Saya kaget saat melihat Big Cola terpajang di Superindo, Bintaro I, Jakarta Selatan, pada malam tahun baru 2012 lalu. Kenapa? Sampai Agustus 2011 lalu, saya masih merasa bahwa sampai akhir tahun, Big Cola masih fokus di pasar sub-urban. Saat penjurian trade marketing sebuah perusahaan di daerah-daerah sub-urban Jakarta, Agsutsu tahun lalu, saya melihat mobil bak terbuka mondar-mandir keluar masuk kampung mengangkut Big Cola.
Beberapa pedagang di daerah-daerah yang saya
kunjungi mengatakan bahwa tarikan pasar Big Cola lumayan besar. Dari sini, saya
menarik kesimpulan bahwa meski banyak juga orang yang makin sadar tentang
kesehatan, namun peluang pasar minuman berkarbonasi masih cukup besar untuk
digarap. Ini terutama di daerah-daerah pedesaan atau sub-urban yang selama ini
belum tergarap minuman berkarbonasi merek lain.
Fenomena ini sama persis dengan fenomena oplah
surat kabar. Survey yang dilakukan Nielsen menunjukkan bahwa pembaca surat
kabar dan media cetak lainnya tahun lalu turun. Namun, saya yakin bahwa hal itu
hanya terjadi di kota-kota besar sebab nyatanya Grup Jawa Pos dengan Radar-nya
dan Grup Kompas dengan Tribune-nya agresif menggarap pasar atau pembaca di daerah.
Optimisme masih terbukanya pasar minuman
berkarbonasi tersebut didasarkan pada tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
terhadap minuman berkarbonasi yang masih sangat rendah. Sebagai perbandingan,
di Thailand persentase konsumsi masyarakatnya mencapai 30%-40%.
Sementara Indonesia hanya 4% yang dikuasai oleh produk-produk Coca-Cola dengan market share sebesar 96%. "Konsumsi yang rendah ini merupakan peluang. Big Cola masuk bukan untuk merebut kue dari kompetitor, tapi menciptakan pasar baru dengan memberikan alternatif produk bagi konsumen," ujar Manager Marketing PT AJE Indonesia Agit Atrianto.
Sementara Indonesia hanya 4% yang dikuasai oleh produk-produk Coca-Cola dengan market share sebesar 96%. "Konsumsi yang rendah ini merupakan peluang. Big Cola masuk bukan untuk merebut kue dari kompetitor, tapi menciptakan pasar baru dengan memberikan alternatif produk bagi konsumen," ujar Manager Marketing PT AJE Indonesia Agit Atrianto.
Pasar baru yang disebut Agit itu adalah
orang-orang yang selama ini belum mengkonsumsi minuman berkarbonasi. Mereka
belum mengkonsumsi karena merasa bahwa minuman itu masih terlalu mahal buat
mereka. Jumlah orang yang merasa seperti itu cukup besar, termasuk di daerah
perkotaan.
Pada titik persoalan harga ini, menurut FM Siddharta, Managing Partner Trade Marketing Indonesia, salah satu dari kegagalan pemimpin pasar (Coca-Cola) men-justify harga produk dengan benefit yang diperoleh konsumen. Coca-Cola lupa bahwa price—termasuk benefit—sangat sensitif bagi konsumen kelas menengah baru. Kealpaan Coca-Cola dipakai Big Cola untuk senjata melawan kompetitor.
Pada titik persoalan harga ini, menurut FM Siddharta, Managing Partner Trade Marketing Indonesia, salah satu dari kegagalan pemimpin pasar (Coca-Cola) men-justify harga produk dengan benefit yang diperoleh konsumen. Coca-Cola lupa bahwa price—termasuk benefit—sangat sensitif bagi konsumen kelas menengah baru. Kealpaan Coca-Cola dipakai Big Cola untuk senjata melawan kompetitor.
Karena itu, agar Big Cola bisa diterima pasar
Indonesia, AJE menawarkan volume yang lebih banyak dibandingkan kompetitor,
namun dengan harga yang terjangkau. Strategi ini sesuai dengan target
konsumennya kalangan menengah yang sangat concern pada harga dan volume.
Sebagai ilustrasi, harga jual Big Cola di pasar adalah Rp 3.000/botol, sedangkan brand kompetitor dengan volume lebih sedikit harganya Rp 4.500/botol. “Konsumen pasti akan memilih Big Cola karena lebih murah dan isinya lebih banyak. Dari sisi rasa pun cocok dengan selera konsumen di sini,” jelas Dino Heryanto, Product Development PT AJE Indonesia, produsen Big Cola.
Sebagai ilustrasi, harga jual Big Cola di pasar adalah Rp 3.000/botol, sedangkan brand kompetitor dengan volume lebih sedikit harganya Rp 4.500/botol. “Konsumen pasti akan memilih Big Cola karena lebih murah dan isinya lebih banyak. Dari sisi rasa pun cocok dengan selera konsumen di sini,” jelas Dino Heryanto, Product Development PT AJE Indonesia, produsen Big Cola.
Indonesia merupakan satu dari tiga negara di
kawasan Asia Tenggara yang dimasuki AJE Group, perusahan minuman non-alkohol
yang bermarkas di Peru ini. Sebelumnya AJE masuk ke Thailand, dan Vietnam.
Target utama konsumen Big Cola di Indonesia adalah semua kalangan yang berusia 15 tahun ke atas.
Big Cola kini bisa dijumpai di kios-kios pinggir jalan hingga minimarket dan hipermarket. Minuman yang sepintas
kemasannya mirip dengan brand Coca-Cola ini telah menjangkau 4.000 lebih toko
ritel Indomaret dan Alfa Mart di Jawa
dan Sumatera sejak diluncurkan pada November 2010. “Ke depan, kami akan terus
mengembangkan distribusinya hingga daerah pelosok,” ujar Dino.
Selain Jabodetabek, Jawa dan Sumatera, ekpansi
pemasaran Big Cola siap menjangkau kota-kota di Kalimantan, Sulawesi hingga
Bali. Sehingga, sesuai business plan perusahaan,
pemasaran Big Cola diharapkan dapat menjangkau kota-kota besar dan kecil dalam
skala nasional pada satu hingga tahun ke
depan.
Selain harga, strategi Big Cola memang fokus di distribusi. Big Cola tidak memborbardir konsumen minuman
berkarbonasi dengan iklan seperti dilakukan pada produk baru lainnya. Big Cola fokus
pada distribusi. Kelemahan jangkauan distribusi dibalik menjadi kekuatan untuk
menggaet konsumen dan ternyata sukses.
Karena itu, strategi distribusi di Indonesia berbeda dengan yang diterapkan AJE Group di Thailand, Vietnam atau negara-negara di Amerika Selatan yang menjadi sasaran pemasaran Big Cola. Di negara-negara tersebut distribusi mengandalkan modern channel, sedangkan di sini mengandalkan traditional channel.
Karena itu, strategi distribusi di Indonesia berbeda dengan yang diterapkan AJE Group di Thailand, Vietnam atau negara-negara di Amerika Selatan yang menjadi sasaran pemasaran Big Cola. Di negara-negara tersebut distribusi mengandalkan modern channel, sedangkan di sini mengandalkan traditional channel.
Di sini Big Cola mengerahkan tim sales
untuk berjualan langsung dengan membuka tenda di pinggir jalan. Mereka
mendirikan tenda di lokasi strategis, lengkap dengan memasang poster untuk
edukasi Big Cola kepada konsumen. Selain itu, tim sales disebar untuk menawarkan
produk kepada para pedagang atau pemilik warung di wilayah pemukiman. Sasaran
awal pemasaran adalah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
Untuk menggaet pedagang, Big Cola menerapkan
sistem konsinyasi dan pembayaran di belakang. Artinya, pedagang yang bersedia
menjadi agen Big Cola diberi keringanan dengan hanya membayar produk yang laku.
Ini pun dibayar di belakang hari (jatuh tempo). Big Cola juga menggunakan
warung dan agen sebagai channel komunikasi. Di tempat-tempat tersebut Big Cola
memasang besar-besar poster.
Apa adalah pemasaran menarik? Tarik pemasaran
adalah di mana Anda mengembangkan iklan dan strategi promosi yang dimaksudkan
untuk menarik prospek untuk membeli produk atau layanan Anda. Beberapa contoh
klasik "dari setengah!" atau "membawa kupon ini untuk
menghemat 25%" atau "beli satu dapat satu gratis", dan
sebagainya.
Strategi push marketing ini dirancang dengan
tujuan agar pengecer mempromosikan Big Cola kepada pengguna akhir. Bahkan – seperti
fenomena yangterjadi dalam beberapa tahun terakhir – pengecer itu juga menjadi
pemasar Big Cola karena merekomendasikan kepada pengecer lainnya untuk menjual
Big Cola karena benefit yang diperoleh cukup besar.
Pada saat yang sama, dilakukan edukasi komunikasi
ke khalayak lewat tayangan iklan bertajuk “Big Cola be England” di TVC. Iklan
menyajikan cuplikan pertandingan sepakbola FA Cup. Konsep iklan ini merupakan
hasil elaborasi consumer insight yang menunjukkan kecintaan
masyarakat Indonesia terhadap sepakbola yang sangat tinggi.
Ini terlihat dari sangat antusiasnya konsumen Indonesia mengikuti pertandingan yang digelar klub-klub di Inggris melalui televisi. “Brand awareness Big Cola dapat terbentuk dari antusias masyarakat terhadap pertandingan sepakbola di Inggris,” jelas Dino.
Ini terlihat dari sangat antusiasnya konsumen Indonesia mengikuti pertandingan yang digelar klub-klub di Inggris melalui televisi. “Brand awareness Big Cola dapat terbentuk dari antusias masyarakat terhadap pertandingan sepakbola di Inggris,” jelas Dino.
Seperti
diungkapkan Chief of Marketing PT
AJE International Jorge Lopez Doriga saat memberi kuliah umum di depan
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The
London Shool of Public Relations, Jakarta bahwa strategi utama Big
Cola adalah mendekatkan diri secara
emosional dengan konsumen dan menciptakan love mark. Rasa cinta konsumen
terhadap brand ini dibangun melalui dukungannya kepada FA Cup.
Alhasil,
melalui kegigihan tim sales membangun channel distribusi dan pemasaran ditambah
edukasi brand melalui iklan, ekspansi
Big Cola ke Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Penetrasinya di traditional
market tergolong sukses. Terbukti hampir semua warung dan kios minuman pinggir jalan menjual Big Cola. Coverage
pemasarannya pun semakin luas. Termasuk distribusi yang merambah modern market.
Lantas,
berapa omset penjualannya? “Cukup besar. Setiap bulan penjualannya meningkat
signifikan,” tandas Agit Atrianto yang enggan menyebut detil angkanya. Bahkan,
untuk meng-cover pertumbuhan penjualan tersebut, AJE Indonesia
meningkatkan kapasitas produksi pabriknya di Cikarang dari 600 ribu botol
menjadi hampir 2 juta unit per hari.