Hari ini, saya membaca harian Kompas (18 Juni 2012
halaman 17), dan menangkap sinyal kekhawatiran pejabat Bank Indonesia dan para analis terhadap kondisi perekonomian negara-negara Eropa.
Diakui atau tidak, beberapa waktu terahir, ekonomi Indonesia dibayangi oleh krisis
ekonomi yang melanda belahan Eropa. Akankah Indonesia terperangkap kelbali ke
kondisi ekonomi 1998, banyak pihak memang meragukannya.
Ini memang bukan krisis ekonomi pertama yang kita
alami dan bisa selamat. Dengan kata lain, kata orang, Indonesia memiliki
pengalaman menghadapi situasi menurunnya kinerja ekonomi. Pada 1998 silam,
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang memporakporandakan sendi-sendi ekonomi
yang dibangun sebelumnya. Bahkan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Apakah hal itu berpengaruh pada sektor riil? Beberapa hari lalu, harian Kompas juga
mengisyaratkan terjadi pelambatan laju ekspor Indonesia. Ini menunjukkan bahwa
krisis ekonomi yang terjadi di Eropa secara langsung mempengaruhi ekonomi
Indonesia.
Apapun situasinya, pemasar perlu mengantisipasi
perubahan eksternal tersebut.Sebab seperti diketahui, fungsi pemasaran adalah
memahami perubahan lingkungan eksternal yang terus berubah dan mengetahui serta
menentukan cara untuk bertindak menghadapi situasi yang berubah tersebut.
Hooley dan kawan-kawan (2008) mengatakan bahwa tujuan
pemasar menyusun strategi pemasaran adalah untuk mengembangkan respon efektif
terhadap perubahan lingkungan pasar. Bagian terpenting dari strategi pemasaran
tersebut adalah mendefinisikan segmen pasar dan mengembangkan serta memposisikan
penawaran produk kepada target pasar.
Selanjutnya, untuk menjadi sukses di pasar yang
berubah, perusahaan harus proaktif (Nilson, 1995). Mereka seyogyanya tidak hanya bereaksi,
tapi berperan sebagai pihak yang yang menciptakan. Ini karena seperti yang dikatakan Srinivasan
et al. (2008), pemasaran proaktif dapat
menjadi cara bagi perusahaan untuk mengubah kesulitan selama resesi menjadi
keuntungan.
Perusahaan yang melihat resesi sebagai peluang
merasa bahwa mereka memiliki kontrol yang lebih baik atas situasi dan kemudian
hasilnya. Karena itu, mereka terus berinvestasi. Sementara itu, perusahaan yang
melihat resesi sebagai ancaman, pada dasarnya kurang memiliki kontrol atas
situasi dan hasil, Biasanya hal ini berakhir pada konservasi sumber daya mereka.
Selain itu, Nilson (1995) berbeda antara pemimpin
merek dan penantang, merek ternama seperti Nescafé dan Heinz misalnya bertahan
hidup dan berkembang karena mereka berubah, tetapi mereka tidak melakukan hal
itu dengan sangat cepat. Sementara itu, dalam situasi yang berubah, penantang
memiliki banyak peluang untuk mendapatkan sesuatu jika mereka bertindak cepat.
Jika fleksibel dan bertindak cepat, penantang memiliki kesempatan untuk
memperkuat posisi mereka di pasar dan bahkan menjadi salah satu pemimpin. (Srinivasan
et al., 2005).
Krisis ekonomi berpengaruh terhadap psikologi
konsumen. Pada saat krisis, konsumen merasa pekerjaannya terancam dan selalu
mendiskusikan persoalan keuangan, merasa bekerja hanya untuk mempertahankan
gaya hidup, dan mereka tidak lagi menemukan kenikmatan sebagai konsumen (Shama, 1978 ). Konsumen juga menyesuaikan
perilaku dan kebiasaan belanja mereka dengan kondisi ekonomi yang berubah.
Saat resesi, biasanya yang terjadi adalah perubahan
gaya hidup. Orang tidak menonton film di gedung bioskop, tapi menonton di
rumah. Orang tidak makan di luar, tapi makan di rumah. Mereka juga mengganti
produk yang memenuhi kebutuhan mereka ke produk yang harganya lebih murah.
Di kalangan kelas bawah misalnya, sejumlah konsumen
mulai mengganti atau bahkan secara drastis menghentikan penggunaan produk
tertentu. Misalnya, mereka berhenti menggunakan susu pembersih wajah (milk
cleanser) dan astringent, dan menggantikannya dengan facial foam; menggunakan
produk 2-in-1, khususnya untuk kopi—guna mengurangi pembelian gula; menggunakan
diapers hanya ketika bepergian; mengurangi konsumsi listrik untuk menghemat
uang antara lain dengan mengurangi menyetrika baju, mengisi bak air untuk
mengurangi frekuensi penggunakan pompa air listrik, dan mengurangi frekuensi
menonton televisi.
Karena itu, seringkali, hal pertama yang dilakukan
perusahaan menghadapi penurunan kinerja ekonomi nasional adalah dengan
menurunkan harga. Logikanya, diskon atau sales promotion berfungsi sebagai pull
strategy untuk menarik konsumen membeli sebuah produk (atau produk-produk).
Dengan demikian, terjadi pergerakan
volume dan meningkatkan total value penjualan product(s).
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, ada
indikasi bahwa di tengah-tengah sulitnya kondisi ekonomi, hard selling dan
sales promotion dengan fokus turun harga (diskon) merupakan sales promotion
yang paling disukai konsumen. Teori ini berlaku juga bagi produk-produk
tersier, luxury products, dan branded items. Kecuali produk-produk yang very up
market yang dikonsumsi oleh crème de la crème of the society, di mana tujuan
mengkonsumsi produk demi gengsi dan martabat konsumen.
Jadi apakah ini strategi sehat? Apakah konsumen
selalu menginginkan harga termurah? Meski dalam beberapa kasus penurunan harga
diperlukan, namun memberi diskon tetap berisiko. Risiko terbesar adalah dapat
menciptakan persepsi negatif jangka panjang pada merek, dan akhirnya
menyebabkan penurunan pangsa pasar.
Ini karena diskon bisa mengubah orang yang selama
ini mengidamkan membeli jam tangan merek Rolex misalnya, beralih ke Timex,
semula ingin ke Barneys beralih menjadi Macys, semula mengingnkan Mercedes
menjadi Chrysler. Diskon juga berbahaya karena perusahaan tidak lagi berfokus
pada merek, melainkan ke upaya untuk menekan biaya. Ketika perusahaan tak lagi
fkus pada merek, dan berfokus pada upaya menawarkan harga rendah, maka konsumen
mempersepsikan merk yang memberi diskon tersebut sebagai murah. Persepsi yang
menancap pada konsumen tersebut akan bertahan sehingga ketika ekonomi pulih,
perusahaan sulit mencoba menaikkan harga atau menghapus promosi seperti diskon
tersebut.
Dalam beberapa kasus, pada saat perekonomian turun,
beberapa perusahaan atau merek malah menaikkan harga. Abercrombie dan Fitch
misalnya, ketika krisis ekonomi, mereka menaikkan harga, sebagian untuk
membantu memulihkan kembali busana mereka ke kualitas tinggi. Hasilnya,
penjualannya malah naik 5%. Itu juga
dilakukan Vodafone, Web.com, dan sebagainya.
Diskon dan sales promotion (promosi penjualan) memang
teknik penjualan penting bila dilakukan dengan benar. Namun, ketika ditawarkan
pada waktu yang salah - tanpa alasan lain selain untuk meningkatkan penjualan –
langkah ini dapat memotong ke arah lain dan mengakibatkan rusaknya merek.
Tentu saja ada cara untuk melakukannya. Seperti
diketahui otomotif biasanya menjadi industri pertama yang mempromosikan diskon
sebagai jalan keluar dari deraan krisis ekonomi. Pada 2008 lalu, ketika krisis
melanda Amerika Serikat, Chrysler melakukan sesuatu yang bisa disebut out of
the box. Chrysler mempertahankan harga, tapi sekaligus menawarkan diskon untuk
sesuatu yang tidak mempengaruhi merek mereka, misalnya bahan bakar. Dengan
cerdik, Chrysler mengalihkan diskon ke produk komplemer berikutnya dengan
menawarkan diskon untuk pembelian bahan bakar selama tiga tahun untuk semua
pembelian mobil baru.