Tahun
2000, Kevin Moloney menulis buku berjudul Rethinking public relations: the spin
and the substance. Salah satu isu public relations yang diangkat buku tadi
adalah reputasi public relations yang rendah. Bagi Moloney, sebuah ironi bila
PR harus menanggung nasib harus menangani suara negative tentang dirinya sendiri
sementara mereka terbiasa dengan isu negative kliennya. Selesai atau PR sudah
berubah? Mungkin.
Kalaupun itu belum diaggap
selesai, kini muncul tantangan baru. Apapun namanya, disruptif, efektif atau
lainnya, praktisi public relations kini harus memikirkan ulang tugas dan
tanggungjawab mereka. Seperti juga dirasakan banyak teman-teman di industri
surat kabar, saluran berita media utama (cetak, siaran dan bahkan web-based)
kini tak sesakti dulu. Wartawan kini seakan jadi bulan-bulan media sosial.
Mereka dipaksa mengejar ketertinggalan karena informasi di media sosial sering
– bahkan mungkin selalu -- menjadi breaking news ketimbang di media utama.
Anggap saja itulah pergeseran
seismik kekuasaan yang terjadi dalam dua tahun terakhir, tulis John Hayes di
ww.cision.com, dua tahun lalu. Media konvensional seperti koran dan televisi
kini tidak lagi memonopoli berita. Orang kini mem punyai banyak saluran
informasi alternative. Karena kini setiap orang bisa membuat dan menyiarkan sekaligus
menyaksikan berita. Setiap orang kini bisa menciptakan isu dan pembicaraan di
media sosial. Setiap orang kini bisa membangun agenda. Susahnya kalau
pembicaraan itu kontennya negative tentang kita atau lingkungan kita.
Tidak percaya? Lihat saja,
berapa banyak acara televisi atau media lainnya yang menayangkan atau
menurunkan konten yang berasal dari cuitan Twitter (kini cuitan Twitter
selebriti jadi berita), Facebook, rekaman video kamera smartphone, dan Youtube.
Itu semua seringkali kali produksi orang-orang yang mungkin duu tidak Anda
kenal. Ini sekaligus menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi public relations
bagi dirinya sendiri. Mungkin Anda bisa menghitung berapa banyak selebriti
lahir karena media sosial? Karenanya kini muncul kosa kata baru seperti
selegram dan sebagainya.
Bagi industry seperti media dan
public relations yang dibangun dari pondasi hubungan dengan media, perkembangan
ini mungkin sangat mengganggu. Bagaimana tidak, media relations kini tidak lagi
berkaitan lagi dengan media koran, TV dan radio tapi kini makin luas, termasuk
dengan blogger dan sebagainya. Muncullah kosakata baru outreach, suatu strategi
untuk menjangkau kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang karena faktor
struktural memiliki hambatan untuk mengakses informasi dan layanan publik yang
ada didalam masyarakat. Dari sini populer kata influencer yang pada era Paul
Lazarsfeld (komunikasi dua langkah) dan Everet Rogers (difusi inovasi) dulu
dikenal sebagai opinion leader.
Pekerjaan
public relations kini juga makin berat karena mereka harus menjaga “yang selalu
harus mereka jaga” dari pemberitaan dan mengendalikan pembicaraan publik yang
beredar di media sosial. Pekerjaan PR kini bukan lagi sekadar memenangkan kolom
inci atau liputan TV. Praktisi PR kini juga dibebani tanggungjawab menenangkan
pembicaraan tentang yang harus dijaganya tadi di media sosial. Dalam situasi
seperti ini, kemampuan mempersuasi beberapa editor dan media berita adalah satu
hal, tetapi bisa meminimalisir kemungkinan munculnya breaking news versi media
sosial tentang “yang harus dijaga”nya tadi adalah cerita yang lain.
PR modern sekarang tidak hanya memantau dan menjaga hubungan dengan media tradisional, mereka juga harus melototi hampir tanpa berkedip lanskap media sosial bisa jadi susah diatur dan siap mengatasi setiap percikan negatif sebelum mereka menjadi amuk api.
Memiliki teknologi yang tepat untuk memantau web sosial, terlibat dengan orang-orang yang selalu terhubung dalam pembicaraan di media sosial dan menganalisis dampak percakapan itu kini tidak lagi sebuah kemewahan. Ini adalah komponen penting dari setiap strategi PR dan bila kurang atau lengah sedikit saja bisa berisiko bagi reputasi klien mereka. Jadi sangat beralasan bila beberapa minggu lalu ada mahasiswa LSPR – melaui skripsinya – mengusulkan kompetensi cyber PR.
PR modern sekarang tidak hanya memantau dan menjaga hubungan dengan media tradisional, mereka juga harus melototi hampir tanpa berkedip lanskap media sosial bisa jadi susah diatur dan siap mengatasi setiap percikan negatif sebelum mereka menjadi amuk api.
Memiliki teknologi yang tepat untuk memantau web sosial, terlibat dengan orang-orang yang selalu terhubung dalam pembicaraan di media sosial dan menganalisis dampak percakapan itu kini tidak lagi sebuah kemewahan. Ini adalah komponen penting dari setiap strategi PR dan bila kurang atau lengah sedikit saja bisa berisiko bagi reputasi klien mereka. Jadi sangat beralasan bila beberapa minggu lalu ada mahasiswa LSPR – melaui skripsinya – mengusulkan kompetensi cyber PR.