Tren terbesar saat ini di mobile
web, media sosial, dan real-time menghasilkan lanskap konsumen baru. Saat ini
lahir segmen pelanggan baru yang disebut social customer (pelanggan social).
Pada 15
Desember 2011 lalu, saya mengupdate status Facebook dan tweep saya dengan
mengatakan “Otak-otak bandeng, sambel Bu Rudy.. Kakak ganteng ke Jakarta
kembali," kata Alaric, anak bungsuku..” Tak ada mention ke akun Twitternya
Bu Rudi. Namun, beberapa menit kemudian di Twitter saya muncul pesan “@BuRudy:
@edhy_aruman jangan lupa.. ta enteni..(saya
tunggu, red) “ Yang terjadi di akun saya itu menunjukkan bahwa Bu Rudi – yang
akun Twitternya memiliki 1039 – monitor percakapan yang muncul di Twitter dan
segera meresponnya.
Selama
bertahun-tahun, layanan pelanggan telah sesuatu yang paradoks dalam organisasi.
Sejatinya, kata layanan pelanggan sendiri mengilhami sebuah dedikasi untuk
membantu orang. Sementara layanan pelanggan sudah menjadi tekad profesional
layanan pelanggan di seluruh dunia, tapi di sisi lain layanan pelanggan sebagai
item baris dalam akuntansi bisnis telah sering ditempatkan dalam kolom
outsourcing tangan organisasi, kualifikasinya di bawah rata-rata. Lihat saja,
siapa yang menjadi petugas kebersihan dalam suatu kantor, siapa yang menjadi
petugas layan antar, siapa yang bertugas melayani calon pembeli saat
mengunjungi pameran, dan sebagainya.
Fenomena
lainnya adalah pelayanan dilakukan sendiri dan tanggung jawab seakan di tangan
pelanggan secara langsung melalui konsep self-service atau otomatis teknologi.
Lihat layanan ticketing di jalamn tol, parkir (kalau Anda misalnya ke Mal Taman
Anggrek, Jakarta, perhatikan apakah ada petugas yang menjadi tempat Anda
bertanya bila Anda kelupaan lokasi parker atau arah lokasi parker), minimarket
dan sebagainya, Tujuan dari semua itu adalah meningkatkan profitabilitas
melalui upaya menekan biaya.
Kini di
era media sosial, paradigma itu sulit bisa diterima. Saat ini pengguna Internet di Indonesia
mencapai 48 juta orang dan diprediksi pada 2015 akan terjadi lonjakan menjadi
100 juta pengguna. Menurut Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Media Massa
Kementerian Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto di Banjarmasin, khusus
pengguna Internet wilayah Jakarta ditetapkan sebagai pengguna Internet dan
Twitter terbesar di Asia. (http://www.antaranews.com/berita/288895/pengguna-internet-di-indonesia-48-juta),
Menurut
Business Measurement Intelligence, 61% dari pengguna internet tersebut
mengaksesnya melalui telepon seluler atau kalau tidak melalui telepon seluler
66% mengaksesnya di kafe.
Yang lebih mencengangkan lebih dari 86 % pengguna
internet tersebut mengakses media social. Tak mengherankan bila Facebook di
Indonesia, per Desember 2011 lalu, mencapai hampir 41 juta akun, Twitter
mencapai 5,6 juta (per Maret 2011)
dengan jumlah twit (pesan Twitter) mencapai hamper 1,3 juta per hari. Bahkan pada Senin, 23 Januari 2012
12:25-14:25 GMT+7, tercatat 1.536.515 twits.
Rising of Social Customer
Fenomena
ini melahirkan segmen pelanggan baru yang disebut dengan pelanggan sosial
(social customer). Pelanggan sosial (kadang-kadang disebut pelanggan digital) biasanya adalah anggota jejaring sosial yang berbagi pendapat tentang produk, layanan, dan vendor, melakukan belanja sosial secara online, dan memahami hak mereka dan bagaimana menggunakan kebijaksanaan dan kekuatan komunitas sosial untuk keuntungan mereka.
Pelanggan sosial sering berpartisipasi dan terlibat aktif dalam proses belanja baik sebagai pembeli maupun sebagai influencer. Ini berarti seorang individu bisa dipengaruhi oleh temannya, teman temannya, dan bahkan teman teman temannya. Pedagang harus memahami bagaimana konsumen ini berbeda dari konsumen konvensional dan oleh karena itu menggunakan strategi pemasaran e-commerce yang sesuai serta layanan pelanggan yang hebat.
Sejatinya, segmen pelanggan baru ini bukan dampak langsung
dari media social, namun karena perubahan karakter dari pelanggan itu sendiri
yang mengubah lansekap bisnis. Sebab, seperti kita ketahui, media social
sejatinya dibangun untuk interaksi social, untuk keakraban – khususya melalui
percakapan. Namun, karena melihat potensi dan pertumbuhannya yang spektakular,
konsumen dan para pebisnis meanfaatkannya untuk aktivitas perusahaan, terutama
pemasaran.
Ini
sekaligus menandai bahwa era pelanggan pasif telah lewat. Saat ini pelanggan
social memiliki banyak amunisi berupa kata-kata dan gambar untuk dikomunikasikan
ke orang lain. Pelanggan social yang umumnya hyper-connected, kreatif dan
kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran social dan professional melalui
telepon, sms, Facebook, Twitter, blog dan forum.
Para
pelanggan sosial ini kritis terhadap iklan atau komunikasi yang dibangun oleh
merek, lebih bisa dipengaruhi oleh teman, keluarga atau lingkaran social mereka
ketimbang oleh perusahaan atau merek. Mereka ingin dan akan berusaha keras memastikan
suaranya bahwa suaranya didengar perusahaan atau merek. Yang mereka inginkan
adalah perusahaan atau merek menyesuaikan produk-produknya sebagaimana
miliknya. Menurut penelitian InboxQ,
pada Mei 2011, konsumen lebih suka menggunakan Twitter untuk menanyakan sesuatu
kepada suatu merek dari pada menggunakan telepon misalnya. Mereka juga
menggunakan media itu untuk mengkritik atau mengeluhkan baik layanan maupun
produk merek.
Seperti
diketahui, para pengguna Facebook atau Twitter bukan saja perorangan. Banyak
perusahaan atau merek yang memanfaatkan Facebook atau Twitter. Mereka ingin
berkomuniasi dengan para pelanggannya atau prospek. Realitasnya, yang terjadi adalah
kebanyakan komunikasi satu arah. Oktober 2011 lalu, Socialbakers merilis hasil
penelitian mereka tentang interaksi pelanggan di Facebook. Mereka menemukan, 95 persen dari jumlah postingan di wall
Facebook merek, tidak dijawab.
Simak
pengalaman Anda, pernahkah Anda mendapatkan respon kurang dari 30 menit ketika
Anda mengeluhkan sesuatu tentang merek melalui Twitter atau Facebook atau media
sosial lainnya? Jangankan yang melalui media sosial, yang dikirim ke alamat
email yang disediakan saja jarang mendapat respon kurang dari 30 menit
misalnya. Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa diasumsikan, ketika postingan itu
tidak dijawab, akan meninggalkan perasaan negatif pada mereka yang memposting
pesan tersebut. Bila mereka memiliki pengalaman negatif, kecenderungannya
adalah mereka akan menyebar luaskan perasaannya atas pengalamannya itu.
Selama
ini media social sering dianggap hanya sebagai saluran komunikasi. Padahal,
makna sebenarnya dari social media adalah membuat sesuatu menjadi lebih social.
Sepintas, jejaring sosial hanyalah platform bagi seseorang untuk berhubungan
dengan teman, keluarga dan teman sebayanya. Bisnis sendiri tidak secara
langsung mendapatkan manfaat dari suatu koneksi social tersebut. Akan tetapi
mereka bisa mendapatkan keuntungan setelah mereka menyadari bahwa ketika
seseorang mengklik “like” di akun Facebook atau mem- “follow” akun Twitter milik sebuah merek, pada dasarnya bukanlah
sekadar komunikasi pemasaran.
Setidaknya
ini bisa dibuktikan ketika Juni 2011 silam, ExactTarget mempublikasikan sebuah
studi pada pengguna Facebook.
Hasilnya, menunjukkan perbedaan antara bagaimana
merek dan konsumen menafsirkan suatu kesukaan (liking). Sebagai contoh, ketika
Anda mendengar kata “fans”, konotasinya adalah kesetiaan, advokasi, dan passion
yang ada di pikiran. Tapi, bagi banyak konsumen, mengklik “Likes” bukanlah
suatu kegiatan biasa melainkan suatu refleksi dari suatu bentuk dukungan. Dalam
beberapa kasus, gesture ini hanyalah langkah untuk mengambil keuntungan dari
sebuah kontes, penawaran atau promosi.
Menurut
ExactTarget, hanya 42% dari pengguna Facebook aktif melihat orang menyatakan
atau mengklik "Like" sebagai
pernyataan kesetiaan atau dukungan mereka. Di sisi lain , 33% tidak setuju
dengan interpretasi yang menyamakan “Like” dengan fandom. Sedangkan 25% lainnya
ragu-ragu atau tidak cukup yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya. Fandom
adalah sebuah istilah yang digunakan untuk penggemar yang mengabdikan bagian
dari kehidupan mereka untuk mengikuti atau mengagumi orang tertentu, kelompok,
atau tim.
Perusahaan
memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk membangun hubungan baik dengan
konsumen mereka. Ketika seseorang
memilih untuk memfollow di Twitter atau memilih fans di Facebook, mereka
melakukan itu dengan asumsi bahwa dari waktu ke waktu, mereka akan menjadi
bagian dari atau mendapatkan pengalaman berharga atau sesuatu yang berharga
lainnya, misalnya mendapat keistimewaan dalam pembelian (diskon) dan
sebagainya. Setidaknya, mereka merasa ada saluran khusus untuk koplain
misalnya. Harapan itu semakin meningkat setiap hari. Setidaknya ketika dia
ingin berinteraksi -- termasuk komplain atau menanyakan sesuatu misalnya --
mendapat respon yang cepat.
Studi
lain yang dilakukan menemukan bahwa mayoritas perusahaan juga merespon keluhan
atau pertanyaan tersebut. Hanya 29%
perusahaan yang memiliki akun di Twitter yang tidak atau jarang meresponnya,
sementara hanya 17% perusahaan yang memiliki akun di Facebook melakukan hal
yang sama.
Seperti
diketahui, pada dasarnya setiap komunikasi yang dilakukan perusahaan, merek,
teman atau bahkan pesaing dengan public, menciptakan harapan. Semakin sering
berkomunikasi atau menyampaikan pesan melalui status facebook atau Twitter
misalnya, pada dasarnya membangun harapan. Harapan itu makin terbangun ketika
sebuah merek atau perusahaan memiliki jumlah follower atau fans yang tinggi
karena tidak tertutup kemungkinan pesan yang disampaikan merek atau perusahaan
tersebut diteruskan ke mereka yang bukan follower atau fans merek tersebut.
Jika harapan tersebut terakumulasi terlalu tinggi, kemungkinan besar konsumen
kecewa. Ketika mereka kecewa, mereka tidak akan diam tapi meneruskannya ke
orang lain.
Dengan
demikian, tahun 2012 ini diskusi tentang media social bukan lagi perdebatan
tentang usaha mendapatkan atau memperbanyak fans di Facebook atau follower di
Twitter, melainkan bagaimana caranya menemukan cara-cara yang kreatif untuk
mempertahankan atau memantain mereka. Juga tak lagi memikirkan tweets yang
disampaikan kepada mereka. Yang harus dipikirkan adalah "Bagaimana merek
menggunakan Twitter untuk membuat interaksi – layanan pelangan – yang positif
secara real time?”
Survei
yang dilakukan Market Tools – seperti ditulis eMarketer.com (10/11/2011) – menunjukkan
masih terdapat perusahaan yang tidak menyadari bahwa produk atau layanan mereka
dibicarakan di media sosial. Grafik di bawah memperlihatkan 22% dari responden
yang tidak tahu kalau ada konsumen mereka yang komplain di media sosial. 34%
dari mereka mengakui memang ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya
percaya bahwa produk atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial.
Dari
perspektif layanan pelanggan -- menurut penelitian dari Cone, Inc -- ketika
datang ke jaringan media sosial, 46 persen dari pelanggan ingin mendapatkan
pemecahan masalah dan hampir 40 persen ingin memberi pengecer umpan balik
Selain itu, sekitar empat dari lima pelanggan mencari deal-deal khusus.
Ini mengimplikasikan
bahwa selain – bila tetap ingin memperbanyak follower atau fans – perusahaan
atau merek harus melakukan pemantauan atas pembicaraan yang berlangsung di dua
akun social yang cukup dominan tersebut. Dengan media sosial, perusahaan bisa memenangi
prospek, pelanggan, dan penggemar mereka melalui interaksi di setiap platform.
Sebagai titik interasi perusahaan, layanan pelanggan sangat penting bagi sebuah
pemasaran media sosial.
Zappos
salah satu contoh yang mempraktekkan itu. Zappos adalah sebuah bisnes
e-commerce dengan penjualan US$ 1 miliar yang tahun lalu dibeli Amazon. Zappos
terkenal dengan layanan pelanggan yang sangat manusiawi. Setiap pegawai Zappos
mendedikasikan dirinya pada layanan pelanggan. Pelanggan merasa sangat nyaman
karena selalu bisa bicara dengan kru Zappos, dan bukan dengan mesin.
Pada 27
Oktober atau hari pertama the Social Media for Customer Care Summit di New York,
mencuat tiga pertanyaan besar dalam pemanfaatan media social untuk social care
(layanan sosial) secara efektif. Pertama, bagaimana mengintegrasikan layanan
pelanggan dengan fungsi marketing lainnya secara lebih baik (integration).
Kedua, bagaimana sebuah orgnaisasi bisa
mengambil upaya dari satu atau dua organisasi lainnya untuk memperbaiki
kesalahan yang pernah dilakukan dalam konteks pemanfaatan media social untuk
layanan pelanggan (scalling). Ketiga, bagaimana media sosial digunakan untuk
mengurangi posting negatif atau krisis yang dialami suatu merek (ciris
communication). lBagaimana menurut Anda?