Pada tahun 1900an, Buffalo merupakan kota terbesar ke delapan di Amerika Serikat. Letaknya yang berada di salah satu bagian tersibuk di Erie Canal, ujung dari kanal di Great Lakes, menjadikan kota tersebut pusat kegiatan penggilingan gandum besar dan salah satu pabrik baja terbesar di negara AS.
Seperti kebanyakan kota-kota lain di kawasan utara, Buffalo merupakan kota yang makmur selama Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II, industri manufaktur bergairah memproduksi mobil dan barang-barang industri. Populasinya meningkat menjadi lebih dari 500.000 jiwa pada pertengahan 1950-an.
Sekarang populasi Buffalo
tinggal setengahnya. Buffalo menjadi kota merana yang sulit untuk diperbaiki
karena de-industrialisasi yang terjadi di kawasan itu.
Kota adalah pendorong ekonomi negara. Kota juga merupakan wadah budaya, peradaban, dan pusat penciptaan kekayaan suatu negara. Asumsi ini mengimplikasikan bahwa kota pada dasarnya juga merupakan pusat perubahan sekaligus sebagai sesuatu yang selalu berubah.
Ditambah dengan masalah infrastruktur, ekonomi dan sosial, perubahan
dramatis selalu terjadi sehingga bila sebuah kota ingin bertahan dan berkembang
dituntut kemampuannya untuk beradaptasi dan menafaatkan perubahan
tersebut.
Diakui atau tidak, globalisasi menimbulkan dampak yang beragam dari satu kota ke lainnya, bahkan di dalam kota itu sendiri. Mereka kini semakin saling berhubungan dan bersaing langsung satu sama lain.
Globalisasi membuat kota harus bersaing dengan kota-kota lain dari seluruh
dunia untuk menarik sumber daya: manusia, keuangan, dan infrastruktur. Untuk
menarik sumber daya itu, image dan reputasi kota merupakan dua hal yang sangat
penting.
Sebuah kota harusnya terus tumbuh dan membuat sejahtera
warganya. Kota yang tumbuh secara ekonomi berarti semakin memberikan peluang
bagi warganya agar tidak kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan
rejeki lainnya melalui usaha mereka. Dengan demikian warganya diharapkan bisa
sejahtera.
Tapi kota juga tidak diam. Kota selalu bergerak ke depan,
berkembang atau beberapa diantaranya meredup dan kehilangan nilai pentingnya
dalam hirarki perkotaan. Banyak kota di dunia mengalami masa transisi yang
sulit. Industri lama yang sempat menjadi kekuatan ekonomi sebuah kota kini menghilang,
karena nilai tambah yang diciptakannya berkurang.
Agar tidak mati, sebuah kota harus memenuhi kebutuhan
warganya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara fungsi kota
dan kemampuannya dalam memenuhi tanggung jawabnya dalam menciptakan kesejahteraan bersama.
Kota, tulis Charles Landry dalam The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators, memiliki satu
sumber daya penting - orang-orang di dalamnya. Kepintaran, keinginan, motivasi,
imajinasi, dan kreativitas manusia menggantikan lokasi, sumber daya alam, dan
akses pasar sebagai sumber daya perkotaan. Kreativitas orang-orang yang tinggal
di kota dan yang menjalankan kota akan menentukan keberhasilan sebuah kota di
masa depan.
Dalam kota yang sejahtera, masyarakat berdiri tangguh
menghadapi bencana dan benturan nilai antar warga dan kebutuhan mereka.
Masayarakat berusaha keras agar kotanya menjadi tempat yang baik untuk hidup
dan bekerja dan orangpun ingin pindah ke sana.
Karena itu, sebuah kota perlu mengembangkan tidak hanya
kehidupan sosial yang menarik tetapi juga kehidupan ekonomi yang kuat dan
memberikan masa depan yang menjanjikan. Bila tidak, kota itu akan ditinggalkan
warga dan industri dan menjadi kota mati.
Akan tetapi, kesejahteraan tidak akan bisa ada bila perusahaan-perusahaan di dalamnya tidak tumbuh juga. Perusahaan juga perlu untuk tumbuh dan sejahtera. Dengan demikian diantara keduanya harus ada saling ketergantungan dan satu sama lain berhubungan dengan erat.
Karena itu, hidup
matinya sebuah kota sangat tergantung pada kemampuannya untuk menarik dan
menghidupkan usaha kecil, menegngah, domestik dan asing seperti perusahaan multinasional
dan sebagainya.
Dalam buku Winning
Global Markets, Philip dan Milton Kotler mencontohkan beberapa kota yang
gagal tumbuh seperti Detroit dan Flint
di Michigan; Cleveland, Dayton, dan Youngstown di Ohio; dan Stockton dan
Riverside di California karena kota-kota itu tidak lagi mampu menjadikan
dirinya menarik bagi para pengusaha untuk
berbisnis.
Sebuah kota menjadi “mati” tidak hanya karena penduduknya bergerak menjauhi kota tersebut. Kematian sebuah kota bisa terjadi karena kota kehilangan industri dan populasi penting yang dulunya membuat mereka menjadi kota-kota penting.
Di sisi
lainnya, sebuah kota tidak akan bisa menarik dan menumbuhkan perusahaan bila
kondisi warganya tidak mendukung. Disini berarti semua stakeholder dalam kota
tersebut harus terjadi saling interaksi.
Perkembangan kota menuntut perubahan paradigma dalam cara pengelolaan kota dalam memanfaatkan bakat dan kreativitas penghuninya, bisnis, pemerintah kota, dan warganya sendiri.
Tahun 2008, ketika dunia didera krisis keuangan yang menyebabkan
turunnya permintaan global, banyak negara mengalami resesi. Yang menarik, pada
saat resesi, ekonomi kreatif tumbuh secara signifikan. Pada 2010, ekspor barang
dan jasa kreatif dunia mencapai $ 650 miliar atau hampir dua setengah kali ekspor
pada 2002.
Beberapa penelitian menunjukkan industri budaya dan kreatif
yang mewakili perusahaan yang sangat inovatif memiliki potensi yang besar.
Industri budaya dan kreatif yang menjadi salah satu sektor paling dinamis di
Eropa memberikan kontribusi sekitar 2,6% terhadap product domestic bruto (PDB) Negara-negara Uni Eropa, sehingga
berpotensi untuk terus berkembang. Industri ini memiliki potensi pertumbuhan
yang tinggi, dan menyediakan lapangan kerja berkualitas untuk 5 juta orang di Uni
Eropa.
Fenomena tersebut menunjukkan makin pentingnya kota kreatif.
Konsep 'kota kreatif' muncul pada 1980-an ketika orang mulai melirik budaya
sebagai cara berpikir baru untuk mengatasi masalah dan membangkitkan kembali
kota yang image dan “kekuatannya” mengalami penurunan (Landry, 2003). Sejak
itu, kota kreatif digunakan oleh perencana dan pembuat kebijakan perkotaan
sebagai paradigma baru dalam pembangunan perkotaan.