesia, per Desember 2011 lalu, mencapai hampir 41 juta akun, Twitter mencapai  5,6 juta (per Maret 2011) dengan jumlah twit (pesan Twitter) mencapai hamper 1,3 juta  per hari. Bahkan pada Senin, 23 Januari 2012 12:25-14:25 GMT+7, tercatat 1.536.515 twits.

Rising of Social Customer
Fenomena ini melahirkan segmen pelanggan baru yang disebut dengan pelanggan sosial (social customer). Pelanggan sosial (kadang-kadang disebut pelanggan digital) biasanya adalah anggota jejaring sosial yang berbagi pendapat tentang produk, layanan, dan vendor, melakukan belanja sosial secara online, dan memahami hak mereka dan bagaimana menggunakan kebijaksanaan dan kekuatan komunitas sosial untuk keuntungan mereka.

Pelanggan sosial sering berpartisipasi dan terlibat aktif dalam proses belanja baik sebagai pembeli maupun sebagai influencer. Ini berarti seorang individu bisa dipengaruhi oleh temannya, teman temannya, dan bahkan teman teman temannya. Pedagang harus memahami bagaimana konsumen ini berbeda dari konsumen konvensional dan oleh karena itu menggunakan strategi pemasaran e-commerce yang sesuai serta layanan pelanggan yang hebat.

Sejatinya, segmen pelanggan baru ini bukan dampak langsung dari media social, namun karena perubahan karakter dari pelanggan itu sendiri yang mengubah lansekap bisnis. Sebab, seperti kita ketahui, media social sejatinya dibangun untuk interaksi social, untuk keakraban – khususya melalui percakapan. Namun, karena melihat potensi dan pertumbuhannya yang spektakular, konsumen dan para pebisnis meanfaatkannya untuk aktivitas perusahaan, terutama pemasaran.

Ini sekaligus menandai bahwa era pelanggan pasif telah lewat. Saat ini pelanggan social memiliki banyak amunisi berupa kata-kata dan gambar untuk dikomunikasikan ke orang lain. Pelanggan social yang umumnya hyper-connected, kreatif dan kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran social dan professional melalui telepon, sms, Facebook, Twitter, blog dan forum.

Para pelanggan sosial ini kritis terhadap iklan atau komunikasi yang dibangun oleh merek, lebih bisa dipengaruhi oleh teman, keluarga atau lingkaran social mereka ketimbang oleh perusahaan atau merek. Mereka ingin dan akan berusaha keras memastikan suaranya bahwa suaranya didengar perusahaan atau merek. Yang mereka inginkan adalah perusahaan atau merek menyesuaikan produk-produknya sebagaimana miliknya.  Menurut penelitian InboxQ, pada Mei 2011, konsumen lebih suka menggunakan Twitter untuk menanyakan sesuatu kepada suatu merek dari pada menggunakan telepon misalnya. Mereka juga menggunakan media itu untuk mengkritik atau mengeluhkan baik layanan maupun produk merek.

Seperti diketahui, para pengguna Facebook atau Twitter bukan saja perorangan. Banyak perusahaan atau merek yang memanfaatkan Facebook atau Twitter. Mereka ingin berkomuniasi dengan para pelanggannya atau prospek. Realitasnya, yang terjadi adalah kebanyakan komunikasi satu arah. Oktober 2011 lalu, Socialbakers merilis hasil penelitian mereka tentang interaksi pelanggan di Facebook. Mereka menemukan,  95 persen dari jumlah postingan di wall Facebook merek, tidak dijawab.

Simak pengalaman Anda, pernahkah Anda mendapatkan respon kurang dari 30 menit ketika Anda mengeluhkan sesuatu tentang merek melalui Twitter atau Facebook atau media sosial lainnya? Jangankan yang melalui media sosial, yang dikirim ke alamat email yang disediakan saja jarang mendapat respon kurang dari 30 menit misalnya. Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa diasumsikan, ketika postingan itu tidak dijawab, akan meninggalkan perasaan negatif pada mereka yang memposting pesan tersebut. Bila mereka memiliki pengalaman negatif, kecenderungannya adalah mereka akan menyebar luaskan perasaannya atas pengalamannya itu.

Selama ini media social sering dianggap hanya sebagai saluran komunikasi. Padahal, makna sebenarnya dari social media adalah membuat sesuatu menjadi lebih social. Sepintas, jejaring sosial hanyalah platform bagi seseorang untuk berhubungan dengan teman, keluarga dan teman sebayanya. Bisnis sendiri tidak secara langsung mendapatkan manfaat dari suatu koneksi social tersebut. Akan tetapi mereka bisa mendapatkan keuntungan setelah mereka menyadari bahwa ketika seseorang mengklik “like” di akun Facebook atau mem- “follow” akun Twitter  milik sebuah merek, pada dasarnya bukanlah sekadar komunikasi pemasaran.
Setidaknya ini bisa dibuktikan ketika Juni 2011 silam, ExactTarget mempublikasikan sebuah studi pada pengguna Facebook. 

Hasilnya, menunjukkan perbedaan antara bagaimana merek dan konsumen menafsirkan suatu kesukaan (liking). Sebagai contoh, ketika Anda mendengar kata “fans”, konotasinya adalah kesetiaan, advokasi, dan passion yang ada di pikiran. Tapi, bagi banyak konsumen, mengklik “Likes” bukanlah suatu kegiatan biasa melainkan suatu refleksi dari suatu bentuk dukungan. Dalam beberapa kasus, gesture ini hanyalah langkah untuk mengambil keuntungan dari sebuah kontes, penawaran atau promosi.

Menurut ExactTarget, hanya 42% dari pengguna Facebook aktif melihat orang menyatakan atau mengklik   "Like" sebagai pernyataan kesetiaan atau dukungan mereka. Di sisi lain , 33% tidak setuju dengan interpretasi yang menyamakan “Like” dengan fandom. Sedangkan 25% lainnya ragu-ragu atau tidak cukup yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya. Fandom adalah sebuah istilah yang digunakan untuk penggemar yang mengabdikan bagian dari kehidupan mereka untuk mengikuti atau mengagumi orang tertentu, kelompok, atau tim.

Perusahaan memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk membangun hubungan baik dengan konsumen  mereka. Ketika seseorang memilih untuk memfollow di Twitter atau memilih fans di Facebook, mereka melakukan itu dengan asumsi bahwa dari waktu ke waktu, mereka akan menjadi bagian dari atau mendapatkan pengalaman berharga atau sesuatu yang berharga lainnya, misalnya mendapat keistimewaan dalam pembelian (diskon) dan sebagainya. Setidaknya, mereka merasa ada saluran khusus untuk koplain misalnya. Harapan itu semakin meningkat setiap hari. Setidaknya ketika dia ingin berinteraksi -- termasuk komplain atau menanyakan sesuatu misalnya -- mendapat respon yang cepat.

Studi lain yang dilakukan menemukan bahwa mayoritas perusahaan juga merespon keluhan atau pertanyaan tersebut.  Hanya 29% perusahaan yang memiliki akun di Twitter yang tidak atau jarang meresponnya, sementara hanya 17% perusahaan yang memiliki akun di Facebook melakukan hal yang sama. 


Seperti diketahui, pada dasarnya setiap komunikasi yang dilakukan perusahaan, merek, teman atau bahkan pesaing dengan public, menciptakan harapan. Semakin sering berkomunikasi atau menyampaikan pesan melalui status facebook atau Twitter misalnya, pada dasarnya membangun harapan. Harapan itu makin terbangun ketika sebuah merek atau perusahaan memiliki jumlah follower atau fans yang tinggi karena tidak tertutup kemungkinan pesan yang disampaikan merek atau perusahaan tersebut diteruskan ke mereka yang bukan follower atau fans merek tersebut. Jika harapan tersebut terakumulasi terlalu tinggi, kemungkinan besar konsumen kecewa. Ketika mereka kecewa, mereka tidak akan diam tapi meneruskannya ke orang lain.



Dengan demikian, tahun 2012 ini diskusi tentang media social bukan lagi perdebatan tentang usaha mendapatkan atau memperbanyak fans di Facebook atau follower di Twitter, melainkan bagaimana caranya menemukan cara-cara yang kreatif untuk mempertahankan atau memantain mereka. Juga tak lagi memikirkan tweets yang disampaikan kepada mereka. Yang harus dipikirkan adalah "Bagaimana merek menggunakan Twitter untuk membuat interaksi – layanan pelangan – yang positif secara real time?”

Survei yang dilakukan Market Tools – seperti ditulis eMarketer.com (10/11/2011) – menunjukkan masih terdapat perusahaan yang tidak menyadari bahwa produk atau layanan mereka dibicarakan di media sosial. Grafik di bawah memperlihatkan 22% dari responden yang tidak tahu kalau ada konsumen mereka yang komplain di media sosial. 34% dari mereka mengakui memang ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya percaya bahwa produk atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial.



Dari perspektif layanan pelanggan -- menurut penelitian dari Cone, Inc -- ketika datang ke jaringan media sosial, 46 persen dari pelanggan ingin mendapatkan pemecahan masalah dan hampir 40 persen ingin memberi pengecer umpan balik Selain itu, sekitar empat dari lima pelanggan mencari deal-deal khusus.

Ini mengimplikasikan bahwa selain – bila tetap ingin memperbanyak follower atau fans – perusahaan atau merek harus melakukan pemantauan atas pembicaraan yang berlangsung di dua akun social yang cukup dominan tersebut.  Dengan media sosial, perusahaan bisa memenangi prospek, pelanggan, dan penggemar mereka melalui interaksi di setiap platform. Sebagai titik interasi perusahaan, layanan pelanggan sangat penting bagi sebuah pemasaran media sosial.

Zappos salah satu contoh yang mempraktekkan itu. Zappos adalah sebuah bisnes e-commerce dengan penjualan US$ 1 miliar yang tahun lalu dibeli Amazon. Zappos terkenal dengan layanan pelanggan yang sangat manusiawi. Setiap pegawai Zappos mendedikasikan dirinya pada layanan pelanggan. Pelanggan merasa sangat nyaman karena selalu bisa bicara dengan kru Zappos, dan bukan dengan mesin.

Pada 27 Oktober atau hari pertama the Social Media for Customer Care Summit di New York, mencuat tiga pertanyaan besar dalam pemanfaatan media social untuk social care (layanan sosial) secara efektif. Pertama, bagaimana mengintegrasikan layanan pelanggan dengan fungsi marketing lainnya secara lebih baik (integration). Kedua, bagaimana  sebuah orgnaisasi bisa mengambil upaya dari satu atau dua organisasi lainnya untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan dalam konteks pemanfaatan media social untuk layanan pelanggan (scalling). Ketiga, bagaimana media sosial digunakan untuk mengurangi posting negatif atau krisis yang dialami suatu merek (ciris communication). lBagaimana menurut Anda? 

Jumat, 20 Januari 2012

SEBERAPA GAUL PERGURUAN TINGGI ANDA?


Pada awalnya, marketing ditujukan untuk merekrut calon mahasiswa sebayak-banyaknya. Orientasi itu kini berubah, marketing diorientasikan untuk membangun hubungan dan memberdayakan target market.

Dibandingkan dengan sector lainnya, marketing pendidikan tinggi relative masih awal. Coba Anda search melalui mesin pencari Google, berapa banyak literature tentang yang memberi bobot lebih pada marketing di bidang pendidikan tinggi. Seperti yang dikatakan Gray (1991) dan McMurty (1991) karakteristik target market pemasaran pendidikan tinggi untuk masih-masing perguruan tinggi yang begitu unik, membuat para pengelola perguruan tinggi mengembangkan strategi marketing sendiri sesuai dengan konteks lingkungannya ketimbang mengadopsi strategi dari luar.

Meski diakui bahwa ada kebutuhan dari target market yang universal. Penelitian-penelitian tentang motivasi seseorang memilih perguruan tinggi hampir selalu diorientasikan pada keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup. Kualitas hidup disini bisa dilihat dari perspektif kualitas finansial maupun emosional. Penelitian yang dilakukan Dr. Sharyn Rundle-Thiele dan Nuray Buyucek dari Griffith University menunjukkan, lebih dari 60% memilih mengambil gelar master of marketing karena karir. Implikasinya, perguruan tinggi yang dipilih harus mendukung karir karir tersebut.

Pada realitanya, beberapa basis kajian pemasaran untuk perguruan tinggi mulai berkembang. Pada tahun 1995 misalnya, Foskett mengeksplorasi strategi pemasaran sekolah menengah. Penelitian itu menyimpulkan bahwa sebagian besar praktek pemasaran sekolah-sekolah di Inggris diklaim Foskett sebagai belum lengkap, terbelakang dan dibangun dengan strategi yang kurang fokus. 

Menjelang akhir 1990-an, perdebatan pemasaran pendidikan bergeser ke isu-isu pilihan dan rekrutmen siswa. Dalam konteks itu, Helmsley-Brown (1999) kemudian melakukan studi untuk melihat motif memilih kuliah. Kesimpulannya, meski awalnya siswa memilih “kecenderungan” dan bekerja dalam bingkai referensi sosial dan budaya, pilihan remaja juga bergantung pada informasi yang diberikan perguruan tinggi untuk membenarkan pilihan mereka dan mengumumkan keputusan mereka kepada orang lain. Karena itulah, strategi yang diterapkan saat itu lebih memfokuskan pada komunikasi yang ditujukan untuk menarik siswa masuk ke masing-masing institusi.

Pada tahun 2003, Maringe melakukan penelitian tentang pemasaran lembaga pendidikan tinggi di negara berkembang, menyimpulkan bahwa ide pemasaran masih disalahpahami. Bahkan karena besar kecilnya mahasiswa yang masuk menentukan hidup matinya perguruan tinggi, para pengelola perguruan tinggi, bahkan sampai ke level administrasi tertinggi, melihat pentingnya pemasaran sebagai titik sentral dari semua aspek fungsi perguruan tinggi. Hal ini yang membuat Gibbs (2002; 2007) gelisah sehingga mempertanyakan apakah pemasaran tidak justru yang menyebabkan runtuhnya kredibilitas suatu perguruan tinggi.

Atas dasar itu, ada pemikiran bahwa konsep pemasaran perguruan tinggi hendaknya memberikan sesuatu yang berarti. Untuk itu, seperti yang diajukan Felix Maringe dan Paul Gibbs dalam buku Marketing Higher Education: Theory and Practice menyatakan bahwa aplikasi pemasaran dalam konteks perguruan tinggi hendaknya dibangun atas dasar tiga asumsi.

Pertama, pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan masyarakat. Karena itu, kegagalan dalam memberikan nilai kepada masyarakat berarti mengingkari hak  masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dan berkonstribusi dalam pembangunan. Implikasinya, karena pemasaran merupakan salah satu cara yang dapat memberikan dan menukarkan nilai, maka pendidikan perlu mengadopsi filosofi pemasaran sebagai bagian integral dari pembangunan dan cara mendeliver nilai tersebut.

Kedua, pendidikan tidak boleh dikomoditasikan. Pendidikan tidak seyogyanya dilihat sebagai bagian dari furnitur di toko dengan informasi harga di atasnya. Pendidikan merupakan sebuah proses dan hasil interaksi antara peserta didik, materi pembelajaran, instruktur atau fasilitator pembelajaran, serta berbagai sumber daya yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran. Karena hal tersebut sangat penting, nilai-nilai pendidikan akan lebih efektif bila disampaikan melalui metode yang menggunakan perspektif pemasaran.

Ketiga, pemasaran merupakan sebuah konsep yang tidak sekadar berupa iklan dan promosi. Pemasaran harus dilihat dalam konteks pertukaran dan pengiriman nilai antara yang memberikan jasa pendidikan dan mereka yang berusaha untuk manfaat jasa tersebut. Dengan demikian, pemasaran bukan sekadar dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan tetapi sebagai proses membangun hubungan berdasarkan kepercayaan dan bertujuan memberdayakan klien atau pelanggan pendidikan tinggi.

Sosial media kini telah mengubah baik cara organisasi dan merek, termasuk perguruan tinggi  berinteraksi dengan customer mereka. Media sosial sekarang bisa dianggap sebagai media yang berpengaruh, jika tidak lebih dari pada media konvensional. Implikasinya cukup besar bagi merek. Pengaruhnya telah dirasakan seperti yang terlihat dalam kampanye “Real Beauty” oleh Dove (Deighton, 2008), atau saat terjadi perdebatan antara Greenpeace vs Kit Kat dari Nestle tentang kelapa sawit.

Saat ini, perguruan tinggi mencoba memanfaatkan media social, mulai dari Twitter hingga Facebook untuk mencapai pelanggan yang sudah ada, mendapat keuntungan baru dan membangun atau mempertahankan kredibilitas dan reputasi. Namun demikian, apakah mereka bergabung dengan media social atau tidak, mereka tetap “dirasani” public. Fenomena ini, membuat para pengelola perguruan tinggi semakin menyadari pentingnya untuk mengatakan dan memonitor apa yang dikatakan orang di media social, seberapa sering perguruan tinggi tersebut dibicarakan orang, dibicarakan oleh media tertentu, dan sebagainya.

Grafik di bawah ini mempertunjukkan pembicaraan yang dilakukan public melalui Twitter selama dua pekan teralhir (8-19 Januari 2012). Yang tertinggi adalah tweet tentang Universitas Trisakti, diikuti Universitas Bina Nusantara, dan STIKOM LSPR. Saya sengaja memperbandingkan tiga perguruan tinggi, Universitas Bina Nusantara (Binus), STIKOM LSPR dan Universitas Trisakti karena tahun lalu program studi komunikasi tiga perguruan tinggi tersebut masuk kategori terbaik menurut survey yang dilakukan Majalah MIX. 


Pembicaraan tertinggi tentang Trisakti yang terjadi pada 11 Januari 2012 sejatinya bukan tentang Universitas Trisakti secara langsung melainkan berita tentang seorang mahasiswi Universitas Trisakti menjadi korban angin kencang yang menyebabkan banyak pohon tumbang di Jakarta pada Kamis (5/1). Berita itu berisi laporan kondisi mahasiswi tersebut yang masih koma. Berita ini ditweet dan retweet sebanyak 393 dan di-mention 970 kali.



Untuk pembicaraan tentang Universitas Binus juga bukan soal Universitas Binus secara langsung, melainkan berita tentang sidang lanjutan empat terdakwa pemerkosa dan pembunuh mahasiswi Bina Nusantara (Binus), Livia Pavita Soelistio yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sidang dijaga ketat polisi guna menghindari amukan dari keluarga Livia, Selasa (10/1/2012). Berita ini ditweet dan diretweet sebanyak 129 kali dan di-mention sebanyak 816 kali.

Sementara itu tentang LSPR, pembicaraannya relevan dengan pendidikan. Tweet ini sengaja dilemparkan oleh LSPR bukan oleh sittus berita. Pembicaraannya adalah tentang pembukaan konsentrasi baru di STIKOM LSPR, yakni konsentrasi  "International Relations. Tweep ini diretweet sebanyak 43 kali dan di-mention sebanyak 175 kali.


Pembicaraan melalui media sosial adalah sesuatu yang berharga. Seperti halnya sebuah investasi, apabila pembicaraan itu dikelola dengan baik maka hal itu akan memberikan keuntungan bagi pengelola merek atau perguruan tinggi. Pengelola merek akan memiliki aset yang bisa meningkatkan nilai merek. Karena itu, mengabaikan pembicaraan di media sosial merupakan tindakan yang tidak bijaksana karena hal itu juga And amengabaikan peluang di depan Anda yang bisa menggantikan investasi miliaran rupiah di prmo above the line lainnya. 


2012, ERA BARU PEMASARAN MEDIA SOSIAL



Berbeda dengan situasi 2011 saat banyak perusahaan yang memanfaatkan media social untuk coba-coba, tahun 2012 banyak perusahaan yang makin serius memanfaatkan media social karena menyadari pentingnya media social. Tahun ini, perusahaan berencana meningkatkan anggaran media sosialnya bukan untuk bereksperimen.


Oktober 2011 lalu, dalam Pivot Conference tahunan, sebuah survei menemukan, 37,1%  pemasar mengatakan perusahaannya tidak bereksperimen lagi dengan pemasaran media sosial pada tahun 2012. Banyak faktor yang mendrive mereka untuk lebih memanfaatkan  pemasaran media sosial. Sekitar 68,5% diantaranya mengatakan karena peningkatan pemahaman tentang manfaat dari media social.  Selain itu, 60,9% mengatakan telah memiliki strategi media sosial yang jelas, 54,3% menunjuk hasil jelas, dan 51,1% menyebutkan karena metrik yang digunakan benar-benar bermanfaat.


Pada 2010, banyak perusahaan yang menyisihkan anggaran untuk kegiatan media social. Kedengarannya hebat, namun banyak diantara perusahaan tersebut meningkatkan anggarannya bukan karena berhasil, melainkan karena mengandalkan insting bahwa "media social adalah sesuatu yang penting. Jadi saya harus melakukannya.” Lebih buruk lagi, mereka meningkatkan anggarannya karena melihat pesaing mereka mendapatkan penghargaan atas aktivitasnya di media social. Inidikasi ini dapat dilihat dari kecilnya integrasi media social ke dalam aktivitas pemasaran mereka.    




Saat ini media sosial menjadi porsi terbesar bagi konsumen menghabiskan waktunya secara online. Bagi pemasar media social seakan memberikan ruang yang tepat untuk mempromosikan produk ke konsumen. Pada infografik  MDG Advertising ini ditunjukkan mengenai pola pemasaran yang memanfatkan media sosial. Jejaring sosial/ blog menempati urutan tertinggi (22,5%), disusul online game (9,8%), e-mail (7,6%), video/film (4,5%), mesin pencari (4%), instant messaging (3,3%), software (3,2%), iklan baris (2,9%), acara/berita (2,6%), dan media lainnya (35,1%). Sementara itu, bujet iklan di media sosial selama 12 bulan mendatang diperkirakan akan meningkat dari  7,1 persen menjadi 10,1 persen.



Hari ini, Twitter merupakan sumber informasi tentang berbagai macam peristiwa dan update, bahkan pemantauan diri sendiri oleh jutaan pengguna di seluruh dunia. Twitter juga menjadi tools untuk bereaksi terhadap peristiwa yang terungkap di media secara real time. Fenomena ini membuat Twitter makin powerful dan hanya masalah waktu sebelum beralih ke komunitas riset sebagai sumber informasi social, pemasaran komersial, dan politik yang kaya.


Fenomena media social juga melahirkan selebriti baru di luar jalur konvensional seperti yang terjadi pada lima atau sepuluh tahun lalu. Banyak orang tiba-tiba menjadi terkenal dan sukses karena media sosial. Mereka kini menjadi brand ambassador yang dengan segala kreativitasnya berhasil berimprovisasi mengemas pesan-pesan menjadi sangat menarik dan interaktif sesuai dengan target market brand yang prinsipalnya.


Salah satunya adalah Ayu Ting Ting. Pada Oktober 2011 lalu, dalam percakapan di Twitter kata kunci ayu ting sangat sering muncul. Saat itu twip mempercakapkan penyanyi dangdut pendatang baru Ayu Ting Ting, yang tengah melejit dengan lagunya Alamat Palsu. Ayu Ting Ting adalah penyanyi asal Depok kelahiran 20 Juni 1992. Memulai karirnya sebagai model, Ayu akhirnya merambah dunia musik sebagai penyanyi dangdut. Lagu Alamat Palsu popularitasnya bisa menyaingi lau-lagu boyband yang sedang melangit. 



Kini Ayu Ting Ting membintangi banyak iklan mulai dari Sarimi, Xl hingga Samsung. Untuk yang terakhir, nilai kontrak artis yang sedang melejit lewat lagu "Alamat Palsu" ini cukup mahal, kabarnya mencapai Rp 640 juta untuk masa 6 bulan.

Implikasinya adalah perusahaan semakin ketat memantau dan menjaga bagaimana caranya supaya pesan yang disampaikan oleh para ambassador tersebut sesuai dengan positioning merek. “Setiap endorser pasti memiliki gaya komunikasinya masing- masing. Oleh karena itu, kami hanya memberikan simple brief & guidelines tentang pesan dan produk, namun penyampaiannya kami serahkan ke pihak endorser untuk menggunakan bahasanya sendiri,” kata Yuna Eka Kristina, PR Manager Orang Tua Grup.


Sebagai penyampai pesan, perusahaan sangat memperhatikan karakter ambassadornya. “Biasanya kita lihat -- karena kita sudah beberapa kali memakai endorser itu – apakah pesan twitternya sering di retweet. Selain itu disesuaikan dengan message apa yang ingin kita deliver.  Kalau kita ingin mendeliver message yang tidak terlalu serius, kita pakai ambassador yang seperti Pocong. Tapi kalau sesuatu yang sangat serius, berhubungan dengan, misalnya waktu kemarin breaktrough technology,  harus menggunakan seseorang yang kredible,” kata Mona Madjid, Senior Brand Manager CLEAR.


Yang juga menarik, cara mereka mengundang pembicaraan di luar pakem yang ada selama ini. Simak bagaimana XL mislanya membangun percakapan di kalangan pengguna dan non-penggunanya.  Dengan modal 70 ribu follower di Twitter dan 700 ribu fans di page Facebook (per minggu I Desember 2011), XL rajin melempar isu yang memancing perdebatan di jagat maya. Tujuannya cuma satu, melalui isu yang berpotensi menimbulkan pro-kontra itu diharapkan dapat tercipta percakapan yang intense.


Dalam berkampanye, XL berhasil mengintegrasikan peran media social ke dalam komunikasi pemasaran tradisional.  Ambil contoh iklan versi “Oji Goyang Gayung”. Sebelum wara-wiri di layar kaca, XL lebih dulu melempar video teaser-nya via media digital, antara lain lewat Youtube. Pada pre-campaign tersebut, sama sekali tidak disebutkan brand XL-nya. Begitu tercipta buzz dan pengunjungnya membludak hingga 50 ribuan orang yang meng-hit, barulah iklan tersebut diluncurkan melalui TV.


Tahun 2012, lansekap komunikasi pemasaran diwarnai dengan makin membludaknya data dan makin cerdasnya konsumen. Facebook, Twitter, Google telah membawa banyak orang ke dalam dunia percakapan online. Mereka seakan tanpa hambatan menciptakan konten online. Namun di bagian lain, makin banyaknya saluran komuniaksi tersebut makin menciptakan kebutuhan konten yang lebih besar. Ini karena yang terjadi sekarang, jutaan orang sekarang online yang aktif tidak, sebab bagaimana pun sebagian besar dari mereka bukanlah produsen konten. Mereka unumnya berperan sebagai sharers dan kurator.


Ke depan, media sosial akan menjadi bagian integral dari tools dalam konteks bauran pemasaran. Konsekuensinya, media sosial tidak akan menjadi kegiatan terpisah. Sama seperti search engine optimalization (SEO) atau pemasaran email, media sosial akan hanya salah satu alat di dalam kotak yang meski peranannya menonjol namun tetap saja bagian dari kotak tersebut.


Strategi media sosial akan bekerja lebih lancar ketika tidak ada satu departemen pun yang memiliki control. Ini kemungkinan dikarenakan sebelum perusahaan memanfaatkan media social, karyawan Anda sudah sekian bulan bahkan tahun menggunakannya. Mereka telah berinteraksi dengan pelanggan secara informal. Mereka tak hanya meyebarkan hal yang positif bahkan yang negatif sekalipun.


Positifnya, untuk kelancaran pekerjaan, sebelum perusahaan memberlakukan kebijakan pemanfaatan media social, karyawan telah memanfaatkannya untuk kelancaran pekerjaannya. Dengan kata lain, sudah waktunya strategi internet dan media social Anda dikelola oleh orang yang memenuhi syarat – dan sudah pasti salah satu yang terbaik – dan mempunyai akses pelaporan langsung kepada manajemen senior dan bekerja dengan semua pimpinan departemen sebagai rekan yang setara.