Kamis, 28 Februari 2019

Tampil Otentik




"Pemimpin hebat adalah pendongeng yang hebat," kata psikolog Universitas Harvard Howard Gardner. Kenapa mendongeng atau bercerita? Ada fenomena menarik yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan. Orang tidak tertarik pada Anda, perusahaan Anda, atau produk Anda. Perusahaan atau organisasi lalu berusaha mengatasi itu dengan membangun komunikasi.

Komunikasi pada dasarnya adalah untuk membangun kesepahaman. Namun, apa jadinya bila audience menerima pesan Anda dengan skeptik, bahkan curiga. Mereka mempertanyakan motif. Mereka berusaha mengkonter dan mendebat apa yang Anda sampaikan. Dalam konteks kekacauan media seperti sekarang, fenomena itu tidak jarang terjadi.

Beberapa teori mengatakan bahwa mengkomunikasikan visi, nilai, dan strategi merek organisasi adalah cara untuk menciptakan koneksi dengan pelanggan dan menginspirasi dan membimbing karyawan. Ini semua hampir tidak mungkin dilakukan bila tanpa didukung oleh serangkaian fakta.

14 September 2001, Presiden Bush mengunjungi lokasi tragedi 9/11. Dia merangsek diantara kerumunan pekerja penyelamat yang masih berharap menemukan mayat beberapa dari hampir tiga ribu orang yang tewas ketika menara World Trade Center itu runtuh tiga hari sebelumnya.

Dia memanjati puing-puing, berdiri berkacak pinggang di atas puing-puing, berbicara dengan para pekerja, lalu dia merangkul bahu petugas pemadam kebakaran yang mengenakan helm putih, mengatakan beberapa kata harapan. 

Seseorang memberi presiden sebuah pengeras suara. Dia berdiri di atas potongan-potongan reruntuhan puing menara yang jatuh dan berbicara singkat kepada orang banyak. Apa yang dia katakan adalah sepenuh hati tetapi orang sering tidak mengingatnya. 

Yang sulit dilupakan orang adalah moment sang presiden berdiri di reruntuhan, lengannya di sekitar seorang petugas pemadam kebakaran, berbicara kepada orang banyak dengan tenang, tekad yang kuat. Moment itu diabadikan media.

Moment itu direduksi menjadi satu bingkai video dan diletakkan di halaman depan seratus surat kabar adalah ceritanya. Realitas itu, menurut Maxwell dan Dickman (2007), bagian dari elemen-elemen otentisitas argumen bahwa dia bagian dari mereka, bagian dari musibah, tragedi, dan bagian dari korban. Ini tentu saja membangun citra tentang kepedulian dan kepemimpinan.

Persuasi butuh fakta (realita?). Dalam konteks Bush, fakta yang ditampilkan adalah bahwa World Trade Center dihancurkan oleh serangan teroris. Ini disampaikan dengan jelas di setiap sudut kamera yang kemudian disebarkan tersebar secara luas, jadi berita dan pembicaraan orang di segala lapis sosial , termasuk orang awam.

Dengan merangkul petugas pemadam kebakaran, presiden telah membungkus fakta itu dalam campuran emosi yang sederhana namun sangat kuat — belas kasihan, penghormatan terhadap pengorbanan mereka yang tewas demi bantuan orang lain, tekad yang jelas bahwa pengorbanan ini tidak akan sia-sia.

Di belakang citra ini adalah saat ketika bangsa keluar dari rasa kaget kolektifnya dan memutuskan untuk melakukan sesuatu. Bagaimanapun gambar yang dilihat public yang merupakan hasil reduksi dari tindakan, lebih gampang ditangkap audience ketmbang kata-kata. Gambar lebih bermakna. Ketika itulah semuanya berubah.

Ketika bergerak melalui abad ke-21, seseorang, organisasi atau perusahaan perusahaan perlu menemukan tujuan moral mereka — sesuatu yang hidup dalam jiwa bisnis mereka, yang dapat diterjemahkan ke dalam bentuk kebaikan yang bermanfaat, baik bagi keuntungan perusahaan maupun bagi umat manusia. Keuntungan memenuhi tujuan itulah sebagai panggilan hati.

Saat ini, aturan keterlibatan (rules of engagement) bisnis berubah lagi. Sekarang, seseorang atau perusahaan tidak cukup hanya memiliki gagasan yang inovatif, layanan yang mendapat bintang, dan neraca yang kuat. Untuk mendapatkan value jangka panjang dan menangkap keterlibatan pemangku kepentingan yang sejati, seseorang atau perusahaan harus merangkul dan menunjukkan bahwa ia mempunyai tujuan yang lebih tinggi.

Sekarang seseorang atau perusahaan harus memiliki sesuatu yang intrinsik dalam DNA mereka untuk mengatasi masalah sosial yang mendesak seperti perubahan iklim, kelaparan, meningkatkan pendidikan atau peduli dan perawatan kesehatan. Perilaku otentik adalah produk sampingan dari semua kegiatan atau operasi tersebut dengan tujuan yang lebih tinggi.

Referensi
Maxwell R, Dickman R. 2007. The Elements of Persuasion: Use Storytelling to Pitch Better, Sell Faster & Win More Business. USA: Harper Business

Jumat, 22 Februari 2019

Mencatat dan Menceritakan Kebaikan Orang Lain Dalam Bisnis


Nordstrom, Inc. adalah pengecer mode terkemuka yang berbasis di AS. Layanan pelanggan perusahaan yang didirikan pada tahun 1901 itu mendapat banyak apresisasi dari berbagai kalangan. Banyak buku-buku manajemen umum atau pemasaran yang menuliskannya.

Saat ini perusahaan yang awalnya dikenal sebagai gerai sepatu di Seattle, ini mengoperasikan 380 toko di 40 negara bagian, termasuk 122 gerai di Amerika Serikat, Kanada, dan Puerto Rico; 244 toko Nordstrom Rack dan banyak ritel lainnya, termasuk layanan online melalui Nordstrom.com, Nordstromrack.com, HauteLook dan TrunkClub.com.

Salah satu kunci keberhasilan Nordstrom adalah image atau kesan positif yang melekat pada perusahaan itu. Lalu bagaimana Nordstrom bisa membangun image sebagai perusahaan yang memiliki layanan yang menjadi pembicaraan banyak orang? Lihat juga Bagaimana Mendorong Karyawan Agar Bisa Jadi BrandAmbassador?

Di internal Nordstrom ada tradisi untuk menyebarkan nilai-nilai dan hal-hal yang menjadi keutamaan Nordstrom ke lingkungan sekitar perusahaan. Salah satunya nilai yang ditanamkan pada karyawannya adalah memberikan layanan yang lebih tinggi dari ekspektasi pelanggan.

Di sisi lain, karyawan yang menyaksikan seorang kolega memberikan layanan pelanggan didorong untuk menulis deskripsi tentang apa yang mereka lihat dan menyerahkannya kepada manajer mereka. Pelanggannya juga didorong untuk bercerita. Cerita-cerita itu berfokus tentang kepahlawanan koleganya yang bisa jadi tindakannya itu sangat sederhana. 

Mencatat dan menceritakan heroism pada dasarnya juga berfungsi sebagai pengingat kesiapan karyawan dan ssstem di semua tingkatan layanan yang harus menjadi cita-cita atau menjadi standar kerja semua karyawan. Heroisme juga merepresentasikan idealisme yang ada dalam diri seseorang untuk meneruskan nilai-nilai budaya perusahaan (perusahaan mana pun).

Efek kumulatif dari penguatan berkelanjutan di Nordstrom ini adalah pekerja di lini depan segera melihat bahwa orang-orang yang menjalankan perusahaan mereka memilih, menghormati, dan menghargai tindakan layanan pelanggan yang luar biasa.

Para pekerja itu dengan cepat belajar bahwa salah satu cara untuk bisa maju dalam perusahaan adalah dengan memberikan layanan pelanggan yang hebat.  "Jika Anda melihat contoh yang bagus, Anda akan meniru itu," kata Len Kuntz, wakil presiden eksekutif wilayah Washington dan Alaska.

Banyak contoh heroik yang hebat dan dipertontonkan Nordstrom. Misalnya, ada kisah tentang seorang pelanggan yang jatuh cinta pada celana panjang Donna Karan yang baru saja dijual di toko Nordstrom di pusat kota Seattle.

Namun, apa dikata, di toko tidak tersedia ukuran yang sesuai ukuran tubuhnya, dan tenaga penjual tidak dapat melacak apakah celana dengan ukuran yang sesuai dengan pelanggannya itu tersedia atau tidak di lima toko Nordstrom lainnya di wilayah Seattle.

Sadar bahwa celana panjang yang sama tersedia di seberang jalan Nordstrom atau di toko pesaing, berbekal dengan uang yang disediakan manajer departemennya, wiraniaga tadi berbaris di seberang jalan ke pengecer yang bersaing.

Di gerai pesaing itu dia membeli celana panjang sesuai dengan yang dibutuhkan pelanggannya (dengan harga penuh), kembali ke Nordstrom dan kemudian menjualnya kepada pelanggan dengan harga Nordstrom yang sudah ditentukan.

Nordstrom tidak menghasilkan uang dari penjualan itu. Tetapi itu adalah investasi dalam mempromosikan kesetiaan pelanggan yang memang patut dihargai. Wiraniaga tadi tidak berpikir tantng keuntungan jangkapendek, melainkan berpikir tentang pembelian atau belanja berikutnya. Dia memikirkan agar pelanggan tadi tetap belanja di Nordstrom.

Seorang pria di bagian penjualan sebuah perusahaan pemasok produk-produk ilmiah menulis kepada manajer toko Nordstrom di Old Orchard Shopping Center di Skokie, Illinois. Dia menceritakan pengalaman layanan pelanggan yang hebat yang ingin dia bagikan.

Pria itu memiliki ukuran yang tidak biasa, 61⁄2 EE, dan dia kesulitan menemukan sepasang sepatuyang diimpikan di pusat kota Chicago, tempat dia tinggal. Di toko sepatu khusus di pusat kota dekat rumahnya, seorang penjual dengan senang hati menjual sepasang Florsheim seharga $ 97 dan meyakinkan pelanggan bahwa sepatu itu ukurannya tepat. Pelanggan telah mencobanya dengan tergesa-gesa dan membelinya.

Tetapi ketika dia memakainya pada hari berikutnya, dia segera merasakan bahwa mereka merasa tidak benar-benar nyaman. Ternyata, ukuran sebenarnya dari sepatu itu adalah 7!

"Saya mengembalikannya dan memberi tahu toko tentang kesalahan itu. Saya bertanya apakah saya bisa mendapatkan sepatu dengan ukuran yang saya butuhkan? " kenang pelanggan itu. Petugas penjualan mengatakan mereka tidak bisa memenuhi ukuran yang pelanggan itu butuhkan saat itu juga karena tidak tersedia. Dia mengatakan harus pesan secara khusus dengan biaya tambahan.

“Saya bilang saya tidak punya waktu untuk menunggu dan ingin mengembalikannya untuk pengembalian uang pada kartu kredit saya. Manajer toko menolak pengembalian uang dan sebaliknya menawarkan membeli produk lain di toko itu untuk mengganti sepatu yang nomornya salah itu. Saya menolak. Apa yang saya lakukan, membeli kaus kaki seharga $ 97? Saya pergi pun dengan marah. "

Setelah dua hari berkeliling di toko-toko sepatu yang tak terhitung jumlahnya, lelaki itu sadar bahwa tidak ada satu tokopun pun di kota Chicago yang menjual sepatu sesuai dengan ukuran tubuhnya. Jika mereka bersedia menyediakan sepatu itu, perlu dua minggu untuk memesan sepatu secara khusus.

Akhirnya, seorang teman memberi tahu dia tentang departemen sepatu Nordstrom yang luas. Dia lalu pergi ke Skokie di pinggiran kota, tempat salesman Rich Komie menunggunya. Komie mengukur kaki pria itu dan kembali dari ruang stok dengan enam pasang warna hitam yang sangat pas, dan sepenuhnya menjelaskan manfaat dari masing-masing tipe.

“Saya sangat gembira !,” tulis pelanggan itu, yang memberi tahu Rich Komie tentang perlakuan buruk yang diterimanya di toko pesaing di Chicago. Ketika dia mendengar cerita itu, Komie tidak hanya bersimpati dengan pelanggan, dia juga menelepon toko pesaing dan meminta mereka untuk mengembalikan uang pelanggan.

Bayangkan mendapat telepon dari Nordstrom yang bertanya tentang layanan pelanggan Anda? Apa lagi yang bisa dilakukan oleh penjual dari toko lain itu kecuali mengembalikan secara penuh uang itu kepada pelanggan? Pelanggan akhirnya membeli dua pasang sepatu hari itu dari Rich Komie dan Nordstrom.

"Saya tidak pernah memiliki pengalaman yang lebih menyenangkan membeli sepatu dalam hidup saya," pelanggan itu menyimpulkan dalam suratnya kepada Nordstrom. "Rich bahkan menghubungkan saya dengan penjahit Nordstrom untuk jas yang membutuhkan beberapa penyesuaian! Itu tidak berakhir di sana, Rich bahkan mengirim saya kartu ucapan terima kasih! ”

Nordstrom tidak pernah menjalankan iklan yang menjelaskan layanan pelanggannya. Nordstrom tidak pernah mengeluarkan siaran pers tentang tindakan hebat layanan pelanggan yang dilakukan oleh salah satu karyawan mereka. Segala sesuatu yang didengar atau dibaca orang tentang layanan pelanggan Nordstrom dilakukan dan berasal dari cerita dari mulut ke mulut. Dan beberapa heroik terbaik tidak ada hubungannya dengan melakukan penjualan.

Salah satu favorit adalah kisah pelanggan yang berhenti berbelanja di menit terakhir di toko Nordstrom di pusat kota sebelum menuju ke Bandara Internasional Seattle-Tacoma untuk mengejar penerbangan. Setelah pelanggan meninggalkan toko, tenaga penjual Nordstromnya menemukan tiket pesawat pelanggan di konter.

Sang pramuniaga menelepon perwakilan perusahaan penerbangan dan bertanya apakah mereka bisa memberi pelanggan tiket lain di bandara. Pernahkah Anda kehilangan tiket pesawat? Tentu saja maskapai mengatakan mereka tidak bisa menukarkan kembali pelanggan. Mereka memiliki aturan terhadap hal semacam itu.

Apa yang dilakukan wanita penjualan Nordstrom? Dia langsung bertindak. Dia mengambil uang dari kas kecil, memanggil taksi dan pergi ke Bandara Internasional Seattle-Tacoma. Dia mencari pelanggan itu dan menyerahkan tiketnya. Itu adalah satu cara menghargai pelanggan.

Yang penting untuk diingat bahwa pramuniaga, yang bekerja berdasarkan komisi, rela menyisihkan waktu setidaknya satu setengah jam dari hari-harinya untuk melakukan perbuatan baik.

Dalam perjalanan bisnis ke Seattle, Dr. Charlene Smith dari Athens, Ohio, berbelanja di Nordstrom di pusat kota Seattle. Smith secara tidak sengaja meninggalkan kalung emas 14 karatnya di ruang pas ketika dia bergegas pergi ke sebuah jamuan konvensi di sebuah hotel terdekat.

Ketika Connie Corcoran, seorang tenaga penjualan di Nordstrom Seattle, menemukan kalung itu dia segera menelepon hotel tempat jamuan konvensi Dr. Smith hadir.

Pada awalnya, staf hotel enggan membantu dalam mencari Dr. Smith karena dia bukan tamu terdaftar. Tetapi Connie bersikeras mereka memeriksa daftar jamuan dan menemukan pelanggannya.
Akhirnya karyawan hotel menemukan Dr. Smith di meja perjamuannya. Dia mengejutkannya dengan mengatakan bahwa "seorang wanita dari Nordstrom sedang menelepon" untuk memberi tahu dia telah meninggalkan "sesuatu yang berharga" di toko.

Meskipun Smith tidak menyadari kalung itu hilang, dia segera tahu siapa yang akan menelepon dan mengapa. Ketika Connie tiba di lobi hotel dengan kalung itu beberapa menit kemudian, Dr. Smith berlari dan memeluknya, berterima kasih padanya atas apa yang telah dia lakukan.

Menurut Anda, berapa banyak orang yang mendapatkan pengalaman seperti  Dr. Smith?

Setelah Robert Spector, salah satu ekskutif Nordstrom, memberikan pidato di Indianapolis, dia pergi ke sebuah konvensi operator wisata. Seorang wanita mendatanginya dan berkata, "Saya punya cerita Nordstrom untuk Anda, tetapi terlalu rumit untuk menceritakannya kepada Anda di sini."
Robert memintanya untuk mengirim dia email, yang, untungnya, dia melakukannya.

Ini suratnya: Musim gugur yang lalu, saya menemani saudara perempuan saya yang berusia 33 tahun, Cindi, ke Seattle. Dia akan menjalani transplantasi sumsum tulang untuk leukemia.

Jika Anda pernah melihat seseorang setelah mereka mengalami salah satu dari hal-hal ini, Anda akan berpikir mereka berada di kamp konsentrasi. Kurus, tanpa rambut — bahkan alis, pucat dan tampak sakit-sakitan. Kakak perempuan saya saja mengalami kesulitan dan berakhir di kursi roda selama beberapa minggu karena kelemahan otot.

Setelah dia keluar dari Institut Kanker Fred Hutchinson, kami tinggal di Seattle selama beberapa bulan untuk mengawasi perkembangannya. Pada satu titik, dokter memberi izin Cindi untuk melakukan "perjalanan" keluar dari apartemen.

Hal favoritnya adalah berbelanja. Karena itu, kami membawa kursi roda dan saudara perempuan saya ke pusat kota Seattle dan berakhir di Nordstrom's. Karena kami dari Pantai Timur, kami telah mendengar reputasi layanan pelanggan Nordstrom tetapi tidak pernah benar-benar mengunjungi toko. (Kisah ini terjadi sebelum Nordstrom membuka toko di Pantai Timur pada akhir 1980-an.)

Bayangkan saya dekat dengan saudara perempuan saya yang pucat dan tampak sakit-sakitan. (Saya lupa menyebutkan bahwa saudara perempuan saya adalah seorang model dan selalu bangga dengan penampilannya.) Yah, kebanyakan orang menghindari kami karena dia terlihat mengerikan!

Kami sedang melihat-lihat  area kosmetik Nordstrom ketika seorang wanita dari konter Estée Lauder melangkah keluar di depan kami. Dia bertanya apakah dia bisa memberi sedikit riasan pada saudara perempuan saya! Tuhan mencintainya, saya tidak tahu namanya, tetapi selama setengah jam, saudara perempuan saya merasa seperti sejuta dolar.

Pramuniaga kosmetik ini tahu dia tidak akan melakukan penjualan karena saudara perempuan saya sepertinya akan meninggal. Tetapi dia tahu dia bisa membuat perbedaan dalam hari-hari terakhir saudara perempuan saya.

Adikku meninggal tidak lama setelah itu, tetapi aku selalu ingat wanita yang membuat adikku merasa seperti manusia yang cantik. Dia tahu tidak akan melakukan penjualan, tetapi dia membuat perbedaan.

Konten yang kuat dan berorientasi pada tindakan telah menjadi bagian penting dari setiap strategi komunikasi pemasaran. Namun, menghasilkan konten premium yang layak dan mempunyai nilai untuk tautan tidaklah mudah.

Dibutuhkan waktu dan sumber daya yang signifikan, dukungan eksekutif, visi jangka panjang, keahlian internal, dan sering kali kesediaan untuk berbagi pengetahuan yang pernah dimiliki oleh bisnis. Lebih dari segalanya, itu membutuhkan kemampuan untuk menjadi copywriter bisnis yang efektif, menghasilkan konten yang melibatkan audiens dan memotivasi mereka untuk mengambil tindakan.

Ada banyak penulis berbakat dan layanan konten yang tersedia, tetapi sedikit yang memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk memenuhi elemen inti dari copywriting bisnis yang efektif. Agensi public relations, profesional komunikasi, pekerja lepas, mantan jurnalis, dan penerbit tradisional semuanya bisa menyediakan itu.

Adakah anternatif di luar itu? Ada. Dimana? Dekat dengan perusahaan Anda. Mereka adalah karyawan Anda.  Banyak perusahaan yang hampir seluruh aktivitas branding-nya fokus pada kegiatan pemasaran. Misalnya, mereka berkampanye melalui iklan atau kemasan.

Namun, sedikit yang menyadari bahwa aset perusahaan yang sesungguhnya paling berpengaruh adalah karyawan. Terlepas dari industri manapun Anda, untuk membangun kekuatan brand, seluruh karyawan harus benar-benar merasa terhubung dengan corporate brand sekaligus memahami peran mereka dalam mewujudkan aspirasi brand.

Jika Anda tidak menginspirasi karyawan Anda untuk menjadi brand ambassador, Anda rugi. Karena menurut Edelman Trust Barometer tahun 2013: “Dalam hal kepercayaan publik, karyawan menempati posisi lebih tinggi dibandingkan divisi PR perusahaan, CEO, bahkan Founder-nya.

Sebanyak 41% percaya bahwa karyawan adalah sumber informasi paling kredibel terkait bisnis perusahaannya.” Saat konsumen berinteraksi dengan salah satu frontliner Anda, atau terlibat dengan karya yang dihasilkan oleh ‘karyawan di belakang layar’ Anda, segala hal yang dilakukan departemen PR maupun pemasaran Anda akan diuji.

Refernsi:

Spector R, McCarthy PD, 2005. The Nordstrom way to customer service excellence : a handbook for implementing great service in your organization.  John Wiley & Sons, Inc.

Sabtu, 16 Februari 2019

ATRIBUSI



Setiap orang memiliki keyakinan, motif atau niat. Karena itu, ketika mengobservasi individu, orang akan berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan, kenapa merek berperilaku seperti itu? Di sisi lain, ketika berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu, orang tersebut juga menggunakan cara-cara tertentu.

Disini ada relasi antara cara mereka melihat sesuatu dan asumsi awal yang muncul pada orang tersebut. Dengan kata lain, persepsi dan penilaian orang tentang tindakan seseorang sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibuat tentang keadaan internal orang tersebut.

Dalam komunikasi juga dikenal teori atribusi (attribution theory) untuk mengembangkan penjelasan tentang cara-cara seseorang menilai individu secara berbeda. Pada intinya teori adalah tentang usaha yang dilakukan individu-individu ketika mengamati perilaku untuk menentukan apakah itu disebabkan oleh factor internal atau eksternal.

Sebagian besar penentuan tersebut tergantung pada tiga factor; kekhususan, konsensus dan konsistensi. Kekhusuan merujuk pada apakah seorang individu memperlihatkan perilaku-perilaku berbeda dalam sutuasi-situasi yang berbeda. Konsensus apabila semua individu yang menghadapi situasi serupa meresponse dengan cara yang sama. Konsisten apabila indivisu tersebut meresponse dengan cara yang sama.   

Perilaku yang disebabkan secara internal diyakini dipengaruhi oleh kendali pribadi seorang individu. Perilaku yang disebabkan oleh faktor eksternal diaggap sebagai akibat dari sebab-sebab dari luar. Artinya, seseorang melakukan sesuatu lebih karena dipaksa oleh situasi.

Apabila seorang karyawan terlambat dating ke tempat dia bekerja, orang lain yang melihatnya mungkin menghubungkan keterlambatannya dengan pesta sampai larut malam sehingga dia bangun kesiangan. Ini adalah hubungan internal.

Apablia orang lain menghubungkan keterlambatannya dengan kecelakaan mobil yang membuat kemacetan lalu lintas pada jalan yang biasa digunakan oleh karyawan tersebut misalnya, ini berarti orang lain itu membuat suatu hubungan eksternal.

Dalam kasus karyawan yang terlambat, ada kekhawatiran keterlambatan itu menular kepada yang lain sehingga sebagian orang berpikir untuk memberikan sanksi. Pertanyaannya adalah apakah keterlambatan yang dilakukan oleh orang itu salah.

Untuk mengkajinya, orang bisa melihat apakah keterlambatan itu terjadi setiap hari atau pada hari-hari tertentu. Apabila hanya pada hari tertentu, apalagi pada hanya hari itu, orang lain melihat itu sebagai hubungan eksternal. Sebaliknya, bila keterlambatan itu terjadi setiap hari, orang akan melihatnya sebagai hubungan internal.

Hal lain, misalnya banyak orang mengambil rute yang sama dan kereka terlambat. Ini seakan menjadi konsensus untuk mengatakan bahwa keterlambatan itu bukan karena internal, melainkan karena faktor eksternal yang memaksa orang-orang tersebut datang terlambat.

Akhirnya, seorang pengamat mencari konsistensi dalam tindakan seseorang. Konsistensi berarti seseorang meresponse secara sama atas tindakan atau stimulus yang berbeda.  Apakah individu melakukan hal yang sama. Datang terlambat 10 menit ke tempat kerja tidak diartikan dalam cara yang sama untuk karyawan yang merupakan kasus yang tidak biasa dan untuk karyawan yang keterlambatannya bagian dari pola rutin.

Sumber:
Robbins SP, Judge TA. 2018. Essentials of Organizational Behavior, Global Edition.  England: Pearson Education Limited

Kuasa Lama dan Kuasa Baru



Zappos.com adalah toko sepatu dan pakaian online yang berbasis di Henderson, Nevada. Perusahaan yang didirikan oleh Nick Swinmurn pada tahun 1999 ini sangat inovatif. Mereka menikmati pertumbuhan yang stabil, setelah Sembilan tahun berdiri, penjualan rata-ratanya mencapai lebih dari US $ 1 miliar per tahun.

Pada 2009, Amazon membeli 10 juta saham Zappos.com senilai hampir US $ 928 juta. Keberhasilannya didasarkan pada budaya perusahaan yang unik.  "Secara pribadi saya merasa ngeri dengan kata 'pemimpin',” kata Tony Hsieh, CEO Zappos.com. Ini lebih tentang membuat orang melakukan apa yang mereka sukai dan menempatkan mereka dalam konteks atau pengaturan yang tepat. Merekalah yang melakukan kerja keras.

Beberapa praktik manajemen yang diterapkan di Zappos.com meliputi struktur organisasinya yang datar, tidak hierarkis, keputusan secara terdesentralisasi, orang berinteraksi satu sama lain di semua tingkatan, mengembangkan persahabatan, dan manajer menghabiskan sekitar 20 persen waktu mereka untuk bersosialisasi dengan orang yang mereka kelola.

Pelanggan senang adalah pusat dari budaya dan perhatian perusahaan. Mereka menawarkan kebijakan pengembalian 365 hari dengan pengiriman gratis, saluran telepon pelanggan selama 24 jam sehari dan tujuh har seminggu, bantuan online yang interaktif, dan publikasi peringkat produk yang dijual agar  diketahui pelanggannya. Fokus budaya perusahaan adalah kebahagiaan karyawan dan pelanggan, dan menciptakan tempat kerja yang menyenangkan.

Premis utamanya adalah karyawan akan mencapai kesuksesan bila diberi kebebasan dan fokus pada budaya dan kebahagiaan daripada target penjualan dan tujuan keuangan. Zappos.com memberhentikan pada hari pertama karyawan baru yang tidak cocok atau tidak memiliki passion dengan budaya peusahaan dengan pesangon $ 2.000.

Semua karyawan Zappos.com diminta untuk rendah hati, inovatif, belajar dan tumbuh terus menerus, memiliki komunikasi yang terbuka, jujur ​​dan bersemangat dengan pekerjaan mereka. Proses wawancara menemukan karyawan seperti ini panjang dan kadang-kadang dilakukan oleh sang CEO untuk memastikan budaya yang cocok dari seorang karyawan baru.

Dalam manajemen bisnis – seperti dtulis Vlatka Hlupic dalam The Management Shift: How to Harness the Power of People and Transform Your Organization for Sustainable Success (Palgrave Macmillan UK, 2014) -- selalu ada masalah dan ada juga peluang.

Masalahnya adalah pendekatan hierarkis konvensional dengan manajemen "komando dan kendali" operasi senior, tidak lagi menjadi opsi yang kredibel untuk lingkungan bisnis global yang berubah dengan cepat, tidak terduga, dan tidak dapat diprediksi. Di sisi lain, peluang seringkali datang dari kekayaan bukti dan pemikiran di balik alternatif yang tercerahkan.

Manajemen adalah tentang mengatasi kompleksitas. Manajemen yang baik menghasilan ketertiban dan konsistensi pada dimensi utama seperti kualitas dan profitabilitas produk. Manajemen merupakan sistem yang membuat orang-orang dan teknologi di dalamnya berfungsi dengan baik.

Di dalam manajemen ada leadership (kepemimpinan) yang selalu berbicara tentang menghadapi dan beradaptasi dengan perubahan. Lebih banyak perubahan yang terjadi bisa dipastikan menuntut lebih banyak perubahan dalam cara pandang kepemimpinan. Intinya bila manajemen adalah sistmenya, kepemimpinan yang menciptakan sistem dan mengubahnya dengan cara memanfaatkan peluang dan menghindari bahaya.

Banyak pemikir manajemen terkemuka  seperti Peter Drucker, Charles Handy, Henry Mintzberg dan Gary Hamel mengakui perlunya pergeseran ini. Sebuah sintesis dari sejumlah besar literatur tentang pekerja pengetahuan terkemuka mengungkapkan bahwa untuk mendorong inovasi dalam organisasi berbasis pengetahuan, diperlukan gaya kepemimpinan yang berbeda. Gaya kepemimpinan baru itu mendasarkan pada kepemimpinan horisontal dan bukan vertikal, di mana kekuasaan dan otoritas didistribusikan berdasarkan pengetahuan.

Secara konseptual, kuasa -- seperti yang dikatakan oleh filsuf Bertrand Russell -- adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Kemampuan itu sekarang dimiliki atau ada di tangan semua orang.

Hari ini, semua orang memiliki kapasitas untuk membuat film, membangun pertemanan, atau mendapatkan uang; menyebarkan harapan atau menyebarkan ide-idenya; membangun komunitas atau membangun gerakan. Semua orang kini juga memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi yang salah atau menyebarkan kebencian bahkan kekerasan.

Yang berbeda dengan sebelumnya, kemampuan itu kini berada dalam skala yang jauh lebih besar. Dampak  potensialnya  juga lebih besar daripada yang orang lakukan beberapa tahun yang lalu. Logikanya, manajemen yang pada dasarnya selalu berbicara tentang bagaimana mengatasi kompleksitas setidaknya berubah atau megalami pergeseran.

Jeremy Heimans dan Henry Timms (2018) menyebut itu sebagai kuasa baru. Berbeda dengan kuasa lama, kuasa baru ini bekerja seperti arus, dibuat oleh banyak orang, terbuka, partisipatif, dan digerakkan oleh mitra atau rekan kerja.

Seseorang mengunggah dan mendistribusikan sesuatu, mitra itu yang mendorongnya untuk menjadi semakin luas. Seperti air atau listrik, ia paling kuat ketika melonjak. Tujuan kuasa baru bukan menimbunnya tetapi untuk menyalurkannya.

Di pihak berbeda, kuasa lama bekerja seperti mata uang yang hanya dipegang oleh beberapa orang. Setelah diperoleh, uang dijaga, dan yang kuat memiliki simpanan yang besar untuk dibelanjakan. Itu menunjukkan bahwa kekuatan lama tertutup, tidak dapat diakses, dan hanya bisa digerakkan oleh pemimpin. Mereka mengunduh dan pula yang menangkapnya.

Itu sebabnya, manajemen kuasa dan kepemimpinan baru selalu bicara soal keterbukaan, komunitas, meritokrasi , aktivisme, kolaborasi, makna, otonomi, serendipity, desentralisasi, eksperimen, kecepatan dan kepercayaan.

Kamis, 14 Februari 2019

Ingat ! Kerja Hebat itu Bukan Berarti Kerja Keras



Ketika konsultan pencarian eksekutif Susan Bishop membuka perusahaannya sendiri di New York City, idenya tentang bagaimana agar berhasil sudah jelas. “Rencana kami adalah mengalahkan pesaing yang lebih besar dan mapan melalui eksekusi yang luar biasa,” jelasnya. “Kami menerima setiap klien yang membutuhkan kami dan berusaha membuat setiap klien sebahagia mungkin.” 

Bishop percaya bahwa mengutamakan kebahagiaan kliennya akan menghasilkan kepuasan pelanggan yang lebih besar, dan selanjutnya membuat bisnis semakin besar.  Dia benar — sampai titik tertentu. Dengan mengatakan "ya" untuk sebagian besar permintaan, Bishop mendapati bahwa dia memiliki lebih dari cukup banyak klien.

Tetapi dia kekurangan waktu dan tenaga untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Selama beberapa tahun berikutnya, dia dan tim kecilnya melakukan pencarian dengan gaji rendah, bos yang sulit diajak kompromi, dan di lokasi yang tidak menarik. Dia berkembang melampaui keahlian intinya di media dan memasuki industri yang tidak dikenalnya dengan baik, seperti layanan keuangan dan produk konsumen. Belum lagi mereka harus berjuang untuk mendapatkan latar belakang pengetahuan yang diperlukan.

Karena usahanya yang tersebar di banyak area pelanggan, kinerjanya menurun. Penjualan dan keuntungannya datar, bahkan dalam beberapa tahun malah menurun. Marginnya merosot sekitar 15 persen, setengah dari perusahaan pencarian lainnya. "Stresnya sangat mengerikan," kata Bishop. “Saya merasa tertarik ke seratus satu arah yang berbeda.” Skor “fokus”nya dalam penilaian survei yang dilakukan Morten T. Hansen, berada di posisi 20 persen terbawah.  

Hansen adalah profesor manajemen di University of California, Berkeley. Selama lima tahun dia mensurvei 5.000 karyawan perusahaan-perusahaan besar di AS. Hansen meminta responden menilai kinerja mereka sendiri, bos mereka, atau kinerja laporan langsung mereka dan menjawab serangkaian pertanyaan tentang kebiasaan kerja mereka.

Hasil penelitiannya, yang kemudian ditulisnya dalam buku Great at Work: How Top Performers Do Less, Work Better (Simon & Schuster, 2018), menyimpulkan bahwa ternyata, orang-orang yang berprestasi tidaklah bekerja lebih keras. Mereka bekerja “lebih cerdas.”

Apa itu bekerja lebih cerdas? Pertama, berhenti menyalahkan bos Anda atas kinerja Anda yang buruk. Banyak orang mungkin berpikir bahwa mereka terkunci dalam proses kerja yang ada dan menjadi tidak efisien karena atasan, organisasi, industri, atau posisi mereka dalam hierarki organisasi.

Akan tetapi seperti yang ditemukan oleh penelitian Hansen, banyak orang muda di banyak peran yang mampu mendesain ulang pekerjaan mereka untuk menciptakan lebih banyak. Artinya, dalam situasi ketebatasan itu, banyak juga orang bisa menjadi inovator kerja.

Hansen lalu merekomendasikan strategi yang dia sebut "lakukan lebih sedikit, lalu terobsesi." Idenya adalah untuk memusatkan perhatian pada beberapa prioritas utama dan membuang semua upaya Anda ke dalamnya.

Karyawan yang menjadi responden dalam penelitian Hansen dan bekerja dengan cara ini memiliki kinerja lebih baik, meski jumlahnya hanya 16%. Yang menarik, Hansen menulis bahwa 24% dari semua karyawan menyalahkan ketidakmampuan mereka untuk fokus pada kurangnya arahan atasan mereka atau kompleksitas organisasi yang lebih luas di perusahaan mereka.

Mereka mungkin benar. Kebanyakan orang mengetahui tentang bagaimana rasanya memiliki bos yang datang dengan membawa tugas baru setiap jam, sehingga tidak mungkin bagi karyawan atau stafnya untuk berkonsentrasi.

Dalam konteks inilah Hansen merekomendasikan untuk mengatakan "tidak" atau menolak setidaknya beberapa dari tugas baru itu. Seperti Bishop, banyak orang dengan cepat mengatakan ya biola mendapat tugas tambahan meski dia sendiri menyadari akan membuatnya tidak fokus.

Agen real estate tergoda memperluas areanya dengan untuk mengcover satu lingkungan lagi; para insinyur menambahkan satu lagi fitur produk; karyawan sumber daya manusia mengambil satu tugas lagi; pemasar setuju untuk membantu koleganya dengan kampanye. Padahal, mengambil lebih banyak tanggung jawab akan membuat mereka berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.

Menolak tugas yang diberikan oleh atasan memang tidak mudah. Akan tetapi, bila hal itu dikomunikasikan dengan menunjukkan sesuatu yang lebih baik demi kepentingan perusahaan, penolakan tentu tidak akan berakibat negatif.  

Sebagai contoh, seorang konsultan manajemen junior dalam penelitian Hansen mengatakan kepada seorang mitra di perusahaannya bahwa dia tidak dapat menangani proyek lain jika mitra tersebut menginginkan pekerjaan yang sangat baik. Mitranya setuju dengan gagasan konsultan tadi dan mundur.

Yang kedua adalah memaksimalkan usaha atau melakukan sesuatu dengan tujuan untuk melakukan lebih banyak usaha, bukan lebih banyak waktu. Salah satu kunci utama dari Great at Work adalah bahwa jumlah jam yang digunakan bekerja tidak terlalu berpengaruh pada kinerja atau setidaknya tidak sebanyak yang dikira banyak orang.

Salah satu cara memaksimalkan usaha adalah dengan menemukan pekerjaan tumpang tindih antara mengejar hasrat  dan memiliki tujuan yang jelas di tempat kerja. Dengan kata lain, pekerjaan hebat bisa dicapai bila kebutuhan orang merasa terpenuhi secara pribadi dan memberikan kontribusi pada masyarakat.

Penelitian Hansen menemukan bahwa orang yang mencocokkan gairah dengan tujuan tampil lebih baik daripada orang yang kekurangan satu atau yang lainnya (atau keduanya). Studi kasus mengungkapkan alasannya: Pencocokan mendekati pekerjaan mereka dengan energi lebih besar daripada orang lain.Yang penting, ini tidak berarti Anda harus mencari pekerjaan baru yang memungkinkan Anda untuk mencocokkan gairah dan tujuan.

Hansen mengutip penelitian profesor manajemen dari Yale, Amy Wrzesniewski, tentang "bekerja secara rajin," yakni dengan mengubah aktivitas kerja aktual atau cara memahami aktivitas tersebut itu sehingga  dapat menemukan arti atau makna tujuan baru dalam pekerjaan Anda. Di sisi lain, jika mencari pekerjaan, cobalah untuk menemukan peran yang memungkinkan Anda untuk mencocokkan gairah dan tujuan setiap hari.

Benar bahwa pekerja yang memiliki performa terbaik memang mengikuti hasrat mereka. Tetapi, itu saja tidaklah cukup. Kenapa? Beberapa orang yang sekadar mengikuti hasrat mereka secara eksklusif berakhir dengan kesengsaraan. Artinya, diktum bahwa mengikuti hasrat bisa berbahaya. Performa terbaik menuntut sesuatu yang lain: selain menanamkan gairah dan juga perlu memiliki tujuan dalam pekerjaan mereka.

Menurut Hansen, tujuan dan hasrat sangat berbeda. Gairah adalah melakukan apa yang Anda sukai,  sedangkan tujuan adalah melakukan apa yang bisa dikontribusikan, memberikan kontribusi berharga kepada orang lain (individu atau organisasi) atau kepada masyarakat yang yang secara pribadi Anda anggap bermakna dan yang tidak membahayakan siapa pun. Tujuan bertanya tentang apa yang bisa saya berikan kepada dunia? Gairah bertanya tentang apa yang bisa dunia berikan kepada saya?

Intinya, menurut Hansen, dari studinya itu, ada tiga langkah yang biasa diadopsi oleh karyawan berkinerja tinggi. Pertama, mereka menemukan peran baru dalam organisasi mereka. Pekerjaan yang lebih baik menyadap gairah mereka dan memberi mereka tujuan yang lebih kuat. Kedua, mereka memperluas apa yang oleh Hansen disebut sebagai "lingkaran gairah."

Mereka merasa bergairah tentang pekerjaan bukan hanya tentang menikmati pekerjaan itu sendiri. Gairah juga dapat datang dari kesuksesan, kreativitas, interaksi sosial, pembelajaran, dan kompetensi. Akhirnya, untuk memperoleh rasa tujuan yang lebih besar, karyawan berkinerja tinggi menemukan cara untuk menambah nilai lebih dalam pekerjaan mereka, untuk mengejar kegiatan yang mereka anggap bermakna secara pribadi, dan untuk mengejar kegiatan yang memiliki misi sosial yang jelas.

Selasa, 12 Februari 2019

Ingin Selalu Terdepan, Begini Caranya..



Pasta gigi adalah salah satu kategori yang paling menantang. Di India misalnya, merek pasta gigi yang beredar cukup banyak sehingga membuat pasarnya sangat kompetitif dan jenuh. Itu sebabnya, sulit bagi setiap merek untuk berada di puncak pikiran konsumen.

Kondisi itu memaksa pengelola merek untuk terus bergerak. Meskipun mampu mempertahankan posisi teratasnya karena ekuitas mereknya yang kuat di  konsumen, Colgate terus-menerus ditantang oleh merek pasta gigi lainnya. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan ekuitas mereknya yang kuat tersebut untuk meluncurkan lini produk yang diperpanjang sebagai suatu strategi.

Persoalannya adalah bila merek lain juga melakukan hal yang sama. Dalam situasi seperti itu keberhasilan merek untuk mengekstensi mereknya, selain sangat tergantung pada kekuatan mereknya, juga tergantung seberapa tinggi merek tersebut untuk terus mengaktifkan mereknya.

Selama beberapa kuartal terakhir 2018, Colgate mengalami pertumbuhan penjualan yang rendah  karena adanya persaingan dari Patanjali yang makin tumbuh. Namun, perusahaan yang berkantor pusat di Mumbai telah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan kembali setelah mengubah portofolio di segmen natural.

Produk perawatan mulut Colgate di India mencatat pertumbuhan keuntungan 10 persen dan penjualannya tumbuh 7,7 persen. Dengan pertumbuhan volume keseluruhan sebesar 7 persen tersebut setara dengan pertumbuhan industri.

Di India, Colgate bersaing dengan Dabur dan Hindustan Unilever dalam kategori pasta gigi dan menikmati pangsa pasar kasar 52,5 persen, sedikit peningkatan dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Analis melihat pengeluaran iklan Colgate yang lebih tinggi, meluncurkan lebih banyak varian, kenaikan harga dan fokus online yang mendorong peningkatan pangsa pasar. “Pertumbuhan volume keseluruhan adalah 7 persen. Ini sama dengan pertumbuhan penjualan pasta gigi (termasuk ekspor) secara nasional adalah 5-6 persen. Strategi Colgate berfokus pada portofolio pasta gigi natural.

Menurut Ian Cook, CEO Colgate Palmolive, keberhasilan Colgate mempertahankan posisi market leader di pasar pasta gigi di India tak lepas dari inovasi sebagai bagian kegiatan perusahaan yang paling besar.

“… kami telah melangkah ke dalam sekarang mengubah bentuk portofolio kami sebagai bagian dari inovasi itu. Salah satunay adalah dengan mentransfer merek global ke geografi baru atau saluran ritel baru, dan mengembangkannya sebagai merek local sebagai tanggapan terhadap pesaing. Salah satunya adalah Vedshakti di bawah merek Colgate Naturals Panjaved."

Kehadiran Patanjali yang meluncurkan merek Dant Kanti tahun lalu semakin memperketat persaingan pasta gigi di India. Dant Kanti merupakan pasta gigi herbal yang diproduksi dengan prosedur Ayurveda.

Menurut laporan lembaga riset IIFL, Patanjali kini sedang berjuang mempertahankan keberadaannya di ritel modern karena pelayanan yang buruk, peningkatan kehadiran dalam perdagangan umum, belanja perdagangan yang lebih rendah dan struktur distribusi yang kompleks.

Tahun 1995, Michael Treacy dan Fred Wiersema menulis buku berjudul The Discipline of Market Leaders (Addison-Wesley, Reading, MA). Menurut mereka, agar bisa menjadi pemimpin di pasar, perusahaan harus menyadari bahwa mereka tidak dapat menjadi segalanya bagi semua orang.

Perusahaan harus memusatkan sumber daya mereka pada salah satu dari tiga bidang - keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product leadership), atau apa yang disebut oleh penulis sebagai keintiman dengan pelanggan (customer intimacy).

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Casio dapat menjual kalkulator lebih murah daripada Kellogg's yang bisa menjual sekotak sereal? Michael Treacy dan Fred Wiersema menjelaskan mengapa beberapa perusahaan mendominasi pasar, sementara yang lain tertinggal di belakang.

Tesis mereka tampak sederhana: perusahaan yang sukses harus memilih satu dari tiga disiplin nilai (biaya total terbaik, produk terbaik, atau solusi total terbaik) dan membangun organisasinya. Temuan mereka ini didasarkan pada studi tiga tahun di lebih dari 80 perusahaan di tiga lusin pasar yang dilakukan oleh perusahaan konsultan manajemen CSC Index.

Keunggulan operasional berarti menyediakan pelanggan dengan produk atau layanan yang dapat diandalkan dengan harga kompetitif, disampaikan dengan sedikit kesulitan atau ketidaknyamanan. Tujuannya adalah untuk memberikan kombinasi kualitas, harga, dan kemudahan pembelian yang tak tertandingi di tempat lain di pasar.

Bisnis seperti Price/Costco, Dell Computer, GE Appliances, Toyota, WalMart, Southwest Airlines, J. B. Hunt, Taco Bell, Federal Express, Charles Schwab, dan AT & T, menurut Treacy dan Wiersema (1995), merupakan contoh perusahaan yang memiliki keunggulan  operasional.

Kepemimpinan produk berarti menyediakan produk yang terus-menerus mendefinisikan kembali kebaruannya. Perusahaan yang memimpin produk harus kreatif, mengomersialkan ide mereka dengan cepat, dan tanpa henti mengejar cara untuk melampaui produk atau layanan terbaru mereka sendiri.

Thomas Alva Edison disebut sebagai bapak kepemimpinan produk. Kenapa? Laboratoriumnya menjadi model bagi produk keren seperti Microsoft dan Sony. Johnson & Johnson Vistakon, Inc., produsen lensa kontak sekali pakai, Harley-Davidson, Nike, Reebok, Maxis, MTV Walt Disney, Swatch, dan Intel adalah contoh lain dari pemimpin produk (Treacy dan Wiersema, 1995).

Keintiman (akrab) dengan pelanggan berarti menyediakan pelanggan dengan solusi total, bukan hanya produk atau layanan. Keintiman dengan pelanggan membuat bisnis mengetahui produk dan layanan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan tertentu dan kemudian menawarkannya. Dalam konteks ini, aset terbesar mereka adalah kesetiaan pelanggan.

Cable & Wireless Communication, menurut Treacy dan Wiersema (1995), perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang sepenuhnya melayani kebutuhan pelanggan bisnis adalah contoh dari perusahaan yang akrab dengan pelanggan. Juga Johnson Controls, AG Edwards, Cott Corporation, pensuplai peralatan rumah sakit Baxter International, Four Seasons , Home Depot, Nordstrom, dan Airborne Express.

Airborne Express, perusahaan jasa pengiriman barang melalui udara yang tumbuh paling cepat di Amerika Serikat, membangun keintiman pelanggan dengan berfokus pada pelanggan yang memiliki volume tinggi.

Mereka – misalnya -- bermitra dengan Xerox untuk mengirimkan suku cadang sebelum 10:30 pagi sehingga teknisi Xerox dapat mengurangi waktu jeda pelanggan mereka. Kotak-kotak diberi tanda khusus, dan pemindai semua pengemudi Airborne Express diberi kode yang bisa berbunyi dan membaca "Xerox" bila ada pengiriman Xerox.

Jadi mengapa harus memilih salah satu? Mengapa fokus? Perusahaan yang mencoba untuk menjadi segalanya bagi semua pelanggan berarti tidak ada apa-apa, adalah pemain biasa, dan akhirnya pindah ke anak tangga paling bawah atau keluar dari bisnis. Jadi perusahaan atau merek memilih untuk fokus adalah suatu keharusan jika seseorang ingin berhasil.

Minggu, 10 Februari 2019

Menyerang Pemimpin Pasar Secara Frontal




Menggantikan posisi market leader selalu menjadi angan-angan pelaku bisnis. Tapi seberapa realistis cita-cita itu bisa dicapai, khususnya pada 2019 ini? Dari sisi eksternal, gonjang-ganjing ekonomi global, pilpres, disruption, dan kenormalan baru merupakan tantangan, namun di sisi lain bisa menjadi peluang.

Ketidakpastian situasi bisnis bisa jadi membuat market leader tidak berani bermain agresif. Ini bisa  menjadi celah bagi pemain nomor dua dan tiga. Asal bisa lebih inovatif, mereka bisa memanfaatkan momen ketidakpastian itu untuk menyerang pemimpin pasar. .
           
Pemain baru biasanya lebih berani karena mereka nothing to loose. Namun bagaimanapun, tetap saja mereka harus berhitung dan menimbang dengan matang apa yang harus dilakukan, bagaimana serta kapan melakukannya.

Salah satu cara yang digunakan penantang untuk menyerang pemimpin pasar adalah dengan melakukan  serangan frontal (frontal attack). Serangan frontal berarti penantang mengimbangi produk, iklan, harga, dan usaha distribusinya. Penantang menyerang bukan pada titik kelemahan pemimpin pasar sehingga apakah serangan itu berhasil atau tidak tergantung pada kekuatan dan daya tahan masing-masing.  

Dengan kata lain, frontal attack, hanya bisa dilakukan apabila pemilik merek memiliki modal yang cukup kuat. Serangan frontal ini, bisa diwujudkan lewat penawaran harga yang sangat kompetitif seperti yang sering dilakukan produk atau merek keluaran Wing’s Group, seperti SoKlin, Javana Tea, dan sebagainya.

Karakteristik strategi pemasaran produk Wing’s grup adalah masuk ke pasar yang tidak memiliki pembeda. Yang dimasuki produk Wing’s grup adalah pasar dimana konsumen tidak lagi bisa membedakan differnsiasi antara satu merek dengan merek lainnya dalam produk. Contohnya adalah sabun deterjen, pembersih lantai dan sebagainhya. Di pasar ini, merek atau produk Wing’s selalu ditawarkan dengan harga lebih murah, melalui diskon dan sebagainya.

McCafé McDonald's yang menawarkan kopi dapat dianggap sebagai jenis strategi serangan frontal karena restoran cepat saji -- yang biasanya tidak dikenal dengan minuman kopinya -- menciptakan lini produk yang dirancang untuk bersaing langsung dengan kedai kopi seperti Starbucks, Dunkin 'Donuts, dan Tim Hortons. 

Dengan membuat minuman kopi premium tanpa label harga premium, McDonald's melancarkan serangan frontal terhadap para pemimpin pasar. McDonald's sengaja bermaksud memindahkan pelanggan dari kedai kopi ke jalur drive-thru.

Setelah pasarnya terbentuk, McDonald's Canada membuka McCafe pertama yang berdiri sendiri tidak mendompleng resto cepat saji McDonald’s. Mereka membuka di lokasi strategis seperti stasiun kereta api dan perkantoran.


Kafe-kafe itu menjual sederet kopi spesial McDonald, smoothie buah, dan makanan panggang, serta sandwich sarapan Egg McMuffin. Berbeda dengan restoran McDonald Kanada lainnya, yang beralih dari sarapan ke burger setelah pagi sibuk, McMuffins tersedia sepanjang hari di McCafes.


Namun, jika penantang pasar memiliki sumber daya yang kurang daripada pesaing, serangan frontal sia-sia. Itu sebabnya, banyak pendatang baru pasar menghindari serangan frontal, sebab mereka tahu pemimpin pasar dapat menghadang mereka dengan iklan, perang harga, dan pembalasan lainnya.

Alih-alih menantang secara langsung, penantang dapat melakukan serangan tidak langsung pada kelemahan pesaing atau pada kesenjangan yang terdapat dalam cakupan pasar pemimpin pasar. Selanjutnya, cara ini bisa digunakan sebagai pijakan sehingga pemimpin pasar mengalami kesulitan merespons atau memilih untuk mengabaikan.

Ketika pertama kali memasuki pasar minuman ringan AS, Red Bull harus melawan dua pemimpin pasar sekaligus, yakni Coca-Cola dan PepsiCo. Red Bull tidak melawan mereka secara frontal, namun melawannya secara tidak langsung dengan menjual produk niche berharga tinggi di titik distribusi non-tradisional.

Itu dimulai dengan menjual Red Bull melalui gerai-gerai tidak konvensional yang berada di bawah pengawasan para pemimpin pasar, seperti klub malam dan bar-bar tempat orang-orang yang bersuka ria meminum kafein sehingga mereka bisa begadang sepanjang malam.

Setelah membangun basis pelanggan inti, merek diperluas ke outlet yang lebih tradisional sehingga  Red Bull berada dalam jarak Coke dan Pepsi yang sangat dekat. Akhirnya, Red Bull menggunakan lebih menitikberatkan pada taktik pemasaran gerilya daripada media tradisional berbiaya tinggi yang biasa digunakan oleh para pemimpin pasar.

Pendekatan ini tidak langsung bekerja, namun sedikit-demi sedikit, pasar Red Bull terbangun. Meskipun persaingan semakin ketat di Amerika Serikat, Red Bull sekarang merupakan merek senilai $ 6,5 miliar yang meraih pangsa 43 persen dari pasar minuman energi.

Sabtu, 09 Februari 2019

SAYA DAN KORAN BERITA BUANA



 Awal tahun 1991, khazanah media di Jakarta bertambah dengan munculnya koran hasil revitalisasi koran lama, namanya Berita Buana. Koran ini diambil alih – sebut saja direvitalisasi karena saat itu tidak boleh ada pemindahtanganan kepemilikian media – dari pemilik lama, kelompok wartawan kawakan yang dipimpin Sk H Wibowo.

Koran itu berhasil disulap dengan desain yang elegan. Tipogragi dan grafis yang keren. Motornya, selain Sutrisno Bachir sebagai penyandang dana, ada Abdurahman (kini salah satu komisaris kumparan.com), Zaim Ukhrowi (belakangan pernah jadi Dirut Balai Pustaka dan Dewan Pengawas LPP Antara), Budiono (sama dengan Abdurahman) Suharjoa, Tommy Tamtomo, dan Ahmadie Thaha. Saya sendiri bergabung setelah mereka.

Bergabung dengan Berita Buana adalah pilihan yang sulit. Meski salah tapi itulah yang terbaik diberikan Allah kepada saya. Awal tahun 1990 -- sekitar dua bulan sepulang dari penugasan di Australia oleh Jawa Pos, Pak Dahlan Iskan, bos Jawa Pos, meminta saya untuk balik lagi ke Australia.

Namun, dalam hati saya berpikir, usia saya sudah hampir 30 tahun. Hidup di Australia berarti menjauhkan dari jodoh, karena saya yakin jodoh saya ada di Indonesia. Di Australia memang banyak cewek, terutama Indonesia. Bahkan selama di Australia, saya banyak atau bahkan lebih sering bergaul dengan cewek-cewek Indonesia yang belajar di Australia. Setiap akhir pekan. Namun, mereka bukan jodoh saya.

Kedua, saya sudah berjanji untuk segera me”mergikan” teman saya di Jawa Pos, Dhimam Abror. Sebelum berangkat ke Australia, saya dan Abror sangat dekat. Walau dia ada di Surabaya dan saya di Jakarta, selalu kontak.

Kalau saya pulang ke Surabaya, saya keliling Surabaya dengan Abror. Dia juga sempat ngajak ke rumah pacarnya. Saya nggak tahu apakah isterinya yang sekarang ini, pacarnya dulu yang sempat dikenalkan saya atau bukan. Keakraban itu mungkin karena kesamaan nasib dan persamaan visi dalam melihat suatu peristiwa. Kami berdua sama-sama berurusan dengan aparat keamanan.

Waktu itu, Pak Bos – panggilan akrab Pak Dahlan Iskan – berencana menempatkan beberapa wartawannya di luar negeri. Djoko Susilo sudah di Amerika Serikat. Widjojo Hartono di Belgia. Nah, saya recananya di Australia dan Abror di Inggris. Setelah diurus-urus, saya duluan yang mendapat visa ke Australia sementara Abror belum. Akhirnya saya pun berangkat, sementara Abror belum.

Sampai enam bulan, Abror juga belum dapat visa sehingga akhirnya yang dapat adalah Djoko Susilo. Jadilah Djoko Susilo yang berangkat ke Inggris. Mendengar kabar itu, saya merasa berhutang sama Abror. Akhirnya saya putuskan pulang. Biarlah Abror yang pergi menggantikan saya. Saya pun sempat membantu menguruskan visanya ke Kedutaan Besar Australia di Jl. Mh Thamrin Jakarta. Akhirnya Abror yang berangkat ke Australia menggantikan saya.

Sekitar dua bulan kemudian, Budiono – sekarang pemilik Detik.com – menelpon saya. Dia bercerita mau bikin koran dan mengajak saya. Pemodalnya adalah Soetrisno Bachir. Saya sendiri tidak begitu kenal. Saya tahunya cuma dari baca di majalah SWA yang menyebut keluarga Bachir adalah juragan batik dari Pekalongan yang merambah usahanya ke bisnis property dan pertambakan udang, dua bisnis yang saat itu naik daun.

Menurut Budiono, koran yang mau diambil adalah Berita Buana, salah satu koran legenda orde baru. Dari sisi nama, awarenessnya mungkin cukup tinggi. Siapa yang nggak kenal dengan Berita Buana. Persoalannya dari sisi image, koran itu begitu lekat dengan persoalan klenik. Saya jadi teringat Tante saya pada tahun 1970-an berlangganan koran itu. Yang namanya Berita Buana minggu pasti ada berita kleniknya. Namun Budiono meyakinkan bahwa yang diambil hanya Berita Buana, tidak pakai embel-embel Minggu.

Jauh sebelumnya, ketika meletus peristiwa 1965, setiap hari saya membaca Berita Buana yang selalu Tante beli eceran di pasar. Bahkan kakak saya yang tertua mengkliping foto-foto aktivitas RPKAD di Lubang Buaya dalam rangka mengeluarkan jenazah para jenderal. Juga foto-foto alat penyiksa yang ditemukan di Lubang Buaya. Dari berita-berita yang masih saya ingat ketika itu, sebenarnya masih ada image lainnya, yakni kedekatan para pengelola BB ”lama” dengan para ”pendekar” Orde Baru dan ABRI.

Apakah saya bisa bekerja di institusi yang pengelolanya dekat dengan keduanya? Ini mengingat selama bekerja di Jawa Pos berkali-kali saya membuat ”masalah”. Pertama yang paling besar adalah kasus berita makanan mengandung lemak babi yang membuat Pak Harto marah besar (saya sendiri nggak tahu sebabnya) sampai-sampai Pak Domo selaku Pangkoptamtib mengeluarkan kalimat, ”Kami akan terus mengejar aktor intelektualnya.” Introduksi aktor intelektual ketika itu sampai kini menjadi kosa kata yang begitu populer.

Kedua, saya juga pernah diinterograsi oleh Kolonel Zumarnis – ayahanda aktris Marini Zumarnis – pada bulan puasa gara-gara pemberitaan Jawa Pos mengenai kasus Talangsari Lampung. Dalam kasus kedua, tanpa ada surat pemanggilan, namun Kapten Panggih waktu itu sempat menyancam saya untuk dijemput paksa kalau tidak datang ke Mabes ABRI. Saya heran karena kok dijemput paksa sementara pemanggilan atau pemberitahuan saja belum saya terima.

Itu sebabnya, awalnya saya tidak tertarik dengan ajakan untuk bergabung ke BB baru. Sebab bagaimana pun posisi saya di Jawa Pos sangat bagus dan strategis. Masa depan Jawa Pos sangat bagus. Dari hari ke hari terus berkembang. Kedua, di Jawa Pos aktualiasi ide dan gagasan baik berita – baik dari sisi enggel dan pencariannya – terakomodasi secara sempurna. Apresiasi terhadap kinerja yang saya terima juga begitu luar biasa. Jadi bagaimana saya bisa meninggalkan posisi yang sangat bagus ini.

Sebagai Kepala Biro Jawa Pos Jakarta, saya mengendalikan redaksi Jawa Pos di Jakarta. Semua bertia di halaman depan yang memasok adalah Biro Jakarta. Sehingga ibaratnya – paling tidak perasaan saya – saya menjadi orang ”penting”. Betapa tidak semua berita yang dikirim ke Surabaya yang bakal menjadi pengisi halaman etalase, merupakan hasil perencanaan saya yang kemudian diimplementasikan teman-teman wartawan Jakarta yang sangat luar biasa semangat dan dedikasinya terhadap profesi dan pekerjaannya. Jadi seakan-akan kreator agenda –setting Jawa Pos saat itu adalah saya.

Dua minggu kemudian, Budiono nelepon lagi. Kali ini dia mengajak bertemu di Restoran Sari Kuring – sekarang sudah dibongkar – di Monas Jakarta. Budiono ngajak Abdurahman – pemilik detik.com, mitranya Budiono--, dan Suhardjo – saya nggak tahu profesinya sekarang. Yang pasti di Facebook namanya bisa saya jumpai.  Disitu saya deal bergabung dengan Berita Buana.   


Leisure Class Redup Muncul Elit Baru, Aspirational Class



Makanan atau menu yang lezat dan penghargaan bintang Michelin – semacam rating untuk restoran dan hotel -- berarti restoran itu dihiasi dengan lampu gantung, taplak meja putih, dan pelayan anggun dengan aksen elegan. Bisa jadi tak banyak orang yang memperhatikan bagaimana para pramusaji restoran itu membungkuk badannya saat menghidangkan makanan di meja tetamu.

Namun saat ini fenomena itu mungkin beberapa mengalami perubahan. Banyak juga cerita atau postingan di instagram yang menunjukkan orang-orang antri untuk duduk di restoran mie yang ramai. Mereka dengan penuh semangat mencari restoran yang menyediakan burger atau kentang goreng  organik dan sausnya buatan sendiri.

Resto hotel bintang lima di Bandung, Jakarta dan sebagainya kini banyak yang menyediakan menu organic dan untuk vegetarian. Millenial seperti Helga Angelina Tjahjadi (28) rela meninggalkan zona nyamannya di Belanda dan kembali ke Tanah Air untuk mewujudkan mimpinya di bisnis makanan sehat berbasis lingkungan, Burgreens.

Helga adalah Co-founder Burgreens Organic Eatery and Home Delivery, sebuah restoran makanan sehat berbasis makanan nabati dan organik di Jakarta yang berdiri sejak November 2013. Bersama sang suami, Max Mandians, melalui Burgreens, Helga berusaha memecah mata rantai distribusi bahan mentah yang acap kali merugikan petani. Caranya, mereka membeli bahan baku langsung dari petani dan memberdayakan perempuan berpendidik.

Dalam buku Smart Casual, Alison Pearlman menunjukkan meningkatnya informalitas dalam desain restoran Amerika kontemporer saat ini. Desain, menurut Pearlman, bukanlah semata-mata urusan  arsitektur. Dalam desain, ada korelasi antara rasa dan status sosial dimana batas antara kelas yang tinggi dan rendah dibuat sefleksibel mungkin sehingga memungkinkan seseorang untuk mencoba dan makan segalanya namun tetap dalam koridor keramahtamahan.  

Baru-baru ini, publik Indonesia banyak mendiksuiskan soal Society 5.0, konsep strategis bagian dari Kebijakan Dasar tentang Ekonomi dan Manajemen Fiskal dan Reformasi Jepang tahun 2016. Konsep ini mengasumsikan bahwa teknologi  menciptakan perubahan dramatis yang secara mendasar mengubah masyarakat dan inovasi.

Secara tradisional, inovasi yang didorong oleh teknologi bertanggung jawab bagi pengembangan sosial. Di masa mendatang, dalam konsep Society 5.0, harus ada perubahan cara berpikir yang berfokus pada  bagaimana membangun masyarakat sehingga mereka bahagia dan memberikan rasa berharga.

Tidak seperti Leisure Class yang digambarkan Thorstein Veblen, driver dari Society 5.0 adalah mewujudkan masyarakat super pintar (a super smart society). Ini dicirikan oleh pengakuan abhawa kebutuhan masyarakat berbeda dan dipenuhi dengan menyediakan produk dan layanan yang diperlukan dalam jumlah yang diperlukan, kepada orang-orang yang membutuhkannya ketika membutuhkannya, dan dalam di mana semua orang dapat menerima layanan berkualitas tinggi dan menjalani kehidupan yang nyaman dan bersemangat.

Dalam buku The Theory of the Leisure Class (Oxford University Press, 2009), Thorstein Veblen menggambarkan keserakahan dan pemborosan masyarakat kaya Amerika. Veblen mengkritik kehidupan modern mulai dari pakaian, kelas, posisi wanita, dekorasi rumah, industri, bisnis, dan olahraga, hingga agama, beasiswa, dan pendidikan. Kelas ini, kata Veblen,lahir bersamaan dengan lahirnya konsep kepemilikan.

Leisure Class muncul melalui diferensiasi antara pekerjaan laki-laki dan perempuan di tahap awal perkembangan umat manusia. Perempuan, Veblen berpendapat, adalah benda pertama yang harus dimiliki, diikuti dengan makan dan peralatan berburu serta hal-hal berguna lainnya. Namun kelas disini bukanlah sebuah komunitas. Mereka ini hanya mewakili basis aksi sosial yang mungkin dan sering terjadi.

Veblen mengarahkan sebagian besar kritiknya terhadap leisure class, sebuah kelompok kaya dan berlebihan yang dengan sia-sia dan tanpa henti menunjukkan posisi sosial dan ekonomi mereka. Mereka secara sadar mempertontonkan barang-barang material, dan banyak di antaranya adalah barang yang tidak berguna dan berfungsi.

Dalam buku klasik itu, yang menciptakan ungkapan tentang konsumsi yang mencolok mata, Veblen menggambarkan kesembronoan kelas atas: pria yang menggunakan tongkat jalan untuk pertunjukan, dan wanita yang membeli sendok garpu perak meskipun efektivitas peralatan aluminium tidak lebih rendah tapi harganya lebih murah.

Satu abad setelah Veblen menulis Theory of the Leisure Class, perubahan besar dalam teknologi dan globalisasi telah mengubah cara orang bekerja, hidup, dan mengkonsumsi. Revolusi Industri dan kecanggihan manufaktur keduanya menciptakan kelas menengah dan mengurangi biaya barang-barang material sehingga konsumsi yang mencolok telah menjadi perilaku umum. Secara bersamaan, kelas rekreasi telah digantikan oleh elit baru, yang didasarkan pada meritokrasi, perolehan pengetahuan dan budaya, dan batasan yang semakin kabur diantara posisi ekonomi mereka.

Kelas leisure, kata Elizabeth Currid-Halkett, kini digantikan oleh elite baru. Penggantinya adalah orang-orang berpendidikan tinggi dan gagasan serta perilakunya sangat diinspirasi lebih karena modal budaya. Pengelompokannya bukan sekadar didasarkan pada pendapatan, meski tetap pada tuntutan ekslusivitas.

Mereka cenderung membeli dan mengonsumsi produk organik, membawa tas jinjing NPR music, dan menyusui bayi mereka. NPR atau National Public Radio adalah sebuah organisasi media non-profit yang didanai oleh swasta dan publik, yang diluncurkan pada November 2007 untuk menyajikan pemrograman musik radio publik dan konten editorial tentang penemuan musik.

Kelas baru itu peduli pada konsumsi yang bijak dan tidak mencolok ― seperti makan ayam kampung dan tomat, mengenakan kemeja katun organik dan sepatu TOM, dan mendengarkan podcast. Mereka menggunakan daya beli mereka untuk mempekerjakan pengasuh dan pembantu rumah tangga, untuk menumbuhkan pertumbuhan anak-anak mereka, dan untuk berlatih yoga.


Dalam The Sum of Small Things, Elizabeth Currid-Halkett menjuluki segmen masyarakat ini "kelas aspirasional" dan membahas bagaimana, melalui keputusan yang cekatan tentang pendidikan, kesehatan, pengasuhan, dan pensiun, kelas aspirasional mereproduksi kekayaan dan mobilitas ke atas, memperdalam yang pernah ada Pembagian kelas yang lebih luas.

Banyak perubahan yang terjadi sejak publikasi pertama buku The Theory of the Leisure Class tahun 1899. Menurut Currid-Halkett, kekuatan produk material sebagai simbol status dan posisi sosial telah berkurang karena aksesibilitasnya. Dulu suatu produk disebut prestisius karena sedikit orang yang menggunakan. Kini makin banyak orang yang mengonsumsi atau menggunakan produk yang dulu disebut eksklusif itu.

Pergeseran ini membuat kelas aspirasional mengubah kebiasaan konsumsinya dari materialisme terbuka menjadi pengeluaran yang lebih tersamar meski motivasinya tidak berubah, yakni untuk  mengungkapkan status dan pengetahuan. Transformasi ini memengaruhi cara banyak orang menentukan pilihannya.

Rabu, 06 Februari 2019

Perlukah Komentar Nyinyir Dibalas Dengan Nyinyir Pula?




McDonald's adalah merek kontroversial. Ia dikagumi kalangan periklanan yang mungkin sama tingkatannya dengan kebencian di kalangan penggiat kesehatan. Tahun lalu, belanja iklannya mencapai US$ 532,9 juta (https://www.statista.com/statistics/286541/mcdonald-s-advertising-spending-worldwide/.)

Oktober 2014 lalu, McDonald's melakukan kampanye besar “Our Food, Your Questions” sebagai upaya untuk menunjukkan transparansi dan keterbukaan. Menurut time.co, McDonald's menghadapi masalah image yang serius karena dianggap memproduksi makanan yang tidak sehat. Untuk mengatasi masalah tersebut, McDonald's membuka pintu bagi publik yang ingin menanyakan segala hal tentang produk  McDonald's, semisal bagaimana sosis dibuat sehingga dapat memenangkan hati konsumen.

McDonald's menyadari bahwa di sekitarnya orang memiliki pertanyaan besar tentang kualitas dan asal-usul makanan mereka. Jadi perusahaan yang melayani 28 juta orang setiap hari di AS itu sekarang menjanjikan jawaban yang lugas atas pertanyaan yang diajukan warga. McDonald's juga merilis apa yang terjadi di balik dapurnya dengan mempublikasikan sketsa dan infografik di web yang menggambarkan  proses produksi di balik produk-produknya seperti McNugger dan McRib.

McDonald's juga mempublikasikan proses daging yang digunakannya mulai dari peternakan ke restoran. Yang mungkin penting bagi McDonald's adalah komitmennya untuk mendengarkan uneg-uneg pelanggan, yang mengajukan pertanyaan secara online dan McDonald's menjawabnya dengan jujur ​​secara real time.

Tidak cukup itu saja, McDonald's juga memasukkan profesional yang skeptis dan mantan  "MythBusters" Grant Imahara, dan testimoninya ditampilkan dalam serangkaian video yang membahas keraguan dan pertanyaan bertubi-tubi dari konsumen.

“Kami tahu beberapa orang - baik penggemar dan yang skeptis terhadap McDonald - terus bertanya-tanya tentang makanan kami dari sudut pandang bahan-bahan atau bagaimana makanan disiapkan di restoran. Ini adalah langkah kami untuk memastikan kami melibatkan orang-orang dalam dialog dua-arah tentang makanan kami dan menjawab pertanyaan dan menanggapi komentar mereka, ” kata Kevin Newell, kepala-merek dan strategi EVP McDonald's USA seperti dikutip BurgerBusiness.com.

Hingga saat itu, publik belum faham benar proses yang terjadi di balik dapur McDonald. Rantai pasokan perusahaan yang begitu panjang, dan sumber bahan baku yang berasal dari beragam lokasi dan fasilitas, bisa jadi membuat  tidak mungkin tur, sketsa, atau infografis menunjukkan lebih banyak informasi tentang yang terjadi di peternakan, pabrik, dan pengolahannya.

Seperti yang diduga semula, tidak semua pertanyaannya bernada sopan. Akan tetapi McDonald tetap dengan cara mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan cara yang baik dan lucu. Misalnya, ada pertanyaan "Apakah daging Anda terbuat dari karton?" Alih-alih menyensor pertanyaan itu, McDonald menjawabnya: "Sama sekali tidak. Kami tidak berpikir kardus akan terasa sangat enak di burger kami.”

Langkah yang dilakukan itu berarti memberi banyak orang kesempatan untuk berinteraksi dengan merek McDonald's. Dengan memposting pertanyaan dan mendapatkan tanggapan, McDonald segera merasa kurang seperti perusahaan yang memiliki image dan lebih sebagai sekelompok orang kebanyakan. Ini yang membuat orang cenderung menyukainya. 

Setelah McDonald menjawab pertanyaan itu secara online, setiap orang lain yang memiliki pertanyaan yang sama, bisa jadi menguji jawaban itu di Googles. Mereka yang sepaham dengan McDonald meneruskan pesannya ke yang lain dan seterusnya.

Kemajuan teknologi social media dan komunikasi dua arah lainnya yang disediakan oleh internet dan jejaring sosial telah mendorong terjadinya pertukaran konten yang luar biasanya, tidak hanya antara konsumen dan merek tetapi juga di antara konsumen. Konsumen kini memiliki pengaruh yang lebih besar teradap manajemen merek.

Perilaku sosial mereka di internet memungkinkan peningkatan keterlibatan dengan merek karena terjadinya interaksi dan hubungan. Kemudahan dalam berbagi pesan dalam jaringan itu sendiri dan di antara jaringan yang berbeda melipatgandakan visibilitas objek bahwa audiens juga menghasilkan konten sensitive.

Pertanyaannya adalah apakah kemunculan konten yang dibuat pengguna telah mengurangi kedigjayaan merek? Diakui atau tidak, pengungkapan masalah atau suara negative yang lebih besar tentang merek akan meningkatkan tingkat krisis citra. Itu sebabnya, melindungi merek melalui manajemen krisis telah menjadi semakin menarik bagi organisasi.

Disini pengelola tertantang untuk memantau isu-isu tentang perusahaan? Positifnya, informasi internal dan eksternal dapat membantu dalam tindakan ini. Yang jadi persoalannya, terkadang informasi dari internal juga tak terarah. Disini manajer kontemporer harus siap untuk membuat keputusan dalam pengendalian-pengurangan informasi dan peningkatan kecepatan, variasi dan volume skenario informasi.

Yang juga bermasalah jika, di satu sisi, merek tidak pernah begitu sensitif, di sisi lain, para manajer tidak pernah memiliki begitu banyak informasi yang tersedia untuk mencegah dan mengidentifikasi masalah yang dapat menyebabkan krisis.

Emosi memengaruhi keputusan yang dibuat oleh individu. Krisis dalam sebuah organisasi sering menyebabkan kemarahan di ruang publik; terutama media social. Dalam konteks ini, strategi respon krisis yang diarahkan pada khalayak media sosial harus bertujuan untuk memberikan informasi yang membantu untuk mengatasi situasi krisis kepada publik yang terkena dampak.

Teoritis, pemahaman tentang respons emosional publik dan strategi penanggulangan selama krisis akan membantu manajer krisis organisasi mengembangkan strategi manajemen krisis yang efektif untuk membangun kembali kepercayaan dan memulihkan kepercayaan dalam organisasi.

Mendengarkan umpan balik, termasuk yang negatif atau komentar nynyir, adalah langkah penting agar interaksi tetap berjalan.  Seringkali, ketika orang marah, mereka hanya ingin merasa didengar. Karena itu kemampuan menahan untuk membalas umpan balik negatif adalah keterampilan yang penting. "Ketika saya mendapatkan umpan balik negatif saya mencoba untuk mengikuti proses dua langkah refleks dan flush," kata David Hoffeld, seorang choach di bidang penjualan.

Ketika mendapat komentar negative, lebih bijak bila bertanya pada diri sendiri, apa yang dapat saya pelajari dari umpan balik tersebut? Apa pelajarannya? Haruskah saya membuat perubahan? Setelah memutuskan apa yang akan dilakukan, ini pada dasarnya secara mental menyiratkan umpan balik.

“Saya tidak ingin untuk memikirkan sesuatu yang negatif. Jadi, begitu saya memiliki rencana tindakan, saya selesai dengan memikirkan umpan balik dan saya akan memfokuskan kembali pikiran saya pada hal lain dan melanjutkan," kata Hoffeld sebagaimana dikutip www.inc.com.

Selasa, 05 Februari 2019

Menggugat Sekolah Bisnis





Ketika Profesor Martin Parker bergabung ke Warwick Business School delapan tahun yang lalu, dia sempat dikejutkan oleh keunikan dari arsitektur bangunan sekolah tersebut. Bangunan-bangunan modern yang rapi terletak jauh dari lingkungan yang tidak bagus di bangunan utama universitas. Pintu depannya menghadap ke arah lain dari kampus. 

Pintu belakang, katanya, dilengkapi dengan kata sandi agar tidak sembarangan orang bisa masuk. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk, pertanda ada privacy yang ingin dibangun kalau tak mau dikatakan eksklusivitas. Tapi, bisa juga itu keinginan untuk menciptakan keamanan. Lagi-lagi ini menyiratkan kekhawatiran, sementara kampus idealnya adalah untuk siapa saja yang ingin berilmu. 

Arsitektur serupa seakan menjadi konvensi di sebagian besar sekolah bisnis di Inggris. Yang dia lihat di Warwick juga sama dengan yang di University of Bristol Department of Management, tempat dia mengajar studi tentang organisasi sekarang. Ini seakan membenarkan anggapan bahwa sekolah bisnis biasanya menempati dunia fisik yang terpisah dari institusi induknya.

Kebiasaan membangun bangunan terpisah dari induknya, menurut Parker, bisa jadi untuk memproyeksikan efisiensi dan kepercayaan diri. Sekaligus mempertontonkan status elit dan tujuan pedagogis, serta berperilaku seperti bisnis yang sukses daripada lembaga akademis belaka.

Bagi sebagian atau bahkan kebanyakan orang, bisa jadi itu suatu kewajaran. Kenapa? Tak bisa dipungkiri, tidak hanya di Inggris tetapi juga di seluruh dunia, sekolah bisnis yang sukses menyumbangkan pendapatan yang signifikan bagi universitas. Sekolah bisnis memiliki gedung terbaik karena menghasilkan keuntungan terbesar (halaman viii)

Pada saat banyak orang kekurangan uang tunai, sekolah bisnis menghasilkan keuntungan. Tanpa mereka, kata Prof Parker, banyak universitas secara teknis bangkrut. Dalam kalkulasinya, Prof Parker memperkirakan bahwa sekolah bisnis menghasilkan pendapatan global minimal $ 400 miliar. Meski di sisi lain, banyak juga kritik yang ditujukan kepada sekolah bisnis. Misalnya, para pelaku bisnis dan pengusaha mengeluh, lulusan sekolah bisnis tidak memiliki keterampilan praktis misalnya.

Yang menarik adalah, pengusaha tetap tertarik pada lulusan sekolah bisnis. Dengan biaya jumbo untuk MBA dan program master lainnya (biaya yang harus dikeluarkan setiap mahasiswa rata-rata MBA sekitar $ 200.000, menurut data FT), peserta didik dipesan lebih dahulu untuk klien perusahaan yang bergengsi, alumni yang bermurah hati dan ruang kelas penuh dengan siswa internasional yang menguntungkan, sekolah bisnis sering menjadi salah satu aliran pendapatan terbesar di institusi induknya.

Dalam Shut Down the Business School: What’s Wrong with Management Education (Pluto Press), Prof Parker berpendapat bahwa model “sapi kas” ini, yang terlalu peduli dengan melayani pemberi kerja, yang tidak hanya menyebabkan kekurangkakuan akademis: bisa jadi itu membuat pendidikan sekolah bisnis gagal.

Segera setelah krisis keuangan tahun 2007, sekolah bisnis disalahkan karena meletakkan dasar sikap terhadap perdagangan yang sangat merusak. Menurut Prof Parker, gelar MBA tidak mencegah orang terlibat dalam praktik yang berisiko atau korup. Beberapa penelitian setuju: sebuah laporan dalam jurnal Human Relations pada tahun 2000 menemukan risiko kejahatan perusahaan meningkat ketika para manajer memiliki kualifikasi pendidikan pascasarjana di bidang  bisnis.

Buku ini memberikan contoh Suma Foods, koperasi pekerja yang mendirikan perusahaan yang dimiliki dan dijalankan oleh anggotanya. Perusahaan ini didirikan di kota Leeds, Inggris utara, pada tahun 1977 dan merupakan wholesaler terbesar di Inggris, yang mengkhususkan diri dalam produk vegetarian, organik, etikal dan alami.

Pada tahun 2016, koperasi khusus ini adalah salah satu dari 6.797 koperasi di Inggris, yang secara keseluruhan mempekerjakan total 222.785 orang, dan dengan omset sebesar £ 35.7 miliar.  Suma diajdikan contoh untuk menunjukkan bahwa ada alternatif yang layak untuk manajemen sebagai bentuk pengorganisasian umum.

Ini juga menekankan bahwa jika sekolah bisnis ingin menjadi suatu disiplin yang tepat, mereka perlu memasukkan koperasi dan model bisnis lain dalam kurikulumnya. Mereka juga harus memberikan  perhatian pada model-model alternatif seperti yang mereka lakukan untuk model-model perusahaan dan manajemen.

Masyarakat membutuhkan tempat di universitas yang memungkinkan masalah pengorganisasian dipelajari dan diajarkan. Bagaimana tidak, klub pemuda atau perusahaan multinasional, masalah koordinasi dan kontrol adalah pusat kehidupan masyarakat. Ini bukan hanya soal memikirkan aspek bisnis 'lunak' semata, karena memahami pengorganisasian juga termasuk berpikir tentang uang, tentang membuat berbagai hal dan memindahkan barang, dan tentang hukum (dan juga tentang negara).

Masalah hukum, teknologi dan keuangan yang membentuk pengorganisasian juga harus diajarkan dengan cara yang tidak memisahkan mereka dari pilihan politik dan etika. Ekonomi, akuntansi dan keuangan bukanlah teknik netral yang dapat atau harus diajarkan seolah-olah mereka bebas konteks.

Jadi, ide tentang 'pasar', 'efisiensi', 'produktivitas', 'laba' dan sebagainya harus selalu dipahami sebagai kontrak social, bukan fenomena alami yang tunduk pada hukum abadi. Memasukkan lingkungan, kesetaraan dan etika ke dalam bentuk perhitungan semacam itu tidak menyimpangkannya, melainkan mengklarifikasi tujuan mereka.


Judul Buku : Shut Down the Business School: What’s Wrong with Management Education

Penulis : Martin Parker
Penerbit : Pluto Press London, 2018
Tebal Buku : 198 halaman



Prof Parker telah bekerja di sekolah bisnis selama 20 tahun. Dia mengkritik industri ini dari dalam, yang mungkin tampak aneh, tetapi bukan hal baru. Dia bergabung dengan tradisi akademisi sekolah bisnis yang juga menjadi pengkritik, termasuk Henry Mintzberg, profesor studi manajemen di McGill University di Montreal, yang melahirkan manifesto 2004, Managers Not MBAs, dan mendorong reformasi dalam pendidikan manajemen.  

Jeffrey Pfeffer, profesor perilaku organisasi di Stanford Graduate School of Business, telah secara terbuka mengkritik keadaan sekolah bisnis di AS. Orang luar juga ada dalam pengkritik itu. Tahun lalu, jurnalis keuangan, Duff McDonald, masuk ke dalam pendekatan studi kasus Harvard Business School yang mendukung pengajarannya dalam bukunya, The Golden Passport.

Tetapi Prof Parker, yang menekankan bahwa dia tidak anti-bisnis, mengatakan posisinya berbeda. Usulan Mintzberg dan Pfeffer memasukkan pendekatan humanistik ke dalam pendidikan bisnis, tidak cukup radikal. 

Sebaliknya, Prof Parker ingin menggusur dan membangun alternatif. Satu dekade setelah krisis keuangan global, dia berpendapat, sekolah bisnis terus beroperasi sebagai juara "pasar" yang tidak perlu dipertanyakan dan lebih bertindak sebagai manajer kapitalisme. Sebagai akibatnya, mereka menghasilkan generasi pemimpin perusahaan yang tidak reflektif, dan lebih tertarik pada keuntungan pribadi.